Wednesday, February 28, 2007

POEMSESSION with JOKPIN

/1/
di bawah bulan, kami bercinta habis-habisan
pulang ke rumah kami sudah sama sama hamil
bayangan mengandungku, aku mengandung bayangan
lalu kami janjian, "nanti kita melahirkan di kuburan."


/2/
bulan menangis, aku menangis
bayangan juga nangis
hanya kuburan yang diam
karena tangisnya sudah ia kuburkan

/3/
aku duduk di kuburan menunggu bulan
bayangan datang menegurku,
"ngapain lu nongkrong di kuburan bulan?"

/4/
waktu aku berkecupan dengan bayangan
bulan bertanya, "memangnya bayangan kita
mau pergi kemana?"

Tuesday, February 27, 2007

Malam pun Jadi Kolam


KARENA habis hujan, malam menggenang menjadi kolam.
Kita pun mengulurkan umpan. Memancing percakapan.

"Nah, kena!" Kusentakkan kalimat pertama. Di ujungnya,
menggelepar-gelepar pertanyaan yang kelaparan jawaban. 

"Wah, umpanmu tadi apa?" tanyamu dari seberang meja,
melompati empat gelas kopi, rokok dan sepiring kentang.

"Aku tadi mencuri kata dari jazz, yang dinyanyikan kelompok
musik tak bernama. Lihat! Mereka sekarang bernyanyi
tanpa kata. Penyanyi itu rupanya tak  hapal lirik lagunya."

Hujan Bebiji Bijan

"LIHAT, hujan seperti butir bebiji bijan," padamu kutunjukkan
kaca mobil yang membawa kita dari bandara ke penginapan.

Kau melihat bayang wajah di sana. Mengilasi cemas dan nestapa.

"Seperti itulah bopeng wajahku nanti," katamu, "disebabkan oleh
sejenis virus demam - penyakit yang kau tularkan lewat ciuman."

 

Friday, February 23, 2007

[POEMSESSION WITH JOKPIN]

CELANAKU & CELANAMU

baru mau belajar pakai celanamu
celanaku sudah robek pantatnya



ADA PENCURI TELANJANG


aku mau curi celanamu

kau bilang, "ha ha ha lucu.
Ada pencuri telanjang..."



TIKET PESAWAT

datang satu jam sebelum berangkat
di langit sudah beterbangan malaikat



KORUPUISI

awas ada mata-mata KPK
Komisi Penyakralan Kata



KEPADA BOGOR

aku pernah kehujanan di kotamu
hujan tak pernah
meminjamkan payungnya padaku


HUJAN MENJEMPUTKU



jangan sedih, sayang
hujan sudah menjemputku di sini



WAWANCARA

kalau mewawancarai aku, tanyakanlah:

"mana yang lebih menggairahkan,
aku atau puisi kekasihmu itu?"



SALAH KETIK

kenapa aku masih sering salah
mengetik namamu dan namaku?

dulu aku pernah kursus mengetik
instrukturnya rupanya seorang penyair.



AJARI AKU PUISI

ajari aku puisi, katamu

kataku, ajari dulu aku
menangis sebaik tangismu



BISIKKAN NAMAMU

bisikkan namamu ke bibirku

agar lebih kumengerti maknanya
dan lebih fasih aku menyebutnya

[Tadarus Puisi # 024] Aku Ingin Aku Luka

INILAH tiga sajak dari tiga penyair yang mendedahkan kontras, paradoks dan ironi terhebat dalam perpuisian Indonesia. Ironi pada sajak "Aku" Chairil Anwar, Kontras pada "Luka" Sutardji Calzoum Bachri, paradoks pada "Aku Ingin" Sapardi Djoko Damono.


/1/
Adakah ironi yang lebih besar daripada kejalangan hidup yang mudah sekali dikalahkah oleh ketegasan maut? Adakah ironi yang lebih besar daripada seorang anak muda yang pada usia 21 tahun menulis larik "aku ingin hidup seribu tahun lagi", lalu pada usianya yang ke- 27, maut menjemputnya?

Ironi Chairil tidak lagi terbatas pada bait-bait sajaknya. Ironi Chairil memautkan dan menautkan antara sajaknya dan kehidupannya. Ketika terbaring sakit Chairil sempat menuliskan kalimat terakhir yang mengobarkan semangat angkatannya. Kulitnya kala itu ditembus peluru penyakit, dan ia tidak bisa berlari badaniah. Pikirannya sebenarnya tak pernah berhenti berlari ke mana-mana untuk menghilangkan pedih risah jiwanya. Pedih dan sakit itu memang hilang, ia tak merasakan lagi karena mau menjemputnya.

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

(Chairil Anwar, Maret 1943)



/2/
KETIKA luka dihadapi dengan ha ha, dengan lantang tawa, adakah kontras sikap yang bisa melebihinya? Adakah kegagahan sikap yang bisa lebih gagah lagi daripada ketika luka dihadapi seperi merasakan gelitikan yang menggelikan saja? Kontras pada sajak Sutardji Calzoum Bachri ini menjadi-jadi karena antara judul dan bait langsung berhadap-hadapan. Langsung mendedahkan pertentangan. Kita tak sempat apa-apa. Kita tak bisa menyiapkan diri. Kita langsung diajak untuk ikut berha ha ha, lalu perlahan sadar yang kita tertawakan adalah luka, luka kita.

Kedalam ia menawarkan kontras yang dalam, keluar pun kontras itu amat terasa. Memang ada sajak pendek lain di kumpulan buku yang sama, yaitu sajak yang berjudul "KALIAN" yang isinya cuma satu kata: /pun/. Dua sajak ini, hadir sebagai kontras di hadapan sajak-sajak lain di buku itu yang umumnya panjang, bahkan kontras itu masih ada ketika berhadapan dengan sajak-sajak lain karya penyair lain di negeri ini.

LUKA

ha ha

(Sutardji Calzoum Bachri, 1976)



/3/
KETIKA cinta yang luar biasa itu diungkapkan dengan sederhana, maka yang tersaji di hadapan kita adalah sebuah paradoks yang luar biasa. Ketika keikhlasan mencintai mengantar pada kesadaran untuk berkorban bagi dia yang dicintai, dan itu disebut sebagai sebuah cinta yang sederhana saja, adakah paradoks yang lebih hebat daripada itu?

Keikhlasan itu, cinta itu tak sempat diucapkan. Bahkan bila pun ia hanya sebagai isyarat. Si aku telah melakukan cinta itu. Ia menunjukkan dengan perbuatan, tanpa berharap, cinta itu dibalas. Ia mungkin bahkan tak berharap di engkau yang ia cintai itu tahu bahwa ia mencintainya. Inilah paradoks lain dalam sajak ini. Cinta yang menawarkan cara mencintai yang berbeda dengan cinta yang kebanyakan kita lakoni saat ini. Padahal sebetulnya, pada hakikatnya, begitulah cinta yang sesejatinya itu.


AKU INGIN

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya tiada

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono, 1980)


[Tadarus Puisi # 023] Jalan-jalan Pagi Bersama Sapardi

SAJAK Sapardi Djoko Damono "Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari" pernah kita letakkan di rehal dan didaras di kolom ini. Lebih afdal kalau sekarang kita dengarkan bagaimana si penyair sendiri membahas sajak itu. Kita kutip saja tulisan panjang dia soal proses kreatifnya sendiri yang kebetulan menjadikan sajak itu sebagai contoh. Kutipan ini berasal dari artikel "Permainan Makna" dalam buku "Sihir Rendra Permainan Makna".

Paragraf-paragraf berikut adalah kutipan dari Sapardi: Makna yang ada sulit diungkapkan dengan cara lain karena tidak bisa dipisahkan dari citra keseluruhan sajak itu. Ketakterpisahan antara makna dan peristiwa mungkin bisa lebih jelas diungkapkan dengan memakai sajak "Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari" sebagai contoh.

Tidak ada yang istimewa dalam peristiwa tentang seorang yang berjalan-jalan pada pagi hari; juga tidak ada yang istimewa dengan matahari dan bayang-bayang orang itu. Tidak istimewa: oleh karenanya tidak usah dipertengkarkan siapa yang menciptakan bayang-bayang atau siapa yang harus berjalan di depan. Namun, di tengah-tengah keseluruhan sajak itu, dua baris terakhirnya agak teasa sebagai semacam pernyataan atau komentar.

Saya merasa sering terganggu oleh komentar yang terselip dalam sajak-sajak yang saya tulis, tetapi dua baris terakhir itu tidak bisa dipisahkan dari citra sajak itu secara keseluruhan. Dalam sajak itu, justru dua baris itulah yang telah menyebabkan saya merasa bahwa peristiwa yang muncul di dalamnya bermakna, di samping sangat akrab dengan saya.



[Tadarus Puisi # 024] Kontras, Paradoks, dan Ironi di Jalan ke Surga

jalan menuju kantor-Mu macet total
oleh antrean mobil-mobil curianku

(Jalan Menuju Surga, Joko Pinurbo, 2007)

Jangan mencari sajak Joko Pinurbo itu di bukunya, atau di surat kabar. Paling tidak saat tulisan ini ditulis, sajak itu belum dibukukan, dan belum terbit di koran. Jokpin - sapaan gaul Joko Pinurbo - menulisnya di ruang percakapan di jaringan internet. Cihuy, Jokpin chatting? Ya, memang. Dia pakai Yahoo ID "celanasenja".

Lalu, kalau mengobrol dengan penyair apalagi yang enak diobrolkan kecuali soal bagaimana menulis sajak. Itulah yang diobrolkan Jokpin. "Ayo kawan-kawan, kita menulis sajak pendek bergantian. Paling banyak empat baris," begitulah kira-kira si celanasenja eh Jokpin menyapa.

Belasan orang di ruang obrolan yang dibuka oleh Johannes Sugianto alias "blue4gie" pun menyambut ajakan itu. Ada yang tiba-tiba mandek tak dapat ide. Ada yang lancar. Ramai. Dedi Tri Riyadi di ujung obrolan ditugaskan untuk membuat merangkum. Saya kebagian pekerjaan rumah menjelaskan soal kontras, paradoks dan ironi dalam sajak. Saya tunaikan tugas itu semampunya. Saya ingin menjelaskannya dengan contoh sajak yang dikutip di awal tulisan ini. Saya kira ini sajak yang dengan baik memainkan kontras, paradoks dan ironi.

