Thursday, May 21, 2009

Aku dan Sapardi (3) --- Anak-anak dan Pertapa

DIA menulis sebuah catatan pendek untuk buku puisinya Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (Indonesiatera, 2002). Dia bilang, “Tiba-tiba saja malam ini saya merasa buku kumpulan sajak ini, yang semuanya ditulis tahun 2001, adalah yang terakhir”.


Ia merasa cengeng karena perasaan itu, ia seperti merasa setelah itu tidak perlu menulis puisi lagi. Tapi, buru-buru ia menolak. “Moga-moga keduanya tidak,” katanya.

Nyatanya memang tidak. Tahun ini Sapardi Djoko Damono, penyair kita itu, menerbitkan buku puisi terbarunya. Sudah dipastikan judulnya adalah Kolam. Apakah memang ada yang “perlu” ia tuliskan sehingga ia masih menulis puisi? Setelah hampir tujuh tahun yang lalu ia pernah merasa telah menerbitkan buku puisi terakhirnya? Kita tunggu saja buku itu. Sementara itu mari kita telusuri jejak buku-buku puisinya agar dapat memungut apa-apa yang bisa kita pelajari darinya dan padanya.

Secara umum kita bisa melihat sajak-sajak Sapardi sebagai kesetiaan pada dua kutub sikap menyairnya yaitu tidak ingin menjadi nabi (yang dengan sadar bersabda di depan ‘umat’, mengatakan sesuatu yang mengandung kebenaran dan itu mesti ditaati ) dan di kutub lain menolak untuk tetap menjadi kanak-kanak (yang kata-katanya tak masuk akal, tak dimengerti, tapi ingin dimaklumi dan diterima sebagai permainan saja dan karena itu ia berharap untuk tidak diganggu).

Sikap itu ada ia dijelaskan dalam esai yang baik, juga ia isyaratkan lewat dua sajak terakhir dalam buku Perahu Kertas:

1. di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci. / “Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.” ("Di Tangan Anak-anak")

2. … kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna – masih beranikah kau menyapaku, Saudara? ("Pertapa")

Ia ingin dimaklumi, bahwa penyair – seperti anak-anak - boleh saja mengatakan yang di luar keumuman logika, tetapi dia tidak ingin kepenyairannya itu menjadikan dia seperti pertama yang terasing ‘dililit akar’, meski dengan begitu dia sadar telah mencapai makna. Tetapi (lagi) dia takut ‘kepertapaan’ atau ‘kenabian’ itu membuat orang tak berani menyapanya.(bersambung)

Puan Kecubungmu Itu, Wahai Tuan Pemancing!

Esai Hasan Aspahani

:: Kesan pembacaan atas "Puan Kecubung" buku puisi Jimmy Maruli Alfian.

SOSOK pennyair Jimmy Maruli Alfian, saya lihat seperti seorang pemancing handal. Sebagai pembaca saya adalah kawan yang ia ajak pergi memancing. Dia tidak memancing di laut lepas. Ia tidak mengajak saya menentang badai nun di tengah samudera sana, lalu bertaruh nyawa menaklukkan seekor hiu atau baraccuda raksasa.



Ia mengajak saya memancing di danau tenang, di hutan di belakang kampung yang seluk beluknya amat ia kuasai. Sekilas saya lihat, saya percaya danau itu alangkah dalamnya. Sesekali ia juga membawa saya memancing di sebuah sungai. Lumayan deras juga arusnya. Panjang sekali sungai itu sebenarnya. Saya curiga, bahwa dia belum lagi mengajak saya memancing di bagian-bagian paling menarik dari sungai itu.

Memancing bersama Jimmy sungguh mengasyikkan. Ia selalu bisa memastikan bahwa setiap kali ia pasang umpan di mata kailnya, lalu ia lemparkan dengan gaya yang aduhai anggunnya, lalu tunggulah, pasti akan ada ikan yang menggelepar di sana.

