Friday, October 31, 2003

Tiga Kata yang Paling Aneh

Sajak Wislawa Zsymborska



Ketika kulafalkan kata Masadepan,

suku kata pertamanya sudah menjadi masalalu.



Ketika kuucapkan kata Sunyi,

Ah, aku menghancurkannya.



Ketika kusebutkan kata Tiada.

Aku membuat yang tak ada bisa terasa.

Bila Putus Asa Meraja

Beri aku sahabat dan kekasih

Segenap perkerabatan, kau terlebih

Masih saja, aku lumpuh letih



Engkaulah Nuh dan bahtera

Engkau gelap dan cahaya

Masih saja, aku terkabuti rahasia



Engkau gairah cinta dan kemarahan

Engkau burung dan kurungan

Masih saja, aku sesat terbang sendirian



Engkaulah anggur dan gelas piala

Engkaulah tetes air dan samudera

Masih saja, aku terapung terbawa



Aku berkata, "Oh Jiwa dunia

Keputusasaanku telah meraja!"

"Akulah kesejatianmu," tanpa maki,

"Hargai aku lebih dari emas murni."



Engkaulah umpan dan jebak

Engkaulah peta dan jalan setapak

Masih saja, aku mencari jejak



Engkaulah manis madu dan racun

Engkau terkalahkan dan penaklukan

Masih saja, pedangku di tangan



Engkaulah hutan dan gergaji

Engkau yang mentah, yang siap saji

Masih, aku di pot tak bisa pergi



Engkau kabut dan sinar matahari

Engkaulah air dan kendi

Masih saja, aku haus tak henti



Shamsi adalah aroma harum

Kebanggaan Tabriz pembangkit senyum

Masih saja, aku hanya penjual parfum



* Syair ke 26 dari Diwani Shams Tabriz,

Karya Jalaluddin Rumi. Judul dari HA.




Sesuatu Seperti Puisi

petikan dari sajak

Some Like Poetry

Wislawa Szymborska




Puisi-

tapi apakah puisi.

Banyak jawaban mencengangkan

ditujukan pada ini pertanyaan.

Tapi aku tak tahu dan tak tahu dan terus tak tahu dia

seperti menjejaki tangga yang tak ada habisnya.

Thursday, October 30, 2003

Sesurat Surat

Sajak Amy Lowell



Kata-kata kejang mengambur acak di gurat

     kertas surat

Seperti coret kacau sayap kaki lalat,

Ada nyala bulan mengelak di sela daun oak,

Apa cerita bisa kau kuak?

Juga pada tingkapku bimbang, pada lantaiku

     yang kosong lapang



direnjisi cahaya bulan?

Lagak dan kelaku pandirmu tak ada

     pada yang di sana:

yang bersemi bunga berduri,

Dan di genggam tanganku, kertas ini pun pucat,

     kering dan lencir, bagai perawan manja,

muda, lagi menggoda.



Aku letih, duh kasih, letih tersebab hati

     yang melawan

engkau yang diinginkan;

Letih tersebab memeras kertas hingga menetes tinta,

Lalu mengirimkannya.

Dan aku terbakar lepuh sendiri, di sini, di bawah api

bulan, yang mahabulan.

[Ruang Renung # 20] Puisi Buruk, Puisi Jelek

Apakah yang buruk dan yang baik bagi puisi? Seperti apakah puisi buruk? Seperti apakah puisi yang baik? Mula-mula tentu estetika yang harus kita ajak bicara. Karena puisi bangkit bermain di ranah kesenian. Mula-mula tentu keindahan yang harus dikedepankan. Karena seni pada hakikatnya bekerja membangun ulang hidup dalam bentuk tiruan yang diupayakan ada keindahan padanya. Mula-mula tentu kepekaan rasa yang harus diutamakan ketika kita hendak bersentuhan dengan yang indah-indah. Membawanya keluar yang dari rutin kepada yang baru yang berbeda yang tidak membangkitkan jenuh bosan.



Pertanyaannya, bisakah estetika, keindahan, dan perasaan disistemasikan? Bisakah itu dibuat batasan-batasannya? Bisa. Tapi, sistemasi dan batasannya seharusnya bisa melar seperti karet gelang. Yang bisa ketat membatasi, bisa juga meregang memberi ruang yang lebih lebar.



Jadi apakah buruk dan baik pada puisi? Bacalah sebanyak-banyaknya puisi karya penyair-penyair terdahulu. Bacalah tulisan-tulisan yang membahas puisi-puisi. Baca saja. Kita boleh tidak setuju kalau puisi yang dibilang baik di bacaan itu, buruk bagi kita. Atau sebaliknya. Atau setuju pun dengan pembahasan itu tentu boleh saja. Bacalah definisi-definisi dan rumusan-rumusan baik buruk puisi. Misalnya dari Oscar Wilde. Semua puisi yang buruk, katanya, bangkit dari perasaan yang asli apa adanya. Menulis yang alami adalah menulis yang jelas nyata. Dan yang jelas nyata itu tidak artistik. Tentang puisi yang baik, kata ini dari William Wordsworth, adalah aliran seketika dari perasaan yang kuat bertenaga: yang mengambil sumbernya dari emosi yang diraih kembali dalam keadaan yang setenangnya.



Puisi baik, puisi buruk. Apakah keduanya telah merumuskan sesuatu? Apakah mereka telah membuat batasan yang kaku? Tidakkah ada yang beradu kepala dalam kedua rumusan itu? Kita boleh setuju padanya, boleh juga membantahnya, pun boleh membuat rumusan sendiri. Bingung pun boleh juga. Jadi? Menyairlah saja, nanti dulu membuat batasan-batasannya. [ha]

Menjemput Manis Anggur*

Ikutilah, ikutilah, padang ini setaman-bunga

Ikutilah, ikutilah, ini waktu bagi sang kekasih,

Ikutilah, sekali-seluruhnya, setiap jiwa, seluruh dunia

Mandikan dirimu di pancuran emas panah matahari.

Hinakan mereka yang menyempal tanpa kerabat

Tangisilah dia yang menyendiri, tinggalkan kekasih sendiri.

Setiap orang mesti bangkit, menebarkan kabar,

Yang terbelenggu memutus rantai, tinggalkan kurungan.

Tabuhlah tambur tanpa ragu, dan tahanlah bicara,

Fikir-hati mengalir jauh, sebelum jiwa membumbung punjung.

Hari yang luar biasa, luar biasa, seperti Hari Pengadilan,

Buku hidup tak lagi berdaya, hilang tenaga.

Diamlah, diamlah, bertudunglah, bertudunglah,

Jemput manis anggur, campakkan masam kecut.



* Syair ke-50 Diwani Shams Tabriz

Jalaluddin Rumi. Judul dari HA




Stéphane Mallarmé *







Hanya ada satu keindahan - dan itulah satu-satuya ekspresi yang sempuna - puisi. Sisanya adalah dusta - kecuali bagi siapa saja yang hidup dengan tubuh, cinta dan yang mencintai pikiran, persahabatan. ... Bagiku, Puisi mengambil tempat cinta, karena Puisi terpikat pada dirinya sendiri, rasa senangnya yang sensual jatuh kembali sesedap-sedapnya di jiwaku.



* Penyair




Wednesday, October 29, 2003

Dengan Mata Memejam

Sajak Octavio Paz



Dengan mata memejam

Engkau menyala di dalam

Engkau batu yang buta



Malam lalu malam kupahat engkau

Dengan mata memejam

Engkau batu yang berterusterang



Kita pun jadi besar tak terukur

Hanya peduli engkau dan aku

dengan mata memejam



[Ruang Renung # 18] Puisi yang Terinspirasi Seks

Bagaimana kalau seks jadi inspirasi puisi? Terserah. Sama seperti hal lain yang juga bisa menggerakkan kita menulis puisi. Seks pasti juga sesekali bisa mendorong kita untuk menuliskannya jadi puisi.



Bagaimana menuliskannya? Terserah juga. Bisa bagaimana saja menuliskannya. Bisa dibuat pantun, berbentuk soneta, atau bentuk puisi apa saja atau sajak bebas, sebebas-bebasnya. Sama seperti kalau kita terinspirasi menulis puisi dari rasa lapar, kangen, marah, atau ketika melihat petugas trantib menggusur rumah-rumah liar.



Hasilnya puisi seperti apa? Ya bisa jadi puisi yang bagus, biasa-biasa saja atau jelek. Tergantung kita yang menulisnya. Banyak penyair yang sesekali juga mengolah tema ini. Menghindari tema ini juga boleh saja. Kalau kita tak dapat menahan dorongan untuk menuliskannya juga, tinggal bagaimana mengendalikan dorongan itu agar puisi kita tak jadi puisi yang kehabisan tenaga. Puisi yang berhasil harusnya selalu bisa mengalirkan energi ke sebanyak-banyaknya pembaca setiap kali ia dibaca. Ada sesuatu dalam puisi kita yang terus-menerus mengalirkan makna. Tak henti henti membangkitkan penasaran. Tak habis-habis.