Sesungguhnya kontras, paradoks dan ironi itu saudara kandung. Ketiganya dihadirkan oleh penyair di dalam sajak untuk mengejutkan pembaca, untuk merenggut perhatian pembaca sajaknya. Demikian kalau kita setuju kepada A Teeuw yang pernah bilang bahwa tugas penyair adalah mengejutkan si pembaca, oleh penyimpangan dari pemakaian bahasa yang sudah terbiasa, sudah familiar, usang dan luntur.

Kontras, paradoks, dan ironi membuat bahasa dalam sajak tidak datar dan lurus saja. Yang lurus dan datar itu membosankan. Kontras, paradoks dan ironi yang diulang-ulang pun akhirnya bisa jadi sesuatu yang datar, lurus dan membosankan. Maka penyair bertugas untuk menciptakan paradoks, kontras dan ironi yang selalu baru dari sajak ke sajak. Untuk apa? Ketiganya di dalam sajak yang baik berkhasiat memperluas dan memperkuat makna.

KONTRAS. Kontras adalah perbedaan atau pertentangan antarlarik, antarbaris atau antarkata atau antarimaji dalam sajak. Misalnya kontras antara larik pendek dan larik panjang. Kontras antara kalimat negatif dan positif. Kontras antara kalimat tanya, pernyataan dan kalimat seru. Dalam hal ini kontras bukan satu-satunya jurus. Ada kesejajaran yang bolehlah disebut sebagai lawan sekaligus pendukung dari kontras itu. Repetisi adalah wujud kesejajaran yang paling sering dipakai. Kesejajaran seakan melawan kontras sekaligus menguatkannya.

Pada puisi Jokpin di atas saya melihat kontras antara judul dan isi. Antara jalan menuju surga dan jalan ke kantor-Mu. Apakah surga itu adalah kantor-Nya? Ada yang membuat kita berpikir atau setidaknya merenung ringan ketika sampa pada kontras itu. Keduanya saling tindih, seraya menawarkan banyak hal. Kita pada akhirnya mungkin bisa menerima kontras antara dua hal itu, setidaknya dalam upaya kita memanen makna dari sajak itu sendiri.

PARADOKS. Paradoks adalah pertemuan atau persandingan dua hal yang seakan-akan atau setidaknya dianggap bertentangan. Paradoks bisa hadir atau dihadirkan di mana-mana dengan berbagai macam cara. A Teeuw melihat paradoks ada pada kata "berkakuan" dalam sajak Chairil Anwar "Kawanku dan Aku". Imbuhan ke-an lazim digunakan salah satunya untuk menunjukkan dua benda atau dua hal yang saling berhubungan dengan kata yang diimbuhinya. Misalnya pada kalimat "rumahnya dan masjid berdekatan", artinya rumahnya dan masjid saling terhubung dengan kata "dekat". Dalam hal kata "berkakuan" bisakah dua hal dihubungkan dengan kata kaku? Ini paradoks, kata A Teeuw. Setidaknya dalam konteks sajak itu, dan setidaknya pada saat itu. Ada paradoks antara fungsi gramatis ke-an dengan niat Chairil menggunakan imbuhan itu dalam sajaknya.

Dalam sajak Jokpin yang sangat pendek itu saya menemukan paradoks antara orang yang ingin menuju ke surga dengan kesadaran orang itu bahwa dia adalah seorang pencuri. Bukan sembarang pencuri pula. Dia bukan sekadar mencuri mobil. Soalnya mobil yang dicurinya banyak, antre bikin macet. Pencurian itu ganjarannya dosa. Lho orang mau ke surga kok modalnya membawa dosa? Paradoks sekali. Sekaligus ironis. Semuanya telah menjadi lambang. Mobil tidak lagi sekadar mobil. Mencuri tidak lagi tampil sebagai mencuri. Surga bukan lagi cuma surga, dalam sajak itu. Ini memang sajak yang amat mencihuykan.

Arif B Prasetya menunjukkan jurus paradoksal yang berhasil dipakai oleh Sutardji dalam sajak "O". Yang-personal dihadirkan dalam yang-kolektif. Yang-sakral diejawantahkan dalam yang-profan. Sajak itu, kata Arif, pada dasarnya adalah pencarian makna kehidupan yang bersifat sangat personal. Tetapi Sutardji, katanya, seolah menyediakan jalan bagi khalayak untuk turut memasuki ruang personal pengalaman puitiknya.

IRONI. Lalu apakah ironi? Ironi adalah tabrakan atau tubrukan antara ruh dan wujud sajak, antara sajak dengan hal lain di luar sajak, antara niat sajak dan syariat sajak. Sapardi Djoko Damono menunjukkan ironi antara niat protes yang keras dalam sajak "Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum" Goenawan Mohamad dengan cara protes itu disampaikan. Sajak itu tidak berteriak lantang tetapi disampaikan dengan sikap dan jiwa yang sudah mengendap. Ironis.

Ironi telah saya sebutkan ada dalam sajak Jokpin di atas. Kita bisa menemukan ironi lain. Perkara akhirat adalah perkara iman, perkara agama, perkara batin. Ini bukan perkara materi. Tetapi dalam sajak itu hal yang immaterial itu diungkapkan dengan cara yang sangat materialistik. Manusia modern menganggap mobil atau apapun barang mewah lainnya sebagai kebutuhan yang harus dikejar dan terpenuhi. Agama seringkali digugat, dipertanyakan dalam kehidupan modern. Jokpin memanfaatkan ironi itu. Yang batin ditabrakkan dengan yang zahir. Yang material ditubrukkan dengan yang immaterial. Lalu meledaklah atau setidaknya memerciklah makna.

Paradoks, ironi dan kontras, kata A. Teeuw dan Sapardi Djoko Damono adalah ciri-ciri utama puisi modern. Makna diantar, dimaksimalkan, ditimbulkan oleh ketiga hal itu. Ketiga hal itu, bersama-sama ambiguitas kata membangun konflik sekaligus juga merujuk-mengacu, lalu meniti dua jembatan sekaligus: satu jembatan mengantar pada ujung keutuhan (unity) dan satu jembatan lagi berujung pada kompleksitas (complexity). Jika pijakan pada kedua hal itu lepas, maka si sajak akan tercebur pada sajak encer yang tak menarik untuk dimaknai atau sajak gelap yang menyesatkan atau bahkan tak mungkin dimaknai.

Kita tidak menemukan ketiga hal itu misalnya pada pantun "kalau ada sumur di ladang / boleh kita menumpang mandi / kalau ada umurku panjang / boleh kita berjumpa lagi /. Pada pantun itu - dan pada pantun umumnya - pesan atau amanat adalah ciri utama yang harus diantarkan sebaik-baiknya dan seindah-indahnya.

[Ruang Renung # 179] Membebaskan Makna Kata

BAHASA adalah sistem yang memadukan dunia bunyi dan dunia makna. Satuan terkecil dari bahasa yang mempunyai makna adalah kata. Apa jadinya kalau ada penyair yang ingin membebaskan kata dari belenggu makna? Untuk kepentingan puisi, untuk membuka pintu-pintu baru kreativitas, untuk mendobrak kebekuan perkembangan persajakan, dan kekakuan bahasa tentu niat itu tidak pernah sia-sia. Bukankah puisi itu memang permainan makna?

Membebaskan kata dari makna, saya tafsirkan bukan membuat kata tidak bermakna. Tetapi dia menjadi bebas menangkap dan melepas makna-makna yang dimungkinkan dalam sajak yang tidak membelenggu dia. Pemainan sajak menjadi menarik dan asyik karena memang dalam sajak penyair dimungkinkan untuk menunda, membelokkan, melambungkan, menyimpan, memperkaya, atau malah menonsenskan makna kata.

Ahli sastra menyebut ketidaklangsungan makna dalam sajak - saya menyebut ini juga jurus membebaskan kata dari makna - dilakukan oleh penyair lewat tiga jurus: 1. Displacing - pemindahan tempat makna, pada tempat yang baru, 2. Distorting - penyimpangan atau pelepasan makna, dan 3. Creating - penciptaan makna baru. Ketiga jurus itu bisa dikerahkan satu per satu atau serentak ketiga-tiganya.

[Ruang Renung # 177] Puisi versus Teks Iklan Baris

Puisi dan sastra pada umumnya bukanlah potret apa adanya, potret yang langsung dijepret dari kenyataan. Puisi tidak secara langsung mengatakan sesuatu mengenai kenyataan. Puisi tentu beda dengan teks iklan menjual mobil, misalnya . Ketika membaca teks iklan baris mobil, bila jenis dan harga mobilnya cocok, dan kita memang sedang perlu mobil, serta uangnya ada, kita langsung bertindak menghubungi si pemasang iklan. Puisi tidak begitu. Dia tidak akan membuat kita langsung bertindak. Puisi hanya menyentuh hati kita. Dan itu bukan sesuatu yang sia-sia. Hati manusia perlu sentuhan, agar kita teringatkan untuk memperhatikan hal-hal yang mungkin lekas kita lupakan.

Thursday, February 22, 2007

[Ruang Renung # 178] Aku dalam Puisi Kita

SIAPAKAH "aku" dalam puisi kita? Pembaca akan mudah mengira "aku" dalam puisi kita itu adalah kita. Memang begitulah kerapnya. Karena itulah ada ahli ilmu sastra yang menyebut puisi - khususnya puisi lirik - tidak serta merta bisa dianggap sebagai karya rekaan atau karya fiksi. Lebih tepat, katanya, puisi lirik itu disebut karya yang dihasilkan dengan upaya distansi atau memperjarakkan antara "aku" dan bahan perasaan dan peristiwa yang dipuisikan. Buat apa? Supaya pembaca - para aku - yang bukan kita, bisa menyosokkan dirinya sendiri pada "aku" dalam sajak yang kita tuliskan. Bila itu yang terjadi, maka sajak yang kita tulis adalah sajak yang berhasil.