Memang perlu sedikit kesabaran untuk memastikan umpan yang ia pasang tadi tadi disambar ikan. Bagi Jimmy --- dan bagi saya kawan yang ia ajak memancing --- di situlah asyiknya memancing. Yaitu, di saat-saat tali menegang, ditarik kesana-kemari oleh ikan yang baru saja tersadar telah menelan umpan berkail. Tapi, semakin liar gerakannya, semakin menancap lengkung ujung mata kail itu di rongga mulutnya.

***

Memerhatikan ikan-ikan hasil pancingan Jimmy, serta-merta mengingatkan saya pada banyak pemancing mahir yang saya yakin sekali telah ia kaji tuntas.

Akurasi dan variasi diksinya mengingatkan saya pada kepiawaian Sitok Srengenge. Diksi sajak-sajaknya menunjukkan bahwa dia adalah punya kosa kata yang kaya. Ini umpan penting bagi pemancing mahir seperti dia. Di sepanjang larik-larik sajaknya ia pasang bebunyian yang ramai sekali, berdentingan, berdentuman. Seperti lagu kecil yang tak henti ia siulkan, sementara tali pancing ia ulurkan.

Aura intelektualitas meruap di beberapa tempat dalam sajaknya. Ia tidak hanya mengandalkan rasa hati ketika menyajak. Ia juga - dengan takaran yang pas - menampilkan gelisah olah pikiran. Saya melihat sosok Subagio Sastrowardoyo pada sisi itu. Hanya saja, pada Jimmy, caranya menyusupkan produk pikirannya terasa jauh lebih halus.

Rujukan-rujukan bacaan Jimmy amat luas. Ia tak peduli dari mana rujukan itu berasal: tradisi atau introduksi. Sama saja baginya. Ia dengan terampil mengolah sebagai bahan, atau sekadar menyisipkan sebagai bumbu penguat rasa. Ini membuat saya harus menyandingkannya dengan Goenawan Mohamad.

Tetapi, Jimmy tidak terjebak di keteduhan bayang-bayang nama-nama besar tadi. Jimmy tegak berdiri di kaplingnya sendiri. Ia sudah punya alamat. Begitulah saya lihat. Jimmy menyair dengan tabiat yang telah matang dan tenang sekali. "Puan Kecubung" adalah pembuktian kepenyairannya. Sebuah bukti penting dan lengkap, bahwa ia adalah penyair kuat yang harus diperhitungkan.

Saya tandai yang khas dalam sajak-sajaknya: ia suka memaparkan adegan kecil - semacam bagian yang bisa dimainkan oleh pelakon di panggung. Mungkin dengan ini ia memanfaatkan pengalamannya berteater. Perhatikan petikan ini: ... menjatuhkan letak pisau, pura-pura terpercik air, lalu berteriak melaknat ("Rumah Juru Timbang 2"). Perhatikan lagi" ... ah, langkahmu selalu tergesa / setiap melintasi pintu gereja: / membetulkan lipata sarung, ... (Lomba Domba). Juga ini: ..katamu, sambil membuka gorden ruang tamu Perhatikan / mengeraskan suara televisi yang menggerutu / kau mengikat ujung kresek yang sengkarut, bergegas mandi ("Pergi ke Binatu"). Saya perhatikan, petikan-petikan tadi tampak benar menjadi semacam kronologi sebuah adegan. Atau penggalan kecil sebuah lakon di panggung teater, bukan?

Buat saya, "bait-bait beradegan" ini kekuatan dan kekhasan Jimmy. Meskipun --- saya sayangkan --- ia tak manfaatkan ini di banyak sajaknya.

Saya sangat ingin tahu, bagaimana ia membangun pondasi kepenyairan yang begitu kukuh pada usia 20-an. Saya sungguh ingin tahu bagaimana proses yang ia jalani, sehingga ia lekas sekali matang - ini bukan penilaian negatif. Ini sebuah pujian tulus.

