Wednesday, August 31, 2005

Ted Kooser: Baca 100 Puisi, Tulis 1 Puisi

T: Ketika menulis puisi, apakah Anda mempertimbangkan bagaimana bunyinya ketika kelak dilisankan? Apakah dibiarkan saja sampai puisi Anda selesai?

J: Ya, saya sangat memperhatikan itu. Saya baca setiap suku kata dan mempertimbangkan hubungannya satu sama lain. Bunyi sebuah kata sama pentingnya dengan arti kata itu.

T: Ketika Anda mengajar, apakah Anda mengharuskan murid-murid Anda membaca dan mempelajari sajak klasik atau sajak kontemporer?

J: Ya, saya mengajak mereka membaca puisi sebanyak-banyaknya, jenis apa saja, puisi lama ataupun puisi baru, sebanyak yang dapat mereka baca. Kita belajar dengan peniruan. Idealnya, murid-murid saya membaca seratus puisi untuk setiap satu puisi yang mereka coba tuliskan.

Sepanjang Jalan ke Kematian

aku abu tubuh yang sempurna terbakar,
pada suci sunyi, pada hitam tembikar.

kautaburkan pada tenang kenangan,
pada sepanjang jalan ke kematian.

Waktu itu tak ada, hanya misteria
melupa pada kita. Untuk Entah apa...

Friday, August 26, 2005

Laut dan Hujan Memandikan Aku
Sajak Hasan Aspahani


kau kira aku benar-benar bisa melupakan
hangat dadamu karena dingin hujan ini?

kau kira aku telah dapat menghapus asin
lidahmu di lidahku karena garam laut ini?

kau kira aku kini dapat membersihkan isi
kepalaku dari bau tubuhmu karena laut
dan hujan memandikanku dalam badai itu?

-----

Kapan Terakhir Aku Mandi di Laut?
Sajak Anggoro Saronto


tak dapat kuingat jelas, kapan terakhir aku mandi di laut

mungkin karena ingatanku tentang laut mulai mengabut

namun ada satu yang kuingat saat burung pecuk ular, melingkar
di bahumu yang landai

bukankah telah kutandai bahumu dengan peluhku?

seperti cemburuku pada butiran pasir di arsir bayang telingamu,

ah butiran pasir menyamarkan wajahmu, seperti sang waktu..


26 agustus 2005

------------

Tadi Pagi Aku Mandi Di Laut
Sajak Yono "Aljibsail" Wardito

pernah suatu hari aku memanggilmu
dan melayang diantara bau asin gelombang.

" lalu siapakah gerangan dia?
menghiraukan sepasang cadik menimpang
sambil sesekali merebahkan jala? "

engkau masih mengingatnya, mungkin
ketika aku begitu sibuk membuat lautku sendiri
atau sekedar menggambarkan wajahmu,
kubuat serupa bulan pagi di atas dermaga

memang tak ada pertunjukan buat kita
kecuali lekuk awan pucat di dinding mata
yang menapak jejak sendiri
dicengkuk sampan igauan nya

"sampai aku tak ingin sekali lagi
untuk beranjak dan memanggilmu "

lalu mengambil banyak kesempatan
untuk belajar memahami
sebuah perselisihan di dalam dadaku.
Pelayaran yang Tak Pernah Sampai
Sajak Hasan Aspahani


    Tetapi pelayaranku tak pernah sampai, kesana
setiap pulau yang tinggal sepenggapai, pasti
berlari menjauh bahkan lebih laju dari kapal
yang kukayuh.

    Di perut kapal memang ada gambar
dermaga, mungkin dulu nenek moyangku pernah
singgah di sana.

    Tetapi pelayaranku tak pernah sampai, padahal
aku ingin melihat ketiakmu ketika kau melambai,
padahal ingin kuceritakan betapa ketat ombak
kupeluk ketika rindu padamu menderu memuncak.