Dari CANGKUL hingga POETRYGAMI

CANGKUL

ayo kawan kita bersama
menggali kubur di tubuh kita


PETANI PADI

kalau hujan sedang sembunyi
padi yang ditanamnya disirami dengan air mata
kalau hujan lebat sekali
tangisnya sendiri tak bisa didengarnya lagi
air matanya pun dingin sekali


NONTON TV HARI INI

sembilan stasiun televisi
acaranya sama: kartun Tom & Jerry


JALAN MENUJU SAJAK

mula-mula rimbun semak
lalu penuh ranjau
semakin jauh menapak
aduh, aku lupa pakai sepatu



HALAMAN SATU KORAN KRIMINAL

ada berita penculikan
ada kisah pemerkosaan
ada cerita pembunuhan
ada foto artis yang membantah pernikahan
dan ada iklan pembesaran alat kelamin

doesn't size really matter?


CAPING PETANI

sawahnya jadi pabrik
petani menanam padi
di capingnya sendiri


PENGEMIS DI ISTANA NEGARA

permisi, Pak Paspampres, jangan usir saya, ya
saya cuma mau minta suara saya dikembalikan segera
bisa, ya? katanya sambil menunjukkan ujung kelingkingnya
yang biru dan bisu, meluas ke seluruh tubuhnya

 
POETRYGAMI

aku mau kawin seribu kali lagi

Wednesday, February 21, 2007

Sajak yang Tak Lirik, Saya Mau Teriak Tak Bisik

.:. Aku ingin marah pada siapa dengan sederhana?
Dengan sajak yang tak sempat dibacakan
rakyat kepada presiden yang dulu dipilihnya.



/1/
BERJALAN di pematang sawah, waktu sudah sore hari,
aku bertemu Pak Petani, duduk lelah, seharian tak selesai
menyiang padi, tak bisa juga berteduh di bayang sendiri.

Petani menarik tali, bergoyangan orang-orangan, burung
terkejut sebab berkelonteng kaleng, melepas malai padi.

Orang-orangan sawah itu berwajah gambar Jusuf Kalla,
dan Soesilo Bambang Yudhoyono. "Saya gunting saja
dari poster pemimpin negara kita, di pasar harganya
Rp5.000 dua, tambah bonus lambang Garuda Pancasila."

Saya amati wajah kedua orang yang dulu saya coblos
gambarnya, di TPS yang dulu dibangun seadanya
oleh panitia pemungutan suara di lahan yang kini jadi
tempat penampungan sampah. Di lahan bekas sawah.

Eh, ada burung yang buang kotoran sambil terbang.

Kotorannya jatuh tepat di pipi wajah orang-orangan
sawah tadi. Seperti alir air mata. Aku dan Pak Petani
tertawa, sayang waktu itu tak ada juru kamera televisi.

/2/
KETIKA banjir menggenangi rumahnya hingga setengah pintu,
perahu kertas yang dulu dilepaskannya, datang bersandar.

"Banjir tahun lalu, aku terbawa jauh ke hulu," tanya nakoda tua
di perahu kertas itu. "Aku saksikan hutan tak lagi berhutan,
sisa perdu, aku saksikan rumah-rumah mewah yang hanya
dihuni centeng dan babu, eh sesekali Tuan atau Nyonya
pemilik datang bergantian bersama perempuan dan lelaki muda
yang bukan anak, bukan saudara, bukan pula teman arisan.

"TAHUN ini banjir lebih dalam dari tahun lalu," katanya pada
nahkoda tua, yang sibuk mengeringkan jubah dan janggutnya.

"Naiklah ke kapalmu, berlayarlah di banjir besar ini bersamaku,"
kata nahkoda tua. Kabarnya Presiden mengizinkan bendungan
besar itu dibuka, dan membiarkan banjir menenggelamkan Istana.

Bayangkanlah kita bisa berlayar sampai ke ruang kerjanya,
menyentuh kursinya yang nyaman, meraba mejanya yang mewah,
dan membayangkan seberapa nyenyak di sana kita bisa tiduran.

/3/
METRO-Goldwyn-Mayer mempersembahkan film kartun animasi:
Tom "Ruki" Kucing dan Jerry "Yusril" Tikus, dengan kisah yang
baru, walau skripnya lama, Judulnya: "Kejarlah Daku, Kau Korupsi".

Alkisah, di rumah itu telah banyak barang yang dicuri. Di rumah itu
tinggal seorang mantan pencuri besar, yang sudah tua, tapi tak
pernah bisa diseret ke penjara. Konon, banyak pejabat yang kini
berkuasa dulu orang yang berutang jasa pada sang pencuri tua.

Lalu datanglah Tom "Ruki" Kucing, dan Jerry "Yusril" Tikus.
"Kami ada untuk memberantas pencuri, menghapus korupsi".

Tom "Ruki" Kucing membawa alat penyadap suara. "Agar orang
yang mau mencuri eh korupsi, terlacak sejak bisikan pertama."

Jerry "Yusril" Tikus menenteng alat pemindai sidik jari. "Agar orang
yang mau mencuri eh korupsi, berpikir seribu kali, sebab sidik jarinya
ada, telah disimpan dan tinggal dicocokkan dengan bukti di TKP.

Mereka saling menyombongkan kehebatan alat-alatnya. Pencuri tua
tersenyum geli saja, membayangkan adegan jenaka dari kamarnya:

Adegan yang sangat jenaka: Tom "Ruki" Kucing bilang alat sadapnya
menangkap suara pencuri, suara Jerry "Yusril" Tikus. Sementara
Jerry "Yusril" Tikus bilang berhasil melacak sidik jari pencuri, sidik
jari Tom "Ruki" Kucing. Mereka lantas main adegan kejar-kejaran.


Tuesday, February 20, 2007

Kau Tahu Kenapa Dia Tak Mabuk Lagi?

.:. Bayangkan Tardji sehabis membaca sajak

ADA podium kosong, bayangkan, sepi yang pekak mau teriak
Ada botol kosong, bayangkan, ia mau kau teguk juga ia bagai wiski
Ada lampu padam, bayangkan, ia berdekap-dekap dengan gelapmu

PODIUM kosong tadi, bayangkan, ia mau kau dikembalikan padanya
Botol kosong tadi, bayangkan, ia minta wiski dikembalikan padanya
Lampu padam tadi, bayangkan, ia ingin terangmu dikembalikan padanya

BAYANGKAN, kau diam-diam kembali ke podium, mengira-ngira apa
yang tadi kau teriakkan di sana, dan bertanya-tanya kenapa tadi orang
bertepuk tangan. Lantas kau pun mengencingi botol wiski. Bayangkan!



 

[Surat untuk Sajak # 004] Yang Pop dan Yang Sastra

Sajak yang baik,

Saya dan ada seorang kawan saya selalu bilang bahwa menempuh jalanmu, menempuh jalan puisi, adalah menempuh jalan kesepian. Sementara, kini adalah zaman riuh, zaman hiruk-pikuk proyek. Kami pun berseloroh puisi itu proyek kesepian. Seloroh itu barangkali memang ada benarnya. Kau tahu kan ada kutipan lain yang menyebutkan di dalam puisi tak ada uang, karena di dalam uang juga tak ada puisi. Saya tak tahu apa maksud dan bagaimana menjelaskan kutipan itu. Tapi, saya kemudian berpikir kenapa segalanya harus dihubungkan dengan uang? Adakah bagian dari kegiatan manusia yang bisa tak usah saja dikaitkan dengan uang?

Orang kini juga bicara soal bagaimana cara mempopularkan puisi. Apa yang popular itu sering disebut dengan sebutan mudah "pop" saja. Orang lantas menginginkan puisi juga menempuh atau diarahkan ke jalan itu. Seperti musik yang sudah lama mengenal pengutupan: yang serius (adakah kata lain yang lebih tepat?) dan yang pop. Yang pop mendekat pada selera orang banyak, selera pasar. Yang pop identik dengan kemudahan untuk dinikmati, kemudahan untuk dicerna, dan tak menyarankan orang untuk berpikir. Yang pop itu berarti punya alasan untuk menjamakkan produk lewat industri, sebanyak-banyaknya. Jika tidak bisa melakukan itu, maka yang terjadi adalah kegagalan. Gagal menerjemahkan selera pasar, gagal menjadi pop.

Sajak yang baik,

Bisakah kamu masuk ke dunia popular itu? Saya pikir begini saja. Karena engkau bermanfaat untuk manusia, untuk kehidupan yang lebih baik, maka kau harus didakwahkan agar semakin banyak orang mengenal engkau dengan baik. Bukan kenal yang asal kenal. Tetapi ini dakwah, jangan dipaksakan. Dakwah puisi harus disampaikan dengan ikhlas, agar diterima juga dengan ikhlas. Sementara itu, engkau tetaplah engkau. Puisi tetaplah puisi. Dengan alasan agar semakin banyak orang yang "beriman" pada puisi, jangan sampai si pendakwah mengubah "akidah" puisi itu, atau mengurangi "rukun iman" puisi. Jika itu yang dilakukan, maka puisi sudah menjadi ajaran sesat.

Saya lebih ingin melihat ada sekelompok kecil orang yang melakoni ibadah puisi dengan benar, khusyuk, dan istikamah, dan dengan cara itu mereka menebarkan kabar baik tentang puisi, peduli pada apa yang terjadi di luar puisi, daripada sekelompok orang banyak yang mengaku telah memeluk "agama" puisi, memuja puisi dengan berlebihan, lantas berpuisi dengan serampangan, tapi yang ia lakukan sebenarnya adalah "murtad" puisi.

Sajak yang baik,

Penyair yang bolehlah juga kita sebut dai-nya puisi, harus membuat puisi peduli pada banyak orang, agar orang banyak juga peduli pada puisi. Saya sebut itu, sebab saya setuju dengan Adrian Mithcel, penyair dan penulis naskah drama. Dia berkata: banyak orang tak peduli pada puisi, sebabnya banyak puisi tak peduli dengan orang banyak.