Pasti dia punya bakat yang kuat, bak benih unggul pilihan. Pasti, komunitas di mana ia bergiat telah pula menyiapkan persemaian baginya dengan sangat baik. Pasti, iklim kepenyairan di Lampung telah pula menyuburkan dan menjaga tumbuh kembangnya sebagai penyair. Saya kira, ia perlu menulis semacam pengakuan kreatif dan itu pasti akan membuka lebih banyak lagi kemungkinan pemaknaan atas sajaknya yang sesungguhnya sudah teramat kaya itu. Jangan takut, kadang-kadang wilayah di luar puisi itu bisa juga membantu memperlapang ladang puisi.

Lalu apa tantangan selanjutnya? Sapardi telah mencontohkan bagaimana memberanjakkan sajak dari buku ke buku di tiga buku pertamanya, seraya juga mempertahankan sesuatu yang memang harus dijaga. Tiga buku yang saya sebut puncak-puncak kepenyairan Sapardi. Saya ingin melihat Jimmy juga bergerak di buku atau di sajak-sajak berikutnya.

Sebagai pemancing mahir, ia tak harus memancing jauh ke laut bebadai --- tapi sesekali perlu juga ia ambil tantangan itu.***


Tiban Indah Permai, Mei 2009






Tujuh Simpang di Jalan Lelaki

LELAKI kemas membungkus gelepar Laparnya,
nafkah baka yang senantiasa ada disaji

Lelaki tidak menangis karena padam api,
beras tanak mendidih di uap Airmatanya

Lelaki cermat merawat bara pemanggangan,
cerdik menafahus jarak seberapa ia matang

Lelaki tak hanya taklid pada yang takrif,
Lidah mahir menemu bumbu yang tak teramu

Lelaki berani memanjat julang batang nyiur,
pun mahir memarut, memerah, menyantan Umur

Lelaki pandai mengapi kuali daging kenduri,
dengan bilah kayu terbelah Kapaknya sendiri

Lelaki tabah mencabuti duri di telapak Kaki,
ia tahu jalan ke kedai-ramai ke rumah-sunyi



Keris Patah

DARAH kami tak mengalir ke liku luka,
tikam-menikam itu tak jua jadi silam

engkau & aku tak pernah bisa berbagi

pedih+patah, perih+parah, sedih+marah

: tajam-mata menutup mata luka dadaku,
regang-gagang terpegang belah tanganmu



Wednesday, May 20, 2009

Aku dan Sapardi (2) --- Yang Besar dan Yang Lebih Besar

KETIKA Muhamad Guntur Romli mengabarkan per telepon tawaran untuk menjadi pembahas "Kolam", buku puisi terbaru Sapardi Djoko Damono, saya tak berpikir panjang untuk mengiyakan. Meskipun saat itu saya belum punya bukunya.



"Nanti saya e-mailkan sinopsis diskusinya, dan bukunya secepatnya menyusul," kata lelaki ujung tombak pegiat acara-acara diskusi di Komunitas Salihara. E-mail dari Guntur secara ringkas kira-kira berisi pertanyaan: Adakah yang baru pada sajak-sajak Sapardi setelah hampir 50 tahun dia menyajak?

Adakah yang baru? Tentu saja untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, saya harus mengumpulkan lagi apakah yang sudah ada dalam sajak-sajak Sapardi sebelumnya. Maka, hampir sebulan lamanya saya menyingkirkan buku lain di meja kembali ke rak buku, kecuali semua buku-buku Sapardi "DukaMu Abadi", "Mata Pisau", "Perahu Kertas", "Sihir Hujan", "Hujan Bulan Juni", "Ayat-ayat Api", "Mata Jendela", dan "Ada Kabar Apa Hari Ini, Den Sastro?"

Saya mulai membaca lagi. Buku-buku tersebut - plus buku-buku prosanya, "Membunuh Orang Gila", dan "Pengarang Telah Mati"; juga buku Esai-esainya "Sihir Rendra: Permainan Makna", dan "Sastra Hibrida" - semuanya sudah saya baca berkali-kali.