Sekadar contoh, puisi Octavio Paz, Goenawan Mohamad dan Aslan Abidin kita kutip sebagian. Sebenarnya tak pasti juga bahwa ketiga puisi ini berangkat dari inspirasi pengalaman seksual. Mungkin hanya istilah-istilah yang menyaran ke sana yang dipakai oleh penyairnya untuk menegakkan bangunan puitiknya. Atau sebaliknya, metafor-metafor dan peristilahan dan kosa kata lain yang dipakai untuk membungkus pengalaman seksual agar tampil indah dalam puisi. Tidak banal.



Malam semalam / di ranjangmu / kita bertiga / rembulan, engkau dan aku // kubuka juga / bibir malammu / lembah lembab / gema tak lahir suara //... [Maithuna dalam buku Erotic: Beyond The Sade, Octavio Paz].



.....// Akan kuletakan sintalmu/pada tubir meja: / telanjang / yang meminta // kekar kemaluan purba, / dan zat hutan /yang jauh, dengan surya / yang datang sederhana. // Akan / kubiarkan waktu / mencambukmu, / lepas. Tak ada yang tersisa/dalam pigura // ....[Pada Album Miguel de Cuvarobias, dalam buku Andai Kita di Sarejevo, Goenawan Mohamad]



Dan yang berikut ini dari Aslan:



Pada suatu tengah malam, seusai menikmati / gravitasi di atas tubuhmu, kita bercerita tentang / newton dan buah apel yang jatuh ke bumi. "Jangan tinggalkan aku, apalagi di bumi ini," / katamu dengan kerongkongan kering.// [Lirisme Buah Apel yang Jatuh ke Bumi, terbit di Media Indonesia Minggu, Aslan Abidin]. [ha]



[Ruang Renung # 19] Distorsi Imajinasi dan Fakta dalam Puisi

Puisi memang bukan sebuah hasil reportase. Meskipun selalu berangkat dari fakta. Atau lewat imajinasi, yang toh juga tak bisa lepas dan pasti tegak di atas fakta. Imajinasi paling liar pun pasti berangkat dari fakta yang hendak diingkarinya. Jadi jangan direcoki dengan kesibukan memisahkan fakta dan imajinasi dalam puisi. Keduanya silakan diadon dicampur dibancuh sesedap-sedapnya senyaman-nyamannya.



Menyair adalah pekerjaan melapis, membungkus, mengemas fakta dan imajinasi, atau sebaliknya menelanjangi, mengosongkan dan membongkarnya. Sehingga, kalau terperdengarkan, mengutip Octavio Paz, suara-suara lain yang dilupakan bahkan ditindas oleh sejarah. Mungkin itu sejarah kita sendiri. Ringan saja. Tentang keterpesonaan kita suatu kali pada pemandangan telaga jernih yang dilampui oleh benderang bulan dan bayang-bayang pohon di tepiannya. Imajinasi pun dengan subur bisa tumbuh dari kenyataan indah itu. Itu juga sejarah kan? Tapi kita biasanya akan melupakan saja itu karena banyak hal "besar" lainnya yang merasa paling punya hak untuk diberi tempat dalam ingatan. Puisi tidak. Di dalamnya kita bisa mengabadikan menyuarakan hal-hal remeh tadi.



Walakhir, relevan rasanya kalau kita dengar suara kutipan dari Percy Bysshe Shelley. Katanya, puisi adalah cermin yang membuat indah kenyataan-kenyataan yang didistorsikannya.[ha]



Kebebasan Sendiri

Syair Li Po



Duduk menggelimun, tak hirau pada kelam senja,

Hingga jatuh kelopak bunga penuh di kerut baju.

Dalam mabuk, bangkit melangkah ke terang bulan;

Burung telah menjauh, dan ada segelintir orang lain.

Tangan yang Sesekali Menunjukkan Jalan

Oh, sekarang dari tengah-tengah kami, kau pergi

Walaupun ada duka nestapa kau tolak, kau pergi



Sekali waktu lingkaran kawan kau bahagiakan

Kini dengan debu semut dan ular, kau pergi



Betapa banyak ilmu akhirnya kau tinggalkan

Betapa seperti pikiran, dalam rahasi akau pergi



Betapa ada tangan yang sesekali menunjuk jalan

Betapa ada kaki yang dituntun taman, kau pergi



Lembut dan menyentuh, kau pukau kau tawan

Lalu debu dunia nestapa dukamu, kau pergi



Kau sesali cemburu, berjuang menghentikan

Ziarah kematian, hidupmu tertahan, kau pergi



Hendak kemana, debu kabutmu tak tertemukan

Jalan berdarah ini, mengilang kabut, kau pergi



Diamlah O hati, belenggu lidah jiwa terkekangkan

Betapa nyala itu memutar dan menikung, kau pergi





* Dari Diwani Shams Tabriz karya

Jalaluddin Rumi, Judul dari HA.




Besok, Padi Minta Disiang

resah yang entah,

jejakku: kaki gelisah

rindu bau kelam tanah

aroma sawah



ada duri menembus hati,

gulma pagi.

kusimpani

agar sakitnya abadi



pulang, Anak! pulang....

petang,

petualang

besok, padi minta disiang.



Okt 2003

Stefan Kanfer*



Di dalam diri setiap manusia ada penyair yang mati muda.






* Penulis




Tuesday, October 28, 2003

Keluh Tangga Batu Giok

Syair Li Po



Giok-putih tanggarumahnya, dingin disaput embun;

Sutra tapak sepatunya basah, lamanya bergeming disana...

Disisi jendela tertutup lama, kenapa masih menunggu dia,

Menatap lewat kristal kaca bulan musim luruh?



Nyanyian Peminum Pegunungan

Syair Li Po



Demi membunuh duka, nestapa purba

Kami habiskan seratus teko anggur

di sana, di malam yang indah alangkah.

Kami tak hendak lelap, bulan begitu gemerlap.



Anggur meringkus kami, pada akhirnya

dan kami terkapar di pegunungan kosong --

berbantal empuk bumi,

dan selimut tenunan surga.



Yang Memuja Mata, Tak akan Punya Penglihatan

Mengapa mengira yang remeh ini adalah jiwa

dan sebongkah bijih emas harta yang diburu?

Kau mencari emas, menggali dalam, mengapa?

Merenungkan bumi menjelma jadi langit?

Mengapa menimbangkan godaan yang menakutkan

sebagai keindahah negeri?

Mengapa seperti cacing menggeliat syahwat bumi

dan menganggap kekasih lebih hina dari debu?

Mengapa mual dengan cinta dan kau usir dia

Mengira dalam cinta, padahal tenggelam dalam nafsu?

Mengapa membiarkan asap ketakpedulian memenuh mata dengan tangis?

Mengapa menganggap kesalihan adalah wujud ketakutan yang bodoh?

Takluk pada nafsu pertanda tiba kutuk itu

Lalu mengapa minta isyarat ini dihapuskan?

Semua tanyaku, mengapa, kutanya sendiri

Seperti mereka, kau kira aku bertanya pada-Nya?

Shams Tabrizi, unjukkan dirimu, sinarmu

Mereka yang memuja mata, tak akan punya penglihatan!



Syair ke-151 Diwani Shams, Karya Jalaluddin Rumi

* Judul dari HA




Monday, October 27, 2003

[Ruang Renung # 16] Ihwal Penyair Telah Mati

Sosok seniman selalu digambarkan suka tampil dan berkelaku aneh bin tidak lazim. Pun penyair. Atau suka melabrak kesopanan-kesopanan umum. Atau secara terbuka menunjukkan sisi buruk dirinya. Terima saja apa adanya. Kutuk yang buruk, jangan diteladani. Pisahkan dia dengan karyanya. Kita boleh tidak sependapat dengan keyakinan moral si penyair. Dia bukan nabi yang harus diikuti. Baiklah kita berurusan dengan karya saja. Tapi tetap saja jangan butakan diri dengan biografi penyairnya. Karena itu akan melengkapi pemahaman kita atas karya-karyanya.



Memang tidak enak rasanya melihat aktor kegemaran kita dalam kesehariannya berkelaku tidak sesuai dengan perannya seperti dalam lakon yang kebetulan peran itulah yang membuat kita mengidolakannya. Tapi sebuah panggung pementasan memang bukan hidup yang sebenarnya kan? Mari kita ambil kutipan dari Gola Gong. Di dunia ini, tulisnya, yang paling penting, kita bisa berlapang dada menerima segala macam bentuk karya tulis. Percayalah, tak ada penulis yang tak menuliskan maksud baiknya.



