Thursday, August 26, 2004

[Cuma Catatan ] ..............





Saya kira ini akan

jadi perjalanan

yang membosankan.



Kecuali jika, kelak

ada puisi yang menemui,

mengisi kosong di sini

yang hendak kutinggalkan untuk

beberapa kali terbit matahari.

Tuesday, August 24, 2004

Lekaslah, Kecuplah Aku

"lekaslah, kecuplah aku"



Tersebab kemarau yang rawan,

berseru rumput kepada awan.



Lalu luruh jua: sebabak hujan.

Mungkin begitulah bibir langit

dan bibir bumi mesra berkecupan.



Kau tak tahu, tentu, tak tahu.

Karena tak kau pernah bisa

mendengar bisik bisu rayu itu.







Jangan Mengecup Aku

Sajak Yono Aljibsailz Wardito



terkadang aku berdiam dibilur waktu

mengenang bulirbulir padi yang merundukkan dahan

mengalirkan airmata seharian

sebelum mengering di bongkahan akar



aku sesak dalam sedikit senja, menyisa

hanya untuk kembali membaca namamu

pada bangkubangku panjang

yang basah oleh tempias hujan



o,jangan mengecup aku,

karena bibirmu sudah meranting

menyerupai lanting punggawa di kuala samboja

mendendam serpihan rindu dan kesepian

yang sedikit saja tak kau sisakan buatku.



o, aku yang selalu menari dikeleluasaan pagi

diantara dahan dan batangbatang bisu

diantara helaihelai bulu sayap yang berjatuhan



sebagaimana engkau, muasal kembara

menggigil dalam potret masa lalu

dengan sebuah botol; terbanglah!



jangan mengecup aku

sebab aku tak mampu terbang lagi.







LEKAS PEJAMKAN MATAMU

Sajak Anggoro Saronto





lekas pejamkan matamu, ringan ucapku



tapi tuhan tak pernah tidur, katamu ragu



maka aku menyuruhmu menutup mata untuk mengurangi

rasa berdosamu



tapi tuhan tak pernah bisa kita kelabui, katamu lirih



maka aku mengajakmu bersembunyi di balik meja dengan

taplak besar yang berjuntai



tapi tuhan dapat menembus segala penutup tirai, uraimu



aku mencintai sikap puritanmu sebagaimana aku mencintai

nafsu yang tersekap dalam sekam tubuhku



maka lekas, lekaslah pejamkan matamu, aku berbicara pada diri sendiri



karena rindu tak lagi bernyali.





JKT.08.04



Kecup Hanya Kecup

Sajak Zee Singleaway



bibir langit dan bibir bumi

kecup hanya kecup

jauh tetap jauh

home sick

Sajak Ali Gong Shadle



desa-desa telah menyusun waktunya sendiri

kota-kota telah melaju di jalan cepat bebas hambatan.

tahun lalu burung-burung pipit

masih memakan padi.

tahun sekarang pun sepi.

tak mampu mengusir tekukur dari ladang.

ombak tetap tegar datang ke pantai,

laut pasang limpas menggenang

gundukan tanah licak pekarangan.

tanggul tak lagi mampumenahan

rindu kepada kawan.

malam semakin cepat saja

waktu terlalu sombong untuk menunggu

ini hari berlalu dengan lari kecil anak-anak.

besok aku harus pergi lagi.



2002, solo.

saat rindu tak lagi bisa di bendung.




Note: Terima kasih. Sudah mewakili rasaku yang sama, lewa puisi ini, puisi yang masih berpiutang padaku. Ia menagihku terus, aku tak bisa bayar. Terlalu banyak alasan untuk menghindar, bukan?

Monday, August 23, 2004

Yang Kosong Yang Tak Selesai

tentu saja - akan senantiasa - ada yang tak selesai

dalam pembicaraan terakhir kita di sepanjang puisi ini,

aku ingin kau menuntaskannya, dengan menuliskan

namamu-namanya. Dan aku menulis diam yang lain.



tentu saja - selalu tak terelakkan - ada yang kosong

dalam genggam terakhir tanganmu-tanganku. aku ingin

sekali mengisinya dengan semacam janji - semacam puisi -

yang kau percaya, dan aku sungguh tak bisa menunainya.

[Tentang Puisi] Merekam yang Tak Bicara

BAHASA menjadi sepenuhnya terang dan komunikatif, ketika ia sepenuhnya bergerak pada tataran ide. Adapun puisi adalah sebuah ikhtiar agar dunia privat bisa diungkapkan dan tak punah ditindas oleh bahasa orang ramai. Maka, dibutuhkan sesuatu yang lain yang tak mengutamakan '"jelas" dan "terang", sebab setiap kali bahasa mencapai pengertian yang dimufakati bersama oleh orang ramai, sebenarnya ada yang tak diakui, dirobek, luka, bahkan ditenggelamkan, dalam konsensus itu.



