Wednesday, May 31, 2006

[Kutipan] Penggali Kubur adalah Profesi Terhormat

       "Aku sudah tidak butuh dokter, Nak. Lebih baik mereka langsung mengirimku ke tangan para penggali kubur."
       "Jangan berkata seperti itu, Penyair."
       "Penggali kubur adalah profesi terhormat, Mario. Tidakkah kau ingat dalam Hamlet penggali kubur berkata: Tidak ada gentlemen kuno kecuali tukang kebun, penggali parit, dan para pembuat liang kubur; merekalah para penerus profesi Adam."

[Dari Il Postino, Antonio Scarmeta, Penerbit Akubaca, Jakarta, 2002, halaman 136]

[Kutipan] Siapa yang Menggunakan Puisi



       "Penyair dan kamerad," ujarnya penuh percaya diri, "Anda menceburkan saya dalam kekacauan ini dan sekarang Anda menolak saya. Anda memberi saya buku-buku Anda. Anda ajari saya bagaimana memanfaatkan lidah untuk sesuatu yang lebih dari sekadar melekatkan prangko pada amplop. Salah Andalah kalau saya jatuh cinta."
       "Tidak bisa begitu, Kawan. Memberikan beberapa bukuku kepadamu adalah satu hal, tapi memberimu izin untuk menjiplaknya adalah hal yang sama sekali lain. Lagi pula, kau memberikan kepada puisi yang kutulis untuk Matilde."
       "Puisi menjadi milik siapa yang menggunakannya bukan siapa yang menulisnya."
       "Alangkah bahagianya hatiku mendengarmu mengekspresikan perasaan demokratis seperti itu, tapi marilah tidak usah repot-repot untuk voting untuk menentukan siapa yang berhak jadi ayah dalam sebuah keluarga."

[Dari Il Postino, Antonio Scarmeta, Penerbit Akubaca, Jakarta, 2002, halaman 80-81]

[Kutipan] Neruda: Metafora, Kataku!

       Neruda melepas gerendel gerbang dan mengusap dagu."Mario Jimenez, aku punya buku yang jauh lebih bagus daripada Elemental Odes. Sungguh memalukan menghadapkan aku pada seluruh perumpaan dan metafora itu."
       "Pak?"
       "Metafora, kataku!"
       "Apa itu?"
       Sang penyair menaruh tangannya di pundak sang bocah.
       "Kurang lebihnya, kita bisa mengatakan bahwa ada suatu cara memerikan sesuatu dengan membandingkannya dengan hal lain."
       "Beri saya contoh."
       Neruda melihat arloji dan mendesah.
       "Begini, jika kau mengatakan langit sedang menangis, apa yang kau maksud?"
       "Gampang--hujan?"
       "Nah, itulah metafora."
       "Kalau cuma sesederhana itu, kenapa namanya begitu rumit?"
       "karena nama-nama segala sesuatu sama sekali tidak ada hubungannya dengan betapa sederhana atau alangkah rumitnya. Menurutmu, apakah hewan kecil-kecil yang beterbangan tak pantas menyandang nama sepanjang kupu-kupu? Sementara gajah justru lebih sedikit hurufnya ketimbang kupu-kupu," dia menyudahi, kali ini dengan nafas terengah, "padahal ia jauh lebih besar dan tidak terbang." Kemudian, dengan seluruh tenaga yang masih tersisa, ia mengingatkan pada Mario bahwa seharusnya sekarang ia sudah dalam perjalanan ke teluk.

[Dari Il Postino, Antonio Scarmeta, Penerbit Akubaca, Jakarta, 2002, halaman 30-31]

Oda Bagi Piano



Sajak Pablo Neruda

Piano itu berduka sungkawa
sepelaksanaan konser itu,
terlupakan dalam jubah si penggali makam,
dan kemudian ia buka mulutnya,
mulut ikan pausnya:
sang pemain piano merasuk ke piano itu,
tebang seperti gagak hitam;
sesuatu telah terjadi seperti ada batu
perak jatuh
atau seperti tangan
mengulur ke kolam
tersembunyikan:
segala yang manis melancar
seperti hujan
di atas sebuah lonceng,
cahaya jatuh ke dasar
rumah yang rapat terkunci,
permata zamrud menyeberangi jauh jurang
dan laut pun bersuara,
malam,
padang rumput,
butir jatuh embun,
badai yang paling dalam,
struktur nyanyian mawar,
cairan putih susu kabut mengepung kesunyian.

Demikianlah musik terlahirkan
dari piano yang telah sekarat,
pakaian
hantu air
melintas di atas keranda
dan dari gigi geliginya
segalanya takmempedulikan
piano itu, sang pemain piano
dan konser jatuh,
dan segalanya menjadi suara,
aliran deras unsur-unsur elemental,
sistem yang murni, nyaring dentang lonceng.

Kemudian kembalilah lelaki itu
dari tajuk pohon musik.
Dia terbang turun seperti
gagak hilang arah
atau pangeran yang hilang akal:
piano itu mengatup mulut pausnya
dan sang pemain piano melangkah menjauhinya
menuju ke kesunyian.

Oda bagi Aroma Kayu

Sajak Pablo Neruda

Sudah larut, dengan bintang-bintang
terbuka terang dalam gigil dingin
Aku membuka pintu.
Samudera itu
menderu langkah lekas
ke malam itu.

Bagaikan seulur tangan
dari rumah kegelapan
datanglah aroma
tajam
aroma setumpukan
kayu bakar.

Aroma yang tampak
seperti
hidup kembali pohon itu.
Seperti ia masih menarik nafas.

Tampak
seperti sehelai pakaian.

Aku menarik langkah kaki
ke dalam
rumah
dikepung aroma-
balsam kegelapan.
Di luar rumah
noktah-noktah
berkilauan di langit
seperti batu berdaya magnet
dan aromanya aroma kayu

yang menyentuh
hatiku
seperti jari jemari.
seperti wangi melati,
seperti kenangan yang menetapi.

Itu bukan aroma pinus
yang menyengat,
bukan,
itu juga bukan
rekah di kulit batang
eukaliptus,
itu pun bukan
parfum hijau
dari punjung rambatan anggur,
tapi
sesuatu yang lebih rahasia,
karena aroma itu
hanya satu
hanya satu
sekali saja ia ada,
dan di sana, dari semua apa yang pernah kulihat di dunia
di rumahku sendiri di malam hari, berjiran dengan laut musim dingin,
ia menanti aku
aroma wangi
dari mawar yang tersimpan paling dalam
hati yang disayat dari bumi,
sesuatu yang menyergapku seperti gelombang
pecahan yang hilang
dari waktu
dan ia menyesat diri sendiri di dalam diriku
ketika aku membuka pintu
ketika malam hari itu.

Oda bagi Perempuan Sedang Berkebun

Sajak Pablo Neruda

Ya, aku tahu tanganmu adalah
rebung merecup, serumpun lili
berdaun perak:
ada yang harus engkau lakukan
dengan tanah itu,
dengan bumi yang berbunga,
tapi
ketika
kulihat engkau menggali, menggali,
mengeyahkan kerikil
dan menuntun arah akar-akar
aku tahu seketika itu,
perempuanku yang sedang berkebun,
bahwa
tidak hanya
tanganmu
tapi juga hatimu
telah menyentuh bumi,
karena di sana
engkau
menciptakan
benda-bendamu,
menyentuh
kelembaban
pintu
melalui jalan
di mana
benih-benih
menebar.

Maka pada jalan ini
dari satu tanaman
ke yang lain
satu tanaman yang
baru saja ditanam,
dengan wajahmu
dibekasi
ciuman
dari tanah liat,
engkau pergi
lalu datang lagi
memekarkan bunga,
engkau pergi
dari tanganmu
batang utama tajuk
astromeria
membangkitkan sosok sendirinya
yang anggun,
mawar mengharumkan
kabut di keningmu
dengan wangi dan bintang-bintang embun.

Segalanya tumbuh
darimu
menembus bumi
dan menjelma jadi
cahaya hijau,
daun dan kekuatan
engkau mengatakan
apa yang ingin disebutkan oleh
benih-benihmu padanya,
kekasihku,
perempuan merah yang sedang berkebun:
tanganmu yang berkerabat
dengan bumi
dan tumbuh cemerlang
adalah kesertamertaan
Cinta, pun demikian
adalah air tanganmu
bumi hatimu,
memberi
kesuburan
dan kekuatan pada laguku
kau sentuh
dadaku
sementara aku terlelap
dan pohon-pohon berbunga
dalam mimpiku.
Aku terbangun, membuka mata,
dan engkau telah ada
di sisiku
bintang-bintang dalam bayang
yang kelak datang dan terang
dalam laguku.

Begitulah, perempuan yang sedang berkebun:
cinta kita
membumi:
mulutmu adalah tanaman cahaya,
sebuah mahkota bunga, dan
hatiku menjaga di antara akar-akarnya.

Tuesday, May 30, 2006

Kitab Pertanyaan 1-10

Kitab Pertanyaan

Sajak Pablo Neruda

1.