Saya juga ingin mengutip Tulus Wijanarko yang menurutnya memisahkan karya seni dengan kreatornya (sang seniman), sangat mungkin menjadikan karya seni sebagai sebuah hasil kerajinan. Penyair yang karyanya begitu religius, namun sikap dan perilaku hidupnya bertentangan dengan karyanya, pastilah seorang yg hanya piawai dan terampil mengolah kata-kata. Maka, karyanya akan berhenti sebagai hasil kerajinan mengolah kata-kata.



"Tetapi entah kenapa, ada bagian yang saya setujui atas titah: pengarang telah mati, setelah karyanya jadi," tambahnya. Itu terutama dalam soal penafsiran atas karya yang bersangkutan. Pengarang, menurut Tulus, tak punya otoritas terhadap sang pembaca dalam menafsirkan karyanya. Begitu ia mulai menerang-nerangkan karyanya, selesailah dan habislah karya itu. Karena keindahan karya terletak pada kemampuannya membuka tafsir-tafsir baru. [ha]



[Ruang Renung # 17] Teleskop, Stereoskop dan Mikroskop

Bagaimana kalau keinginan untuk menulis puisi tentang kejadian masa sekarang atau bahkan keinginan utk menggambarkan tentang suatu keadaan yang mungkin akan terjadi pada suatu masa nanti? Biasanya para penyair atau seniman mempunyai kepekaan yang lebih dalam membaca suatu keadaan saat ini. Bukankah dengan demikian belum terjadi kenangan karena kejadiannya belum berlalu. Apakah dengan demikian keadaan emosi si penyair terhadap bahan yang akan diolahnya menjadi puisi menjadi kabur atau dengan kata lain tidak terjaga dengan aman? Dan mengapa pula harus perlu menjaga jarak dan mengendalikan emosi, bukankah akan menghambat ekspresi yang ingin disampaikan dalam puisinya? (Budi, milis penyair@yahoogroups.com, 27/10).



Menulis puisi bisa diibaratkan melihat melalui teleskop, pemandangan yang jauh. Atau melihat sebuah bentang alam yang luas lalu menyalinnya sebagai sketsa pada selembar kertas. Salinan berupa sketsa itu pasti tidak akan bisa menangkap garis besarnya jika kita tidak mengambil jarak. Misalnya jika kita hanya mengamati secara dekat batang pohon yang tegak di antara pepohonan lain dalam lansekap itu. Kecuali jika kita hanya ingin menulis tentang warna dan pola rekahan batang pohon. Karena itu ambillah jarak. Saat menarik garis toh kita harus juga mengalihkan pandangan dari obyek yang kita tulis, berpusat perhatian pada ujung pena dan kertas kosong saja. Di sinilah perlunya mengambil jarak, jarak waktu dan jarak fisik. "Semua puisi yang buruk, berangkat dari perasaan asli. Menulis sesuatu yang alami adalah menulis apa adanya. Dan yang apa adanya itu tidak artistik," kata Oscar Wilde.



Menulis puisi juga bisa diandaikan seperti melihat dua lembar foto udara di bawah stereoskop. Pada jarak fokus yang tepat, gambar dua dimensi menjadi nampak mana bukit dan lembah, mana pohon dan padang rumput, menjadi tiga dimensi. Seorang yang menulis puisi bukan seorang cenayang. Dia tidak membebani puisi-puisinya dengan keinginan meramalkan masa depan. Seorang penulis puisi yang peka sejajar dengan kartografer yang terlatih. Tanpa stereoskop -- seperti meramal -- dia bisa menentukan tanda-tanda geografis pada selembar foto udara.



Meskipun memang ada syair-syair piawai yang teruji waktu yang seolah-olah saat ditulis bagai hendak meramal menembus zaman, seperti hendak membuktikan kebenaran kini. Mungkin seperti sajak Nizar Qabbani yang hingga sekarang relevan dengan keadaan di Palestina dan Timur Tengah umumnya.... bagi penyair Arab, kata-kata tak ada bedanya dengan air mata. Ah, sajak yang bagus mestinya memang bisa relevan dengan zaman hingga kapanpun. Tapi, sebaiknya menulislah saja. Biarlah, waktu kelak yang menguji daya hidup dan relevansi puisi-puisi kita. Puisi adalah lavanya imajinasi yang ledakannya mencegah gempa yang lebih dahsyat, tulis Lord Byron. Kelak jika gempa itu tak terhindari, bukan berarti puisi kita gagal. Anggap saja itu sebagai peramalan atau peringatan dini saja.



Menulis puisi, tidak seperti menulis prosa (terutama novel) yang -- sebaliknya -- pengandaiannya adalah mengamati preparat di bawah mikroskop. Diperlukan menangkap detail. Keunggulan fiksi jenis ini justru pada kemampuan membuat deskripsi yang lengkap. Deskripsi peristiwanya, deskripsi karakter tokohnya, deskripsi lokasi kejadiannya. [ha]



Di Gunung Pada Suatu Musim Panas

Syair Li Po



Perlahan aku mengibas putih kipas bulu,

Duduk di hijau hutan, melepas baju.

Kubuka topi, menggantungnya di tegak batu;

Angin pohon pinus menetes di telanjang kepalaku.



Puasa Pertama di Penjara

: bagi zein



magrib, azan pertama ramadan

tahun ini menerobos jeruji jendela

penjara, seperti raung blues.



seperti dia: Bilal yang

kaulihat tegak mengumandangkan

panggilan di atas kabah sana.



ah, hidup kini bagai memberi lirik

pada nada improvisasi, jazz

menyentak-nyentak ulu hati.

aku mengerti,

aku mengerti.



tapi bagaimana harus berteriak

memohon semangkuk kolak,

sedang anggur sekilo titipan istri,

sampai pada kami hanya tersisa

tujuh biji?



hukuman ini betapa imsak,

kutunggu magrib yang lain, waktu

tiba padaku saat berbuka kelak.



Okt 2003



Apa yang Gandum Tahu Tentang Roti

Syair Shahriar Shahriari



Apa yang gandum tahu tentang roti

karena roti ah alangkah jauhnya.

Sekali dulu ia biji gandum lalu butir tepung,

adonan yang bangkit, hanya satu jam waktu,

Dipanggang di panas api,

Membasuh yang tersisih, mengembang lebih,

Lalu, roti tahu apa takdirnya

: disantap sebelum terlambat.



Jika roti, mengambil ilham gandum,

Gandum yang tetap tinggal di lumpur sawah.

Bagi roti yang ah alangkah jauhnya

Apa yang gandum tahu tentang roti?



Sunday, October 26, 2003

[Ruang Renung # 14] Ekspresi dan Emosi Puisi

Banyak pengapresiasi menilai keberhasilan puisi tercapai jika penyair bisa mengendalikan emosi saat menuliskannya. Juga ketertiban dan keteguhan si penyair menjaga jarak aman dengan bahan yang diolahnya menjadi puisi. Tidak tertarik lalu terjebak ke obyek yang hendak digubahnya ke dalam puisi. Ketika kita terpesona dengan suatu peristiwa atau terpukau keindahan, respon yang paling murni adalah mengucapkan kata-kata kekaguman. Verbal. Jujur. Spontan. Misalnya, "Oh alangkah indahnya pemandangan ini." Tapi jangan sebut itu puisi.



Jika ingin menuliskan juga puisi dari kekaguman itu ada beberapa cara. Bisa seperti yang disarankan oleh Rainer Maria Rilke. Kita harus melihat banyak, mendengar banyak, tersesat di hutan, duduk di samping orang yang sakratul maut atau yang melahirkan. Menjadi saksi peristiwa yang menggugah emosi kita. Lalu melupakan saja semua. Ketika ia datang sebagai kenangan, nah, itulah saat yang tepat untuk menuliskannya sebagai puisi. Mungkin itulah yang dimaksud dengan menjaga jarak aman dengan bahan syair kita.



Ada memang, penyair yang mengandalkan impresi spontan. Tapi, tetap saja, biasanya dia sudah terlatih untuk mengendalikan dan menyimpan bekal energi puisi yang penuh di memorinya. Peristiwa yang datang hanya jadi pemantik. Penulis haiku yang piawai tampaknya mengandalkan cara ini. Pemandangan sekilas yang memikat hati kuat-kuat, hasilnya haiku yang bergema nyaring.



Penyair Emily Dickinson punya rumusan bagus soal kait kelindan antara puisi dan emosi. Puisi, katanya bukan mengembalikan emosi yang hilang, tapi sebuah pelolosan diri dari jebakan emosi; dia bukan ekspresi dari kepribadian, tapi pelarian dari kepribadian. Tapi, katanya, tentu saja hanya yang punya kepribadian dan punya emosi yang tahu apa artinya keinginan lolos dari kedua hal itu, emosi dan kepribadian.[ha]



Air Terjun di Lu-shan

Syair Li Po



Sinar matahari mengalir pada sungai berbatu-batu.

Dari tingginya, sungai berlompatan takhenti-henti--



tiga ribu kaki sinaran di air berkilatan---

Galaksi Bimasakti mengucuri dari surga.