Subagio Sastrowardoyo, penyair kita itu pun pernah mengingatkan bahwa penyair yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas.

Dunia luar itu, kata Subagio, membebaskan penyair dari kesempitan cintanya kepada diri sendiri dan melibatkan kepentingan dirinya dengan peri kehidupan yang lebih luas dengan menyangkut pengalaman manusia yang beragam-ragam. Dalam upaya saya mempertebal "keimanan" puisi saya, dan kecintaan saya padamu, saya suka membaca ulang apa yang ditulis oleh Subagio ini.

Salam ibadah,
HAH

NB: Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Ananda Sukarlan, pemusik dari negeri ini yang kini melanglang buana atas nama musik klasik yang bukan pop itu, menyebut musik yang ia mainkan sebagai musik sastra. Kata klasik, ujarnya menyaran pada kelampauan, pada ketuaan. Sementara sastra menyaran pada kualitas, pada harkat. Aneh juga ya? Untuk bersisian dengan yang pop, musik klasik berpegang pada sastra, sementara puisi yang sastra itu malah ingin mencoba-coba menempuh jalan menjadi pop.

Monday, February 19, 2007

[Surat untuk Sajak # 003] Pesta Puisi bukan Pesta Penyair

Sajak yang baik,

Panitia "Pesta Penyair Indonesia" di Medan mengundang saya menjadi peserta. Mereka menggelar acara itu Mei 2007 nanti. Mereka mengundang saya pasti karena aku menuliskanmu. Mungkin ada diantara mereka yang pernah melihat saya meresitalkanmu. Mereka mungkin telah menganggap saya sebagai penyair. Maka, saya pun dianggap boleh ikut berpesta di sana. Di sana akan ada acara membacakan puisi, membaca kamu. Tepatnya memanggungkan kamu.

Saya sebenarnya lebih suka kalau acara itu disebut "Pesta Puisi Indonesia". Yang harus dipestakan adalah Puisi, kamu. Bukan penyair. Saya - kalau memang saya berhak juga disebut penyair - merasa tidak pantas untuk berpesta. Lihat, bahkan untuk menyebut diri sebagai penyair pun saya ragu. Padahal, menurut kamus, penyair adalah sesiapa saja yang mencurahkan sebagian waktunya untuk memberi perhatian kepada dan menuliskan puisi. Saya, ah kamu tentu lebih tahu, seberapa besarkan perhatian telah saya curahkan untuk kamu.

Sajak yang baik,

Kata "penyair" di Indonesia memang rawan disebut, apalagi disandang. Seperti belum kering pena Chairil Anwar ketika ia menulis bait angkuh ini: "Yang bukan-penyair tidak ambil bagian." Penyair masih lekat dengan citra jalang, hidup tak beraturan, kesulitan uang, kotor, dan mati lekas akibat penyakit kelamin. Citra itu dikuatkan atau dilanjutkan oleh Sutardji Calzoum Bachri yang berangasan, tipis tata krama, suka mencemooh, menenggak bir di atas panggung, dan meneriakkan sajak hingga serak. Chairil sudah lama meninggal, Tardji telah menua. Tapi imaji sang mata kanan dan mata kiri puisi Indonesia itu tak mudah melamur. Orang pun diam-diam merindukan sosok kehadiran penyair yang demikian, walaupun hadir juga dengan kuat penyair-penyair hebat lain.

Lepas dari sosoknya yang tak umum itu, kedua penyair tadi memang telah mengantarkan kamu, mengantarkan sajak ke taraf yang tak terjangkau penyair yang datang belakangan. Maka, ramuan antara sikap liar dan sajak yang bermutu seperti mengurung mereka di puncak gunung tinggi. Malangnya, puisi kadang terkurung juga di sana. Puisi jadi berjarak dengan orang yang bukan-penyair. Puisi oleh sebagian orang semakin dianggap nonsens.

Sajak yang baik,

Pesta Puisi, yang boleh dihadiri oleh siapa saja yang mencintai puisi, saya kira bisa mendekatkan kamu pada banyak orang. Saya kira memang kamulah yang harus dipestakan. Kamulah yang harus dirayakan agar lebih banyak orang bisa bersentuhan lebih akrab denganmu. Saya tidak terlalu setuju pada teriakan angkuh Chairil, tapi saya juga tak ingin orang menganggap puisi itu gampangan. Semua orang bebas dan boleh mencintai kamu. Tapi jangan atas nama cinta, kamu jadi direndahkan, dituliskan asal-asalan. Sebelum menuliskanmu, saya kira sebaiknya orang lebih dahulu harus mengakrabi kamu, mengenali kamu.

Surat-suratku ini, juga segala kamu yang telah dan akan saya tuliskan, segala renungan-renungan yang saya tulis atasmu, adalah ikhtiarku untuk lebih mengenali kamu, juga tolok pengukur seberapa kuat aku bisa mempertahankan cintaku padamu.

Salam Cinta,
HAH


Sunday, February 18, 2007

[Surat Untuk Sajak # 002] Ketika Mereka Mengirimmu ke Koran-koran

Sajak yang baik,

Semakin banyak orang yang menuliskanmu. Mereka kemudian mengirim engkau yang mereka tuliskan itu ke surat-surat kabar, majalah, situs yang memuat puisi dari kiriman pembaca. Di media-media itu ditunjuk redaktur, orang yang menyeleksi dan memutuskan puisi-puisi mana yang dimuat dan mana yang tidak. Redaktur itu bekerja atas nama engkau, atas nama sajak yang baik, sajak yang layak dan cocok dimuat di media di mana mereka bekerja.

Sajak yang baik? Sajak yang layak muat? Sajak yang cocok? Itulah masalahnya. Media itu tidak pernah mengumumkan sajak yang baik, layak dan cocok itu seperti apa. Masing-masing media seperti punya syarat yang berbeda. Punya standar estetika yang berbeda.

Menjadi redaktur itu merisaukan. Dan kadang membosankan. Nirwan Dewanto, redaktur sastra di Koran Tempo mengaku tiap minggu menerima sekitar 200 naskah puisi dan cerpen. Bayangkan bagaimaa repotnya kalau dia harus membaca semua naskah itu dan memilih sebuah cerpen dan beberapa puisi untuk dimuat. "Kadang-kadang ada yang pengantarnya memaki-maki," katanya suatu kali, ketika bertemu di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Dan, mereka - para penulis sajak - itu, banyak yang juga risau. Mereka bertanya-tanya, kenapa sajak saya tak dimuat di koran A, tetapi selalu dimuat di koran B? Kenapa sajak saya tak pernah dimuat di mana-mana? Apakah perlu pengantar ketika mengirim sajak? Bagaimana pengantarnya?


Saya bilang kepada mereka yang risau: tulislah saja sajak, tanpa membebani sajak itu dengan target akan dimuat di media A atau media B. Tulislah sajak tanpa dipantas-pantaskan akan cocok atau layak dengan selera redaktur A atau redaktur B. Tulislah saja sajak yang baik sambil terus belajar sajak yang baik itu seperti apa.

Saya bilang pada mereka: bikinlah blog dan jadilah anggota mailist dan siarkan puisimu di sana. Sajak di blog akan dibaca orang-orang yang tahu alamat blog itu. Di mailist setidaknya mereka yang jadi anggota mendapat kiriman sajakmu. Murah, dan itu juga semacam tempat menyiarkan puisi yang baik juga. Paling tidak blog dan mailist mereka bisa jadi gudang arsip bagi karya mereka bukan? Tapi, jangan juga berhenti mengirim puisi. Kata saya, "Bila merasa telah mencapai taraf tertentu, bila merasa ada sesuatu yang berharga dalam sajakmu, kirimlah ke media."



Sajak yang baik,

Kami harus berterima kasih padamu. Karena lewat engkau, orang bisa berubah menjadi bukan siapa-siapa menjadi seseorang. Tapi, harapan untuk lekas menjadi seseorang itu yang kadang bisa membuat orang berprasangka macam-macam pada redaktur yang bekerja atas nama engkau. Orang - tentu yang menuliskan engkau - menjadi bergantung pada redaktur, dan melupakan bahwa pertama adalah orang harus menuliskan engkau sebaik-baiknya. Engkaulah yang sebenarnya bicara kepada para redaktur itu, sebelum redaktur itu menjawab, "nah ini sajak yang saya rindukan, sajak yang saya cari untuk dimuat di media saya."

Di Kota Padang saya mendapat cerita tentang almarhum A.A Navis, sastrawan besar itu. Ketika ia mendengar seorang penulis muda dimuat karyanya di sebuah media, Navis meminta korannya. Setelah dibacanya, koran itu lantas dilipat-lipat saja dan dicampakkan. "Ini bukan koran," katanya. Lantas, dia menyebut nama koran lain. "Kalau sajakmu dimuat di koran itu, itu baru namanya sajakmu dimuat di koran," katanya.

Saya mendapat cerita itu dari si penulis muda tersebut. Apa maksud Navis? Bagi saya jelas: jangan berhenti menulis dan jangan berhenti meningkatkan taraf sajak yang kita tulis. Jangan puas hanya karena telah dimuat di koran, dan lebih-lebih lagi jangan merasa telah menjadi penyair atau sastrawan setelah pemuatan itu.

Saya selalu bilang pada diri saya sendiri, dengan menuliskan engkau, saya tidak berniat supaya engkau bisa membuat nama saya terkenal karena tercantum di koran-koran itu bersamamu. Saya tidak menuliskan engkau karena saya ingin disebut penyair atau sastrawan. Dengan menuliskan engkau, saya ingin mengerti dan menikmati kehidupan, saya ingin menjalani kehidupan dengan lebih baik. Dengan menuliskan engkau saya ingin memuliakan bahasa, saya kira begitulah cara saya berterima kasih pada bahasa yang telah mengabdikan dirinya pada kehidupan saya, mempermudah kehidupan saya.

Salam kehidupan,
HAH

Foto: Dominic Rouse

Thursday, February 15, 2007



Kisah Seratus Burung Kolibri


.:. Kubayangkan petikan gitar Akmal 
mengiringi Anya membaca cerpen Kef 


/1/
SERATUS pasang sayap kolibri mengepak, merah muda,
dari denting pertama, gitar itu memetik lagu-lagu lama.