Pesawat yang jatuh tenggelam, kenapa
tak terbang lagi dengan anak-anaknya?

Burung kuning, yang manakah ia yang
mengisi sarangnya dengan buah limau?

Kenapa mereka tak mengajari helikopter
mengisap madu dari cahaya matahari?

Dimana bulan purnama meninggalkan
sekarung gandum miliknya malam ini?

2.

kalau mati sudah aku, dan aku tak tahu itu
kepada siapa aku bisa bertanya soal waktu?

musim semi di Prancis, darimana
ia mendatangkan dedaunan?

di mana seorang buta dapat hidup
dia yang dikejar oleh kawanan lebah?

apabila warna kuning tak ada lagi
dengan apa kita akan membuat roti?


3.

Beri aku tahu, apakah mawar itu telanjang
ataukah dia justru gaun yang kembang?

Kenapa pohon-pohon menyembunyikan
akar-akar yang megah menggairahkan?

Siapa yang mendengar sesal
mobil yang dicuri begundal?

Adakah di dunia ini yang lebih menyedihkan
daripada trem tegak sendiri berhujan-hujan?

4.

Berapa banyakkah rumah ibadah
yang ada di surga sana?

Kenapa hiu ganas itu tidak menyerang
perempuan penggoda yang tak tahu tatakrama?

Apakah asap itu berbincang dengan awan?

Benarkah bahwa hasrat kita
harus dibasahi dengan embun?


5.

Apa yang kau lindungi di balik punukmu?
bertanya unta kepada kura-kura.

Dan kura-kura menjawab:
apa yang kau katakan kepada jeruk oren

Apakah pohon pir punya dauh lebih banyak
daripada kenangan yang sudah berlewatan?

Kenapa dedaunan ikhlas bunuhdiri
ketika mereka merasa telah menguning?



6.

kenapa topi malam hari itu
begitu penuhnya menutup lubang-lubang?


apa yang dikatakan oleh debu tua
ketika ia melintas di dekat api?


kenapa awan-awan banyak memekik,lalu
lebih bahagia dan lebih bahagia lagi?

Untuk siapakah putik-putik matahari
terbakar dalam bayangan gerhana itu?

berapa banyak sekarang yang ada
dalam satu hari?


7.

Apakah damai itu damainya merpati?
Apakah macan tutul mengobarkan perang?

Kenapa sang profesor mengajarkan
geografi kematian?

apa yang terjadi pada seekor walet
yang datang terlambat ke sekolah?

Benarkah mereka menghamburkan
huruf-huruf tembus pandang di langit?


8.

Apakah yang mengecewakan vulkano yang
menceraikan api, dingin dan kemarahan?

Kenapa Christoper Columbus tak bisa
menemukan Spanyol?

Berapa banyak pertanyaan dipunyai kucing?

Apakah airmata belum memercik jatuh
di danau kecil yang menunggu?

Atau adakah sebuah sungai tak kasat mata
yang mengalir mendekat ke kesedihan


9.

Apakah matahari sama dengan kemarin
atau ini berbeda dari api itu?

Bagaimana kita berterimakasih pada awan
karena berlimpahnya ia melaju lekas?

Dari manakah awanbadai itu datang
dengan karung-karung hitam airmatanya?

kemana semua nama-nama itu
yang semanis kue tahuntahun lalu?

kemana mereka pergi, Donaldas,
Clorindas, Eduviqises?


10.

Apa yang akan mereka pikir tentang topiku,
semir pengkilat, selama seratus tahun?

Apa yang akan mereka kata tentang puisiku
yang tak pernah menyentuh darahku?

Bagaimana kita mengukur bebuihan
yang meluap dari gelas bir?

Apa yang dilakukan lalat, yang terpenjara
dalam sebuah soneta petrachan?

Sunday, May 28, 2006

[Ruang Renung # 146] Tips Sajak: Jangan Percaya pada Tips!

Ada burung terbang dengan sayap terbakar
dan terbang dengan dengan dan sakit hati.
Gulita pada mata serta nafsu pada cakar.
Mengalir arus pedih yang cuma berakhir di mati.


[Bait pertama dari dua bait sajak Burung Terbakar, WS Rendra, Empat Kumpulan Sajak, Pustaka Jaya, cetakan kedelapan, 2003]

kutunjukkan padamu sebuah kolam
hai, jangan tergesa engkau menyelam!
di situ sedang mekar setangkai kata
yang para pendeta tak tahu maknanya


[Bait pertama dari tiga bait sajak Kolam, D Zawawi Imron, Madura, Akulah Darahmu, Grasindo, cetakan pertama, 1999]

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!


[Malam di Pegunungan, Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, Gramedia, cetakan kedelapan, 2000]


TIGA petikan sajak, dari tiga penyair yang boleh dipastikan lekat kita ingat namanya. Kita bisa mengambil contoh sajak sejenis dari penyair lain. Sejenis? Ya, tiga sajak di atas ditulis dengan tertib dalam bentuk kwatrin, stanza empat baris. Kita pun boleh mencobanya tentu saja. Tidak ada rumus kapan harus memakai bentuk sajak itu, atau bentuk tetap lainnya.

TAPI mungkin ada sejumlah tips: Pertama, kenali sungguh bentuk-bentuk itu, jika tidak maka kita hanya akan menjadi tukang kue yang meminjam tuangan. Kita memang tidak membikin tuangan sendiri, tapi kita bisa mengakrabinya. Sehingga seakan-akan tetap saja ada tanda bahwa tuangan itu telah sah kita miliki.

Kedua, sadarilah risiko apa yang akan kita tempuh bila memilih bentuk tetap. Mungkin kita yang ditaklukkan, atau sebaliknya kita yang menaklukkan bentuk itu. Bila yang pertama terjadi, maka sajak kita terasa bagai roh yang tidak betah di sebuah tubuh yang tidak nyaman bagi si roh itu. Kita harus memperbesar kemungkinan kedua yang terjadi. Bila perlu bentuk yang tetap itu tidak terlihat kehadiran bentuknya. Tengok sajak di atas.

Ketiga, jangan terlalu terpikat pada bentuk tetap. Jangan semua ide puisi kita pasrahkan pada sebuah bentuk tetap. Banyak pilihan. Bebaskan saja sajak kita.

Keempat, bentuk tetap itu boleh saja kita hancur-hancurkan. Boleh saja kita rusak-rusakkan. Kita boleh meraih kebebasan dengan bertolak dari bentuk-bentuk yang tidak bebas. Tak ada yang melarang. Kita boleh menulis pantun yang bukan pantun. Kwatrin yang bukan kwatrin. Bebas saja.

Dan kelima, jangan terlalu percaya pada tips-tips semacam ini. Kita boleh menyusun tips-tips untuk kita sendiri, tips yang berbeda dengan tips lain. Menyusun sajak, selain menghasilkan sajak, juga bisa menghasilkan rumusan baru, tips baru. Untuk apa tips baru itu? Untuk kita ingkari lagi. Terus saja begitu. Dengan demikian kita akan terus menulis sajak, terus menghasilkan sajak. []

[Ruang Renung # 145] Membiakkan Sajak Secara Generatif

YANG paling baik bagi kita - para pemulia sajak - adalah menghasilkan spesies sajak baru. Atau paling tidak cultivar atau varietas baru. Dengan kata lain kita harus membiakkan sajak secara generatif. Mengutak-atik genetikata.

KITA harus memurnikan galuar-galur sajak. Satu jantan penghasil serbuk sari kata dan satu betina penyedia putik ide-ide. Lalu menyerbukkannya dan menghasilkan sajak silangan yang asli milik kita, yang baru, yang menampilkan warna-warna baru, yang fenotifnya menawarkan sebuah kejutan.

HINDARILAH menjadi seorang yang cuma pandai mencangkok sajak orang lain, penyair lain. Hindari juga agar kita "tak hanya" menjadi pembiak yang terus menerus memperbanyak sajak-sajak kita sendiri. Memisahkan anakan sajak kita sendiri, yang kita yakini mempertontonkan penampilan vegetatif sajak yang khas, tumbuh subur dan dijamin berbunga. Ini bukan pekerjaan yang sepenuhnya terlarang.

TAPI, ya, yang paling baik bagi seorang pemulia sajak adalah terus-menerus menantang diri sendiri agar bisa menghasilkan spesies sajak-sajak baru. Agar taman sajak semakin semarak. Agar kita tidak terus menerus melihat bunga-bunga kata yang itu-itu saja. []

[Ruang Renung # 144] Bersajak di Tengah Kecamuk Perang

JANGAN takut. Kita boleh menulis sajak di tengah kecamuk perang. Jangan takut. Kita berhak menulis sajak di antara puing-puing rumah kita yang rubuh setelah gempa. Jangan tahan sajak ketika dari tangan kita ia - sajak itu - hendak menjelma setelah tangan yang sama letih menyisihkan reruntuhan, mencari korban, menyapu dari yang menetes dari bagian tubuh kita yang lain.