------

PELAYATAN KE TANJUNG ISUI
Sajak Yono "Aljibsail" Wardito

kali ini pelayaranku adalah sebuah pengulangan,
binar ombak menyeracah dimatamu
dan angin samudera menerbangkan bulubulu halus
lenganmu
kemari

geladak kecil dan tua,
sebuah tiang tak berbendera
selingkar kemudi merenta,
tak kukira seberapa tua nya aku
berdekap pada angkasa-angkasa
langit kelam, usang
terkadang memadamkan bulan

kali ini pelayaranku adalah sebuah pengulangan,
percikan cahaya,
terperangkap jemari lentikmu,sampai
tepat dilengkung samudera, pun

angin tak berpihak kepadaku
kecuali pada seutas kenangan,
masa lalu
tak kita miliki lagi

kali ini pelayaranku adalah sebuah pengulangan,
cuaca sore hangat terpendar,
nun jauh,
disana tatapmu
--bisu.
Jam Dinding Hadiah Darimu
Sajak Hasan Aspahani


hidup itu memang tak pernah murah, aku tak
pernah punya rumah, kecuali waktu yang marah

selalu marah, aku belajar untuk jadi sabar,
juga ketika kau memberi jam dinding kamar,
"supaya tidurmu didatangi mimpi besar!"

padahal aku tak punya rumah apalagi kamar,
maka kutitipkan saja hadiahmu itu pada
Pak Tua penjaga kamar rumah penitipan mayat,
aku percaya dia orang yang sangat tahu waktu.

"Aku mau pergi memancing. Ikan besarku pasti
sedang menunggu, entah di samudera mana itu.
Kalau mati kuburkan saja bersama batereinya,"
kataku berpesan. Singkat. Seperti wasiat.
"Di batu nisannya tuliskan kata-kata: di sini
terbaring pengembara tak pernah ke mana-mana..."

bertahun kemudian aku kembali. maksudku ingin
menziarahi kuburan jam hadiah darimu. Tapi
di rumah penitipan mayat itu detaknya masih
keras menumbuk dadaku. Jarumnya tajam, berputar makin
laju. Aku melihat ada bangkai ikan besarku
tertusuk di situ. O, ingin sekali aku....


Batam, 26 Agustus 2005


----------

JAM DINDING PADA DINDING DI DADAKU
Sajak Anggoro Saronto


jam dinding pada dinding di dadaku, telah lama mati

bukankah engkau adalah baterai yang dicuri waktu, energi itu habis
elakmu kala itu

dan waktu yang berhenti, membuat aku leluasa menjelajah hari

tak ada jam makan siang, atau saat rebah malam

tak ada rindu yang perlu kutunggu, atau kuragu

bukankah itu semu? ah, bukankah hidup itu kesemuan, karena

hanya ada satu kepastian dalam kehidupan, seperti kesabaran
tidak pernah berbatas, bagi mereka yang tahu. bagi mereka yang tahu.


26 agustus 2005

-------------

Jam Dinding di Kepalaku
Sajak Yono Aljibsail Wardito


Jam dinding itu masih menggelantung dikepalaku. Sebuah hadiah besar
tabulasi episode masa lalu.Tak kuingin tahu seberapa ingin engkau
mengetahui,Ketika aku disini, menjawab percarianmu; "Aku baik-baik
saja,Sayang. Dan sebuah kebinalan bermain ditelingaku!"

Kemudian hari itu juga aku melepaskan baterai dari dalam jam
dinding
itu,Jarumnya berhenti,namun detaknya masih kencang dikepalaku. Aku
bergegas melarikannya kepada seorang ahli perbaikan jam, lalu dia
menggantikannya dengan sebuah kail tua. Aku pikir dia sedang
bercanda;
sebuah hadiah besar ditukar dengan pemainan usang!

Tapi dia memberikan jawaban kepadaku; selayaknya aku terus bermain
saja, dan jam dinding itu tak perlu gelantungkan dikepalaku.

"Ternyata,jam dinding itu sudah bersarang di dalam otak sebelah
kiri kepalamu", katanya.

Sedalamdalam aku menghela nafas, hanya engkau yang kubisiki; jam
dinding itu masih kepalaku.