Tentu saja saya membaca juga buku-buku sajak lain dengan intensitas pembacaan yang sama. Saya membaca sebagai penyair yang belajar bagaimana penyair lain memberdayakan perangkat-perangkat puitika, mengolah perbendaharaan kata, beranjak dari buku sajak ke buku sajak berikutnya.

Apakah sajak perlu dipahami atau dinikmati saja? Terhadap sajak, kita bisa memilih banyak sikap. Pertama, kita boleh membaca sajak dengan niat untuk menikmatinya. Kita terpesona pilihan-pilihan katanya, terpukau dengan kejutan kalimat-kalimatnya, jatuh cinta pada keunikan tipografinya, menemukan kebaruan-kebaruan tema yang ditawarkan penyairnya, larut sejenak dalam keindahan rima ritma: bunyi-bunyian dan ditata penyair dalam larik-larik sajaknya.

Ini selain bergantung pada subyektivitas pembaca, juga menuntut kepekaan yang hanya bisa didapat dengan terus-menerus membaca banyak sajak senikmat-nikmatnya. Memang, selera bisa beda: artinya, kalau saya menyukai sajak penyair A, dan tidak menyukai sajak penyair B, bukan berarti penyair A lebih baik daripada penyair B. Tapi, rumus umumnya adalah semakin banyak pesona, nikmat, dan makin kuat daya pukau yang diberikan, maka makin berhasillah sajak itu.

Kedua, kita boleh membaca sajak untuk memetik makna yang bisa memperkaya cara kita menghayati kehidupan. Kita terpukau dengan kesimpulan-kesimpulan filosofis yang dicapai oleh penyairnya dan ia tampilkan dalam sajak-sajaknya. Kita ikhlas terbawa - tentu kearah yang lebih positif - oleh ajakan penyair lewat renungan dalam sajak-sajaknya. Kita ikut bersimpati pada manusia-manusia yang jadi subyek dan obyek sajak-sajaknya.

Ketiga, kita bisa juga diam-diam belajar bagaimana penyair memberdayakan seluruh perangkat puitika, menemukan ataa mencari dan menetapkan bahan untuk sajak-sajaknya. Pembaca yang jeli, dan tekun, - bila ia juga seorang penulis puisi - pasti tidak akan jatuh kepeniruan. Sebab, alat-alat puitika itu adalah benda-benda bebas yang bolah dipakai oleh siapa saja. Cara menggunakannya dengan maksimal, dengan cara kita masing-masing, itulah yang membuat penyair satu berbeda dengan penyair lain. Dan ibarat langit pilihan membentang amat luas. Setinggi apa bisa kita raih? Tergantung pada kekuatan sayap kita sendiri. Ibarat laut, pilihan itu amat dalam. Sedalam apa makna yang bisa dicapai? Tergantung pada kekuatan kita menyelam.

Terhadap puisi-puisi Sapardi, ketiga hal itu serta-merta menggerakkan saya. Penyair besar, saya kira, adalah penyair yang kebesarannya terasa ketika kita membaca sajak-sajaknya. Tetapi ada penyair yang lebih besar, yaitu dia yang sajak-sajaknya ketika kita baca membuat kita merasa bisa memaknai, mampu menghayati, dan bahkan membuat kita nyaman, tidak jadi bodoh dan terasing dari dunia Puisi. Itulah yang saya rasakan pada Sapardi.(bersambung)

Aku dan Sapardi (1) -- Sebuah Pertemuan

CATATAN: Selalu ada hal-hal yang pertama yang terjadi pada kita, bukan? Tidak semuanya penting, tapi mungkin ada juga harganya. Tidak semuanya menarik, tapi mungkin perlu juga untuk diceritakan. Perkenankan saya bercerita tentang dia: Sapardi Djoko Damono.

BEGITULAH akhirnya pertemuanku dengan dia. Kedai Salihara, Senin (18/5) malam. Dia duduk di kursi menghadap ke jalan. Dari belakang aku mengenali dia dari topi petnya, yang belakangan --- aku lihat di foto-foto terbarunya --- sering dia pakai. Aku mendekat. Sedikit grogi. Aku lihat dia sedang menyeruput sup jagung. Ada segelas tinggi jus tomat di samping mangkok supnya.