Ketika Musim Semi Mulai

Syair Li Po



Sejak Hidup hanya tinggal mimpi,

Kenapa berjerih payah bagi yang tak faedah?

Tersebab itu ada yang mabuk sepanjang hari

Tanpa gairah aku berbaring di teduh serambi.

Terjaga, melintasi taman kutajamkan mata.

Burung memekik dari serangkum mekar bunga.

Katakan, musim apa ini?

Katakan, hari apakah ini?

Mendadak terbang burung kepodang

Berkicau meningkahi sepoi musim semi.

Di benak, di mana aku ada kecuali keluh:

Lalu, lagi, menujukanku ke mangkuk bubur;

Dan bernyanyi dalam riuh yang teramat pikuk

mengantar bulan.

Dan kini tercipta sudah laguku -- ah aku,

Aku yang lupa menyanyikan syairku.



Jean Cocteau (1889-1963)*





Tragedi paling buruk bagi seorang penyair adalah dia dikagumi karena kesalahfahaman.



* playwright, poet, novelist, filmmaker, artist, critic and librettist.

Pergi dan Mati, Pergi dan Mati

Pergi dan mati, pergi dan mati,

Jangan takut mati, jangan ada segan

Kala di debu ini engkau terbaring

Jiwamu melambung memuncak tinggi



Pergi dan Mati, pergi dan Mati

biarkan wujud ini lewat terbiar

wujud ini hanyalah penjeratmu

dan bahkan penjara bagi kau aku.



Dengan kapak tetak belenggu itu

Dan ini, jerujimu, lawan saja

Ketika rantaimu, lepas jeratmu

dengan sang Raja, engkau tahu Dia.



Pergi dan mati, pergi dan mati,

Raja yang maharupawan terpuaskan

bagi Tuhan ketika engkau mati

Kemuliaanmu berbiak membanyak.



Pergi dan mati, pergi dan mati

seperti awan air mata, menangis

Ketika awan telah kering berlalu

Engkaulah cahaya dari sang mata.



Cobalah diam-diam, cobalah diam-diam

Sedekat mungkin mendekat ke mati

Segenap hidupmu, kerahkan gunakan

Tertolak tanda keluh dan sunyimu.



* Dari Diwani Shams Tabriz

Syair ke 84, Judul dari HA

Lebih Penting Cahaya daripada Lentera

Sajak Nizar Qabbani



Cahaya lebih penting daripada lentera,

Puisi lebih penting daripada buku nota,

Dan kecupan lebih penting daripada bibir.



Surat-suratku padamu

lebih bermakna, lebih penting dari kita berdua.

Dan suratku ini itu hanya berkas-berkas,

tapi padanya mereka akan bertemu dengan

kejelitaanmu

dan kegilaanku.



Saturday, October 25, 2003

Jernihnya Fajar

Syair Li Po



Padang rumput membeku, telah tuntas gerimis;

Warna-warna musim Semi berkurumun setiap sisi.

Biru kolam penuh, berlompatan ikan-ikan;

Murai berkicauan, melentur hijau cabang dahan.

Bunga-bunga di padang itu mencelupkan pipinya berpupur;

Rerumputan gunung merunduk sebatas tinggi pinggang.

Sepotong terakhir awan beranjak bersama liuk bambu,

Dihembusi angin perlahan, menebar memencar.

[Ruang Renung # 13] Imajinasi Versus Menyalin Alam

Syair-syair imajis yang berhasil umumnya bermain-main di antara gejala alam yang terbentang yang membangkitkan momen puitik, lalu disusun-digubah-disalin ke dalam bait-bait yang kemudian secara ringan tapi kuat mengikutkan perasaan si penyair yang menulisnya. Atau sebaliknya. Lalu dimanakah peran imajinasi?



Ketika proses menyusun ulang tadi berlangsung, pada saat itulah imajinasi mestinya memainkan perannya. Kecermatan mengamati alam dan kepekaan pada perasaan sendiri serta keliaran imajinasi yang dipergunakan serentak seharusnya bisa mengalirkan bait-bait dengan lincah dan bertenaga dan menghadirkan imaji yang bukan sekadar salinan lagi. Syair-syair klasik China, pada karya Li Po misalnya, bisa menjadi contoh yang baik: O betapa terangnya pendar di kaki ranjangku -- // Sudah turunkah salju di situ? // Aku tergerak menoleh, cerah sinar bulan kutemu//

Terbenam lagi, tiba-tiba terbersit rumah di benakku.




Gejala alam seperti apa yang hendak kita salin? Perasaan hati seperti apa yang hendak kita abadikan? Dan seliar apa imajinasi yang hendak kita lepaskan? Itulah yang mestinya terus menerus kita pertanyakan sampai ia sebati dengan kerja menyair yang hendak kita seriusi. Setiap syair lahir, adalah jawaban yang berbeda-beda dari pertanyaan-pertanyaan tadi. Mungkin relevan kalau kita kutip penyair Percy Bysshe Shelley. Puisi, katanya, adalah rekaman dan momentum terbaik dan paling membahagiakan dari pikiran yang terbaik dan yang sangat membahagiakan pula.[ha]







Bukan Jalan yang Nyaman*

Pada setapak jalan yang kujejaki

Lalu bertukar arah, takutku pada semua lainnya;

Terpisahkan dari Kekasih tercinta

Dalam syahadat Cinta, yang tersesatkan.

Bila kujumpa yang lain di seluruh kota

Tak ada, kecuali sebuah tanda: Kekasih ada.

Kataku, ini bukan jalan kecil yang nyaman,

dalam tiap langkah, seribu jebak menebar.

O, hati yang hancur tak datang lewat jalan ini

Tinggal saja di ranjangmu yang lembut hangat.

Temukan apa yang membesarkan jiwa,

Mintalah anggur yang menerangi kepalamu;

Segala yang lain membentuk dan mewujud

Kemasyhuran dan sipu, perang dan pernikahan.

Diamlah saja, duduklah saja, dan tinggal saja

Mabuklah saja, dengan anggur menyelangi rotimu.

O Kebanggaan Jiwa, Shams Tabriz,

Pada-Nya takluk hatiku, bahkan jiwaku.



dari Diwani Shams, syair ke-52

* Judul dari HA.

Berbuka Puasa Bersama Presiden

Di meja menu tak lagi tercatat,

Kami mengunyah kota-kota

dengan selera yang senjang tak sama.



Lalu ia mengelap mulut dan

mencucuk sepotong mangga.



Aku terus mengunyah, mencari

saat yang tepat untuk bersendawa,

mencabut tulang ikan di tekak, dan

memuntahkan makanan salah pesan.



Lalu telepon berdering, tandas kurma sepiring.



- Halo! Ini di Istana...

- Ini dari Aceh dari Papua...

- .....



Diam-diam, kutinggalkan perjamuan.



Di dinding ruang makan,

seringai topeng-topeng menyapa:



- Hai, masih laparkah, Saudara?





Des 2001 - Okt 2003

Oscar Wilde*





Semua puisi yang buruk ditulis langsung dari perasaan yang apa adanya. Menulis secara natural artinya menulis yang gampang dimengerti, dan yang gampang dimengerti itu biasanya tidak artistik.





* Penyair, pengarang, penulis drama, lahir dengan nama Oscar Fingal O’Flahertie Wills Wilde, 16 Oktober, 1854 - meninggal November 30, 1900.






[Ruang Renung # 12] Ihwal Membaca Puisi

Apa perlunya membaca puisi karya orang lain? Bisakah kita mengelak pengaruh-pengaruh puisi yang kita baca pada karya kita nantinya? Tidakkah cukup menulis saja, karena tanpa membaca karya orang lain kita juga bisa menghasilkan puisi?



Puisi adalah anak kandung yang tumbuh dan berkembang serta terpelihara sehat dari orang tua yang bernama budaya tulis. Memang ada bentuk-bentuk syair yang hidup dalam tradisi lisan yang kini tidak bereproduksi lagi bahkan sekarang sekarat. Nyawanya sedang diselamatkan oleh pendokumentasian, dengan kata lain ya budaya tulis juga.



Dokumentasi puisi hanya akan berhenti sebagai dokumentasi jika tidak disebarluaskan. Penyebarluasan juga hanya akan sia-sia jika tidak dibaca. Pembacaan pun akan berhenti sebagai bacaan jika tanpa mengkajinya. Puisi yang baik akan membangkitkan bermacam tafsiran ketika siapapun membacanya. Bagi seorang penulis puisi membaca puisi sendiri atau karya penyair lainnya bisa jadi semacam jalan penyerapan energi bagi kerja kreatifnya sendiri. Jangan takut karya kita akan berada di bawah bayangan puisi karya orang lain. Kedewasaan kita menyair diuji di situ.