Seratus kolibri mematuki bunga-bunga waktu,  mengingat
kisah-kisah cinta, kisah-kisah lama, kisah-kisah Anita.

/2/
SERATUS pasang kaki kolibri hinggap, dahan-dahan waktu,
dari kata pertama yang memulai cerita, stefani melumatkan
bisikan di kuping lelaki tua di sebelahnya, tentang seratus,
seribu, sejuta, kolibri yang ingin ia lepaskan dari hatinya.

Sekawanan kolibri yang kelak beranak-pinak dan kembali
membawa kisah-kisah lama, kisah-kisah cinta, yang tak habis
kau baca di sepanjang Braga, saat mengulang kenang.  

/3/
SERATUS nyanyian kolibri, denting gitar dan  perempuan
yang membaca kisah-kisah lama, kisah-kisah cinta, seperti
waktu dalam iklan Rolex di majalah Tempo: semua seperti
telah jadi abadi: tapi kenapa masih juga bergantung pada
angka dan kata? Pada jam, menit, detik yang tak bisa baka?





 



[Surat Untuk Sajak # 001] Coca-cola dan Merek-Merek Lainnya

Sajak yang baik,

Beberapa hari ini mungkin kamu bertanya kenapa saya memasukkan nama-nama dari khazanah pop ke dalam bait-baitmu. Saya tuliskan Marlboro, Popeye, Jusuf Kalla, Rinso bahkan merek kondom. Tentu saja pertama harus saya jawab, ini adalah bagian selanjutnya dari perjalananku menyair, perjalananku menuliskan kamu.

Saya pelan-pelan semakin disadarkan betapa lingkungan saya ini dipenuhi merek-merek. Ini zamannya merek, zamannya "brand", bukan? Brand adalah pertaruhan berhasil tidaknya sebuah produk dipasarkan, brand adalah asset. Merek-merek berlomba-lomba menjadi nomor satu dan menjadi generik. Maka, orang pun mengidentikkan sepeda motor adalah Honda, rokok rendah nikotin dan tar adalah A Mild.

Bukankah Chairil Anwar, penyair berhidup singkat itu pernah menuliskan coca-cola dalam sajaknya "Tuti Artic".  Saya tak tahu seberapa popularkah minuman ringan itu pada tahun-tahun 1947 ketika ia menuliskan sajaknya itu.  Saya tidak tahu adakah penyair lain yang pada
tahun-tahun itu yang menuliskan hal yang sama.  Tapi, keputusan Chairil memasukkan kata itu saya kagumi sebagai sebuah keberanian. Dia memang hebat, dan kita punya alasan banyak untuk mengaguminya, bukan?

Dan ketika kau dengar kata Adidas apa yang terbayang? Yang terbayang adalah deretan kata-kata "sporty", penyuka sukan, gaya hidup sehat, muda, dan dinamis. Lihat, betapa merek itu seperti puisi juga bukan? Merek seperti menjadi metafora untuk citra apa yang hendak dikenakan pada merek itu dan pada produk itu. Maka, orang-orang berduit itu pun berburu dan doyan sekali pada barang-barang bermerek.

Saya kira menyair seperti menjadikan sebuah kata seperti mereknya peristiwa, atau imaji, atau situasi, atau keadaan tertentu. Jika upaya itu berhasil, dalam sebuah sajak yang berhasil, maka ketika sebuah kata tersebut, maka terbayanglah sederetan kata lain yang dicitrakan pada kata itu.

Dan kita memang tak bisa mengelak dari merek-merek yang mengepung itu bukan? Sekarang, saya tidak ingin melawan kepungan itu, saya ingin memanfaatkan merek-merek itu di dalam bait-baitmu. Mungkin saya tidak akan menambahkan apa-apa padamu, tapi ya itu tadi, saya ingin memberi sesuatu yang baru padamu.

Salam Kalam,
HAH

NB: buku kita masih di penerbit itu. Belum ada kabar apakah akan diterbitkan atau tidak. Berdoalah agar yang terbaiklah yang datang padamu dan padaku.


 

Tangismu Terdengar Amat Manis

.:. Aku mendengar Dua Ibu menyayikan sajak Sapardi

HUJAN tak juga menipis, tangan kecil tak bisa menepis.
Kaukah yang menyeberang? Membawa-bawa tangis?

DI tanganmu payung terkulai, bergambar lambang partai,
di sebuah bak sampah, masih terlihat poster kampanye,
dan kalimat-kalimat janji yang makin tak kau mengerti,
ada kemasan Rinso, pecah botol kecap Bango, dan bungkus
kondom yang tak jelas lagi mereknya: Durex? Atau Simplex?

HUJAN tak juga menipis, tangismu terdengar amat manis.
 

Wednesday, February 14, 2007

Tentang Marlboro dan Tiket Rp250 Ribu

 .:. teater bebas bersama Porman W Manalu

/1/
LALU kau ulurkan Marlboro dan sebuah percakapan,
monolog asap yang kita hirup & hembus bergantian.

Aku bayangkan kata apa yang bisa kuucapkan dari
huruf m, a, r, l, b dan o. Memang, banyak kemungkinan.

Tapi, tetap ada yang harus ditambahkan bila aku ingin
sampai juga menyebut Meulaboh. Mural mimpi roboh.

/2/
LALU kau bercerita tentang adegan orang-orang, bersama
sejumlah kursi, dan tiket Rp250 ribu. Orang-orang kehilangan
kursi-kursi. Lalu, orang-orang tak sadar kehilangan diri. Diri
orang-orang rupanya ada di kursi. Waktu orang-orang
ketemu sebuah kursi, orang-orang berebut kursi itu, orang-
orang merasa telah membaca nama mereka ada di kursi itu.

"Rp250 ribu, Abang, cukup untuk berapa bungkus Marlboro?"

 

[Ruang Renung # 176] Puisi Lirik Sama Saja Sepanjang Zaman

Kali ini, mari kita mengutip sepenuhnya dengan amat hormat ucapan penyair Sapardi Djoko Damono dalam "Keremang-remangan: Suatu Gaya, Sajak-sajak Abdul Hadi W.M." dalam buku "Sihir Rendra: Permainan Makna", Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999.

Beliau menulis: Barangkali kita berpendapat bahwa perasaan yang dihadirkan oleh penyair dalam sajak-sajaknya adalah klise, yang sudah begitu acap dihadirkan oleh penyair-penyair lain. Tetapi bisakah kita menunjukkan perasaan, sebagai perasaan yang tidak klise? Bisakah kita memiliki perasaan-perasaan yang diluar yang itu-itu juga? Penyair Heinrich Heine pernah mengatakan: "Puisi lirik itu sama saja sepanjang zaman. Seperti lagu burung bul-bul di musim semi". Ia benar adanya. Dan saya yakin, bahkan perasaan yang paling khas dalam arti: yang paling banyak melibatkan manusia dari zaman ke zaman, adalah bahan terbaik untuk lirik.[]
 

 Sepadang Rambut, Sekarang Sebut

.:. bersama Romi Zarman, di Pantai Padang


RAMBUT sepanjang padang, di jariku sejumput terpegang
kukepang ujung kuas, lalu kita melukis setipis bayang Navis,
dan grafis Popeye di tubuh bis, melaju ke Padangpanjang.

"Di sinilah kami bersila, menebak sendiri batas puisi,"
kau arahkah lurus telunjuk ke halaman Taman Budaya,
di belakangmu gelombang berulang: Samudera Hindia.

Lalu kau berpaling, menghadap horison yang mulai gelap,
Kau harus pergi juga. Setelah semua diktat bisa kaubaca.

"Abang, sebutkan mana nama-nama kota itu sekarang?"

Tawa Untuk Karikatur Lainnya

.:. Kadek Swarna memotret saya


KAU sudah membuat aku tertawa, karikatur Jusuf Kalla,
kartun yang membawamu jauh dari peta bergambar pura.

"Saya sudah berkeluarga, anak dua," katamu, seraya
mengarahkan kamera ke arah wajah saya. Klik klak! Maka
inilah peristiwa amat biasa: Kadek Swarna memotret saya.

"Nanti kukirim ke e-mail saja ya," katamu, setelah kuberi
alamat surat di situs Yahoo! pada sebuah kartu nama.

"Hasil jepretanmu itu kartun atau gambar biasa?" tanyaku.
Kau tertawa. Aku juga tertawa. Tawa untuk karikatur lainnya:
negeri tak kelar berkelakar, yang tak akan habis kita gambar.









 

Friday, February 9, 2007

[Ruang Renung # 175] Enam Tahap Mengakrabi Puisi

1. Tahap Tahu Puisi. Ini tahap awam. Sebagian besar orang berada pada tahap ini. Sebagian besar orang pernah membaca satu dua bait atau satu dua puisi. Paling tidak orang bertemu puisi dalam pelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Orang yang tahu puisi, bukan orang yang peduli pada puisi. Ia bisa hidup nyaman-nyaman saja tanpa puisi. Dia dan puisi adalah dua orang tak saling kenal yang kalau bertemu tak perlu harus menggelar perbincangan, bahkan mungkin tak perlu bersapaan.

2. Tahap Kenal Puisi. Orang yang kenal puisi mulai sering membaca - bukan meresitalkan - puisi, meskipun tidak rutin. Dia ingat beberapa nama penyair dan puisinya. Dia suka menuliskan puisi sendiri, untuk diri sendiri, atau untuk orang-orang terdekatnya saja. Puisi baginya seperti ibadah sunat, dikerjakan dapat nikmat, tidak dikerjakan tidak berkurang nikmatnya. Dia dan puisi seperti kawan yang saling sapa dan menjabat tangan kalau bertemu. Saling bertanya kabar, meskipun kadang hanya tanya berbasa-basi.

