Thursday, April 26, 2012

Yang Saya Adaptasi Novel yang Saya Sukai

Salman Aristo (Foto dari Indonesia Kreatif)
 
 
Wawancara dengan Salman Aristo, Penulis Skenario/Produser Film Negeri 5 Menara
A Fuadi menulis novelnya. Salman Aristo  menerjemahkannya ke dalam skenario. Ia juga bertindak sebagai produser.  Affandi Abdul Rahman menyutradarai filmnya. Hasilnya adalah fim Negeri 5 Menara, yang baru  beberapa hari sejak diputar perdana pada tanggal 1 Maret 2012 mencatat sukses besar, karena sudah ditonton 200 ribu orang lebih. Film ini menambah daftar film bagus yang laris di negeri ini. 


Salman Aristo, saat ini boleh dikatakan, adalah jaminan bagi film bermutu dan laris. Ia telah membuktikan kualitas kerjanya antara lain lewat skenario untuk film “Laskar Pelangi”, “Ayat-Ayat Cinta”, dan “Sang Penari”, yang terakhir diadaptasi dari novel Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk”.  Apa rahasia dibalik keberhasilan seorang Salman Aristo?  Salman Aristo melayani wawancara saya lewat serangkaian e-mail, di bulan Maret 2012. Berikut ini rangkumannya. 

Sebagai produser dan penulis skenario, apa lagi tantangan Anda di film ini? Anda sudah diketahui sangat berhasil dalam karya-karya sebelumnya, dengan pola karya yang sama yaitu mengangkat cerita dari novel.

Tantangan selalu sama sebagai pengadaptasi: sensitivitas. Kepekaan. Karena karya pasti punya lapis-lapisnya sendiri. Mana yang harus diangkat, ditapis, diperbesar, diperhalus, diperkasar, dan lain-lain. Apakah dengan presisi memakai pinset atau dengan keflamboyanan tafsir.Akan selalu begitu. Materi adaptasi baru, batu asah kepekaan baru.

Kenapa merilis film ini di bulan Maret? Tak ada yang khusus dengan tanggal itu, bukan? Kenapa tak saat libur mengingat ini film tentang pelajar, cocok  untuk tontonan keluarga?

 Justru karena mau mendobrak sesuatu. Karena biasanya, Maret dianggap 'bulan mati' oleh kalangan produser waktu gue memulai awal karir. Ironis ya. Padahal katanya bulan film nasional. Tapi secara hitungan bebas dari teori red ocean-blue ocean, kami mencoba mencari bulan yang justru tak terlalu ramai dengan film-film besar yang berusaha merebut atensi. Seperti pas liburan, misalnya. Selain atensi, karena ada masalah infrastruktur yang cukup serius, kami tidak mau repot rebutan layar. Problem eksibisi, bukan distribusi, amat kronis saat ini. Warung tak lebih dari dua jari, barang dagangannya hampir 100 biji.

Saya rasa penonton film kita di negeri ini yg terbanyak adalah yg benar-benar hanya ingin terhibur. Datang, ketawa, atau jejeritan takut, keluar bioskop, makan, lupa. Atau yang datang karena ingin dapat motivasi film yang ditonton. Adakah Anda membayangkan penonton yg apresiatif? Bisa menilai kualitas kerja sutradara, aktor, skenario?
 
 Tentu sebagai pembuat film gue merindukan itu penonton. Buat apa? Buat meningkatkan diri. Penonton yang berdaya yang akan membuat industri jadi elegan dan perkasa.
 
Kalau difilmkan, sebuah novel seperti Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Ronggeng Duku Paruk (sang penari) dan N5M itu bisa belasan jam mungkin. Ada banyak hal yg harus dibuang. Apa pertimbangan 'membuang', 'mempertahankan', atau 'menambah' sesuatu ke dalam cerita untuk kepentingan skenario film?
Kekukuhan sudut pandang. Artinya juga kejujuran. Apa yang membuat saya terpikat dengan novel itu? Ini yang butuh kepekaan. Atau sebenarnya ya, jujur. Makanya, semua yang saya adaptasi selalu novel yang saya sukai dulu. Atau paling tidak ada potensi kisah yang bisa saya amplifikasi dengan asyik lewat medium film.