Bukankah kata TS Eliot penyair bau kencur meniru, dan yang dewasa mencuri! Jangan terjebak pada tindak peniruan, yang sungguh pantang dalam kerja kreatif apa saja. Kita bisa terilhami oleh karya orang lain. Banyak penyair yang dengan tegas menjelaskan karyanya terbangkit dari karya puisi lain. Saya kita itulah bentuk "pencurian" yang disebut Eliot. Penyair yang "dicuri" tak akan merasa dirugikan, alih-alih bangga karena karyanya telah mengilhami penyair lain. Karena itu jadi pencuri sajalah daripada peniru!



Dewasa dalam menyair selain ditentukan jam terbang, juga oleh pengalaman menjelajahi karya-karya orang lain. Semakin banyak membaca, semakin banyak energi kreatif yang bisa kita kumpulkan. Yang kelak akan mengalir deras, menyala terang di saat kita berlari meneriakkan syair kita sendiri di jalan kreativitas kita sendiri. [ha]





Friday, October 24, 2003

Menenggak Anggur Bersama Bulan

Syair Li Po



Dari sebotol anggur, di antara bunga-bunga.

Aku menenggak sendiri. Tak ada sesiapa bersama --

Sambil menating gelas, kuminta bulan yang terang.

datang membawa bayang, dan kami pun bertiga.

Ah! Bulan rupanya tak bisa menikmati anggur ini.

Dan bayangku memberiku tanda: hampa.

Tapi setidaknya, sementara, ada yang menemani.

merayakan malam hingga tuntas musim semi...

Aku berlagu. Bulan bersorak.

Aku berdansa. Bayangku berjungkir guling.

Setahu, kami bertiga lahir bersama.

Lalu ketika aku mabuk, kami saling meninggalkan.

... Akankah tulus niat pernah bisa jadi jaminan?

Kulihat jalan panjang: Sungai Bintang-bintang.

[Ruang Renung # 10] Belajar Orgasme Puisi

Tak ada sekolah untuk jadi penyair. Tak ada gelar untuk sarjana puisi. Belajar puisi tak punya cara lain selain, menyukainya, jatuh cinta padanya, menggaulinya penuh gairah dan menuliskannya tanpa bosan dan putus harap. Menulis puisi pada mulanya mestinya cukup untuk itu saja: menulis puisi saja. Titik. Tanpa beban lain, misalnya ingin jadi penyair! Ingin populer karena puisi. Kenikmatan dan kegairahan harus didapatkan mula-mula pada keasyikan menuliskan puisi. Dan puncaknya ketika puisi itu dianggap selesai.



Sepatah kata Irving Layton layak dikutip disini. Kalau puisi itu seperti orgasme, katanya, seorang akademisi bisa disamakan engan seseorang yang mempelajari bercak noda berahi di seprai. Penyair bukan pencari noda di tempat tidur pagi hari. Dia adalah orang yang meninggalkan noda disitu setelah menikmati orgasme puisi pada malam perenungannya.[ha]



[Ruang Renung # 11] Saat Sajak Dilisankan

SEBERMULA, tampaknya sajak-sajak memang untuk spontan dilisankan. Menyimpannya dalam bentuk tulisan adalah upaya untuk menyimpan, dan menyebarluaskan. Kumpulan syair dan kisah Mastnawi karya Jalaluddin Rumi yang terdiri dari enam buku, mulanya hanyalah selembar coretan yang disimpan di surbannya. Lalu ketika berehat sejenak dalam perjalanan bersama seorang muridnya tulisan pada kertas itu dibacakannya. Dan dimulailah proses bersyair yang panjang. Rumi menari seperti kerasukan, sambil menyanyikan sajak-sajak dan kemudian dicatat oleh muridnya. Kadang tiba-tiba saja dia "membacakan" sajak baru langsung dari buku di kepalanya. Lain waktu saat berbincang-bincang dia membacakan syair yang begitu saja terlintas di pikirannya. Apa yang tercatat oleh si murid itulah kemudian yang sampai kepada kita.



Atau seperti riwayat asal mula haiku. Beberapa orang penyair berkumpul. Lalu saling berbalas dan saling melengkapi sajak-sajak pendek tentang musim dan alam di mana mereka hadir. Terus menerus, bersahutan, dan berhenti ketika sudah mencapai bilangan puluhan bahkan ratusan.



Atau seperti tradisi berpantun. Misalnya saat rombongan pengantin pria datang melamar. Di depan pintu ada yang menantang untuk menjual pantun. Kepiawaian menyusun pantun dan langsung mengucapkannya dipertunjukkan saat itu. Tanpa konsep. Tanpa contekan. Spontan.



Atau seperti yang kita kenal sekarang. Seperti Rendra yang membacakan sajak-sajaknya di panggung dengan teatrikal. Seperti Sutardji yang selalu memukau di panggung pembacaan puisnya. Atau seperti lomba deklamasi dalam perayaan Hari Sumpah Pemuda. Atau kita baca saja sajak di kamar dengan redup lampu baca. [ha]





[Ruang Renung # 9] Pisahkan Penyair dan Syairnya

Sutardji? Puisi apa yang dia buat ketika berpeluk-pelukan dengan Djenar di depan hidung para mahasiswa IAIN? Ketika tangan hajinya bersentuhan era-terat dengan kulit mulus terbuka istri pria lain? .... (Buyung Reza, milis penyair@yahoogroups.com)



SUTARDJI yang saya kenal (sedikit sekali pengetahuan saya tentang dia, sangat sedikit) adalah manusia yang tak sempurna. Dan tak hendak "jaim". Dia suka memaki, mencemeeh karya (dan kabarnya) juga pribadi orang lain. Kepada Hamid Jabbar dia pernah bilang. "Puisimu ini kau beri saja assalamualaikum di bait pertama, dan salam lagi di akhirnya. Jadilah dia khotbah. Ha ha ha ha!" Puisi Hamid Jabbar yang ia ledek itu -- saya tidak tahu persis yang mana -- memang bertema religi seperti kebanyakan karyanya.



Saya pernah berbincang dengan Sutardji -- agak lama -- di sebuah kamar hotel di Batam. Saya banyak bertanya soal kepenyairannya, juga soal International Writing Progam di Iowa yang pernah diikutinya dan dia bilang itu tak ada gunanya buat dia, saya juga bertanya apa rasanya menjadi tua, dia jawab tua itu berkurangnya gairah --- juga gairah seks. Tardji yang pernah jadi pemabuk di panggung puisi dan di meja perbualan. Tardji yang menggurukan diri bagi beberapa penulis wanita muda usia. Miang!



Kiranya sikap yang paling bijak adalah memisahkan dia dan karyanya. Kita boleh tidak respek pada banyak sisi pribadinya, dan tidak salah juga kalau tetap saja mengagumi karya-karyanya. Juga terhadap penyair lainnya. Bukanlah Arthur Rimbaud itu seorang homoseksual? Bukankah juga Allen Ginsberg yang melakoni hidup dengan pria? Amy Lowell dan Anne Sexton adalah penyair wanita yang secara terbuka menunjukkan sisi pribadinya yang lesbian. Apakah karena itu kita lantas membenci karyanya?



Soal intelektualitas dan kaitannya dengan kesantunan perilaku bisa jadi soal lain untuk menilai kadar moral seseorang. Kualitas karya adalah soal yang lain jurusannya.[ha]

Thursday, October 23, 2003

[ Ruang Renung # 7] Apakah Konsep Puisi Itu?

"Kalau boleh saya bertanya, konsep puisi dalam konteks ini apa maksud dan wujud nyatanya? Saya masih bingung, karena memang baru satu tahunan ini saya berkecimpung dalam membuat puisi. Maklum jika terkesan terlalu bodoh. Karena, ya, saya masih amatir. Makanya, saya mau belajar lebih." .....dari milis penyair@yahoogroups.com.



Mari kita sama-sama belajar. Keinginan untuk belajar lebih itu berkah. Tentang konsep puisi paling mudah kalau kita mencontohkan penyair Sutardji Calzoum Bachri. Pada kumpulan puisinya O, Amuk, Kapak (Sinar Harapan, 1981) yang tak berkata pengantar itu dituliskan kredonya yang termahsyur. Katanya, kata-kata bukanlah alat mengantar pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Dan seterusnya....hingga akhirnya pada paragraf akhir ditulisnya: ...Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata (memang ditulis dengan huruf kapital, HA). Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera. Lalu baca juga Pengantar Kapak pada bab Kapak di buku itu.



Apa yang dirumuskan si penyair dalam kredo itu berhasil mengkonsepkan seluruh puisi-puisinya di buku itu. Kalau kini Tardji menganggap kredo itu tak membebaskan imaji lagi, itu perkara lain. Dan kemudian dia menulis puisi dengan konsep yang lain, ya tak harus dicap dia telah berkhianat. Atau memang berkhianat untuk mencari tantangan kreativitas baru.