[Ruang Renung # 123] Patung Keramik & Tanah Liat

PUISI adalah patung keramik. Patung adalah benda yang proses pembuatannya sudah selesai. Tetapi patung yang baik tidak berhenti sebagai pajangan saja. Dia mengundang arus penafsiran yang tak habis-habisnya. Terus menerus. Tidak selesai. Dia bisa diletakkan di mana saja. Di jendela, di dapur, di ruang tidur, di kamar baca, atau bahkan di kamar mandi, tanpa harus berkurang kadar kepatungannya. Setelah menyelesaikan sebuah patung, seorang pematung boleh saja mencintai atau membenci patungnya. Dia tidak bisa melarang orang untuk menyukai atau membenci patungnya.

KEPENYAIRAN adalah tanah liat. Penyair harus menjaga agar tanah liat itu tetap liat, tetap bisa menggeliat dan mengundang tangan untuk menjamah, membentuk sesuatu, melahirkan patung keramik, tak habis-habisnya. Penyair harus menjaga agar tanah liat itu tidak dikotori, tercampur dengan pasir, lumpur dan batu kerikil. Tanah liat kepenyairan harus dijaga agar tidak jadi becek atau kering membatu.

Tuesday, August 23, 2005

Bejana Rapuh

Syair Jalaluddin Rumi

Matsnawi V; 1884-1920; 1959-64
Poetic version by Coleman Barks
"The Essential Rumi"
HarperSanFrancisco, 1995



Beri aku mulut senganga langit itu
agar bisa kusebutkan hakikat Dia Sesungguhnya,
bahasa yang seluas dendam rindu.

Bejana rapuh di dalam tubuhku sering kali pecah.
Pun ketika aku mabuk dan menghilang tiga hari
setiap bulan ketika purnama rembulan.

Untuk siapa saja yang mencintamu, hari-hari
selalu saja seperti hari tak kasat mata ini.

Aku kehilangan alur kisah yang kuceritakan.
Gajahku menjelajahi mimpinya lagi, di Hindustan.
Narasi, puisi, hancur, tubuhku,
sebuah kehilangan, sebuah kepulangan.

Sahabat, aku menyusut sehelai rambut mencoba menyebutkan kisahmu.
Maukah kau menceritakan kisah untukku?
Sudah kukarang banyak kisah kasih.
Kini aku ingin kisah rekaan.
Beri tahu aku!
Kebenaran adalah, kau bicara, bukan aku.
Akulah Sinai, dan engkaulah Musa yang melangkah.
Puisi ini adalah gema apa yang kau kata.
Sebentang pulau tak bisa bicara, tak tahu apa-apa!
Kalau pun ia bisa, ah alangkah terbatasnya.

Tubuh adalah sebuah perangkat menghitung
astronomi jiwa.
Lihatlah langit dengan astrolabium itu
dan jadilah penghuni samudera.

Kenapa percakapan ini mengacaukan pikiran?
Bukan salahku, bila aku meracau kalimat.
Kau juga bertingkah sama.
kau akuikah kegilaan-cintaku?

Katakan saja, ya!
Dalam bahasa apa kau ingin menyebutnya? Arab?
Ataukah Persia? Atau bahasa apa? Sekali lagi,
Aku mesti diikat ketat.
Bawa kemari temali ikal dari rambutmu.

Nah, kini aku ingat lagi kisah itu.
Manusia Sesungguhnya memandangi sepatu tua
dan jaket kulit domba. Setiap hari
dia naik ke loteng rumahnya dan melihat
sepatu kerja dan jubah lusuh.
Inilah kebijakannya, mengingat liat yang hakikat.
Dan tak meneguk mabuk ego dan kesombongan.

Melihat lagi pada sepatu koyak dan jubah lusuh
adalah doa, adalah ibadah.

Kerja Yang Maha Mutlak, adalah kerja tanpa apa-apa.
Bangsal dan bahan bakunya
adalah apa yang tidak ada.

Cobalah jadikan dirimu selembar kertas tanpa coret apa-apa.
Jadilah sebuah titik di bumi yang tak ditumbuhi apa-apa,
titik yang mungkin saja ada yang bisa ditanam di sana,
mungkin saja itu benih, dari Yang Maha Mutlak.