3. Tahap Perlu Puisi. Pada tahap ini seseorang mulai menganggap puisi sebagai kebutuhan. Dia rutin menulis dan membaca puisi. Dia mengoleksi buku puisi. Dia ingin tahu lebih banyak tentang hakikat puisi. Dia mulai bisa merasakan mana puisi bagus, dan mana puisi buruk, dan bisa menunujukkan keunggulan dan kelemahan puisi itu. Dia menulis puisi dan mulai peduli apa pendapat orang tentang puisinya. Dia menikmati penulisan puisi itu. Dia butuh menulis puisi. Puisi ibarat orang yang dia taksir dan ingin dia pacari. Dia belum menyatakan cintanya, tapi dia ingin tahu banyak dan seperti terseret untuk lebih dekat, lebih banyak kenal.

4. Tahap Mahir Puisi. Pada tahap ini, orang sudah percaya diri menunjukkan puisinya pada orang lain. Puisinya tersiar di beberapa terbitan. Puisinya tergabung pada beberapa antologi. Dia telah menerbitkan puisi. Dia suka memperhatikan puisi-puisi orang lain, untuk menambah akemahirannya berpuisi. Dia suka meresitalkan puisinya atau puisi orang lain. Dia mulai tahu bagaimana puisi yang baik dan terus menerus ingin memperbaiki puisinya. Secara teknis dia tak bermasalah lagi dengan puisi. Dia telah membuka diri bahwa dia telah menjalin hubungan khusus dengan puisi. Dia telah memacari puisi.

5. Tahap Cinta Puisi. Dia telah menemukan dirinya dalam puisi. Dia mencintai puisi seperti mencintai dirinya. Dia menghargai dirinya dengan lebih baik, sebaik dia menghargai puisinya dan puisi lain yang ditulis orang lain. Dia menulis puisi untuk meyakinkan bahwa dirinya berharga untuk terus ada. Dia ingin orang lain membaca puisinya seperti orang membaca dirinya. Dia bisa membuat orang menghargai puisinya seperti menghargai dirinya. Dia membaca puisi orang lain dan dengan nyaman juga seperti bertemu bagian-bagian dari dirinya ada dalam puisi itu. Dia seperti telah menikahi puisi. Dia berumah tangga dan membangun kehidupan yang berbahagia dengan puisi.

6. Tahap Arif Puisi. Ini tahap tertinggi. Orang yang sudah mencapai kearifan berpuisi. Dia tak ada beban lagi harus menulis puisi atau tidak, tapi dia terus saja menulis puisi sebagai laku hidup, seperti bernapas. Puisi itu penting buatnya tapi dia melakukannya tanpa beban apa-apa. Dia tak ingin mencapai apa-apa lagi lewat puisi karena dia telah mencapai Puisi. Dia seperti telah memahami hakikat yang Mahapuisi. Menyebut namanya, orang langsung mengingat puisi-puisinya. Dia sendiri telah menjelma menjadi semacam puisi juga. Menyebut puisi, orang bahkan dengan mudah jadi teringat pada dia juga.

Riwayat Rambutku dan Sisir Ibu

/1/
IBUKU dulu suka menyisiriku dengan tangannya.

Rambutku pernah berkata padaku, itulah
sisir terbaik yang pernah menyentuh mereka.

Rambutku sering rindu disisiri lagi oleh ibuku.

/2/
IBUKU dulu suka berpesan: rawatlah rambutmu,
seperti ibu merawatmu di waktu kecilmu dulu.

Rambutku suka mengingatkanku, mengulang-ulang
pesan ibu. Aku memang sering lupa pada rambutku,
seperti juga sering lupa pada ibuku dan pesannya itu.

/3/
SEJAK aku mulai sering keluar masuk salon, rambutku
jadi pendiam. Di salon aku sebenarnya tidak hendak
merawat rambutku. Aku hanya tergoda pada berbagai
macam jenis sisir. Aku semakin lupa pesan ibuku.

/4/
WAKTU aku pulang bertemu ibuku, ibuku sedih sekali.
Soalnya aku tak mau dia mengelus rambutku seperti dulu.

"Saya sudah besar, Ibu. Sudah bisa menyisir rambutku
sendiri," kataku. Aku tak memperhatikan, ketika ibuku
meremas-remas tangannya dan menyisir rambutnya
sendiri. "Sudahlah, Ibu. Rambutku tak kenal lagi dengan
sisir tangan Ibu itu," kataku.

Kata ibu, "Ah, kau tak pernah bisa mengenal rambutmu."

 

Thursday, February 8, 2007

Rambut Penyair dan Sisir Ajaib

HIDUP adalah rambutmu yang  mulai diseludupi uban.

"Wah, sisir ajaibku mana ya?" tanyamu senantiasa sambil
menjelajah kocek celana, kantung  mata, dan saku waktu.

Sisir ajaibmu adalah puisi yang sering hilang bersembunyi.


Sisir yang Hujan, Rambut yang Basah

BANG Yos sedang bersisir di depan cermin kotanya
tiba-tiba sisirnya menjadi hujan, rambutnya pun basah.

Lalu seluruh sisir di kota itu pun menjadi hujan. Lebat.
Orang-orang tidak sempat bercermin, tersisir oleh banjir.

Orang-orang jadi ingat lagu Bang Ben. Orang-orang
ingin marah kepada Bang Yos. Tapi mana Bang Yos?

Bang Yos ada di dalam cermin sekarang. Di sana
ternyata juga sedang hujan. Lebat. Wajahnya basah.

"Saya sedang mencari sisir yang tidak bisa berubah
menjadi hujan," kata Bang Yos. Cermin makin hujan.

Orang-orang bercermin, melihat wajah dan rambut
yang amat basah. "Lihat, Bang Yos juga kedinginan"

Hujan berhenti, orang-orang lupa untuk segera bersisir.
Banjir berlalu, tinggal sampah rambut yang tak mau surut.

"Rambut siapakah ini, Bang Yos?" teriak orang-orang.

Mereka lupa, mereka sendiri suka diam-diam pergi
ke puncak kepala, mencukur rambut sendiri seenaknya.

Wednesday, February 7, 2007

Sekolah Puisi GRAMMATA

1. Sekolah Puisi?

Namanya juga sekolah, tentu saja ini adalah tempat untuk belajar puisi. Ya, tentu saja puisi bisa dipelajari. Dan sesungguhnya berpuisi itu adalah proses belajar yang terus-menerus.

2. Siapa yang Bisa Ikut Belajar?

Siapa saja yang ingin belajar puisi. Siapa saja yang ingin masuk ke relung-relung terdalam puisi. Siapa saja yang mau mencintai puisi. Cinta yang sehat. Cinta yang membuka cinta yang lain, yaitu cinta pada kehidupan pada kemanusiaan, bukan cinta yang membunuh kecintaan pada hal lain di luar puisi. Bukan pula cinta yang membunuh puisi itu sendiri.

3. Bagaimana Metode Belajarnya?

Sekolah puisi Grammata sepenuhnya diselenggarakan lewat internet. Sebuah mailinglist disiapkan sebagai ruang kelas. Di ruang kelas maya itulah diskusi diselenggarakan. Sesekali, berdasarkan waktu yang disepakati akan dibuka diskusi di ruang obrolan YM. Peserta mengirim pertanyaan dan mendapat jawaban ke dan dari mailing list.

4. Apa Buku Pegangannya?

Tak ada yang resmi. Bacaan dan bahan diskusi sedapat mungkin berupa softcopy yang bisa dipertukarkan lewat e-mail.

5. Apa Syarat untuk Ikut Belajar?

a. Anda adalah orang yang ingin belajar puisi, sebagaimana jawaban pertanyaan kedua.
b. Anda punya blog puisi, alamat e-mail, dan punya akses mudah ke internet.
c. Anda mengajukan lamaran ke Kepala Sekolah (hasanaspahani@yahoo.com). Lamaran berupa surat-e (dahului subyek surat-e Anda dengan kata SEKOLAH PUISI) yang berisi alasan kenapa Anda mencintai puisi, dilampiri 3 puisi yang menurut Anda itulah puisi terbaik yang pernah Anda tulis, serta satu sajak penyair Indonesia yang Anda sukai, serta sedikit data diri (umur, pekerjaan, alamat, pendidikan resmi).
d. Minimal pasif, Anda harus bisa berbahasa Inggris. Kenapa? Karena penyair-penyair yang baik di Indonesia umumnya mampu berbahasa asing, minimal bahasa Inggris.

6. Kapan Selesainya?

a.Secara resmi sekolah puisi ini direncanakan akan berlangsung selama setahun. tapi, sekali lagi, belajar puisi itu adalah belajar yang terus menerus.
b. Kelas akan dimulai Maret 2007, berakhir Maret 2008.
c. Pendaftaran dimulai hingga akhir Februari.
d. Nama-nama peserta kelas akan diumumkan awal Maret di PUISINET (www.puisi.net) dan Sejuta Puisi (www.sejuta-puisi.blogspot.com).

7. Berapa Biaya Sekolah?

Gratis.

8. Apa Tujuan Akhir dari Sekolah Ini?

Peserta sekolah puisi di akhir masa belajar diharapkan merasa semakin tidak tahu apakah puisi itu. Semakin kepingin ingin tahu apakah puisi itu. Semakin dalam masuk ke lorong guha puisi. Dan semakin keranjingan menulis dan membaca puisi, dalam rangka mencari jawaban sendiri.

Bumi, Februari 2007
Hormat saya

Hasan Aspahani
Poet Excecutive Officer (PEO) :-) 
Sekolah Puisi Grammata





 

Tuesday, February 6, 2007

[Tadarus Puisi # 022] Siapa yang Berjalan di depan Siapa yang Menciptakan Bayang-bayang

Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari
Sajak Sapardi Djoko Damono

waktu aku berjalan ke barat waktu pagi matahari mengikutiku
        di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang
        di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara yang
        yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
        kami yang harus berjalan di depan.
                                                                                           1971

(Mata Pisau, Balai Pustaka)

SAYA kira inilah contoh sajak imajis yang sempurna. Para penyair imajis di Inggris dan Amerika yang memulai gerakan ini di awal abad 20 mengejar apa yang mereka sebut "kejernihan ekspresi" melalui pemakaian ketepatan imaji-imaji visual. Tidak ada ekspresi yang kabur dalam sajak di atas. Tidak ada kata-kata yang meleset dari imaji visual. Semuanya bahkan sangat visual. Matahari, pagi, aku dan bayang-bayang. Itulah tokoh-tokoh utama, sekaligus masing-masing juga berperan sebagai figuran satu sama lain - dalam sajak ini.