"Pak Sapardi?" Saya ulurkan tangan. Dia menoleh padaku, dengan gerakan yang tak tangkas. Mulutnya terus mengunyah. Lahap sekali makannya. Aku langsung memperhatikan alis matanya yang lebat dan telah memutih. Seperti awan, hal yang kerap ia sajakkan. Aku segera saja sudah ada di sampingnya duduk di kursi panjang - kursi yang sama ia duduki. "Saya Hasan Aspahani, Pak..."

Dia sambut jabatan tanganku. "Oh, ya, Hasan. Makan yuk. Kamu sudah makan?"

"Sudah, Pak. Silakan, dilanjutkan. Saya nanti yang membahas buku Pak Sapardi," saya berbasa-basi. Ini semacam minta izin padanya. Dia pasti sudah tahu. Buku yang dikirim panitia pada saya dimintakan langsung dari dia. Ada otograf dia dan nama saya dia tuliskan di buku itu.

"Ya. Ya..."

"Sudah baca makalahnya, Pak?"

"Belum..." Ah, entah kenapa, saya agak lega.

"Pak Sapardi sering ke sini (Salihara), Pak?"

"Gak. Ini pertama kali saya ke sini."

***

Balikpapan, 1988. Di sebuah toko buku yang sering saya kunjungi. Saya melihat buku itu terselip di rak sastra. DukaMu Abadi. Sapardi Djoko Damono. Namanya sudah sering saya baca di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Saya tak berpikir dua kali. Buku itu saya bawa ke kasir. Harga Rp800 saya bayar. Kali ini saya tidak mencuri. Dia toko buku yang sama saya pernah mengambil buku Pamusuk Eneste, tanpa singgah di kasir. Tapi kali ini tidak. Biarlah arwah Chairil mengutuk!

Demi Sapardi! Sejak itu, saya tak pernah lepas dari buku puisi pertamanya, dan itu juga buku puisi pertama yang saya beli. Kepada teman-teman SMA saya waktu itu, saya selalu bilang bahwa sajak-sajak di buku itu adalah sajak yang bagus, tanpa saya sendiri bisa menjelaskan dimana kebagusannya.(bersambung)

Sunday, May 17, 2009

Aku Lihat Indonesia Bekerja

AKU lihat, lelaki muda - membangun rumah kecilnya,
agar tak lagi menumpang hidup bersama orangtua,
"Ini kayu-kayu sisa," katanya. Istrinya berdiri tak jauh
dari sana, menggendong anak perempuan mereka,
di tengah sepetak cabai merah yang lebat buahnya.

Lelaki muda dan istrinya, mereka punya ijazah sarjana,
tapi tegas menolak dimintai sogokan tes pegawai negara.

*

AKU lihat, lelaki penuh usia - menghitung buah kelapa,
memuatnya ke truk bak terbuka. "Ini mau saya antar
ke kota, ke pedagang pasar langganan saya," katanya.

Truk pikap itu disetir oleh anak muda, sebaya anak
bungsunya - sebaya dengan usia pohon-pohon kelapa
yang ia tanam setelah menaklukkan rawa - tanpa pernah
meminta bantuan dari anggaran pembangunan negara.

Lelaki penuh usia - ia punya cara agar tidak hanya
bisa menggerutu dan menyalahkan negerinya: Indonesia.

*

AKU lihat nelayan belia merajut robek jala. Menambal
rekah papan perahunya. Menera timbangan kuningan.
Istrinya menemaninya bercakap-cakap tentang harga
solar, dan suku cadang mesin tempel, sambil mengikat
tungkai dan sapit kepiting, dan menyiang kepala udang.
Mereka berbincang tentang rekening tabungan di BRI
unit desa - simpanan untuk masuk sekolah anak mereka.

Keluarga nelayan belia - ikut mempersiapkan masa dengan
negerinya dengan jalan sendiri, cara yang sederhana.