 Anda bekerja sama dgn banyak penulis dan karyanya? Apa karakter masing-masing penulis? Sejauh mana peran mereka? Apa mereka membantu alih medium atas karya mereka? Atau justru kontraproduktif? Atau bagi Anda benar-benar 'pengarang sdh mati?"
Ada dua tipe. Ada yang benar-benar sadar betul ini medium beda, hingga mereka menyerahkan sepenuhnya. Seperti Andrea Hirata dan Ahmad Tohari. Ada yang dengan semangat kolaborasi tinggi, membantu. Seperti Ahmad Fuadi. Tentu dengan kesadaran medium tadi.

Harusnya pengarang memang sudah mati. Tapi sepertinya adaptasi adalah proses penghidupan kembali. Dan saya , dengan darah jurnalistik yang mengalir, merasa harus menggali narasumber. Jadi mereka, buat saya adalah sumber. Bukan lagi pengarang.

Soal teknis, berapa lama proses dari ide memfilmkan sebuah buku, membaca, sampai naskah skenario dianggap sdh jadi?
Rata-rata pengadaptasian yang saya lakukan lebih dari dari setahun.

Anda bekerja dgn banyak sutradara. Siapa yg bisa dibilang 'soulmate' anda dalam berkarya?
Hm. Ini agak susah. Karena sekarang sudah jadi produser dan sutradara juga, yang ada malah editor. Cesa David Luckmansyah rasanya itu soulmate dalam berkarya. Sejak film pertama hingga sekarang, hampir 50 persen film gue dia yang edit.
https://mail.google.com/mail/u/0/images/cleardot.gif 
Bisa digambarkan bagaimana menurut Anda kondisi perfilman kita, ya iklim kreativitasnya, industrinya, dan apresiasinya? Anda merindukan kondisi yang seperti apa?
Saat ini problem utama buat saya adalah problem eksternal. Yaitu infrastruktur. Kekurangan layar. Ini yang harus segera dipecahkan. Sementara soal kreativitas dan apresiasi adalah problem berikutnya. Karena ketika layar merata, publik mendapatkan sirkulasi film dengan lebih merata, otomatis ada daya yang bertambah. Dorongan publik untuk menuntut film yang lebih baik akan terasa tonjokkannya. Karena saya adalah orang yang percaya stake holder perfilman yang utama adalah: penonton.

 Ibarat toko, akhirnya yang 'terpajang' di etalase film itu ya aktornya, para pemain yg menghidupkan kisah. Bagaimana penilaian Anda terhadap mereka saat ini?
Saat ini tentu kondisinya sudah lebih baik. Meski masih terasa kurang banyak yang memiliki ketangguhan profesional dan tentu juga skill yang reliable.

Di film-film Anda yg saya tonton rasanya selalu ada adegan berlari. Apa ini jadi semacam 'signature' Anda? Atau ada hal lain yg jg 'tanda lahir' dlm film Anda yg tak disadari penonton?
Hahaha. Ada yang juga mengamati cenderung ada adegan pijat-memijat. Padahal saya nggak suka dipijat. Sebenarnya ini semua sih alam bawah sadar aja. Nggak tahu juga kenapa. Publik yang baca. Tapi menarik juga nih buat dicari tau.***

Wednesday, April 25, 2012

[Kolom] Terima Kasih, Ayam



AYAM-AYAM itu memilih lebih baik mati, daripada harus terbang meningalkan anak-anaknya ~ Ulisse Aldrovandi (1522 – 1605)

WAKTU kanak-kanak di kampung dulu, anak ayam yang lucu itu adalah juga menjadi mainan kami. Bukan. Kami tidak mempermainkan anak-anak ayam, tapi memelihara ayam adalah bagian dari kegembiraan.  Menyentuh bulunya yang lembut, mendengar ciapnya yang membuat kasihan, membiarkan ayam-ayam kecil itu menaiki punggung bahkan kepala adalah kegembiraan yang tak terbanding. Kadang kami ikut memperhatikan dan membantu memecahkan cangkang yang sudah retak dipatuk anak ayam dari dalam. Ini adalah praktek langsung pelajaran Biologi.


Memelihara ayam, bagi setiap warga kampung kami yang sebagian besar adalah petani kelapa, adalah kegiatan sampingan yang terpenting untuk menambah penghasilan. 