Puisi mbeling yang dijurumudikan oleh Remy Silado juga ada konsepnya. Bahwa menulis puisi tidak harus serius. Tidak harus berluhur-luhur. Enteng saja. Kadang seperti plesetan saja. Atau sekadar melucu. Tidak harus abadi. Jufa sah saja itu sebagai konsep. Atau jauh ke yang lampau lagi, seperti Chairil Anwar yang dengan puisi ia ingin mengorek kata sampai ke sumsum ulangnya. Dan terbukti dia membuktikan baitnya yang ingin hidup seribu tahun lagi itu. Atau seperti konsepnya sajak-sajak Pujangga Baru yang ingin mewarisi kebudayaan dunia, dan melupakan tradisi yang lapuk lama? Menulis bentuk soneta dan sajak bebas, melupakan pantun-gurindam-talibun-ghazal. Itu juga konsep. Tapi, jangan terlalu sibuk direcoki teori begini. Berkembanglah dan belajarlah secara alami. Bukankah kata penyair Ralph Waldo Emerson (1803-1882) ada dua kelas penyair - penyair-penyair dengan pendidikan dan latihan, mereka kita hargai; dan penyair-penyair yang dibesarkan alam, mereka kita cintai.



Penyair-penyair kita yang kuat, bersama alam yang diakrabi dan dihidupinya membangun kerangka konsep yang kuat dengan sajak-sajaknya. Dan membuat sajak yang kuat dengan konsep yang dirumuskannya. [ha]

[Ruang Renung # 8] Tentang Keindahan dan Makna

Siapakah yang hendak mengatakan bahwa puisi itu tidak indah. Hasil sulingan kata-kata sebagai gerbang menuju makna. Tapi saya hendak mengatakan bahwa sebagai mana layaknya gerbang, dia selalu lebih sempit dari ruangan. Lalu hendak kemanakah jiwa yang lapang harus melampiaskan maknanya? Gerbang tak cukup luas bagi jiwa yang berjalan. Ruang pun tak ingin didiami oleh jiwa yang tak pernah berhenti. Bagaimanakah saya harus menulis puisi? Bagaimanakah daya 26 huruf yang membangun kata dan kalimat itu dapat menyampaikan maksud dan makna yang ada dalam jiwa ini. ... Jikalau puisi akan memuaskan jiwamu maka tulislah puisi itu... ( dipotong dan disalin dari milis penyair@yahoogroups.com).



Puisi itu keindahan. Ya. Tapi sebagai mana keindahan yang tak berwajah tunggal, puisi pun tak hanya menampakkan keindahan dari satu tampak sisi wajahnya. Puisi yang indah tidak harus menetes dari penyulingan kata-kata. Penyair bukan hanya harus menjadi penyuling kata. Dia bisa diibaratkan apa saja. Penyair juga bisa membuat keindahan itu dengan menciduk segelas air lumpur lalu memberinya makna. Keindahan puisi bisa dilihat seperti keringat di dahi petani yang menyiangi gulma di antara tanaman padinya. Atau bahkan air ompol bayi yang diserap popoknya. Tantangannya selalu saja: bisakah dia memberi kandungan makna pada apa yang hendak dia ruwat dia sulap atau dia jelmakan jadi keindahan itu?



Ada makna pada puisi yang membuatnya jadi tidak sia-sia. Seberapa banyak yang bisa dimaknai pada sebuah puisi? Itulah tantangan terbesar bagi sebuah puisi. Puisi yang sekadar berindah-indah tapi kopong maknanya hanya akan jadi deretan kalimat-kalimat klise basi. Puisi yang baik adalah ruang yang lapang dan tentu saja juga gerbang yang mengundang siapapun untuk datang bersenang. Seberapa lapang ruang dalam puisi kita? Itulah juga tantangan terbesar bagi kerja menyair kita.



26 huruf dalam abjad kita hanyalah lambang bunyi. Tak ada tantangan apa-apa disitu. Meskipun ada yang menyebut puisi membuka jalan ke masa depan bahasa, kita toh tidak harus mencipta atau mengusulkan huruf baru dalam puisi kita. Semuanya dipertaruhkan pada kata. Tanah liat bagi permainan puisi adalah kata. Karena itu menulis puisi bukan sekadar memuaskan jiwa. Menulis puisi juga merupakan kerja yang terus membuat gelisah, dan penasaran yang tak henti menuntut jawaban. [ha]



T. S. Eliot (1888 - 1965)







Puisi sejati dapat berkomunikasi sebelum dia dimengerti.



Di Bukit Naga

syair Li Po



Minum di Bukit Naga malam ini,

terbuang terusir kekal, sang Putih yang Agung,



mengitar di antara bunga-bunga kuning,

senyumnya mengembang,



maka tudungnya terbang menjauh di angin

dan dia pun menari di bawah terang bulan.

Dia yang Memintal Sutra

Syair Li Po



Jauh dari arus sungai di Szechuan,

air bangkit sealun angin musim semi.



Bisakah aku bernyali menemuinya kini,

menuruni curam ngarai dengan berani?



Rerumput hijau tumbuh di lembah bawah

di sana ulat sutra memintal tanpa gaduh.



Tangan-tangan menjelujur jarum tak henti,

fajar hingga kelam hari, tekukur bernyanyi.



Wednesday, October 22, 2003

Lagu Pandai Besi

Syair Li Po



Api penempa besi terbakar dalam kemilau di surga,

palu bagai badai, mengucuri asap dengan percik bara.



Pandai besi yang memerah, wajahnya sepucat bulan

dan palu, dentingnya lindap jatuh di jurang kegelapan.



Cerita bagi Secangkir Kopi

    : tsp



pagi datang dengan terang sempurna matahari

saat tepat untuk memetik memilih buah kopi



jejak embun menapa dingin telanjang kaki

jejak musang luak dan bulan mengunyah biji



sepenuh keranjang sekuat menjunjung hati

wanta pulang anak menyanyi siul burung nuri



di bawah hangat matahari tinggi siang hari

di lapang pekarangan, mengantar basah kembali



gemerincing nyaring, riang, kering biji-biji kopi

ditampi di hembus sepoi angin sore hari



di panas wajan bakar bakau mengobar api

hijau keping menghitam menjemput wangi



lalu bertalu lesung menggiling harum kopi

diayak disaring ditumbuk sehalus serbuk sari



maka datanglah juga malam para lelaki

berbincang laut dan ladang, dan mimpi



bersila berselang bersilang kata dan kaki

bersulang menegak tetes akhir hangat kopi



luak di semak kebun mengendap mencari lagi

bulan tersenyum di langit telah lama mengerti



Okt 2003



Kau Tebar di Bumi dan Angkasa*

Pada dunia ini engkau telah menebar harum aroma

Wewangian yang engkau sembunyikan, masih ada.



Jutaan kegembiraan yang diingkari wangi aroma

Yang telah kau tebar di muka bumi dan angkasa.



Dari sinarnya sendiri dan panas yang berpancar

Engkau membakar fikiran dan jiwa pun berkobar.



Dari hidup yang tersembahkan, tersaji keindahan

Lorong tambang dan samudera kehilangan dingin.



Berjuta jiwa dengan wajah memancar terang

Yang membatas mengurung kegelapan ruang.



Engkau mengambil kebodohan yang jelas nyata

Dan memberi mereka keraguan: seperangkat jiwa.



Mereka memberi sendiri dengan tangan sendiri

Dengan rasamanis: darah yang menggenangi.



Hati yang penuh menemu hati yang terpatahkan

Yang takberhati menangis duh terbangkitkan.



Shams Tabriz dari kemurahhatian engkau

Pada kekasih telah kuserahkan kegilaanku.



Dari Diwani Shams Tabriz

Jalaluddin Rumi Syair ke-165.



* Judul dari HA.

[Ruang Renung # 6] Dari Mana Datangnya Ide?

Penyair bukanlah manusia yang dimanjakan alam, kata penyair Polandia peraih Nobel Sastra tahun 1996 Wislawa Szymborska. Inspirasi baginya datang dari ketidaktahuan yang terus menerus diulang. Dengan kata lain dari keingintahuan. Seperti Newton, katanya, yang bertanya kenapa apel jatuh. Peristiwa sederhana itu akhirnya membawa ke teori gravitasi.



Begitulah agaknya kalau hendak juga dipercaya. Inspirasi puisi bisa datang dari keinginan untuk mengetahui. Kemauan dan keberanian untuk sedikit mengolah fikir dan rasa, menyelinap ke belakang panggung setiap peristiwa sekecil atau sebesar apapun ia. Dan keinginan membangkitkan pertanyaan sendiri dan kemudian merumuskan jawaban bagi pertanyaan itu.



Puisi bisa kita jadikan jawaban atau cara menjawab atas pertanyaan-pertanyaan yang juga datang pada diri kita. Penyair yang peka adalah dia yang terus-menerus-terus mengolah batin agar peka atas usikan-usikan peristiwa yang datang sebagai pertanyaan yang minta jawaban. Puisi bukan sebuah teori pasti. Jawabannya atas problem hidup tentu saja tak akan pernah tuntas. Bahkan sebaliknya bisa kembali membangkitkan pertanyaan lain. Tak henti-henti. Tak henti-henti.[ha]



Mata Hari (1876–1917)*





Tarian adalah puisi, setiap gerakannya adalah kata-kata.