PUISI menebus kembali apa yang hilang dalam sesuatu yang tanpa nada tulisan. Puisi, sedikit atau banyak, mengembalikan kelisanan sebuah teks. Puisi memulihkan kata sebagai "peristiwa". Dalam "peristiwa", bunyi hadir. Bunyi adalah bagian dari bahasa puisi yang seperti napas: begitu penting, tapi begitu lumrah.



SEBUAH sajak adalah ibarat sebuah gema. Ketika gema terdengar, ada arti atau makna yang lebih luas ketimbang "pengertian". Pengertian adalah sesuatu yang dipikirkan. Tapi "pengertian" hanyalah reduksi dari "arti".



PUISI adalah dunia pemaknaan alternatif, pemaknaan yang tak menaklukkan dunia. Bahasa puisi karena itu untuk merekam mereka yang "tak bicara". Di tengah menguatnya wilayah publik, puisi memang menjadi terasing. Tetapi, keterasingannya bukan karena ia berkhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di zaman ini, ketika kata bertebaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang mudah untuk tak mengakui ada fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa, yang seakan-akan terdiam.



* Goenawan Mohamad, Fragmen: Peristiwa, disampaikan dalam pidato penerimaan Penghargaan Achmad Bakrie dari Freedom Institute, 2004.







[Tentang Puisi] Menghidupkan Puisi

ADA dia yang menjadikan hidup, puisi yang tak bisa ditulisnya. Sementara yang lain menulis puisi tentang sesuatu yang tak berani diwujudkannya.



* Oscar Wilde

Sunday, August 22, 2004

Pantun Tanggung, Doa Tak Rampung

Engkau menyebutnya pantomim pohon-pohon

Aku menggubahnya jadi sampiran pantun

Dengan doa tak rampung: Kita pun memohon

Menadah dasar jurang, "Terjun, ayo, terjun!"

Friday, August 20, 2004

[Tentang Puisi] Godaan Kehidupan

BUNGA adalah puisinya reproduksi. Bunga adalah contoh dari godaan kekal kehidupan.



* Jean Giraudoux (1882-1944)

[Tentang Puisi] Terbaik Terbaik

SAYA harap penyair yang cerdas bisa mengingat definisi pribadi saya tentang prosa dan puisi: yaitu, prosa adalah kata-kata yang dalam sususan terbaik. Sedangkan puisi adalah kata-kata terbaik dalam sususan terbaik.



* Samuel Taylor Coleridge (1772 - 1834)

[Tentang Puisi] Demam Puisi

KETIKA saya membaca sebuah buku dan seluruh tubuh saya dibuat menggigil dan tak ada api yang bisa menghangatkan saya, saya tahu yang saya baca adalah puisi.



* Emily [Elizabeth] Dickinson (1830 - 1886)

[Tentang Puisi] Tak Mengucap Apa-apa

Tak ada yang ingin saya katakan, tapi saya berkata juga, dan itulah puisi.



* John Cage



[Tentang Puisi] Kembali Kepada Puisi

KESUNYISENDIRIAN mengembalikan kelahiran ke dalam diri kita, kepada keindahan yang tak kita kenal dan mengancam-- kepada puisi. Tapi juga, mengembalikan kepada yang sebaliknya: kepada niat jahat, perbuatan melawan hukum --- kepada yang absurd.



* Thomas Mann (1875-1955)

Sunday, August 15, 2004

Percakapan 2 Pengunjung Sirkus

+ Singa-singa itu...



- Mereka sudah ditekuk takluk. Diberi makan

cukup untuk patuh pada cambuk. Kau tahu?

Mereka lahir di kebun binatang kota, tak kenal

jejak perkelahiran di padang-padang perburuan.

Sirkus, memang sebuah pertunjukan tanpa

pertanyaan. Kita datang dan pulang tanpa

membawa apapun jawaban. Kita hanya perlu

sebuah hiburan. Hanya perlu sebuah pelipuran.



+ Dan kita bertepuk untuk....



- ....sebuah perasaan menang. Auman itu

bukan sebuah geram yang dibahanakan.

Auman itu cuma aksi pelengkap untuk

sempurnanya sebuah pengelabuan. Lihat,

kita masih meremang, bukan? Dongeng

tentang raja hutan itu, belum kita lupakan.



+ Lihat, lingkaran api itu dilompati...



- Ya, pertunjukan ini pun jadi sempurna, bukan?

Atraksi ini bukan cerita keberanian. Ini cuma

semacam pameran kepatuhan.



+ Dan badut-badut itu...



- ....sayang. Singa-singa itu tak pernah bisa

dilatih untuk tertawa. Mungkin kelak perlu

semacam topeng atau tata wajah khusus

dengan bedak dan gincu di wajah-wajah itu.