KESERTAMERTAAN tidak serta merta membunuh permenungan. Spontanitas tidak selalu mengabaikan kedalaman. Sesekali sajak kita harus melayani rasa yang pecah, yang mengalir deras, dan ia sendiri adalah arus rasa yang tak harus kita bendung. Alirkanlah. Sajakkanlah.

BELAJARLAH dari sajak TS Pinang. Saya bayangkan situasinya sama dengan kelahiran sajak The Battle Hymn of The Republic yang ditulis Julia Ward Howe. Satu ditulis segera setelah gempa di Yogya. Yang lain berabad lalu ditulis di sebuah tenda di tengah kecamuk perang saudara di Amerika. Himbauan, "berjaraklah!", tak harus kita ikuti bak komando.

Gempaku, Yogyaku, Yantiku

TERIMA kasih, aduhai Gempaku! Yogyaku yang
sebentar kau singgahi di sebuah pagi itu
mengingatkanku pada Yantiku. Kau tak tahu dia,
pasti. Seperti kau tak mengenal aku juga.

Kami berhak dilupakan, cukup ingat nama sendiri.

Bertahun-tahun merantau jadi Pembantu, kami
bisa membantu diri sendiri. Kami menikah
dan masing-masing punya suami yang baik hati.
Suamiku mengizinkan aku menulis puisi, suami Yanti
menginginkannya bahagia, dan dia kembali ke Yogya.

Kami berhak berbahagia, seperti juga berduka.

Lalu aku menyesal karena sementara melupakan dia.
Kami berdua terlalu sibuk dengan kebahagian kami.

Jadi, kubilang terima kasih, wahai Gempaku! Setelah
kau singgah sebentar di Yogyaku. Terima kasih,
karena sudah kau jemput Yantiku pergi bersamamu.

Dari Mana Memulai dan Kemana Kembali

TAPI, aku cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota.

Mungkin dengan sedikit getar, jauh dari dalam tanah ini,
bisa sekejap mengingatkan, dari mana dulu kau memulai.

Tapi, aku cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota.

Mungkin dengan gerak sebentar, jauh dari ulu bumi ini,
bisa sekedar mengabarkan, kemana nanti kau kembali.

[Ruang Renung # 143] Menulis diatas Tulisan

Malam yang hamil oleh benihku
Mencampakkan anak sembilan bulan
Ke lantai bumi. Anak haram tanpa ibu
membawa dosa pertama
di keningnya. Tangisnya akan memberitakan
kelaparan dan rinduku, sakit
dan matiku. Ciumlah tanah
Yang menerbitkan derita. Dia
adalah nyawamu.


[Lahir Sajak, Soebagio Sastrowardoyo, dari buku Daerah Perbatasan, Balai Pustaka, 1982, Cetakan Kedua]

Masih ingat peringatan penyair besar itu? Kau menulis tidak pada kertas kosong. Kau menulis di atas tulisan lain. Masih ingat? Saya tiba-tiba teringat ketika membaca sajak diatas. Saya mencari-cari tulisan apa yang menjadi dasar tulisan sajak Soebagio itu. Seperti saya temukan. Saya tidak yakin. Biar saja, bagi saya mencari-cari tadi jauh lebih asyik daripada menemukan. Saya tidak menghindari penemuan. Saya suka bila saya yakin telah menemukan sesuatu. Tapi kalau pun tidak menemukan, ya saya tidak punya utang apapun pada siapa pun. Tapi ada satu hal, yang saya yakin setelah membaca sajak diatas, yakni betapa benarnya Sutardji si pemeringat itu.

Tidak adakah lagi sisa ruang kosong pada kertas perpuisisan kita? Jika berharap pada kertas-kertas yang sudah ada mungkin akan sangat susah menemukan ruang kosong itu. Tapi jangan cemas. Kita bisa membuka lembaran buku baru. Penuhi lembar baru itu dengan puisi-puisi kita. Biarlah kelak orang lain memberi nomor pada halaman itu dan bila memang puisi kita membuat halaman itu terang bersinar, maka orang lain pula nanti yang mencantumkannya pada indeks dan daftar isi Kitab Besar Puisi. Ssst, juga mungkin ada orang lain yang diam-diam atau terang-terangan merujuk pada halaman kita itu. Biar saja. Nikmati saja.

Atau menulislah dengan tinta emas. Sehingga meskipun tulisan sajak kita berada di atas tiga atau empat lembar teks lain, orang akan tetap terampas perhatiannya pada sajak kita. Jangan hapus teks-teks yang menjadi tempat kita menulis itu. Barangkali kekuatan puisi kita juga bisa diukur dari seberapa banyak teks yang tersambung, terikut, terbawa pada dan oleh teks-teks sajak kita. [ ]

Friday, May 26, 2006

Melodi Anak Petani

: ANB

ANAK petani menonton melodrama langit. Dari punggung kerbau.
Dia mainkan melodi pada serunai, do hingga si, lagu mengimbau.

Karena itukah, burung lalu ikut bernyanyi? Ibu memanggil di dangau.
"Wahai, bocah gagah. Ayahmu selesai membajak. Nasi telah masak.
Mari, kumpul mensyukuri subur sawah. Sebelum kau jauh merantau."

ANAK petani menyatui melankoli bumi. Menyimak lagu di angin pagi.

"Bapak yang mengajarkan kata, ibu yang mengenalkan nada, demi
Yang Menumbuhkan Padi kita, bagaimana aku pergi dari semua ini?"

Pada Sajadah Sawah

MAKA cahaya pertama pun pecah, ia bentang sajadah sawah,
memulai sembahyang berjemaah: saf-saf padi. Tanpa khutbah.

Suara mata cangkul di tanah, adakah yang lebih fasih, melafaz
harap, waktu rukuk-rukuk merunduk, doa-doa, keringat basah?

Jejak-jejak disimpan harum lumpur, adakah yang lebih ikhlas
mewujud dalam zikir sujud, sejak benih disemai sampai bernas?

Kemilau hijau daun padi menggemerisikkan 33 juta frasa tasbih.
Juntai malai bulir padi menggumamkan 33 juta kalimah hamdalah.
Dan takbir adalah 33 juta langkah di pematang, genang air tanah.

MAKA cahaya terakhir pun sudah, ia lengkapkan 13 rukun ibadah.
Tahiyah. Istirah. Ia menuju rumah. Dia sebut salam di tiap langkah.

Thursday, May 25, 2006

Seperti Dikenalnya

: TS Pinang

/1/

JEJAKNYA dihapus gulma, padi sudah lama diketam.
Ia ikuti jalan ke hutan. Berburu ketidakmungkinan.

"Pak Petani. Boleh nanti kami pinjam sawahmu?"

Bocah nunggu kemarau. Layangan besar, digambari
bentuk-bentuk musykil, dan kata-kata berani.


/2/

DI hutan, ia perhatikan daun keladi dan aglonema,
juga kecipak ikan di kubangan hujan. Suara-suara
percakapan hewan-hewan. Dan garis-garis sinar
matahari pagi di sela-sela kanopi dedaunan.

Eh, ada layangan putus benang, seperti ia kenal
bentuk-bentuk musykil itu kini, seperti ia yang
membisikkan kata-kata berani itu, dulu sekali...

[Kamus Puisi # 010] RIMA

Rima, Inggris rhyme, kata benda.

Uraian:
1. sajak, persamaan atau kait-kaitan bunyi pada dua larik atau lebih - khususnya bunyi di akhir larik.
Contoh:
- pantun itu bersajak abab.
- soneta adalah sajak dengan pola rima abab cdcd efe ghg.


2. sajak, sebutan lain untuk puisi.

Wednesday, May 24, 2006

[Ruang Renung # 142] Jangan Hanya Terpesona pada Rima

SEKARANG, jangan hanya terpesona pada rima, pada bunyi di ujung atau di sepanjang larik-larik puisi. Dia memang membuat puisi indah, dan berbunyi membuai. Perhatikan juga makna. Keduanya mestinya bisa saling mendukung, bukan saling mengorbankan. Rima pada pantun - jenis sajak dari tradisi lisan itu - berguna untuk memudahkan penghafalan. Pada sajak kita? Kita mesti menaklukkannya untuk tujuan puisi kita.

Pembaca yang tak sabar akan mengutuk-ngutuk kita sebagai penyajak yang dikutuk rima. Ingat, rima hanya salah satu dari perangkat puisi. Dia tak bisa maksimal jika kita - si tukang puisi ini - hanya mengandalkan satu alat itu. []

Tuesday, May 23, 2006

[Kamus Puisi # 009] ANTOLOGI

Antologi [Inggris anthology], kata benda

Etimologi: Dari Bahasa Latin anthologia kumpulan epigram, dari Bahasa Yunani, bunga rampai, dari anthos bunga + logia kumpulan, dari legein mengumpulkan; Sansekerta andha tanaman.

Uraian: bunga rampai, atau kumpulan karya sastra terpilih.

Contoh: The Anthology, kumpulan 4.500 sajak pendek Yunani yang digubah sejak 490 SM hingga tahun 1000.