* Agen ganda legendaris selama Perang Dunia I yang sebelumnya populer sebagai penari telanjang. Lahir di Leeuwarden, Belanda, sebagai Margaretha Geertruida Zelle. Dan mati dieksekusi di Prancis




Pada Malam yang Senyap Sungguh

Syair Li Po



O betapa terangnya pendar di kaki ranjangku --

Sudah musimkah turun salju di situ?

Tergerak aku menoleh, sinar bulan kutemu.

Meredup lagi, tiba-tiba terbersit rumah di benakku.



[Ruang Renung # 5] Setelah Menulis Puisi, Lalu Apa?

SETELAH menulis puisi lalu apa? Bisa apa saja. Pertama tentu untuk diri kita sendiri. Puisi, adalah anak-anak batin yang -- percayalah -- kelak bisa membalas budi atas jasa kita melahirkannya. Kita bisa membimbingnya. Dengan menunjukkannya pada orang lain. Mengirimkannya ke media agar terbit dan dibaca banyak orang. Atau mengirimkannya ke milis dan menampilkannya di situs pribadi.



Atau mengumpulkannya kemudian ditawarkan ke penerbit untuk dijadikan buku. Atau simpan saja di laci. Ya, simpan saja di laci. Puisi kalau memang punya daya hidup, dia tak akan mati iseng sendiri dimakan busut jamur. Bukankah Emily Dickinson hanya mempublikasikan tak lebih dari sepuluh puisi semasa hidupnya? Padahal kita tahu kemudian ternyata dia menulis tak kurang dari enam ribu sajak indah! Dan sajak-sajak itu yang kemudian mengabadikan namanya.



Atau musnahkan saja. Konon itu yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri. Semua karya-karya awalnya, kata sahabat dekatnya, dimusnahkan karena tak memuaskannya. Lalu kini kita mengenalnya dengan sajak-sajak yang tegas menyosokkan dia sebagai penyair seperti apa.



Karena itu, menulislah. Menulislah. Menulislah. Puisi tak akan mengkhianati kita.[ha]

Tuesday, October 21, 2003

Lagu Sungai Musim Gugur

Syair Li Po



Sang bulan berkilauan di percik air hijau

Bangau putih terbang menghala cahaya.



Lelaki muda mendengar, gadis memungut berangan air:

Bagi malam, menyanyi, lalu bersama mendayung pulang.





[Ruang Renung # 4] Berkasih-kasihan dengan Puisi

PERNAHKAH merasa bosan dengan puisi? Itu pertanyaan lain yang sampai padaku. Jawabnya, ya bosan. Bosan itu natural. Bahkan pada yang teramat kita cintai pun sesekali mesti kita jauhi. Kenapa tidak seperti Tuhan saja, yang sesekali menguji kita dengan cobaan? Cinta pada puisi pun perlu kita uji, misalnya dengan sesekali membiarkan bosan itu hadir. Sesekali meninggalkannya atau bahkan membencinya.



Bukankah Arthur Rimbaud juga pernah menyatakan berhenti menulis puisi pada usianya yang baru 21?



Cinta kita yang bersungguh akan menghadirkan kangen yang sangat yang dengan caranya sendiri membawa kita kembali pada puisi. Pada pertemuan itu, berkasih-kasihlah dengan seeratnya-semesranya. Biarkankah berlahiran lagi anak-anak puisi-puisimu.[ha]

Adrian Mitchell*





Banyak orang tak peduli pada puisi, sebabnya

banyak puisi tak peduli dengan orang banyak.



* Penyair, Penulis Naskah Drama






Monday, October 20, 2003

Paul Dirac* (1902 - 1984)





Dalam sains seseorang berusaha untuk memberi tahu orang lain, dengan satu cara agar bisa dimengerti semua orang, tentang sesuatu yang tak ada satu orang pun tahu sebelumnya. Puisi sebaliknya.



* Penerima Anugerah Nobel Fisika 1933




Sunday, October 19, 2003

[Puisi] Ada Telepon di Ruang Tamu

ada pesawat telepon yang merasa terjebak di ruang tamu

     jam sudah sangat larut dering terakhir mengucap,

     "selamat tidur, Malam Minggu..."



ada pesawat telepon yang bosan menunggu, dan ingin

     sekali menekan sederet angka yang sudah lama

     dihafalkannya, lalu bercakap-cakap tentang bohong

     dan omong kosong yang tiap hari diterimanya.



ada pesawat telepon yang rindu pada kata yang pernah didengarnya,

     yang dulu diucapkan Alexander Graham Bell,

     ketika percakapan pertama terhubungkan. "Halo, kau masih disana?"



Okt 2003



Paul Valery (1871-1945)



Puisi tak pernah selesai, hanya putus di tengah jalan.




[Puisi] Langit, Pendongeng Setia

aku tersesat di antara langkah kedua

di mata, cahaya masih mempertahankan nyala

walau pasung dalam malam dan kekal kembara



tak ada sesiapa

hanya kerlip langit

: pendongeng setia.



Okt 2003

Saturday, October 18, 2003

[Ruang Renung #2] Puisi, Marah dan Jatuh Cinta

SEORANG kawan berkata: saya bisa bikin puisi kalau sedang marah. Kawan yang lain bilang: saya hanya bisa menulis puisi kalau sedang jatuh cinta. Lalu keduanya menyimpulkan seorang penyair adalah orang yang selalu marah dan terus menerus jatuh cinta. Begitukah?



Penyair adalah manusia biasa yang bisa marah dan tentu juga boleh jatuh cinta. Ada persamaan antara keduanya, yaitu membuat manusia pada saat itu peka perasaannya. Puisi memerlukan itu. Kepekaan yang berlebih menangkap tanda yang dikirim yang datang yang mengusik yang mengganggu yang diburu yang sekecil apapun bahkan yang remeh tak berguna.



Kerja menyair yang bersungguh, sesungguhnya bukan pada saat membuat syair, tapi membuat perasaan kita terus menerus peka. Kepekaan itu berguna untuk menjemput tanda yang datang tadi, tanpa harus menunggu saat marah atau jatuh cinta. Yang entah bila entah dimana akan berguna untuk hidup dan manusia lainnya.[ha]

Gelas yang tak Pernah Diam tanpa Diriku*

Aku pergi mengembara tanpa diriku

Kutemukan kegembiraan tanpa diriku

Rembulan sembunyi, tak dapat bertemu

Bersentuhan pipi kami, tanpa diriku

Bagi kekasih yang membebaskan jiwaku

Aku terlahir kembali tanpa diriku

Tanpa jiwa kita yang mabuk itu

Selalu berbahagia tanpa diriku

Hapuskan aku dari kenangan dulu

Mengingatku tanpa diriku

Tanpa kegembiraan yang kupinta tanpa diriku

Aku selalu akukah tanpa diriku?

Kurung saja aku, tutup semua pintu

Lalu aku masuki tanpa diriku

Takluk berlutut, hatinya terbelenggu

Juga diriku terikat rantai tanpa diriku

Dalam gelas piala Shams, mabuklah aku

Gelas yang tak pernah diam tanpa diriku.



Syair ke-32 Diwani Shams, Jalaluddin Rumi

*Judul dari HA

[Ruang Renung # 3] Bahasa Puisi kok Rumit?

AH, puisi ini mau bicara apa? Rumit, aneh, gelap tak mudah dimengerti. Bagaimana menjelaskan ini? Wilayah kerja puisi memang bukan dunia praktis. Bahasa dalam puisi harus dibuat bermakna yang banyak arah, berlapis.



Jika dalam percakapan biasa kalimat, "aku lapar!" bermakna si pengucap sedang merasakan lapar dan mungkin ingin segera makan. Dalam puisi, kalimat yang sama bisa diartikan bahwa aku dalam puisi itu sedang mencari sesuatu, sedang kehilangan sesuatu, sedang menunggu sesuatu sekian lama. Bebas saja. Licencia poetica! Memang kata penyair Paul Valery puisi adalah sebuah dunia yang benda-benda dan makhluk di dalamnya atau lebih tepat imajinya punya kebebasan dan hubungan yang berbeda dari dunia praktis.



