Saturday, November 22, 2003

[Ruang Renung # 34] Penyair Mencari Puisi

DI MANA PUISI?// deru kereta. hitam malam. bintik cahaya. di mana puisi?//li po. chairil. neruda. paz. rumi. di mana puisi?//asap rokok. segelas kopi. di mana puisi? (Kiriman pesan pendek Nanang Suryadi, Sabtu 22/11/2003).



PUISI sampai pada penyair lewat berbagai macam jalan dan berbagai bentuk rupa. Dia bisa datang terburu-buru seolah hewan yang lelah diburu dan ikhlas mengakhiri hidupnya meringkuk di bawah kaki kita. Puisi bisa datang kepada kita setelah melewati perjalanan jauh, terengah-engah oleh letih yang sungguh. Seperti deru kereta yang datang mendekat atau pun pergi menjauh meninggalkan jejaknya di benak kita. Sepeti hitam malam yang begitu ada begitu nyata atau bintik cahaya yang samar yang ragu dengan keberadaannya.



Puisi bisa tiba-tiba kita sadari ada padahal ia telah lama hadir di dekat kita, begitu dekat dengan kita tapi selama ini terabai begitu saja. Seperti segelas kopi atau kepul asap rokok. Sementara kita menerawang jauh, dia yang dekat itu bisa menjadi pemicu hadirnya puisi, atau bahkan dia itu sendiri adalah puisi yang terlupa.



Puisi bisa datang dari nama-nama penyair yang abadi yang menyebutnya saja sudah menjadi semacam bait puisi. Li Po, Chairil Anwar, Pablo Neruda, Octavio Paz, Jalaluddin Rumi, adalah inspirasi yang bisa begitu deras mengalirkan kata-kata ke dalam puisi-puisi kita. Tapi, jangan asal sebut. Kalau tidak tepat memberi, kita malah bisa membunuh nama-nama itu dalam puisi kita. Kita malah bisa mengecilkan arti nama-nama itu, mengebirinya.



Jadi, di manakah puisi?[ha]