Dua Sajak TS Pinang

Petualangan Ikra di Negeri Gambar

: Ikra Aspahani

di negeri gambar
Ikra jadi Spiderman
menebar pukat
menjerat Dinosaurus

di negeri gambar
Ikra menjadi ranger
mengendara puisi
berbaju besi

di negeri gambar
Ikra menempelkan mimpi
sebagai poster di dinding kamar
atau kastil dari onggok pasir

di negeri gambar
Ikra mendongeng
untuk Shiela, ayah juga bunda
tentang gajah dan macan sumatera

di negeri gambar
Ikra belajar membaca,
bahasa luka dan bunyi tawa
dan gunung dan hutan yang berduka

di negeri susu
Ikra belajar bahasa ibu
dan negeri gambar ia tahu
hanya ada di halaman buku


Kau Tetap Mendaki Jua

: Hasan Aspahani

di karang mana di lembah mana
kautancapkan paku tebingmu
wahai penyair, sementara angin gunung
tak bersalah melarung sajak-sajakmu
ke kota-kota usang tanpa prasasti

lalu hinggap di ranting-ranting baja
hanyut di sesulur syaraf informatika
beberapa lesat ke ceruk bumi yang jauh
beberapa sesat ke lembar risalah

tapi apatah bedanya

di tebing itu peluhmu jatuh
lalu bergulir di alur karang
sebagian lerap di akar-akar ilalang
sebagian pupus di jejarum pinus

tapi apatah bedanya

di pendakian mana di gunung mana
kaujejakkan paku sepatumu, o penyair
sementara rumputan mencatat kesaksian
dalam gigil, ada yang terbang ke langit
ada yang jatuh ke palung jiwa

tapi apatah bedanya

di puncak sajak mungkin akan kausua
anak-anakmu menggali dengan jemari
”Tunggu sebentar, Bapa, kami sedang menanam
pohon. Buat kau berteduh. Setelah pendakianmu
yang jauh!”

tapi apatah bedanya
kau tetap mendaki jua


dari TITIK NOL

Friday, May 19, 2006

Sebelum Keduanya Ikhlas Kita Lepaskan

DAN kita pun kelak bisu,
karena tiba-tiba saja ada sayap
di bibirmu dan bibirku.

Lihat mereka terbang dan abadi
berkecupan di langit itu.


DAN kita pun kelak buta,
sebab mataku dan matamu menjadi awan

menebalkan langit dengan mendung.

Hujan keabadian.

Kita sepasang kekasih buta
Dan bisu.

Tanganku mencari tanganmu.

Sebelum keduanya
pun ikhlas kita lepaskan

Dari basah tubuh kehujanan.

Thursday, May 18, 2006

[Kamus Puisi # 008] Anafora

Anafora [Inggris Anaphora],

Kata Benda

Etimologi: Latin, dari bahasa Yunani, anapherein, membawa kembali: ana -, ana- + pherein, membawa.

Uraian: Sebuah kata atau frasa yang diulang di awal beberapa baris yang berurutan dalam sebuah sajak.

Contoh:

Sonet: X
Sapardi Djoko Damono

siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandangku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemput berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku

Wednesday, May 17, 2006

[Kamus Puisi # 007] Bentuk-bentuk Stanza

Stanza (lihat Kamus Puisi # 1) dinamai menurut jumlah baris dalam satu unit:

* Kuplet: sebuah stanza 2 baris;
* Terset: sebuah stanza 3 baris;
* Kwatrin: sebuah stanza 4 baris;
* Kuintet: sebuah stanza 5 baris;
* Sestet: sebuah stanza 6 baris;
* Septet: sebuah stanza 7 baris;
* Oktav: sebuah stanza 8 baris.

Contoh:

* Gurindam 12 Raja Ali Haji adalah syair memakai bentuk kuplet.

* Beberapa sajak Goenawan Muhamad beberntuk kuatrin bahkan ada beberapa yang lugas diberi judul Kuatrin. Seperti Kwatrin Musim Gugur dan Kwatrin tentang Sebuah Poci.

Kwatrin tentang Sebuah Poci

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi.


1973

[dari Sajak-sajak Lengkap 1961-2001, Metafor Publishing, 2001]

[Kamus Puisi # 006] Aliterasi

ALITERASI, Kata Benda

Etimologi:
- Inggris: alliteration
- ad- + Latin littera huruf

Uraian: pengulangan dua atau lebih bunyi konsonan yang sama pada kata-kata atau suku kata yang berdekatan dalam sebuah baris sajak. Aliterasi menciptakan keindahan bunyi dalam sajak.

Contoh:
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda

[baris ketiga dan keempat, bait pertama Sajak Putih, Chairil Anwar]

Bankata

DIA kini bekerja di Bankata, sebagai penyelia, tugasnya
membiakkan kata-kata: agar wangi dan semerbak berbunga.

Berbekal kata seadanya, maklum cuma Pengemis Bahasa,
aku datang, "Aku mau buka rekening. Apakah syaratnya?"

"Silakan mendaftar di loket depan. Yang tidak ada
petugasnya. Isi formulir dengan jujur dan apa adanya."

Ah kayak main-main saja, ketika kubaca satu-satunya
tanya, "Bersediakah Saudara menggadaikan nyawa?"

Aku jawab: Entahlah! Lalu kubuang ke tong tempat sampah.

Seorang Pemulung Kata memungutnya. "Sok hebat, memangnya
Engkau punya berapa nyawa?" kataku dalam hati saja.

Tak berselang lama, aku iseng lewat lagi di depan Bankata,
siapa tahu ada yang bisa kupungut untuk makan sehari saja.

Aku lihat ada pengumuman: nama-nama pemenang undian.

Si Pemulung terpampang sebagai peraih hadiah utama:
Jalan-jalan ke Taman Kesunyian, bertemu Sang Mahakata,
dan dapat Asuransi Nyawa. "Huh, pasti ini cuma dusta!"

Tuesday, May 16, 2006

Saatnya Menggagas Akademi Penyair Indonesia

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Puisi Sedunia sejak tahun 1999. Tujuannya adalah untuk menggalakkan pembacaan, penulisan dan penerbitan serta pengajaran puisi di seluruh dunia. Di manakah tempat para penyair sekarang di negeri bernama Indonesia ini?

Ketika berhadapan dengan kekuasaan, puisi dan enyair Indonesia, sepertinya masih disiksa trauma. Trauma itu tak pernah ingin disembuhkan. Sakit akibat trauma itulah yang ingin dihilangkan dengan cara menolak setiap kesempatan untuk bertemu dengan kekuasaan. Trauma itu terus saja diwariskan. Para penyair yang datang belakangan menerima saja tanpa mempertanyakannya, apalagi berupaya menyembuhkan.
Seakan ada rumus bahwa sakit itu harus ditempuhi sebagai bagian dari jalan puisi, jalan menuju penyair. Maka, puisi dan penyair Indonesia kini jalan sendiri, menjauh dan tampaknya asyik-asyik saja dengan pilihan itu.
Ada sejumlah akibat dari pilihan itu. Salah satunya, puisi dan penyair semakin terasa asing. Ia bukannya tak ingin menyuarakan apa yang tak memiliki suara - selirih atau selantang apapun, dengan berbisik atau
berteriak - tapi suara yang ia rekam dan kemudian ia bunyikan tak dimengerti, bahkan seringkali tak dihiraukan. Tugas puisi dan penyair sepertinya dicap selesai ketika dia sudah bersuara. Tapi ada yang sia-sia di situ.
Keasingan itu tak pernah ingin dibentuk dalam sebuah kesadaran. Puisi dan penyair berada di tengah masyarakat, tapi sebenarnya dia tak terasa keberadaannya. Ini memang keluhan lama, tapi ya itulah, setelah sekian lama dikeluhkan pun tak juga bisa dicarikan jalan keluar. Olok-olok itu pun jadi seperti semakin benar saja: puisi itu kan jalan kesunyian, tidak semua orang harus suka puisi, apalagi menulis puisi.
Memang ada keramaian yang tampak. Nama-nama penyair baru muncul. Koran-koran pada hari Minggu memberi empat untuk puisi. Buku-buku puisi diterbitkan. Milis bertumbuhan. Tapi tetap saja, keramaian yang tampak
itu selalu saja membuat puisi dan penyair berjarak jauh jauh dengan kekuasaan.
Presiden datang, presiden pergi. Tak ada yang dengan serius menoleh pada puisi. calon presiden saat kampanye lebih memilih lagu rock populer ketimbang puisi. Tapi biarlah. Itu tidak pernah perlu dirisaukan.