*

AKU lihat sekelompok anak muda - sedang belajar bisnis,
menggarap proyek pertama: pameran kuliner Indonesia,
di Balai Kota. "100 stan sudah terisi semua. Ah, negeri
kita memang alangkah kaya," kata mereka, sambil
menghitung berapa laba yang bisa mereka sisihkan, untuk
proyek bisnis mereka selanjutnya: Ekspo Batik Nusantara.

Mereka pemuda - kelak mereka akan menjadi pengusaha yang
membuat banyak tempat kerja bagi tenaga baru di negerinya.

*

AKU lihat sehimpun mahasiswa menggelar debat calon
legislatif di stasiun televisi lokal. "Agar rakyat
tahu siapa calon anggota DPRD yang punya misi dan visi,
tak sekedar cari muka dan cari makan di lembaga negara,"
kata salah seorang dari mereka.

Sehimpun mahasiswa - sedang belajar dan mengajari diri
mereka sendiri, bagaimana menghidupkan api demokrasi.

*

AKU lihat guru muda - mengajar murid kelas 4 SD-nya.
Ia suka bergurau agar pelajaran rumit tersampaikan
dengan gembira. Ia baru saja lulus tes pegawai -
setelah menjadi guru honor, beberapa tahun lamanya.

Guru muda - ia lihat masa depan negerinya di mata
murid-muridnya, dan di papan tulis di depan kelasnya.

*

AKU lihat animator di studio menggarap adegan film
pesanan produser dunia. Aku lihat jurnalis muda
melaporkan korban bencana. Aku lihat penulis teks
iklan mencari cara bagaimana sebuah merek dibesarkan.
Aku lihat wiraniaga di kios penjual isi ulang pulsa.
Aku lihat fotografer muda. Aku lihat petinju berlatih.
Aku lihat penyair meresitalkan sajaknya. Aku lihat
sekelompok orang memperdebatkan sastra.

Aku lihat montir-montir merawat mesin sepeda motor.
Aku lihat para editor buku menyunting naskah. Aku
lihat kru maskapai udara mempersiapkan keberangkatan.
Aku lihat, komisi pemilihan mempersiapkan perhelatan.

Aku lihat negeriku: Indonesia semakin giat bekerja!


Friday, May 1, 2009

Perempuan Penyalin Mimpi

ADAKAH kau tuliskan juga mimpi lelakiku?

Itu memang kisah tentangmu: perempuan
penulis igauan. Remang meruang, cahaya
cuma segumpal awan: dari satu itu sangkar.

Ini kamar: memasung waktu, jeruji pilar
batu, dan kau tertidur ketika mimpi-mimpi
itu menyalin sendiri dalam segulung panjang
riwayatmu, dari secarik memo: dulu dahulu.

ADAKAH kau tuliskan juga mimpi lelakiku?




Kita Bukan Turis Tua

LAUTAN tak akan pernah terbingkaikan!

Percayalah, Tuan! Lepas topi dan jas
lapis kanji. Mari tunggu adzan ombak,
semacam panggilan ke lain pelayaran,
ke lain perjalanan: Sembahyang Lelaki!

Bukankah, di Lautan, dengan-Nya kita
langsung berhadap-hadapan? Satu nyawa
mengikhlaskan liat, segeliat badan.

*

Lautan tak akan pernah terbangkaikan!

Kita bukan turis tua, belanja di kedai
cinderamata, terpesona pada gambar layar,
lalu membayangkan hiasan itu terpajang
di dingin dinding rumah tua. Ah, kala tua.

Kita rindukan laut berteriak langsung di
telinga, "Benar berani?" tantang Tuhan.




Kau Semakin Curiga

INILAH hujan yang lama sudah kau cintai. Hujan
dari mendung yang tak pernah kau bisa kenal itu.

"Basahi, biar aku tampak bagai beraimata!"

Sudah lama, kau terperangkap, di rumahmu,
rumah berlantai gelombang, dan lelaki di situ
adalah gelembung payung, hanya peduli pada
pinggangmu, dan ke bawah dari itu. Kau
kehujanan, kau basah ia biarkan. Basah dan
hujan dari mendung yang tak kau kenal itu.