Dan ayam-ayam kampung adalah unggas yang tahan banting, mudah dan murah dipelihara. Mereka tak perlu dikandangkan. Cukup dibuatkan para-para di belakangan rumah, biasanya menempel pada ujung atam dapur, dengan demikian mereka ternaung dari hujan. Atau, kadang-kadang mereka memilih tempat bertengger untuk tidur pada malam hari di cabang-cabang pohon turi, atau pohon nangka belanda. 

Peternak yang lebih serius membuatkan kandang besar, dan di sanalah segala kegiatan beternak ayam diselenggarakan, termasuk saat-saat penting yaitu ketika seekor induk mengerami telur-telurnya. Saya ingat, telur-telur ayam akan menetas pada hari ke-21 sejak mulai dierami. 

Ayam betina biasanya mulai belajar bertelur pada usia enam bulan. Jika masih belajar bertelur, kami akan ambil telurnya untuk dijual atau untuk kami santap santap sendiri. Telur dari betina yang sudah dewasa akan dieramkan untuk menambah populasi ternak kami. Seekor ayam biasanya mulai mengerami setelah terkumpul 12-15 butir telur. Saya tak tahu bagaimana mereka menghitung. Tapi, lebih dari jumlah itu, memang tak semua telur bisa dihangatkan dengan bulu-bulunya. 

Makanannya? Sekali sehari ayam kami beri padi. Saat-saat memberi makan ayam, adalah saat-saat penting. Ketika padi dihamburkan berkumpullah mereka, yang seperti tahu jadwalnya, mereka tak akan beranjak jauh sebelum jam sarapan itu berlalu. Pada saat itu pula, kami menghitung berapa aset peternakan kami, berapa ayam yang masih kanak, berapa yang sudah dara dan mulai bertelur. Setelah sarapan ayam-ayam bebas merdeka kelayapan ke mana-mana, mencari makanan apa saja. Nanti di sore hari, sebelum mereka masuk kandang, kami akan memberi makanan lain yaitu cincangan kelapa. 

Kami kenal ayam-ayam kami. Mereka pun kenal siapa tuan mereka. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa seekor ayam mampu mengenali satu per satu kira-kira 80 ekor rekan satu populasinya. Ini berkat kemampuan mereka membedakan warna persis seperti warna-warna yang dikenal manusia. 

Ayam, juga punya variasi suara yang kaya. Selain berkokok pada waktu pagi hari – ini jasa terbesar ayam selain dagingnya tentu saja, ayam punya suara kotek-kotek yang khas setelah bertelur. Ayam juga punya suara saat memanggil anak-anaknya jika si induk menemukan makanan, berteriak nyaring ketika terkejut atau ketakutan, bersuara seperti gumam saat terpisah dari kumpulannya, mengusir ayam dari kelompok lain, atau merayu pasangannya. Konon, ada puluhan variasi suara ayam, dengan apa mereka saling berinteraksi. 

Saya ingat satu suara ayam yang sangat khas: biasanya suara itu terdengar saat seekor ayam sedang sendiri. dan di sekitarnya sepi. Ia akan berjalan lambat, menoleh kanan kiri. Berhenti. Lalu bersuara pelan , sekali panjang pada kukukan pertama, lalu diulang cepat berkali-kali. Saya kira itu adalah ekspresi ayam yang sedang galau.  

Ayam diyakini secara ilmiah berasal dari kaki bukit pegunungan Himalaya di India, juga dari hutan tropos di Asia Tenggara. Di daerah asal itu, termasuk di hutan-hutan di Indonesia, kita masih  menemukan ayam hutan. Saya ingat, jika berburu rusa ke hutan, kadang-kadang para pemburu di kampung kami pulang juga membawa ayam hutan. Warna bulunya biasanya gelap, dan posturnya lebih kecil dari ayam kampung.

*
Saya ingat, saya hanya akan diberi telur rebus oleh ibu saya, jika saya sedang sakit - saya menyantapnya dengan guyuran kecap asin. Sebab bagi kami sebagian besar, jika tidak semuanya, telur-telur hasil ternak ayam kami adalah sumber penghasilan penting, sebelum kebun kelapa sepenuhnya berbuah. 

Ada kegembiraan lain bagi anak lelaki kampung yang beranjak besar, yaitu mengadu ayam. Karena itu, ayam jantan punya nilai lebih. Ayam jantan memang terlihat gagah. Pialnya merah cerah, dan kami biasanya sangat cermat memperhatikan pertumbuhan taji di kakinya. Taji adalah organ unik bagi seekor ayam. Tumbuh meruncing seakan seperti tulang liar mencuat ke belakang. Dalam kontes adu ayam, taji adalah senjata pembunuh! Saya suka menonton adu ayam, tapi saya tak pernah membiarkan ayam-ayam jantan saya diadu.  