Puisi dan penyair Indonesia saya kita memerlukan lembaga semacam Academy of American Poet. Inilah organisasi nirlaba dengan misi mendukung penyair-penyair Amerika pada semua tingkatan karir kepenyairannya dan
membantu mendorong apresiasi puisi mutakhir.
Akademi ini dibentuk tahun 1934 di New York City dan resmi dibentuk sebagai organasisasi nonprofit pada tahun 1936. Marie Bullock, ketika masih berusia 23, mendirikan lembaga ini dan kemudian ikhlas menjadi
ketuanya selama 50 tahun kemudian. Selama lima puluh tahun pertama itu Bullock menjalankan roda organisasi Akademi dari apartemennya, dengan pusat perhatian pada program utama memberi penghargaan-penghargaan kepada
para penyair.
Awalnya adalah Ketika Bullock kembali ke Amerika setelah selesai belajar di Sorbonne, Paris, dia cemas melihat betapa puisi tidak dipedulikan di Amerika.
Lihat, betapa persisnya kondisi itu dengan Indonesia
saat ini.

Tapi di Indonesia hingga saat ini tak ada yang secemas Marie Bullock. Dia memahami keterbataskan dukungan keuangan bagi penyair-penyair Amerika dan tahu sendirilah bahwa kehidupan menyair di Amerika saat itu juga tidak menjanjikan kehidupan yang makmur - persis seperti di Indonesia saat ini.
Maka dia pun memutuskan untuk ambil aksi. Dengan bantuan sejumlah kawan penyairnya, Bullock pun mulai mengumpulkan dana menghidupkan puisi dan membantu kehidupan para penyairnya.
Kini untuk memenuhi janjinya "mendukung penyair-penyair Amerika pada semua tingkatan karir kepenyairannya", Akademi ini menyelenggarakan
tujuh penghargaan sepanjang tahun, dari penghargaan untuk "buku puisi pertama" hingga "penghargaan pengabdian hidup kepada puisi". Juga hampir 200 kali hadir setahun untuk mengenalkan puisi kepada Pelajar di sekolah di seluruh Amerika.
Akademi inilah yang tiap tahun memberikan The Wallace Stevens Award. Hadiah ini diberikan sejak tahun 1994 kepada penyair yang dinilai sudah
mencapai tingkat estetika tinggi. Hadiahnya US$100.000. Atau senilai Rp900 juta (pada kurs Rp9.000 per dollar Amerika). Wah!
Ada juga The James Laughlin Award yang diberikan untuk buku penyair yang menerbitkan buku keduanya. Bagi penyair yang belum pernah menerbitkan buku puisi ada The Walt Whitman Award. Hadiahnya uang kontan 5.000 dolar Amerika, dan menjadi tamu sebulan penuh di Vermont Studio Center. Syaratnya, yaitu tadi, belum pernah menerbitkan buku puisi, naskah buku
puisi pemenang diterbitkan dan didistribusi ke anggota Akademi.
Penerjemahan puisi pun diberi perhatian penting. Adalah Harold Morton Landon Translation Award. Hadiah senilai 1.000 dolar Amerika ini diberikan kepada penerbitan puisi terjemahan dari bahasa apapun ke bahasa Inggris. Digelar dua tahunan sejak 1976. Lalu pada tahun 1984 digelar saban tahun.
Dan untuk bagian lain dari misinya - "dan membantu mendorong apresiasi puisi mutakhir" lembaga ini menyelenggarakan sejumlah program seperti mengelola situs Poets.org, sejak tahun 1997 dan sekarang dikunjungi 400.000 pengunjung tiap bulan; juga menetapkan April sebagai Bulan Puisi Nasional, sejak 1996 dan kini inilah perayaan yang ditahbiskan sebagai
perayaan puisi terbesar di dunia.
Lembaga ini juga mengarsipkan pembacaan puisi yang kini jumlahnya 500 rekaman sejak tahun 1960, serta tentu saja majalah puisi yang terbit
dua tahun sekali: American Poets.
Sekali lagi, Indonesia memerlukan lembaga semacam Academy of American Poet! Akademi ini saya kira berhasil membuat puisi dan penyair terasa hadir dan tidak menjauh dari kekuasaan. Puisi dirayakan, dihadirkan di tengah masyarakat.
April bulan depan kehadiran puisi itu saya bayangkan akan sangat terasa. Itulah bulan puisi lebih kerap ditarik dari rak buku di perpustakaan. Ketika orang-orang diimbau meresitalkan puisi untuk keluarga.
Ketika puisi di bawa ke rumah ibadah, mendampingin doa-doa yang dibacakan. Ketika puisi yang dulu pernah kita baca kini diminta untuk dikenang lagi. Ketika sejumlah pembacaan puisi di seluruh negeri dijadwalkan dan orang-orang digalang untuk hadir di acara itu.
Saya yang tak pernah ke Amerika pasti hanya seorang yang sok tahu tentang puisi dan penyair di Amerika. Pasti banyak penyair dan bukan penyair yang lebih tahu tentang itu. Tapi kenapa tidak meniru hal yang sama? Saya kira itulah akibat dari trauma itu.
Saya pernah diskusikan ini seorang penyair kawakan. Dia pernah ke Amerika sana. Ia pun meragukan gagasan untuk mengadakan semacam pemilihan Poet Laureate. "Buat apa kalau pemilihan-pemilihan itu malah membuat
penyair jadi disubordinasi oleh pemerintah," katanya.
Di Amerika setiap tahun dipilih seorang penyair
untuk secara resmi melayani dan menjadi penasihat Library of Congress. Tugasnya bagaimana mencari cara meningkatkan kepedulian dan apresiasi penulisan dan
pembacaan puisi. Tahun lalu penyair Ted Kooser yang ditunjuk dan sama seperti Poet Laureate sebelumnya ia berhak atas bantuan hadiah 35 ribu dolar Amerika. Tanpa ketakukan si penyair akan jadi membungkuk-bungkuk di depan kekuasaan.
Trauma puisi dan penyair di hadapan kekuasaan itu harus disembuhkan. Hubungan puisi dengan banyak hal diluar dirinya harus dibenahi. Dengan demikian maka puisi dan penyair sekaligus membenahi lingkungannya dan dirinya sendiri. Saya tahu sudah banyak yang dilakukan. Masih banyak yang merisaukan kacaunya pelajaran sastra di sekolah-sekolah kita. Saya
adalah korban dari kekacauan pelajaran itu. Saya adalah korban yang berusaha menyelematkan diri sendiri. Saya kira lembaga dan program-program
semacam yang ada di Amerika tadi tadi bisa jadi salah satu jalan.

* Hasan Aspahani, pencinta puisi.

[Kamus Puisi # 005] Sajak Serpentina

Sajak Serpentina [Serpentine]

Jenis Kata: Kata Benda
Uraian: 1] Sajak dengan baris-baris yang kata terakhirnya sama dengan kata awalnya. 2] Sebuah baris yang kata awal dan akhirnya sama dalam sebuah sajak dengan baris lain yang tidak seperti itu.

[Ruang Renung # 141] Adalah Adalah Adalah

"ADALAH" itu kata penghubung. Ia menghubungkan pokok kalimat dengan penjelasannya. Dia kata yang biasa saja. Sama seperti kata yang lain. Kerja menyairlah yang harus membuatnya jadi istimewa. Kerja menyairlah yang harus menaklukkannya.

MENAKLUKKAN? Memangnya benteng? Memangnya dia musuh puisi? Dalam puisi tak ada benteng, dan tak ada musuh yang harus ditaklukkan. Berpuisi bukan sebuah perang dengan sejumlah strategi agar berujung pada kalah atau meanng. Menaklukkan itu kerja menyair untuk membuat kata-kata mendukung niat si penyair. Dan tidak hanya kata "adalah" yang harus ditaklukkan. Semua kata harus ditaklukkan.

MENAKLUKKAN bisa berarti mengakrabi kata-kata. Menyahabatinya. Membuat kata dan kita takluk dalam persahabatan. Sahabat terbaik tentu dengan ikhlas mendukung niat puisi si penyair.

MENAKLUKKAN bisa berarti membebaskannya dari beban pengertian. Seperti yang diniatkan oleh seorang penyair mahsyur. Karena dengan membebaskan kata maka 'kreativitas dimungkinkan'. Dengan kata lain, penaklukan itu, kebebasan itu, akhirnya juga mendukung niat sajak si penyair.

MENAKLUKKAN bisa berarti memakainya dengan takaran yang berlebihan menurut ukuran bahasa biasa, tapi itu justru cukup dan pas untuk puisi kita. Kita yang harus menyusun alasan agar yang cukup dan pas itu memang cukup dan pas.

MENAKLUKKAN bisa berarti sama sekali menghindari kata itu dalam puisi kita, walaupun menurut ukuran bahasa biasa, dia harus hadir di sana.

"Aku adalah air," teriakmu, "adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah....."


ITU baris terakhir sajak Sapardi Djoko Damono "Akuarium" (Mata Pisau, Balai Pustaka, Cetakan ke-6, 2000). Menurut tata bahasa yang lazim tentu saja pemakaian kata adalah di situ berlebihan. Kita cukup mengatakan, "Aku adalah air, ganggang, lumut, gelembung udara, kaca...."

Lalu kenapa banyak sekali kata adalah hadir di situ? Mari kita baca seutuhnya bagian awal sajak itu, sebelum sederetan 'adalah' tadi.

kau yang mengatakan: matanya ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya
      ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya
      dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya
      ikan!