Thursday, August 18, 2005

Secangkir Kopi dan Eskrim Merahmuda

/1/

     "AKU turun di simpangan terakhir, nanti."
Mungkin saat itu telah ada senja. Kalau hujan,
ah, alangkah lengkapnya.
     Menghabiskan perjalanan dengan sekian
bait puisi. Untuk sekedar ia baca sendiri. Ada
penginapan tua. Kamar tanpa jendela. Dia tak
ingin sembunyi. Dia lelaki dengan hangat
secangkir kopi.
     Gambar di jendela, dikenangnya sebagai
sketsa, warna tua sepia. Anak-anak berlarian,
bermain bendera. Para pekerja merapikan dasi,
blazer dan rok tersetrika rapi di laundry. Masih
ada, bau asap bom rakitan. Juga noktah darah
di dinding kereta. Ulu senapan dan prajurit yang
lelah, minta diletakkan saja. "Selamat ulang tahun..."
tak bisa lagi ia teriakkan. Kecuali lirih bisikan.

/2/

     STASIUN itu tak ada. Tak punya nama. Tentu
tak ada pula dalam peta, bekal dalam ranselnya.
Tapi, ini kereta satu-satunya. Perjalanan satu-satunya.
Riuh napas, langkah gegas, segala dalam rentak mars.

     "Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya perempuan muda,
sejak tadi tak habis dikucupinya eskrim merah muda.
Lalu menawarkan diri sebagai teman perjalanan.
     "Ini cuma sentimentalia revolusia..."

     "Namaku, perlukah kusebutkan?"
     Toh, mereka nanti berpisah tanpa lambai tangan.
     "Kelak kau malah ingin namamu jauh kau
sembunyikan ke dalam bagian kenangan yang
harus dilupakan..."

     "Tuan, apa pendapatmu tentang Indonesia?"
     Pertanyaan itu tak dikutipnya dari tayangan
berita stasiun televisi swasta, siaran langsung
yang tak ada habisnya, Aceh hingga Papua.

     "Karena masih ada yang bertanya. Aku tetap
punya alasan untuk terus bersorak bergembira."

/3/

     KERETA itu terasa mempercepat laju. Angin
di luar terdengar seperti doa. Juga aba-aba. Lelaki
tua menjaga hangat secangkir kopinya dan
perempuan muda eskrim merah muda, masih ingin
bicara tentang negeri berusia 60 tahun, lebih lama.

Wednesday, August 17, 2005

Sonnet LXXXIX: Aku Ingin Tanganmu di Mataku

Sajak Pablo Neruda

Jika aku mati nanti, aku ingin tanganmu di mataku:
aku ingin cahaya dan kuning pucat tangan kasihmu
melalukan kesegeran sekali lagi ke tubuhku:
aku ingin merasakan kelembutan mengubah takdirku

aku ingin tetap hidup, menunggumu dalam terlelap.
aku ingin telingamu masih menyimak angin, aku berharap
kau mencium aroma laut yang dulu sama kita cintai
kau meneruskan, berjalan, di pasir yang kita lalui

aku ingin kau yang kucintai terus bernyawa
dan kau yang aku cinta bernyanyi untuk segalanya
memastikan semuanya baik terjaga, penuh berbunga:

maka kau mampu meraih seluruh cintaku menujumu,
maka bayangku bisa menelusuri panjang rambutmu,
maka segalanya bisa mengerti kenapa aku berlagu.

Sonnet XLVII: Menoleh Engkau Lagi di Cabang Itu

Sajak Pablo Neruda

kuingin menoleh engkau lagi di cabang-cabang itu,
engkau yang perlahan menjelma diri menjadi buah.
lihat, betapa mudahnya engkau bangkit dari akar itu,
menyanyikan lagu suku katamu: cairan getah.

inilah engkau, semula adalah kembang mewangi,
bertukar rupa dari bentuk buruk ke sebuah kecupan,
hingga matahari dan bumi, darah dan langit, mengisi
tubuhmu dengan janji keindahan dan kenikmatan.

Ada cabang-cabang dimana kukenali lagi rambutmu,
bayangmu begitu matang menantang, di dedaunan itu
membawa kelopak bunga semakin dekat ke rasa hausku.

rasa manismu pada mulutku kelak penuh mengisi
kecupan yang bangkit menjelma dari tubuh bumi
dengan darahmu, darah seorang pencinta buah ini.