*

IBU saya punya satu dongeng tentang ayam. Dongeng tentang betapa sayangnya seekor induk ayam kepada anak-anaknya, sehingga merelakan nyawanya bertarung dengan elang. Si induk luka parah kena patukan dan cakar elang, sampai akhirnya mati. Si elang membawa anak ayam, dan tinggallah beberapa ekor anak ayam yang tak lagi berinduk. 

Dongeng itu terasa hidup, karena beberapa kali kami menyaksikan sendiri ketika ada seekor elang menyambar ayam kami. Ibu biasanya menidurkan kami di ayunan dengan lirik dongeng itu. Sekarang, seperti dulu, mengingat nyanyian ibu, terasa sedih dan sendu.  Berangkat dari ingatan tentang dongeng ibu, saya menemukan kalimat dari seorang naturals, atau ahli ilmu alam dari Italia Ulisse Aldrovandi yang saya kutip di awal kolom ini, yang mengatakan, “Ayam-ayam memilih lebih baik mati, daripada harus terbang meningalkan anak-anaknya.”  

*

Ayam diyakini secara ilmiah berasal dari kaki bukit pegunungan Himalaya di India, juga dari hutan tropis di Asia Tenggara. Di daerah asal itu, termasuk di hutan-hutan di Indonesia, kita masih  menemukan ayam hutan. Saya ingat di kampung saya dulu, pulang dari berburu rusa, kadang-kadang pemburu juga membawa ayam hutan yang terjerat. Warnanya variasi antara hitam dan merah gelap dan biasanya lebih kecil dari ayam kampung. 

Berkat persilangan, ayam yang dulu nenek moyannya hanya bertelur rata-rata 10-15 butir setahun, kini ras paling unggul bisa bertelur lebih dari 300 butir setahun. Dengan kemampuan memproduksi telur sebesar itu, jauh lebih besar dari yang sanggup mereka erami, ayam adalah sumber pokok mencukupi kebutuhan gizi manusia. Dengan gizi yang cukup, perkembangan otak manusia dari waktu ke waktu semakin baik, dan manusia pun semakin cerdas. 

Ayam, adalah hewan penuh kasih, ramah. Dari jenis unggas, jangan-jangan merekalah makhluk yang paling berjasa pada peradaban manusia. Perilaku ayam mencerminkan satu hal: kasih-sayang, keberanian untuk membela anak-anaknya, dan kesetiakawanan sebagai satu kelompok sosial. 

Dengan jasa-jasa ayam kepada manusia dan peradaban manusia, juga mengenang perilaku manis unggan bernama ayam itulah yang jadi dasar berpikir United Poultry Concern (UPC), yang berpusat di Machipongo, negara bagian Virginia, Amerika sejak tahun 2005, menggagas apa yang mereka namakan Internasional Res[ect for Chickens Day. Hari itu dirayakan tiap tanggal 4 Mei. UPC adalah organisasi nirlaba yang berdiri sejak tahun 1990. Penggagasnya Karen Davis, PhD. 

Dengan pengalaman hidup bersama ayam di kampung dulu saya mudah mengerti gerakan moral Ibu Doktor Karen. Agenda UPC adalah mengajak dunia agar memperlakukan ayam dengan lebih respek, memperlakukan dengan hormat untuk tujuan apapun, konsumsi rumah tangga, industri pangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, atau hiburan.  

Karen tentu tidak mengajak orang berhenti menyantap ayam. Perlakuan-pelakuan ‘sadis’ kepada  ayam, itulah yang dilawan oleh Karen dan UPC. Misalnya, ada praktek melaparkan ayam dalam jangka waktu tertentu agar bertelur banyak. Ini banyak dilakukan di peternakan besar.  Ia juga mengecam salah satu ritual pada salah satu  kelompok masyarakat yang melibatkan prosesi pembantaian ayam.