Kerja menyairlah yang memberi tenaga pada kalimat itu, memberi ruang yang lebih lega bagi penafsiran pada kata-katanya. Caranya, dengan mengerahkan seluruh perangkat bahasa syair yang ada, atau yang diciptakan sendiri oleh penyairnya. Tantangannya adalah, syair yang tersusun kalimatnya terjebak pada kerumitan, asal beraneh-aneh, tersesat dalam kegelapan bahasa. Atau sebaliknya terlalu cair, datar, dan tak menantang untuk dimultitafsirkan. Di antara dua jebakan itulah, puisi-puisi meniti. [ha]

Simonides (556 - 468 SM)





"Lukisan adalah puisi bisu, dan puisi adalah

lukisan yang diberi hadiah pengucapan"

Seperti Pijar Matahari Nyalakan Langit Malam

Bagi seruan dari kedai minum yang tegak, bangkit

Takut tak terpisahkan, bijaklah, bijaklah

Bagimu pesta besar, jadi hadiah, jadi hadiah

Jiwa yang kepayang, jangan, jangan pandang rendah

Engkau juga reguk anggur ini, menemu yang sembunyi

Rupa Wajah Tuhan adalah ketakjuban yang dirindukan

Engkau semua mabuk, air di mata bersimbah

Seperti pijar matahari, menyalakan langit malam

Di sini, tempat semua kebajikan, keharuan

Kasih, kejelitaan, keanggunan, kegairahan,

Tak ada takut, tak ada takut di ranah Kebijakan

Di kedai segala dosa ini, kemaafan Tuhan tertebar

Bagi setiap derita, Kasihnya adalah penyembuhan

Hakim di kedai ini memaafkan semua pelanggaran.



Pujilah kebebasan

Pujilah Wahyu Tuhan

Pujilah penobatan jiwa

Pujilah sorak suka ria

Pujilah kebanggaan negeri

Lambang Kedalaman cinta ini

Yang memberi insprirasi puisi

Ke rumah ini, rumah yang memabukkan.



* Dari Diwani Shams Tabriz,

Jalaluddin Rumi, Syair ke-41,

(Judul dari HA)

Illuminations of Dante's Divine Comedy/Giovanni di Paolo

Friday, October 17, 2003

Ada yang Tetap tak Terbaca

     : kado buat Nanang dan Kunti





bila saja bisa, kucipta huruf dan kata rahasia

akan khusus kukadokan bagi engkau berdua saja



dalam kasih yang tak pernah berpura sempurna

ada yang tetap tak terbaca, tinggal tak terkata



dari alif ba ta cinta: beribu diam, beribu suara

tak terlambangkan dalam huruf rumit atau sederhana



yang diingat Adam, pun hanya satu-satunya kata

"Hawa," Tuhan menyebut nama itu di surga sana



Adam menggubah puisi pertama, waktu rindu menyiksa

ditulisnya sebisanya di mata, dalam kekal air mata



Hawa menerjemahkan bahasa tangis Adam-nya

dengan arus tangis, mengalir ke satu muara



ada yang tetap diam rahasia tak terbaca

pada pintu engkau saling menukar kuncinya



lalu lihatlah, pintu itu kini satu adanya

tanpa diketuk, terbuka, alangkah lapangnya





19 Okt 2003

Adam Eve, by De Lempicka Tamara

[Ruang Renung #1] Perlukah Konsep Puisi?

SEORANG kawan yang bertungkus lumus mencintai puisi bertanya, perlukah falsafah puisi bagi seorang penyair? Bagiku jawabnya ya. Konsep, falsafah, atau kredo puisi bisa jadi semacam pintu masuk bagi penjelajahan ke puisi-puisi yang kita tuliskan. Tapi tidak lalu seluruhnya dipertaruhkan pada konsep itu. Penyair boleh saja mencampakkan rumusan yang sebelumnya pernah ia agung-agungkan. Kredo juga tidak harus terumuskan. Biar saja dia menjadi tangan gaib yang membimbing proses persetubuhan ide-ide, kehamilan dan lalu kelahiran puisi. [ha]

Wednesday, October 15, 2003

Dari Mulut Emas Hawa

Kelak kuretak tengkorak-Nya tak kasat

Hendak kuhancur mulut-Nya tak terpagut

O ingin kupecah cangkang-Nya tak bercacat

dan dari mulut emas Hawa, aku lepas luput



(dari Have Come, Am Here,

Jose Garcia Villa, 1942)


* Judul dari HA







Lulabi Lelap Abadi

menajam sepi

hirup hidup

hembus nafas

habis sudah

terbagi



jauh mengalirkan nyanyi:

    lirih

    lulabi

    bagi

    diri

    sendiri



lalu lelap abadi

aku yang tak

terjaga

lagi



Okt 2003



Thursday, October 9, 2003

Kaus Idaman untuk Ulang Tahun Idaman

Penyair adalah juga seorang yang mencari

sistem yang komprehensif dan terkonsep

yang memberi tempat pada ekpresi

bagi "kecelakaan bahasa yang manis"



- Paul Valery






/kaus 1/



dia suka sekali tidur pakai kaus

tanpa celana dalam

tanpa sarung

tanpa selimut

tanpa piyama



dia punya koleksi kaus selemari

desainnya macam-macam

ada gambar celana dalam

ada gambar sarung

ada gambar selimut

dan gambar piyama



tapi cuma satu kaus kegemarannya

yaitu kaos bergambar orang cuma pakai kaus

tanpa pakai apa-apa...



"dengan kaus ini mimpiku lengkap sekali!"



/kaus 2/



kalau keluar rumah,

dia juga suka pakai kaus saja

tapi belum berani tanpa celana



kaus kegemarannya adalah yang

ada ada gambar kaus

dan tulisan di belakangnya:



BERKAUS KITA TEGUH,

BERCERAI KITA CHAOS!





/kaus 3/



nah, kalau di kamar mandi

- terutama saat nongkrong

buang air besar dan kecil -

dia juga suka pakai kaus, dan

tentu saja tak pakai apa-apa

namanya juga buang air.



kaus favoritnya untuk

momentum penting itu

adalah yang bergambar

patung

THE THINKER-nya

August Rodin.



/kaus 4/



dia pernah uring-uringan

waktu ada pencoleng

masuk rumahnya



dan mencuri beberapa lembar kaus



kaus apa?



"semua kaus bergambar maling,

yang belum sempat aku pakai.

Rencananya sih mau kupakai

buat ke perpustakaan.

Ada buku Chairil Anwar

yang sudah lama kuincar!"



/kaus 5/



hari ini dia jalan-jalan ke mal

hendak mencari kaus yang pas

buat kado ulang tahunnya sendiri



beberapa kaus sudah dilihatnya

tak ada yang kena di matanya



beberapa kaus sudah dipas-paskannya

tak ada yang nyaman di badannya

tak ada yang menyentuh hatinya



sampai akhirnya ditemukannya

sebuah kaus hitam di sebuah toko loakan

bergambar Joko Pinurbo

asyik nongkrong di kuburan

di bawahnya ada tulisan:



"hei, Orang Kesepian,

ngapain lu sendirian?!"





Okt 2003

Wednesday, October 8, 2003

Syair Rindu, Ghazal Hujan

maka kusalinlah garis-garis hujan

ke dalam baris syair, ghazal hujan



engkau yang riang menyanyikan dingin

mengulang refrain, hingga tinggal hujan



engkau yang muram mengurung murung

merintih nafas, lalu suara sengal hujan



di ujung setiap gerimis: siulan angin

siapa hati kanak tak mengigal hujan



buah-buah jatuh, lebah kupu meneduh

dalam genang kenang, sepenggal hujan



jiwaku, ada yang tak pernah basah padamu

sesak berjejal (tak terurai) dalam sesal hujan





okt 2003

Tuesday, October 7, 2003

Ada yang Mengajak Bermain Cuaca

jatuhlah hujan luruh seluruh beban

    waktu langitku membenah perasaan

        berapa lama mata kemarau tertahan



parau batuk pada nostril yang menua

    ada yang mengajak kau bermain cuaca

        kau menolaknya dan kau mengelaknya



berkicau burung tinjau sekabar risau

    goyang handayang melambai galau

        jatuh tilambung tangkai tak terjangkau





okt 2003



Sebuah Rumah: Sebuah Ghazal

ari-arimu, anakku, kutanam di halaman rumah

dekat tidurmu, sebelum kau tinggalkan rumah



dua tahun mengumpulkan coretan-coretanmu

lelah redam di dinding, hangat pelukan rumah



tak ada kursi ruang tamu: hanya halaman buku

yang singgah yang lewat, dalam catatan rumah



39 mujair dan nila mengecupi lumut dan waktu

pertunjukan rindu di kolam kecil halaman rumah



tak putus berbunga 2 rumpun pisang helikonia

warna itu: lagu mewujud dalam nyanyian rumah



wahai Jiwaku, hijaukan rimbunkan tumbuhmu

dalam kasih menghumusi & disuburkan rumah



Okt 2003















Saturday, October 4, 2003

Menunggu Puisi

masih ada

seujung sendok nescafe

cukup untuk segelas kopi

buat menunggu puisi.



di luar: gerimis deras

dingin tempias,

ah, betapa sapardi.



lalu datang bayang

kukira dialah puisi

ranum, samar senyum

mengulur jemari



: kenalkan, namaku prosa....

katanya, namanya prosa?