Tuesday, August 16, 2005

Karena Dikaburkan Kelam Kabut



[Setelah menyimak Pink Floyd dan
sepotong sajak Subagio Sastrowardoyo]


dengung itu kukira jejak berlari kaki cahaya,
dikepung gelap kekal, sebelum waktu diberi nama

pelupuk mataku berkucupan dengan kabut, segala
mengabur, segala menghancur, segala melebur

aku menyalakan api pertama di bumi, tak ada
dengung itu lagi. Tinggal kabut, gelap, dan

waktu yang pincang berpegang pada matahari,
"tak ada lagi yang abadi, tak ada lagi.... "

Monday, August 15, 2005

Adakah Warna yang Memikatmu, Tuan?

(Ketika dan setelah mendengar
Any Colour You Like, Pink Floyd)



/1/

"Adakah warna yang memikatmu, Tuan?"
aku yang hendak mempersiapkan jawaban

Sungguhkah suara engkau itu bertanya?
Sepertinya baru saja kita memulai bicara....

/2/

gemuruh geram, tapi lalu serentak terdiam.

3 menit 24 detik dan sedetak patah jeram.
mengulang lagi, memulai pencarian jawaban

"Adakah warna yang memikatmu, Tuan?"

/3/

di derasarus itu, jejak waktu lalai kauhitung
warna yang dulu kau sebut dengan murung

di riuhudara itu, kelebat hewan & pertanyaan,
"Adakah warna yang memikatmu, Tuan?"

Ada Tombak Raksasa di Angkasa

[The Great Gig in The Sky, Pink Floyd,
saya kira ini semacam komposisi jerit]



/1/

sesungguhnya, Tuan,

siapa yang menjadi nelayan,
dalam ini permainan?

ada tombak raksasa di angkasa,
menikam di punggung malam...

kau kira waktu dan kegelapan ini akan tertahan, Tuan?

o alangkah panjang, o pekikan jeritan,
aku menunggu, subuh, o suara azan.

/2/

yakinkan aku, Tuan,

siapa yang menjadi perahu
dalam ini pelayaran?

memang ada semacam robekan kain layar

kibar kesakitan yang mencatat kesaksian
: penjelajahan ini telah menemukan korban

/3/

beri aku isyarat itu, Tuan,

bila telah sampai tujuan,
kita ingin bertukar peran, bukan?

Thursday, August 11, 2005

ada perasaan yang tak harus kita beri nama

: aan

ada perasaan yang tak harus kita
beri nama, ketika ruang dada sesak
bayangan, dia yang kemarin ada disana
lalu menjauh perlahan melambai tangan.

ada perasaan yang tak harus kita
beri nama, ketika pelupuk adalah
patahan sungai, dan gumpal air mata
terbendung, padahal di hulu hujan badai

Monday, August 8, 2005

[Ruang Renung 122] Mimpi Bahasa

SAYA mulai mengangguk pada apa yang disebut oleh penyair Amerika Adriene Rich (lahir 1929) bahwa puisi adalah mimpi bahasa. Katanya:

yang tinggal di ruang ini, tak seorang pun
yang tidak mempertentangkan putihnya dinding
di belakang puisi, papan penanda buku,
dan foto-foto pahlawan mangkat...
yang tidak merenungkan masa lalu dan kemudian
kebenaran alami dari puisi. Menghela
pada keterhubungan. Mimpi dari bahasa yang biasa...


DAN saya sadar anggukan itu berisiko. Tetapi paling tidak saya tidak perlu risau ketika berselang masa belum juga menuliskan sebait pun puisi. Bukankah kita tidak harus selalu bermimpi? Risikonya adalah kelak akan ada tuduhan bahwa penyair adalah seorang pemimpi belaka. Tetapi, apa salahnya sebuah mimpi? Apa salahnya memuliakan mimpi? Memuliakan puisi? Tanpa mimpi pun tidur sudah amat bermanfaat untuk menenteramkan. Tanpa puisimu bahasa tetaplah sebuah bahasa.