Jadi, tanggal 4 Mei nanti, seraya menyantap sepotong ayam goreng di restoran ayam goreng manapun, jangan lupa gumamkan dalam hati Anda: Terima kasih, Ayam![] 

Tuesday, April 24, 2012

Sarapan yang Ganjil

SEPAGI itu, lidahku menampi panas terung goreng, yang baru kau angkat dari apimu. Kita tahan ucap aduh, pada mulut lepuh. 

Aku hamparkan putih nasi, kepul uap api. Kau menabur mentah teri, kecambah sepi, cabai duri. Kita saling suap, darah di jari.

Sarapan yang ganjil, yang tak kita tuntaskan. Sebab menggigil gigi. Labil Lambung. Dan kita bukan sepasang angka yang mau takluk pada aritmatika.

Sunday, April 15, 2012

Seperti Sebuah Lagu Nestapa

DEMI pagi biasa, yang membuka jendela, dan hujan yang melukis diri sendiri di bingkai itu, aku mendengar engkau bernyanyi, engkau yang di surga, tempat yang kau rindukan sejak lama, dan aku tak bersamamu di sana.

Aku merasa, akulah lagu sedih yang engkau nyanyikan itu, aku tahu lagu apa yang kau nyanyikan untukku itu.

Demi senyum yang bersahaja, senyum pada seribu wajah yang kujumpa, aku tak bersedih, tapi kehilanganmu memiskinkan aku, aku yang kini tak punya apa-apa, kecuali harapan akan surga yang dulu kukatakan itu diciptakan untuk kita berdua.

Aku merasa, di sana nanti kita akan menyanyikan lagi lagu nestapa itu, lagu tentang kau dan aku, lalu tentang tentang kita itu. 

Demi malam yang menegaskan betapa waktu itu ada, aku menyesali apa yang seharusnya kulakukan tapi tak sempat kuperbuat: memelukmu, membagi kepedulian dan kesedihan denganmu, serta menyatakan cinta padamu.

Aku merasa, itu sebabnya kini aku menanggung karma, menjadi kesedihan, menjadi lagu yang kudengar, kau menyanyikannya di sana, di surga. 

Saturday, April 7, 2012

Aku, Rokok, dan Kopi

MALAM yang sama saja, aku tak tahu bernama apa, esok dan hari ini juga. Aku berjalan saja, pulang atau pergi dari diri sendiri. Artinya sama saja aku tidak ke mana-mana.

Aku tak perlu alasan untuk singgah di kios rokok, dijaga oleh seseorang mungkin kami sama usia, dan dia tidak sedang mendengarkan radio. Dia tak mendengarkan apa-apa.

Dia bernyanyi, lagu yang sepertinya tentang dirinya, atau tentang kampung yang jauh di mata. Ia menawarkan apakah aku ingin minum kopi? Aku mau bilang ya aku mau saja.

Aku berjalan dengan rokok menyala yang nanti kubuang setelah isapan terakhir berakhir. Dan kopi dalam gelas plastik yang nanti kubuang setelah tegukan terakhir berakhir.

Sebatang rokok dan secangkir kopi, tak kubagi dengan siapa-siapa. Artinya aku membaginya dengan diriku sendiri. O, sebenarnya aku tidak sendiri, kami bertiga: aku, rokok dan kopi.

Lagu Cinta yang Bukan untuk Siapa-siapa

KARENA engkau bukan siapa-siapa, maka engkau adalah siapa saja. Karena engkau tidak di mana-mana, maka engkau kutemui di mana saja. Karena engkau tidak bersembunyi, maka mencari atau tak mencari aku akan sampai padamu.

Karena aku tak yakin siapa engkau yang kucari, maka ketika kutemukan engkau, engkaulah yang meyakinkan aku. Karena aku tak tahu siapa engkau sebenarnya, maka engkau memberi tahu aku, dengan memberi tahu aku siapa sebenarnya aku.

Aku lalu pulang, ke alamat yang kau beri padaku. Aku pulang sendiri dan membiarkan engkau mengikuti aku. Aku tak tahu apakah aku tahu, apakah aku akan sampai di alamat itu. Maka aku bernyanyi di sepanjang jalanku, dan kau diam-diam ikut menyanyikan lagu yang kunyanyikan itu.

Kita tak pernah sampai, tapi tak penting lagi alamat buat kau dan aku, selama kita masih bisa berjalan - yang makin lama kita makin bersisian - dan bernyanyi, lagu cinta untuk siapa saja, yang artinya itu lagu cinta bukan untuk siapa-siapa.