"Jangan-jangan", kau semakin curiga, "rumah
ini cuma tak ada. Rumah ini cuma pecah bahtera."



Yang Mengeram Sendiri, Yang Menetas Sendiri

: Totot Indrarto

KAWANMU penyair itu bertanya, "gambar ini
cocok untuk iklan apa ya?" Sambil dia
tunjukkan foto seorang lelaki, bertopi
nganga paruh enggang, merenungkan apa
yang bisa dipatuki dari dunia tua ini.

Engkau justru membayangkan di kepalamu
tumbuh sayap. Supaya pikiranmu yang
suka macam-macam itu bebas terbang,
bebas hinggap, bebas mengepak, bebas
mendekap. Bebas pergi, pun bebas pulang.


"Gambar ini, lho, Pak!" kata kawanmu
penyair itu, ia sorongkan lebih dekat padamu,
gambar seperti kamar kerja, ada loket
di dindingnya, seperti peternakan pikiran,
unggas-unggas petelur unggulan yang belum
punya sepasang nama berbahasa latin yang
kalau ditulis hurufnya harus dimiringkan.

Engkau membayangkan kepalamu adalah sarang,
dan engkau sendiri adalah unggas paling
jago mengeram dan menetaskan telur gagasan.
Orang ramai datang padamu, membawa telur
yang bercangkang lucu, yang bercangkang batu,
yang bercangkang kayu, yang bercangkang
belacu, yang bercangkang waktu. "Mari-mari,"
katamu gembira selalu, "mari kutetaskan
jadi makhluk bersayap baru, biar meriah
langit kita, tak diterbangi oleh unggas
yang itu-itu hanya dan itu-itu saja.


"Maksud saya, ini gambarnya, Pak!" Gambar
telur yang terhampar di lantai, oleh
kawanmu penyair dibentangkan padamu; gambar
telur yang satu per satu dihitung oleh
lelaki berjas rapi itu; gambar telur yang
banyak, tetapi sepertinya hanya ada sebutir
yang sangat ditunggu oleh Dewi entah dari
mitologi mana, Dewi yang fotonya dipajang
di dinding itu.

Engkau kini membayangkan engkaulah telur
sebutir yang ditunggu itu. Tetapi, sebagai telur,
engkau mengerami dirimu sendiri, engkau
menetaskan dirimu sendiri. Dan begitulah,
agaknya caramu menjawab pertanyaan kawanmu
penyair itu. Meski dia sepertinya tak akan
pernah berhenti bertanya padamu. Dan engkau
pun tak pernah berhenti mengerami dan menetaskan
telur yang dititipkan padamu, membayangkan apa
saja dari apapun gambar yang disodorkan padamu.




Tulis Akhir Postingan Anda

Oh, Betapa Subur Tumbuh Luka di Situ



Foto: Martyrdom St Tilden, Jamie Baldridge



SEPERTI bandul pendulum
memutar mesin waktu,
menjeritkan lagu,
kau cari rekaman amat tua:
satu-satunya lagu
saat ibumu mendodoimu.

Kau dulu, begitu ingin
ibumu menyebutmu,
menyanyikan juga namamu.

"Ibu, aku mau beritahu
namaku sekarang padamu, Ibu,"
katamu membungkuk
di piringan waktu itu.

Namamu, oh betapa
sulit kini kau ingat, secarik
kertas harus kau pegang selalu,
kertas bertulisan namamu,
nama yang kau sendiri
tak bisa penuh mengartikannya.

'Ibu,..." katamu. Membungkuk.
Setengah rukuk.
Kau sembunyikan darinya
- bila memang di situ dia ada -
bilah panah yang dilepaskan oleh jam,
tepat di punggungmu tertikam .

Oh, betapa subur tumbuh luka di situ.

"... ingatkan aku dodoimu, Ibu,
biar aku artikan sendiri rindu,
sambil kujeritkan sendiri sakit
: luka waktu."