SAYA ingin selalu bermimpi,
tetapi saya bukan pemimpi.
Saya rindu mimpi,
karena itu saya menikmati
setiap tidur saya. [hah]

[Kata Pujangga] Filosof dan Bocah

RUH puisi adalah paduan antara kedalaman seorang filosof dan kegirangan bocah dalam gambar-gambar yang cemerlang.


Franz Grillparzer (1791–1872), Austrian author. Notebooks and Diaries (1837-1838).

[Kata Pujangga] Puisi Anak Gua

TAHUKAH Anda bagaimana sebuah puisi dimulakan? Saya selalu berpikir bahwa puisi dimulai ketika seorang anak dari gua kembali berlari ke gua, lewat padang rumput yang tinggi, berteriak ketika dia berlari, "serigala, serigala!", padahal sama sekali tak ada serigala. Induk semangnya yang biasanya sangat ngotot pada kebenaran, melindungi anak tersebut, tak ragu lagi. Nah seperti itulah puisi lahir, "cerita yang tinggi, lahir dari rumput yang tinggi."


Vladimir Nabokov (1899–1977), Russian-born U.S. novelist, poet. Strong Opinions, ch. 2 (1973)

[Kata Pujangga] Terus Mengada

SAYA tak melihat puisi sebagai sebuah karya yang tertutup. Saya merasa puisi terus-menerus mengada di kepala saya dan sesekali saya potong sekerat panjangnya.

John Ashbery, London Times (23 Aug 1984)

Thursday, August 4, 2005

[Kata Pujangga] Dari Shelley hingga Frost

PUISI menyibak tirai dari keindahan dunia yang tersembunyi, dan sebaliknya membuat obyek-obyek yang kita kenal seakan menjadi asing.

Percy Bysshe Shelley, A Defence of Poetry (1840).

PUISI adalah emosi yang ditata dalam bentuk terukur. Emosi musti bangkit secara alamiah. Ukurannya? Itu yang dicapai dengan seni.

Thomas Hardy The Later Years of Thomas Hardy, Florence Emily Hardy (1930).

SAYA tak pernah memulai puisi yang saya tahu bagaimana akhirnya. Menulis puisi adalah sebuah proses menemukan.

Robert Frost, New York Times (7 Nov. 1955)

[Kata Pujangga] Puisi yang Membakar

DAN ini tentang puisi, keberhasilannya bukan dicapai ketika ia meneduhkan atau memuaskan, tapi ketika ia membuat kita tercengang dan membakar kita dengan ikhtiar-ikhtiar baru setelah (kita menemukan) sesuatu yang taktercapai daripadanya.

Ralph Waldo Emerson (1803 - 1882), U.S. essais, penyair, filosof. "Love,", Essays, First Series (1841, repr. 1847).

[perniKAN] Banyak Alasan untuk Berbahagia

KALAU ada dua anak di rumah kecilmu, maka banyak sekali alasan untuk berbahagia. Seperti saya dan Yana. Saya mencatat beberapa di antaranya yang membuat kami merasakan itu:

1. Kalau mau pipis Ikra yang baru dua tahun dua bulan itu langsung memelorotkan celananya dan lari ke kamar mandi. Artinya disiplin yang kami ajarkan dijalankan dan mulai jadi kebiasaannya.

2. Kalau Ikra tak sempat lagi pipis di kamar mandi, maka dia segera mengambil lap untuk mengeringkan air pipisnya di lantai. Kadang memang harus diingatkan dulu. "Ikra, ambil lap.." Artinya, konsekuensi dari melanggar disiplin sudah bisa dia terima.

3. Lain lagi cerita Shiela. Kalau hari hujan lebat, atau adiknya sakit, dia jadi rajin sholat sunat. Entah sholat apa. Pokoknya katanya dia berdoa supaya rumah tida kebanjiran dan adiknya lekas pulih dari sakit. Artinya kami sudah bisa sejauh ini mendekatkan dia dengan Allah.

4. Ada satu anak tetangga teman TK Shiela yang tak tertampung di SD negeri juga swasta. Ada juga teman SD Shiela yang sudah berumur 9 tahun - dia memanggil Kak Endang - yang belum bisa membaca. Duh, rasanya kami merasa sudah mempersiapkan dia dan mengupayakan dia untuk mendapatkan hak atas pendidikan yang layak.