Wajah singa itu, maksudku. Sebab, panggung

itu memang perlu sebuah banyolan, juga olokan.

Sebagai selingan pertunjukan. Agar makin

tak sia-sia tiket ini. Sebelum kita campakkan.



Friday, August 13, 2004

Hikayat Kursi Tamu

Akhirnya sampai juga, seperangkat kursi tamu

itu ke alamat yang dituju. Supir truk pikap

yang mengantarkannya, merasa pernah

pada suatu ketika menjemput kursi-kursi itu

dari sebuah alamat lain dan membawanya

ke toko loak. "Tapi aroma peliturnya kok masih

segar sekali, ya?" katanya menebak-nebak.



Akhirnya ada juga seperangkat kursi tamu di

rumah itu. Televisi tua yang sudah mulai kabur

ingatannya merasa pernah mengenal teman

barunya itu, dulu di suatu waktu di suatu tempat.

"Mungkin dia yang bersamaku, di toko

loak itu," katanya menduga-duga.



Ada seseorang yang lewat di depan rumah

yang sekarang berperabot kursi tamu itu.

Ia melihat dan seperti pernah mengenal

kursi tamu itu, seperti diingatkan bahwa

ia suatu ketika pernah bertamu ke sebuah

alamat. Dia ingin sekali singgah, tapi tak

menemukan alasan untuk si tuan rumah.

"Ah, siapa yang peduli pada tukang

perbaiki kursi keliling seperti aku?" ujarnya,

setengah merendah, sisanya seperti gerutu.

Tuesday, August 10, 2004

Anak Bermain Perahu di Teluk Buyat

"Lihat, kapalku terisi sarat, mengangkut

59 ton emas, menjauh dari Teluk Buyat..."



Angin dari langit masih hembus yang dulu,

ombak dari laut masih hempas yang dulu.

Yang mendebur ke dada perahu, mengapung-apungkan

jaring yang tersangkut sejak dulu. Nasib nelayan kakekku.



Jauh, jauh. Kini mengayuh delapan kilo,

ke tengah laut. Sebab di teluk itu tak ada lagi

kerapu, kepiting bahkan juga seekor udang batu.



"Lihat, kapalku berisi kepenuhan,

pulang ke teluk membawa ikan.

Ada pesta, tengah malam disuguhkan.

Kita cuma nelayan, tak berundangan."



Empat tahun sudah air raksa menguap

di udara dan air mandi Teluk Buyat.

Mengendap dalam tubuh ikan, terperangkap

juga di darah kami, anak-anak nelayan.

Kelak kami menyebutnya racun yang tak tertawarkan.



Tapi, "Tak ada pencemaran, tak ada pencemaran."

Mereka sudah meneliti, mencocok-cocokkan jawaban dan

tergesa mengambil kesimpulan. "Tak ada pencemaran!"



Tapi, "Lihat! Ada koreng di kulitmu, ada kudis di lehermu...."



Tak jelas ada jawaban. Tak juga belas kasihan.



Cuma perahuku datang kembali membawa

kirimanmu buat kami: Sabun mandi. Ke Teluk Buyat.

Mengubah air tangis jadi gelombang berbuih. Jadi perih.



"Dan, bila luka juga, tak ingin kubagi

perih yang tak kau pernah fahami ini.



Tenggelamkah sudah semua perahu kami?"

Yang Menebak Yang Masuk Jebak

Adakah lagi sebuah lansekap? Dan di sana

engkau tak hadir sekadar sebagai pelengkap?



Aku sedang menatap matamu, aku menebak

jawab pertanyaan itu. "Kau terjebak," katamu.

Saturday, August 7, 2004

Spiderman, Dongengan Pahlawan





: Parker dan Lee





"Di balik kudung kedok,

menjadi pahlawan cuma

semacam nasib buruk."




New York adalah ruang museum impian, Mary Jane,

tempat khayalan diberi tubuh, diberi kenyataan.

Kenapa gigitan racun laba-laba itu tidak menusuk

tanganmu saja, bukan? Karena cerita dan kita perlu

pahlawan. Begitulah, dalam setiap dongengan,

selalu ada yang harus dijadikan korban.



"Dan aku harus bergegas

setiap kali datang raungan

sirine polisi dan ambulans."




New York adalah kantor surat kabar, Mary Jane,

tempat keingintahuan jadi barang perdagangan.

"Tak Ada lagi Spiderman! Tak Ada lagi Spiderman!"

Mereka temukan topeng yang kau ingin lupakan.

Dan dalam setiap dongeng, selalu ada alasan

agar sang pahlawan harus segera dikembalikan,

dengan ikhlas atau didesak paksaan. Sebab

yang jahat selalu meminta dilumpuhkan. Sebab ada

yang memohon, "Aku ingin mati di tanganmu, Pahlawan."