Semuanya tampil apa adanya, tapi semuanya juga menonjol. Si aku berjalan ke barat waktu pagi, matahari di belakangnya, bayang-bayang di depannya. Semua begitu nyata. Siapa pun bisa dan pernah mengalami peristiwa itu. Jika tidak ada peran pagi, maka tak akan ada bayang-bayang di depan si aku. Jika tak ada matahari, tak akan ada bayang-bayang. Jika tidak ada aku, tidak akan ada bayang-bayang. Jika tidak berjalan ke barat maka bayang-bayang itu tidak akan ada di depan. Dan jika bayang-bayang yang sepele itu tidak diberi perhatian besar atau tidak diberi peran penting dalam sajak ini, maka sajak ini tidak akan jadi sajak. Semuanya biasa dan tidak perlu dipertengkarkan. Pesan moralnya, selaraslah dengan alam. Hayatilah harmoni kehidupan.

Sajak ini taat pada rukun sajak imajis yaitu: menggunakan bahasa dari percakapan yang umum, tapi selalu memberdayakan kata yang setepatnya kata, bukan kata yang hampir-tepat, bukan kata-kata dekoratif belaka. Tak ada kata yang berbunga-bunga pada sajak ini. Semua kata lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Semua orang pernah dan bisa menggunakan kata-kata penyusun sajak ini.

Apakah imaji? Ezra Pound salah satu penghulu gerakan sajak ini menyebutkan imaji adalah apa yang padanya, dalam waktu sekilas seketika, menghadirkan sebuah kompleksitas emosi dan intelektual. Nah, betapa sajak ini pun telah mencapai tarap yang ditetapkan oleh Ezra Pound. Sapardi menulis imaji apa adanya. Sekilas saja. Seketika. Tapi dari sana hadir dan bangkit emosi dan menampilkan kedalaman intelektual sekalian.

Akhirnya definisi puisi imajis pun diterjemahkan dengan baik oleh Sapardi dengan sajak ini. Puisi imajis, dirumuskan sebagai puisi dengan memperlakukan langsung "sesuatu", sebagai subyek atau obyek; dan mutlakiah menggunakan, tak satupun kata yang tak memberikan sumbangan makna. Tengoklah sajak di atas. Adakah kata yang tidak memberikan sumbangan makna? Tak ada. Semua kata hadir seada-adanya, tetapi juga memainkan peran yang sama besarnya pada keseluruhan makna sajak.

Akhirnya definisi puisi imajis pun diterjemahkan dengan baik oleh Sapardi dengan sajak ini. Puisi imajis, dirumuskan sebagai puisi dengan memperlakukan langsung "sesuatu", sebagai subyek atau obyek; dan mutlakiah menggunakan, tak satupun kata yang tak memberikan sumbangan makna. Tengoklah sajak di atas. Adakah kata yang tidak memberikan sumbangan makna? Tak ada. Semua kata hadir seada-adanya, tetapi juga memainkan peran yang sama besarnya pada keseluruhan makna sajak.
 

Rambut, Pena, Buku, Airmata

ADA pena di samping buku yang halamannya terbuka.
Ada sebuah kalimat yang tak kuselesaikan di buku itu.

Pena tidak tahu kata apa lagi yang belum kutuliskan.

Ada sehelai rambut yang bukan rambutku terselip di
buku terbuka itu, buku & pena tidak tahu itu rambut siapa.

Ada bekas basah di buku itu, yaitu airmataku yang jatuh
ketika aku hendak menyelesaikan kalimat tak rampung itu.

Buku dan pena tak tahu kenapa aku menangis. Mereka
juga tak bertanya pada rambut yang tak mereka kenal itu.

 

Monday, February 5, 2007




SelfPortrait by Steven, emulsion paint on wall, 2007.
 

Friday, February 2, 2007

[Tadarus Puisi # 021] Adakah Takaran Permainan yang Pas?

Adakah
Sajak Dedy Tri Riyadi

adakah debar hujan terbaca dari getar hujatku?
hingga dingin merupa ingin yang mewaktu

adakah buram cuaca terlukis dari muram wajahku?
dan rintiknya menjadi detik yang tak bertalu

adakah luapan hari terbilas sapuan jariku?
sedang cakungan tubuh rebah di cekungan subuh


JIKA sajak adalah permainan, maka Dedy Tri Riyadi dengan sajak "Adakah" telah menunjukkan kemampuan bermainnya dengan baik. Dia menikmati sekali permainan sajaknya. Dan yang lebih penting lagi, pembaca pun bisa ikut merasakan kenikmatan permainannya. Setidaknya pembaca itu adalah seorang saya.

Sajak tiga bait (enam baris) ini mengasyikkan karena, ditulis dengan memaksimalkan beberapa jurus perpuisian. Lihatlah bagaimana kata "debar" disusul "getar", "hujan" diselipkan lalu disahut oleh "hujat", dan "dingin" ditingkahi oleh "ingin", dan kata bentukan "merupa" disanding dengan "mewaktu". Permainan itu dilakukan di sepanjang bait, dari bait ke bait, tanpa jadi membosankan.

Bila itu terlihat mudah, sesungguhnya tidak, karena cara menyajak seperti ini gampang sekali tergelincir. Pembaca bisa menuduh, "ah, ini hanya permainan mengutak-atik kata demi pencapaian esetetika kosmetika saja." Ya, itu risiko. Dan Dedy entah telah memperhitungkan dengan cermat atau tidak, menurut saya dia bisa mengelak dari tuduhan itu. Dia telah berhasil mengantar sajaknya pada esensi, pada makna.

Jika sajak ini harus dipahami dengan mengaitkannya kepada konteks hujan dan banjir di Jakarta, tempat ia bermukim, maka Dedy pun telah pula menunjukkan keberhasilan lain: ia tidak lagi menjadi pemotret kenyataan yang ia hadapi. Ia telah melihat ke atas kenyataan itu, mengangkat sajaknya sehingga ada ruang kosong antara sajak dan kenyataan yang hendak dirangkum. Begitulah semestinya sajak yang baik. Dia memurnikan peristiwa sehingga yang tinggal adalah esensi yang kelak diuji oleh waktu dan mungkin akan abadi. Banjir boleh berlalu dan kita lupa, tapi sajak itu akan bertahan dan menawarkan renungan dan pemaknaan lain.






Balinese Boat (1982), Affandi (1907-1990), Oil on Canvas, 128cm x 105cm


.: Vokal, Konsonan, dan Hakikat Bunyi

 /1/
KARENA bahasa adalah tanda bunyi, maka penyair yang ingin masuk ke relung bahasa harus mengenali bagaimana bunyi diproduksi oleh alat bicara, apa ciri-ciri dari bunyi tersebut, dan bagaimana bunyi itu dipahami setelah didengar oleh indra pendengar. Penyair perlu mengenali perihal ini mengingat sajak juga adalah semacam permainan bunyi.

/2/
Karena bunyi dihasilkan dari udara nafas yang dipompa dari paru-paru, maka di sela-sela bunyi-bunyi kata dalam sajak-sajaknya, penyair boleh membayangkan ada pengaturan nafas di sana. Pemenggalan-pemenggalan bait boleh diibaratkan sebagai tanda kapan nafas harus dihembus, ditahan atau dihirup. Begitu pula dengan tanda baca titik, titik koma, titik dua, garis datar, garis miring atau tanda kurung. Maksimalkan pemanfaatan tanda-tanda sebagai tanda pengaturan napas dalam sajak-sajak kita.

/3/
Menulis puisi, sambil membayangkan kelak puisi itu dibaca atau dibunyikan atau dibayangkan bunyinya oleh pembaca, berarti membayangkan bagaimana rongga mulut, tenggorokan dan rongga badan - ketiganya adalah sumber bunyi pada tubuh manusia - bekerja menghasilkan bunyi. Lewat ketiga organ bunyi itulah bunyi bahasa dihasilkan lewat empat proses: proses pembunyian (phonation process); proses aliran udara (airstream process); proses artikulasi (articulation process); dan terakhir proses oronasal (oro-nasal process). Rumit? Memang. Puisi memang menawarkan kerumitan untuk dijelajahi. Terserah penyair, hendak bermain-main memanfaatkan itu atau tidak.

/4/
Memang, semua orang makan tapi tidak semua orang harus mengetahui rumitnya sistem pencernaan. Semua orang suka makan enak, tapi tidak semua orang harus pandai memasak. Semua orang bisa memanfaatkan bahasa dengan berbicara, dan tidak semua orang harus tahu bagaimana bahasa itu dihasilkan oleh alat-alat ucap. Saya membayangkan penyair yang menguasa kaidah-kaidah linguistik adalah penyair yang sadar bahwa ia harus ambil peran sebagai dokter, dan chef - ahli masakan.

/5/
Alat bunyi dalam rongga mulut disebut artikulator. Secara khusus disebut 'alat ucap'. Untuk menghasilkan atau membayangkan bunyi yang benar, seseorang mutlak mengetahui artikulator mana yang terlibat dalam artikulasi itu. Secara umum cara berartikulasi itu dikelompokkan menjadi tujuh jenis artikulasi, tergantung pada jenis hambatan dan tempat artikulasi dilakukan. Setiap bunyi yang dihasilkan tidak hanya menghasilkan kata yang berbeda, tetapi bunyi kata itu bisa dilihat terlepas dari kata itu sendiri bisa secara mandiri ia bisa "dimaknai".