DARI sajak ini saya menangkap pesan agar kita melihat segala sesuatu dengan cara adil dan berimbang, di tengah kecenderungan kita yang gampang terpengaruh pada sosok yang paling menonjol pada sebuah obyek yang rumit. Kita sering hanya terpikat pada ikan dalam sebuah akuarium. Padahal sebuah akuarium bukanlah akuarium kalau ia tidak terdiri dari bagian penting lainnya, yaitu air, kaca, gelembung udara, lumut, ganggang dan lain-lain.[ ]

Sahabat Lama: Etimologi

LAMA menghilang dari peredaran, lama undur dari pergaulan,
ia tiba-tiba muncul di kafekata dengan jambul model baru,
kumis dicukur habis, cambang tipis, janggut dibabat klimis.

"Hai, kemana saja kau, Sahabat Lama?!" ujar si Ujar.
"Wah, sudah ketemu salon langganan baru, ya? kata si Kata.
"Makin awet muda saja. Dapat daun muda, ya? tanya si Tanya.

"Ah, kalian ada-ada saja. Jangan suka curiga," katanya, "Saya
cuma rajin olahraga jalan kaki. Napak tilas diri sendiri: Etimologi."

Mereka pun bersulang & serempak berteriak, "Eh, ketemu lagi!"

Monday, May 15, 2006

[Kamus Puisi # 004] AMFIGORI

Amfigori

Jenis kata: Kata Benda

Uraian: sebuah tulisan - biasanya ditujukan untuk sajak - yang tak berarti atau nonsensikal.

Asal kata: Dari Bahasa Prancis, pada awal abad ke-19.

[Kamus Puisi # 003] AKROSTIK

Akrostik

Jenis kata: Kata Benda

Uraian: Sebuah sajak, yang huruf awal baris-barisnya menyusun sebuah atau beberapa kata.

Asal kata: Prancis acrostiche dan Yunani akrostichis

[Kamus Puisi # 002] ENJAMBEMENT

Enjambement

[Juga dieja dengan "enjambment"]

Jenis kata: Kata Benda

Uraian: Pemutusan atau pemenggalan satu kelompok kata (frasa, klausa, atau kalimat) di akhir baris atau di antara dua baris sajak, kedua baris yang berbeda itu tetap mempunyai hubungan dan dengan itu penyair menciptakan emosi, irama, dan membangkitkan makna lain dalam sajaknya.

Asal kata: Prancis.

Sunday, May 14, 2006

[Kamus Puisi # 001] STANZA

Stanza

Padanan: bait

Jenis Kata: kata benda

Uraian: pembagian atau bagian dari sajak: sejumlah baris yang membentuk sebuah unit di dalam sebuah sajak. Dalam sajak berbentuk tetap, masing-masing stanza memiliki pola dengan jumlah baris, ritme dan rima yang sama atau tetap.

Asal kata: Dari bahasa Italia, yang berasal dari Bahasa Latin stantia tetap.

Friday, May 12, 2006

SEJARAH MATA, SEJARAH SAJAK

ENGKAU yang berpisah, kudengar tak lagi hafal pada arah.
     Tapi matanya kaulihat memerah: bukan, itu bukan darah.....

"Semalaman kami bertahan. Agar tak bertangisan."
     Lalu engkau berusaha mengabadikan: Menyajakkan.


[Sajak ini terinspirasi seketika dari empat sajak Aan M Mansyur di milis cotomakassar. Empat sajak itu: Sejarah Mata, Sejarah Waktu; Sejarah Mata, Sejarah Jarak; Sejarah Mata, Sejarah Kata; Sejarah Mata, Sejarah Arah]

Kisah: Apakah yang Kita Harapkan dari Hujan?

Oleh Hasan Aspahani

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

SAYA melihatnya dari jauh saja. Saya sama sekali tak berani mendekatinya. Baju saya basah. Di luar hujan lebat dengan suaranya gemuruh. Saya tak bisa menghindari tempias. Saya memperhatikan mata tua di balik kacamatanya. Siapa tahu dia melihat ke mataku. Siapa tahu dari tatapan matanya ke mataku, saya mendapat keberanian untuk mendekatinya. Hari mulai senja. Masih hujan juga. Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung. Hujan yang tadi bersama saya sempat berdiri di samping tiang listrik.
Tapi, dia terlalu sibuk melayani orang-orang yang meminta tanda tangannya. Orang-orang menyodorkan buku puisinya untuk ditandatangani olehnya. Dia penyair besar. Peminat karya-karyanya datang dari banyak kalangan. Dia juga seorang profesor sastra. Saya sebenarnya ingin sekali menyapanya, berbicara padanya, dan meminta sesuatu padanya.

Tetapi, ya, sampai orang-orang tak lagi mengerubunginya, dan dia keluar menembus hujan, masuk di mobilnya, saya masih tidak punya keberanian untuk melakukan apa yang tadi sebenarnya ingin sekali saya lakukan. Saya tidak berani menyapanya. Saya tidak berani bicara padanya. Apalagi meminta sesuatu padanya, sebuah permintaan yang sudah lama saya persiapkan. Di dalam mobil yang segera berlalu saya melihat ia seperti di dalam akuarium. Kaca mobilnya basah. Saya seperti mendengar ia menggumamkan. “Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah….”

Ruang seminar itu pun sepi. Tinggal beberapa orang panitia membereskan kursi, melepas spanduk yang tadi melatari meja pemakalah. Di meja itulah tadi dia duduk menyampaikan makalah. Saya bukan peserta seminar. Saya hanya menunggu di luar ruangan. Menyiasati hujan. Ini bukan seminar gratisan. Saya tak sanggup bayar. Ketika seminar selesai saya baru masuk ke ruangan dan ah saya tak berani juga mendekatinya. Seperti ada yang menyuruh saya berhenti. Sampai dia pergi. Saya seperti kena teluh oleh bait-bait sajaknya. Ketika berhenti di sini ia mengerti, ada yang telah musnah. Beberapa patah kata yang segera dijemput angin begitu diucapkan dan tak sampai ke siapa pun.

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Saya pulang. Hari masih hujan. Hujan turun sepanjang jalan. Hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan kembali berama sunyi. Kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali.

Di kedai saya beli koran dan pisau. Saya tak tahu kenapa saya beli koran dan pisau. Koran sore. Ada berita apa hari ini, koran sore? Saya meskipun jarang juga, biasanya beli koran pagi. Maka, koran sore itu pun saya pakai saja untuk membungkus pisau. Saya masih menyesali kenapa tadi tak juga saya berani menyapanya dan menyampaikan permintaan yang sudah lama saya ingin ajukan padanya. Saya terus berjalan-setengah-bermimpi menembus udara yang semakin tebal asapnya. Sampai di rumah,saya merasa kantuk memberat di kepala. Mengantungi mata. Suara tik tok jam menyaingi gemuruh hujan. Saya ingin sekali bisa menginderai kembali sampai akhirnya: terpisah dari hujan. Tapi, ah, sepertinya hujan akan lama dan saya semakin menyesali kenapa tadi seteleh seminarmu saya tak juga berani mendekatinya dan mengajukan permintaan yang sudah lama saya simpan.

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Saya seperti tinggal bertiga kini bersama pisau dan koran. Saya tidak tahu kenapa tadi membeli koran. Saya tidak tahu kenapa tadi saya tiba-tiba juga ingin membeli sebilah pisau. Mata pisau itu seperti tak berkejap menatapku. Ia berkilat seperti membayangkan urat leher saya. Saya membuka map yang tadi saya persiapkan untuk disodorkan padanya. Map berisi puisi-puisi saya. Saya tadinya ingin meminta dia untuk membaca dan membuat kata pengantar untuk puisi-puisi saya itu. Dengan kata pengantarnya mungkin akan ada penerbit yang mau menerbitkan puisi-puisi saya. Tapi, saya ternyata tidak juga punya keberanian. Saya semakin merasa kantuk saya makin hebat. Saya ingin tidur, tetapi puisi-puisi saya mengajak saya berbincang. Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdialog pada suku kata yang gosok-menggosok dan membara. “Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita dengan kain putih panjang lalu mengunci kita di kamar ini!”

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Saya akhirnya tertidur juga. Darahku berkesiap. Darahku bersikeras bermimpi tentang denyut-denyut air yang membual dari rahim bumi. Darahku terkesiap oleh mimpi tentang darah yang menggenang di jalanan dicairkan dan didinginkan oleh hujan. Itu darahku. Sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang seorang lelaki penggemar berat seorang penyair yang terlanggar mobil yang membawa si penyair besar waktu menyeberangi hujan dan menembus jalan. Pesuruh kantor itu kemudian bercerita kepada penjaga kedai tentang seorang lelaki penggemar penyair besar yang terlanggar mobil yang membawa si penyair besar waktu menyeberangi hujan dan menembus jalan membentur aspal lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan. Penjaga kedai itu bercerita kepadaku tentang seorang penggemar penyair besar yang dilanggar mobil yang membawa si penyair besar waktu menyeberangi hujan dan menembus jalan, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit. Dan aku ingin sekali bercerita padamu tentang peristwa itu.