Wednesday, August 3, 2005

Angel

+ bidadari tak perlu sepasang sayap...
- bagaimana dia bisa terbang ke mimpimu?
+ bukankah dia cahaya tak terimbas gravitasi?

Monday, August 1, 2005

Negeri yang Penggal

: Dzan

kita memungut dua kepal tanah yang sama

aku mencium aroma rempah dan wangi darah
kapal-kapal datang menggambar peta sejarah

semula cuma singgah, lalu berabad lamanya
kita sabar belajar untuk menyimpan amarah

dan di tanganmu kau semaikan cerita serupa
kelak benih itu tumbuh jadi puisi yang kemas

aku membaca sebagai penafsir cacat yang gagap,
"ya, di tubuh kita selalu ada yang tak lengkap.."


Ramdzan Minhat
Re: [sejutaPUISI] Negeri yang Penggal

: hasan

demikian sejarah pernah buat kita bertemu
walau kini angin kencang, ombak ganas
memisah tanah sekilas seteru

kita sama-sama belajar
membeza wanginya rumpun serai dari rebung
membikin batu dari tanah liat jadi rumah.

tidak seindah istana pecah dari pasiran pantai

kita perkemas ungkapan yang sering tak terurai
lalu dua kepal tanah itu menjadi negeri yang satu

waktu itu kita bertemu
serasa kita memperlengkap hala tuju

[perNIKAN] Belahan Jiwa

Image hosted by Photobucket.com


Ikra Bhaktiananda


"Na, NuKLa, balik lagi namanya jadi KLa Project."
"Oh, ya? Kenapa sih dulu pakai NuKLa segala..."

***

PERCAKAPAN saya dan Yana siang itu melintaskan kenangan kami tentang KLa Project. Ya, kami memang KLanis. Kami mengoleksi semua kaset-kaset KLa. Kam memang peminat kelompok musik yang dibentuk oleh Katon, Lilo, Adi, dan Ari. Ari keluar sebelum terbit album ketiga. Lilo pun akhirnya mendirikan XOTC, dan menjadi produser, setelah sempat menyelingi album Lilo SOLO yang sama sekali tidak beraroma KLa.

"Katon terlalu dominan di KLa. Padahal menurut saya, banyak lagu-lagu KLa yang akan lebih bagus kalau dinyanyikan oleh Lilo."

***

Lagu yang paling melekat dalam ingatan kami adalah "Belahan Jiwa" di album "Pasir Putih". Itu album ketiga KLa Project. Membaca lagi surat-suratmu//hatiku jatuh rindu//Tak sadar pada langit kamarku//kulukis kau di situ//...

"Memangnya, belahan jiwamu itu seperti apa? Cewek idealmu itu seperti apa sih? " Yana akhirnya mengajukan juga pertanyaan berat itu. Saya tahu, sejak memulai mengikat janji, 17 Mei 1992, suatu saat dia akan bertanya seperti itu.

Jawaban saya? "Tidak ada. Cewek ideal saya itu adalah orang yang sama persis seperti saya. Suka kartun, suka puisi, cerdas (ehmmm :-), usil, iseng. Pokoknya persis seperti saya. Tanggal lahirnya juga sama. Bedanya, dia perempuan dan saya laki-laki."

"Sudah pernah ketemu orang seperti itu?"

"Nggak akan pernah. Dan nggak akan mencari. Karena saya yakin dia tidak ada."

Sejak itu, Yana tak pernah bertanya lagi tentang itu. Sampai saya ungkit lagi ketika Shiela lahir. Shiela sama sekali tidak mirip Yana. "Dia itu Hasan betina," kata Mama saya waktu kami bawa cucu pertamanya itu ke Handil Baru, Kaltim. Dalam banyak hal, Shiela itu mewarisi sifat-sifat saya.

"Ingat jawaban saya soal perempuan ideal?"

"Ya, kenapa?"

"Sekarang perempuan ideal itu kamu. Saya semakin menemukannya dalam dirimu. Karena darimu saya dapat seorang Shiela yang rasanya banyak sekali kemiripannya dengan saya. Bedanya dia seorang anak yang kelak pasti jadi perempuan yang cantik."