/6/
Bunyi konsonan "k" dalam bahasa Jepang, menurut Geofreyy Bownas dalam "The Penguin Books of Japanese Verse" memberi efek melankolik. Begitulah penyair bisa membayangkan efek rasa apa yang bisa dicapai dalam puisinya dengan memaksimalkan penggunan bunyi konsonan tertentu. Bunyi huruf "k" dihasilkan dari hambatan artikulasi letupan (plosive/stop). Sama dengan "p", "b", "t". "d", dan "g". Bunyi konsonan lain dihasilkan dari hambatan artikulasi geseran (fricative), paduan (affricate), sengau (nasal), getaran (trill), sampingan (lateral), dan hampiran (approximant).

/7/
Bunyi huruf "s" (geseran) dalam Bahasa Jepang, masih menurut Bownas, mengandung kelembutan, dan bunyi huruf "h" menyarankan merekahnya kelopak bunga pada awal musim panas. Dalam sajak-sajak Indonesia efek bunyi rasanya belum maksimal digali, dikaji dan dimanfaatkan. Ini peluang bagi penyair yang ingin meraih puncaknya puisi sendiri.

/8/
Efek bunyi memang belum maksimal dimainkan, tapi bukan berarti tidak ada. Hasan Junus memberi contoh dari sepotong sajak Chairil Anwar yang memaksimalkan bunyi konsonan "m". Di hitam matamu kembang mawar dan melati // Harum rambutmu mengalun bergelut senda//Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba / Meriak muka air kolam jiwa (Sajak Putih, 1944). Menurut saya pengulangan bunyi "m" pada dua baris terakhir bait pertama dan dua baris pertama bait kedua sajak itu mempertegas efek suasana muram, suram, sebagaimana kekelaman yang hadir pada seluruh sajak itu.

/9/
Di atas sudah disebutkan ihwal konsonan. Apakah konsonan? Secara garis besar bunyi bahasa dikelompokkan menjadi dua, yaitu konsonan dan vokal. Pembedaan ini dibuat atas ada tidaknya hambatan arus udara ketika bunyi dihasilkan. Bila ada hambatan itulah konsonan, bila tidak itulah vokal. Bila lirik lagu boleh kita anggap sebagai sejenis puisi juga, sejenis pemanfaatan bahasa juga, maka perhatikanlah, umumnya ujung baris dalam lirik lagu dalam bahasa Indonesia hampir selalu berakhir dengan vokal. Adakah itu ada hubungannya dengan kecenderungan lagu-lagu kita yang melantunkan lebih panjang suku kata terakhirnya? Bukankah bunyi vokal lebih mudah dan lebih indah ketika dipanjangkan?

/10/
Konsonan dan vokal yang dibutuhkan oleh bahasa-bahasa berbeda-beda. Setiap bahasa menghasilkan vokal dan konsonan yang unik karena proses artikulasi juga unik. Bahasa Arab tidak mengenal bunyi sengau seperti pada kata "bangau". Bahasa Indonesia tidak membedakan bunyi faringal "h" menjadi berbagai variasi konsonan yang berbeda seperti pada Bahasa Arab. Mengenali lebih baik keunikan Bahasa Indonesia, bahasa yang kita pakai untuk menuliskan sajak-sajak kita, memungkinkan kita membuka pintu-pintu kreativitas yang masih tak berbatas kebarangkaliannya.

/11/
Kini, coba rasakan efek apa yang bangkit pada dominasi konsonan "k" pada sajak Goenawan Mohamad ini: "Ah, / lakukan, / lekukkan, / lekaskan" // Sadarkah kau / kian kubenamkan / kangen / ke gemas tubuhmu? // Mungkin tidak //. (Hiroshima, Cintaku). Saya merasa ada gebu hasrat yang hendak meletup-letup tapi tertahan-tahan. Apa yang kau rasakan?

Bacaan:
1. Junus, Hasan. "Cakap-Cakap Rampai-Rampai, Dan Pada Masa Kini Sukar Dicari". Hal. 83-102. 1998. Pekanbaru: Unri Press.
2. Anwar, Chairil. "Aku Ini Binatang Jalang". Hal. 42.
3. Mohamad, Goenawan. "Sajak-sajak Lengkap 1961-2001". 2001. Jakarta: Metafor Publishing.
4. Rahyono, F.X. "Aspek Fisiologis Bahasa" dalam Kushartanti, Untung Yuwono, Multamania RMT Lauder (Editor). 2005. "Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik". Hal. 32-46. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Kisah Sungai Rambut

/1/
TAK pernah ada yang bertanya kenapa sungai
itu diberi nama Sungai Rambut. Padahal nama
Sungai Cukur mungkin lebih tepat. Sebab di
sepanjang tepian sungai itu dulu berjejer kedai-
kedai pangkas rambut alias kios tukang cukur.

WAKTU kecil saya selalu dibawa ayah bercukur
di sana. Favorit ayah adalah kios Pak Cukur,
seorang tukang cukur tua. Dia sendiri tak tahu
berapa usianya. Kalau ditanya dia hanya
menjawab, "Saya lahir ketika sungai ini masih
jernih. Mengalir deras di musim kemarau dan
tidak meluap di musim hujan. Waktu bocah saya
mandi bahkan minum langsung dari sungai ini."

Kalau sedang dicukur saya suka memandang ke
air yang mengalir di sungai Rambut. Airnya
hitam seperti rambut saya. Saya tak bisa
membayangkan ada bocah mau berenang di sana.

"Semua memang berubah, Nak," kata Pak Cukur.

/2/
Semua memang berubah. Pak Cukur sudah meninggal.

Jauh hari sebelumnya, kata orang, ia sudah tak
lagi mencukur sebab sungai itu meluap, menghantam
kiosnya dan semua kios tukang cukur lain di sana.

Saya tak berani melongok ke Sungai Rambut. Saya
tak berani membandingkan apakah airnya masih
sehitam rambut saya. Saya hanya berpikir, nama
apa yang kini pantas kuberikan untuk sungaiku itu.



Thursday, February 1, 2007

[Ruang Renung # 174] Menyelipkan Kata atau Sepotong Kalimat Asing

SESEKALI bolehlah kita menyelipkan kata atau sepotong kalimat asing dalam puisi kita. Tentu penyelipan itu mesti dengan pertimbangan yang matang. Yaitu dengan mempertimbangkan efek puitik apa yang bisa dicapai. Dia harus menambah kadar puisi, bukan sekadar asal tempel yang tak berefek apa-apa.

Goenawan Mohamad ada memakai kata "headline", "goodbye" untuk sajak-sajaknya. Memang hanya sebuah kata, bukan sebaris kalimat. Tentu dia mempertimbangkan dengan matang dan memang ada alasan kuat untuk memakai kata-kata itu. Pada sajak lain, dia mengindonesiakan kata "nonsense" menjadi nonsens.

Chairil Anwar pada sajak "Buat Gadis Rasid" menyelipkan kalimat " --the only possible non-stop flight" pada baris ke-16 dari 17 baris sajak itu. Selipan itu saya kira utuh dan memang berkait dengan bait sebelumnya, juga dengan keseluruhan sajak. "Mari kita lepas, jiwa mencari jadi merpati / Terbang / mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat / --- the only possible non-stop flight / Tidak mendapat.

Dari sajak Chairil, kita bisa menebak-nebak, apakah pada tahun-tahun ketika sajak itu ditulis, yaitu 1948, memang sebuah tren berbahasakah selipan kalimat-kalimat asing itu? Apakah itu kalimat popular yang diselipkan Chairil dalam sajaknya?

T.S. Eliot pun ada menyelipkan kalimat berbahasa Prancis dalam sajaknya "Rhapsody in A Windy Night" yang berbahasa Inggris. Saya tidak tahu, seberapa asingkah bahasa Prancis bagi pemakai Bahasa Inggris seperti Eliot? Apakah sama asingnya seperti Bahasa Inggris terhadap pemakai Bahasa Indonesia?

Jadi, selipkanlah kalimat asing yang menggoda kita untuk mengutuhkan sajak-sajak kita. Namanya juga selipan, jangan terlalu banyak. Jika terlalu banyak, sebaiknya menulis sajak dengan bahasa asing saja sekalian.

 

Pagi Melirik pada Panjang Rambutmu

PAGI yang pendek selalu terpesona pada rambutmu yang panjang.

Aku adalah mendung yang sembunyi di langit. Menunggu saat
yang tepat untuk bergegas turun, yaitu ketika kau bawa payung
ke sebuah jalan: menggoda pagi dengan rambutmu yang panjang.

"Cobalah menyentuh rambutnya," kata pagi. Akupun mencari akal
bagaimana menyiasati payungmu, mengulur basahku ke rambutmu.

"Apa yang bisa kubantu?" kata angin yang sejak tadi berayun
di dahan-dahan pepohonan di sepanjang jalan yang kau lalui.

Aku melirik pagi. Pagi melirikmu. Melirik pada panjang rambutmu.



 

 

Dia Melukis Senja Berambut Hujan

DIA melukis langit senja berambut hujan. Lebat dan panjang
Dia ingin sekali menambahkan matahari agar berwanalah pelangi
Tetapi senja pendek usia dan malam yang lekas mengaburkan batas
antara hitam rambut hujan dan gelap yang ia hamparkan.

Dia seperti ragu-ragu meletakkan kuas, dan menerakan semacam
tandatangan di pelipis wajah senja yang tampak kian temaram.

Aku bertanya, "selesaikah?" Kau menjawab, "Ah, begitulah..."
Aku bertanya, "judulnya?" Kau menjawab, "It's me, by myself"



 

Rambut Malam

KARENA rambutmu, pagi ini, aku yakin
bahwa semalam memang ada satu malam:

memang ada satu malammu dan malamku. 

*
Aku temukan sehelai di sela buku. Aku
mengira kau memberi tanda sebab semalam
kau tak sempat habis membaca kisahku.

*
Aku temukan sehelai di putih bantal. Aku
menduga kau sengaja memberi isyarat agar
aku mengenangmu sebab wangi rambutmu.

*
Aku temukan sehelai menempel di cermin,
Aku temukan sehelai di saku kemejaku,
Aku temukan sehelai berpegangan di pintu,
Aku temukan sehelai tertinggal di halaman....

Aku semakin banyak menemukan, aku semakin
takut menemui malam, aku semakin yakin bahwa
aku telah benar-benar jauh kau tinggalkan.....