"....dan dongeng tak pernah

mati, tak akan pernah juga

kehabisan nama pahlawan."


Wednesday, August 4, 2004

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya

bisa juga mencuri kesempatan,

bertemu dengan Penyair Pujaan.



Sejumlah pertanyaan sudah lama

dia persiapkan. Sudah lama mendesak,

"kapan kami diajukan?"

Tapi, maklum penyair sibuk,

ada saja halangan. Wawancara pun

berkali-kali harus dibatalkan.



***



+ Anda sibuk sekali, Penyair?



Ya, saya harus melayani kemalasan,

masih direcoki oleh khayalan, dan

sesekali harus bersembunyi jauh

keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong

yang sering datang bertamu, tak tentu waktu.



Jangan kira jadi penyair itu enak.

Jangan kira penyair itu seorang

penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair

yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa.

Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit.

Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan.

Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan.



+ Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi?



Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak

melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak

sekali rahim. Menaruh sel telur puisi di dalamnya

dan menyimpannya di suatu tempat yang hangat.

Dalam kenangan, dalam ingatan. Juga dalam

sejumlah perencanaan. Dan keinginan.



Saya sekarang menunggu apa saja datang

menggoda berahi saya untuk bersyairria.

Hingga orgasme berulang sempurna.

Kelak rahim-rahim itu akan terbuahi,

dan lihat saja nanti, akan berlahiran anak-anak puisi.

Dan rumah ini tak akan sepi lagi. Menggantikan

suara-suara lama yang entah pergi kemana

mencari gema-gemanya sendiri.



+ Apa sebenarnya cita-cita Anda?



Ah, pertanyaanmu terlalu biasa. Mestinya semua

orang tahu, penyair itu harus bercita-cita

menemukan bahasa sendiri. Itu juga yang

sekarang sedang saya kejar ke sana kemari.

Berburu kata, berburu tata, berburu dusta dan cinta.

Kelak kalau semuanya terkumpul, nah saat itulah

waktunya mengurus sertifikat hak cipta: Ini Bahasa Saya.



+ Anda sudah menemukan apa sekarang?



Terlalu dini untuk saya publikasikan. Tapi,

untuk wawancara ini saja, saya katakan

saya sudah menemukan sebuah awalan

dan sebuah akhiran, dan sebuah kata sambung.



+ Itu saja?



Ya, memangnya kenapa?

Saya toh tidak sedang terburu-buru.



+ Boleh tahu awalan, akhiran dan kata sambung itu?



Nah, saya yakin Anda akan mendesak saya.

Pasti Anda berpikir itu menarik untuk dijudulkan, bukan?

He he, jelek-jelek begini dulu saya pernah ikut

pelatihan wartawan, sebelum tersesat jadi penyair betulan.



***



WAWANCARA pun berakhir. Penyair dan Wartawan itu

pun bersalaman. Tangan menjawab tangan.

"Selamat sibuk, ya?" kata si Wartawan.

"Ya, sampai jumpa di lain wawancara,

siapkan saja pertanyaan yang lebih berbahaya,"

jawab Sang Penyair sambil tertawa-tawa.

Monday, August 2, 2004

Hikayat Penumpang yang Terlambat

Di stasiun kosong, orang mengenang keberangkatan

Kereta terakhir mengantar juru tembak satu pasukan

Kau sampai sangat terlambat. Loket tak berpenjagaan

"Tolong tiket, aku tengah diburu!" Sia-sia kau yakinkan.

[Tentang Puisi] Penyair vs Wartawan

...., seperti juga perbedaan antara aksara seorang penyair dan aksara seorang wartawan.

Dirumuskan secara sederhana: penyair berurusan dengan dunia-dalam, sementara wartawan bergelut dengan dunia-luar. Yang pertama menggarap makna, sedangkan yang kedua memperjuangkan fakta. Begitulah, kalau wartawan bekerja dengan pemberitaan, maka penyair berkiprah dengan permenungan. Prestasi seorang wartawan diukur berdasarkan banyaknya informasi yang dikumpulkannya, sedangkan prestasi seorang penyair diukur berdasarkan mendalamnya makna yang sanggup diserap dan diendapkannya. Kiat wartawan dipertaruhkan dalam sifat eksklusif informasi yang disiarkannya, sementara kiat penyair dipertaruhkan dalam otentitas pengalaman yang dicerna dalam jiwa. Dengan demikian, kapasitas wartawan adalah membuat pembacanya mengetahui lebih banyak, sedangkan penyair sanggup membuat pembacanya menghayati lebih intens.



* Ignas Kleden, dalam Eksperimen Seorang Penyair, kata pengantar Catatan Pinggir 2, Goenawan Mohamad, Grafiti Pers, 1989.