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Pagi hari saya terbangun. Darahku tak lagi berkesiap meskipun masih hangat jejak mimpi semalam dalam kepalaku. Saya seperti mencium bau yang mengingatkanku akan sesuatu yang kini sudah bukan milikku lagi saat saya membuka jendela. Koran sore di meja masih terhampar di koran bersama pisau. Saya menduga ada berita kecelakaan mobil di koran sore itu. Tapi, ah berita itu tentu sudah sangat basi kalau saya baca pagi ini. Cahaya matahari meloncat ke dalam dan tampak olehku seperti ada yang satu demi satu bangkit dari lantai. Menjelma semacam gas. Namun masih kaudengar engahnya mendaki berkas-berkas sinar matahari. Saya merasa tidak memerlukan kata pengantarnya lagi untuk sajak-sajak saya yang entah kapan akan saya bukukan. Saya berharap sore nanti akan hujan lagi, tapi…..

Apakah yang kita harapkan dari hujan?


Tiban Indah Permai 8 Mei 2006.

* Sebagian besar kalimat dalam kisah ini datang dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Lacaklah!

Thursday, May 11, 2006

Wejangan Tuan Pablo Picasso

+ SENI membasuh debu-debu hidup seharian dari jiwa kita.

+ SETIAP anak adalah seniman. Masalahnya adalah bagaimana mempertahankannya tetap sebagai seniman ketika dia tumbuh dewasa.

+ MELUKIS adalah cara lain menulis buku harian.

+ SENI adalah penghapusan apa-apa yang tidak penting.

+ SAYA mulai dengan sebuah ide, dan ide itu menjadi sesuatu yang lain.

+ ADA pelukis yang memindahbentukkan matahari menjadi sebuah spot kuning, tapi ada pelukis lain yang, terimakasih untuk hasil kerja seni dan intelegensinya, memindahbentukkan spot kuning menjadi matahari.

Selamat Ultah, Penyair

: Jokpin

UMUR, sebaiknya dihitung mundur,
biar enak ngatur jadwal bercukur.

Di antara padatnya kalender ngelindur,
sebelum bisa menyempurnakan tidur.

Mulai hitungan dari angka berapa?
Tak usahlah kita sok tahu, ya, Saudara.

Wednesday, May 10, 2006

[Ruang Renung # 140] Menunda Kesimpulan, Menaklukkan "Adalah"

SAYA kira menggubah puisi adalah menyusun beberapa pendapat, perasaan, usulan, gagasan, dan keinginan, seraya mengelak dari kesimpulan-kesimpulan. Setidaknya kita menunda kesimpulan itu. Biarlah pembaca puisi kita yang menafsirkannya dan bebaskan mereka membuat kesimpulannya sendiri. Semakin banyak kesimpulan yang bisa ditarik dari sehemat mungkin yang kita gubah dalam puisi kita, maka puisi kita semakin asyik untuk dinikmati.

DENGAN kata lain, menggubah puisi, saya kira, adalah sebuah upaya untuk menaklukkan "adalah". Karena "adalah" itu biasanya menghuni kalimat yang suka membuat kesimpulan. Ayo, kita baca sajak Joko Pinurbo "Bulu Matamu: Padang Ilalang" dalam buku "Di bawah Kibaran Sarung" (Indonesiatera, 2001).

Bulu matamu: padang ilalang.
Di tengahnya: sebuah sendang.

Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir
datang bertapa untuk membuktikan apakah benar
wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang.

Ia tak percaya, maka ia menyelam.
Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus mahadalam.
Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam.

Bulu matamu: padang ilalang.

(1989)


PERTANYAANNYA, berapa banyak "adalah" yang bisa dipakai dalam sajak itu? Akan adi sajak macam apakah sajak itu jika "adalah" ada di sana? Dan yang paling penting: berapa banyak kesimpulan yang bisa kita buat dari sajak tadi?[]

Tuesday, May 9, 2006

[Kutipan] Menyentuh dengan Jari Kaki



KEBANYAKAN orang membaca [puisi] untuk mendengarkan gema-gema karena gema-gema itu akrab dengan mereka. Mereka melintas seperti seorang bocah menyeberangi air, merasakan dasar sungai dengan jari-jari kaki. Gema-gema itu adalah dasar sungai.

* Wallace Stevens
PUISI seperti burung, dia tak peduli dengan segala pembatasan.

* Yevgeny Yevtushenko.

DALAM musik ada puisi, puisi itu bernama melodi.

* Joshua Logan

PUISI yang hebat selalu ditulis oleh seseorang yang berkeras melampaui apa yang mampu ia perbuat.

* Stephen Spender

Aubade untuk Rosemary

Sajak R.F Brissenden

SEPANJANG malam panjang, kau-aku telanjang
Dalam lelap dan cinta berdua telentang,
dan ketika kita mendekat dalam gelinjang
tubuh kita membuat gelap itu terpanggang
Lebih terang dari siang: kita saling berpegang
menyentuh tubuh dengan mata dibutakan remang.

Waktu berhenti: tapi malam mesti beringsut pergi
kita bangkit ke cahaya siang yang menaungi
bagai dua kawan asing lekas berbaju dan pergi
seakan ada cinta kita yang tak kita sadari.
Tapi kita masih saling berpeluk lewat pandang
dan saling bersentuh dengan wajah telanjang.

Monday, May 8, 2006

Makam Pram
























Foto ditampilkan oleh Ratih Kumala di Milis Apresiasi Sastra

Kubaca namamu, tak pada sampul buku,
     inikah halaman penghabisan? Aku bahkan
     belum juga menuliskan, sehuruf pun
     di halaman pertama kitab perjalanan.
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal S


sahda: siapa membawa ruap manis serbuk bunga? Siapa mengirim
       elok putih serbuk malam? Sampai padaku, sayap yang hendak
       menebak jarak. Ada jemputan kenduri. Mempelai telah dihiasi.
       Duhai, sawah telah selesai menumbuhkan padi. Pesta petani.

sambang: tapi kosong sudah, sarang lebah, aku pengembara lelah,
       pulang ke arah salah; Tak lagi tahu lagu pada getar sayap,
       dengung tinggal senyap. Duhai, demi bunga mekar, dan
       serbuk nektar, kenapa tersebut lapar? Kenapa ladang terbakar?

sampat: tak ada lagi pengantin mandi, telah berabad lebih tiga hari,
       mempelai bersanding sendiri. Upacara api. Jemputan sunyi.
       "Kemarau akan lama. Sempatkah barang sehari kita renungi?"
       Aku lebah, pengembara lelah, mengingat lagi gerak isyarat,
       dan garis timur-barat, menebak bayang-bayang sarang.

sapau: ini bukan musim tanam, di hutan dangau menepi, tak berisi.
       Aku pengembara lelah, tak punya pilihan singgah, atau kilah.
       Duhai, demi wangi madu, demi benih-benih di tubuh jantanku,
       ingatkan aku untuk pulang, kuatkan agar tercapai sarang.

[Ruang Renung # 139] Ruh dan Jasad

KAPANKAH ruh ditiupkan ke janin? Konon ketika sang janin berusia 40 hari.

Kapankah ruh puisi harus kita tiupkan ke dalam jasad puisi kita? Harusnya sebelum kita menganggap ia sudah kita lahirkan. Aturannya tunggal: jangan rayakan kelahiran puisi yang tidak bernyawa. Sia-sia saja jerih payah selama mengandungnya.

Kehamilan setiap puisi adalah sebuah keunikan. Bisa saja kita melihat ada ruh puisi gentayangan lalu kita perangkap ia lalu kita wujudkan sebuah jasad puisi yang pas untuk dihuni oleh ruh tersebut. Atau kita mulai saja dengan mengutak-atik sebuah jasad, menempa kasar, dan kemudian sambil memperhalus bentuknya kita bayangkan ruh apa yang hendak kita tiupkan bagi sang jasad.

Puisi tanpa ruh, adalah jasad tak bernyawa. Hanya akan membusuk oleh bakteri pengurai. Atau kalau pun bisa dipertahankan, dia hanya sebuah awetan. Hanya perasaan yang kita awetkan, peristiwa yang kita abadikan, momentum yang kita bekukan. Sia-siakah? Tidak. Tapi tentu lebih nilainya kalau kita bisa menghidupkannya. Memberinya ruh. Membuatnya bermakna.

Ada yang menulis puisi begini: Aku berjalan-jalan ke puncak gunung. Oh, indahnya dunia dipandang dari ketinggian. Udara dingin sekali. Aku menggigil. Ah, seandainya aku ada bersamamu. Akan kupeluk engkau karena kau pasti kedinginan sekali.

Puisikah itu? Ya, kalau si penulis meniatkannya begitu. Tapi, adakah ruh pada puisi itu? Ya, mungkin saja puisi yang diniatkan itu sangat bermakna dan memiliki ruh bagi si "kamu" yang hendak dipeluk oleh si "aku". Bagi orang lain belum tentu. Bisa saja niatan sajak tadi dianggap sampah, atau jasad gentayangan.

Menulis puisi umumnya dan sesungguhnya bukan hanya ditujukan kepada satu pembaca. Kalau pun memang ia ditulis khusus kepada seseorang, maka jika puisi itu memang hidup dengan ruh yang kuat, pasti kelak dia juga akan sampai pada orang lain, orang lain, dan orang lain-lainnya, dengan ruh dan makna yang beraneka ada. Ia juga akan menemui kita penyair yang menuliskannya.

Tidak setiap fetus puisi di rahim ide kita harus lahir jadi puisi. Kitalah orang yang paling tahu kapan harus menggugurkannya. Pengguguran sebaiknya sebelum jasad telanjur dihuni ruh. Pengguguran pada saat itu 'aman secara medis dan legal'. Atau kalau pun sudah telanjur hadir ruhnya, tapi kita tahu jasad dan ruh yang ada itu tidak akan jadi sosok tunggal yang baik, maka bunuh jasadnya dan pelihara terus ruhnya, sampai kita bisa mengandung lagi janin baru yang cocok untuk ruh itu.

Tapi nanti kan ada hak pembaca juga untuk memberi ruh lain kepada puisi kita? Silakan dan jangan dibatasi. Tapi jangan terlalu berharap pada pembaca. Selain berhak memberi ruh pada puisi, pembaca juga berhak mencabut nyawa puisi kita. Ini yang seharusnya lebih mencemaskan kita, menjadi tanggung-jawab kita. Kecuali kalau kita memang seorang kreator yang zalim atas puisi-puisi yang kita ciptakan.[]

Sunday, May 7, 2006

PENOLAKAN PERTAMA

Hasan Yth,

Terima kasih atas kiriman naskah Menapak ke Puncak Sajak-nya, Kami sudah me-review naskah tersebut. Dengan berat hati kami sampaikan bahwa Penerbit Escaeva belum bisa menerbitkan naskah tersebut. Kami tetap terbuka untuk kiriman naskah yang lain.

Best regards,

Penerbit Escaeva
www.escaeva.com

Saturday, May 6, 2006

BELAJAR MENGETIK SEPULUH JARI, 2



langit cerah langit cerah langit MATAHARI cerah langit cerah langit
pagi cerah pagi cerah pagi cerah pagi cerah pagi cerah pagi cerah pagi
udara bersih BURUNG KECIL udara bersih BURUNG KECIL udara bersih udara
udara bersihudara bersih BURUNG KECIL udara bersih BURUNG KECIL udara
IBU berjalan di belakang AKU di belakang KERBAU di belakang AYAH
pematang sawah pematang sawah pematang sawah pematang

Friday, May 5, 2006

Tergantung pada
Tuding Jarum &
Ujung Jantung


12
.
.
.
.
.
.
9 . . . . . . 0 . . . . . . 3
.
.
.
.
.
.
6

Thursday, May 4, 2006

Aku Minum Perih Kopi

: Mas Gie

PAGI & aku masih enggan bersapaan.

Meski hanya sekedar ucap salah:
     Selamat pagi, hati yang kalah.

Atau semacam tabik tak terarah:
     Selamat pagi, mata yang lelah.

Darah siapa setetes di meja?
     Sepuntung rokok mendampingnya.

Sia-sia.

Kah?

Cybersastra Award

"Karya dan Kreator Pilihan Terbaik Mei 2000 - Pebruari 2006"

Salam Tetap Semangat!

     Pada kesempatan ini, pertama-tama saya secara pribadi selaku yang diberi "ibadah" sebagai Ketua Harian Pengurus YMS menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan Pengurus Yayasan Multimedia Sastra beserta rekan-rekan Pendiri YMS, kepada rekan-rekan Redaksi Cybersastra.Net, kepada Moderator Milis Penyair@, atas segala komitmen dan dedikasi selama ini.

     Juga atas nama keluarga besar Yayasan Multimedia Sastra, kami menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan khusus kepada seluruh rekan-rekan penulis, pengamat dan penikmat sastra yang selama ini selalu aktif di Milis Penyair@, Portal Cybersastra.Net serta di setiap kegiatan-kegiatan kami selama ini.

"     Pekerjaan" ini menjadikan kami lebih mengenal rekan-rekan penulis,pengamat dan penikmat sastra yang menghadapi tantangan nyata dari integritas dan idealisme terhadap keadaan ber-kesusastra-an selama ini. Dan kami, tetap berkomitmen sepenuhnya untuk dapat selalu hadir disetiap kemungkinan guna menyediakan faktor-faktor ("inspirasi") potensial sebagai suatu kemitraan secara positif yang membuat kami dengan rekan-rekan penulis,pengamat dan penikmat sastra terus tumbuh.

     Kali ini, menginjak tahun ke-Enam Yayasan Multimedia Sastra, menginjak tahun ke-Tujuh Milis Penyair@ ( sebelumnya adalah Milis Puisi@), dan menginjak tahun ke-Delapan Portal Cybersastra.Net (sebelumnya adalah Cybersastra.Com) yang juga merupakan tahun ke-Delapan kemitraan kita dengan rekan-rekan, kami telah menetapkan apa yang kami sebut dengan " Tidak ada kuda yang akan sampai ke suatu tempat kalau tidak digunakan, tidak ada air terjun yang pernah diubah menjadi cahaya dan tenaga kalau tidak disalurkan" sebagai satu model untuk menegakkan prioritas potensial untuk mengembangkan diri.

     Cybersastra Award, merupakan sebuah penghargaan atas karya serta dedikasi kreator pilihan untuk Puisi, Cerpen, Esei dan Solilokui yang telah dievaluasi dari seluruh karya yang ada di setiap portal Cybersastra.Net terhitung sejak bulan Mei 2000 hingga bulan Pebruari 2006 terhadap perbaikan produktivitas dan kualitas yang menunjukan perhatian untuk tetap mempertahankan nilai-nilai jangka panjang.

     Tim yang dilibatkan untuk memberikan evaluasi adalah :

1. Asep Sambodja & Saut Situmorang, untuk kategori Penyair dan Eseis Pilihan Terbaik.
2. Kurniawan & Cunong Nunuk Suradja, untuk kategogi Cerpen Pilihan Terbaik.
3. Tulus Widjanarko, untuk kategori Solilokui Pilihan Terbaik.

     Dan hasilnya adalah seperti sebagai berikut :

PENYAIR PILIHAN TERBAIK:
     Hasan Aspahani, Ari Setya Ardi, Anggoro Saronto

ESEIS PILIHAN TERBAIK:
     Katrin Bandel, Kurniawan, Muhamad Al Fayadl

CERPEN PILIHAN TERBAIK :
     - Di Bawah Bayang-bayang Bulan, karya Agustinus Wahyono
     - Perempuan Berkutang Hitam, karya Begawan
     - Origami, karya Randu Rini

SOLILOKUI PILIHAN TERBAIK :
     - Untuk Kau Khayalanku, karya Atratimuri
     - Surat Untuk Nenek, karya TS Pinang
     - Menjadi Ibu, karya Yoseph Suprayogi


Salam & Terimakasih,

Yono Wardito - Ketua Pengurus YMS.

Selasar Kenangan

Menyasar di gambar. Dari risau dari gusar, di selasar.
   Kau kenali jejak hujanmu? Di sampul itu. Jejak dinginku.
     Ranting menguning, daun mengering, sekenangan menyamar.
       Kau menyedu di balik kamar. Aku mengira pada sepatu merahmu.

Monday, May 1, 2006

[Kutipan] Jembatan Puisi

PUISI bukan hanya mimpi dan visi; puisi adalah kerangka arsitektur kehidupan kita. Dia menghamparkan fondasi masa depan perubahan, jembatan yang menyeberangkan ketakukan-ketakukan kita terhadap apa yang belum terjadi sebelumnya.

* Audre Lorde (1934–1992), penyair Afro-amerika, penulis autobiografi, feminis.

[Kutipan] Fikir Kata Fikir Kata

PUISI adalah ekspresi kreatif; puisi adalah ekspresi yang "konstruktif". Bila dalam kalimat, kata adalah pembeda ... maka dalam puisi kata-kata lahir atau dilahirkan kembali lewat proses berfikir. Kata-kata, dalam phraselogy Bergsonian, adalah menjadi; kata-kata dibangun dalam benak pari passu dengan pembentukan fikiran. Tak ada jeda waktu antara kata-kata dan fikiran. Fikiran adalah kata dan kata adalah fikiran, danm keduanya fikiran dan kata adalah uisi. "Konstruktif" berimbas pada material yang siap-pakai; kata-kata bertumpukan di sekitar tukang-tukang bangunan, siap pakai. Prosa adalah sturuktur dari kata-kata yang siap pakai tadi. Fungsi "kreatif" dibatasi pada kerja merencanakan dan meninggikan, juga pada puisi, tapi puisi adalah pengganti dari fungsi "kreatif" itu.

* Sir Herbert Read (1893–1968), kritikus Inggris, penyair.