Tuesday, October 31, 2006

[Tadarus Puisi # 010] Doa Api yang Minta Disederhanakan

Saya penggemar sajak-sajak Aan M Mansyur. Penyair asal Makassar ini dari sajak ke sajak mengukuhkan gaya berucap yang sederhana tapi tapi selalu bernas. Tak mudah bertahan pada satu gaya, seraya terus menerus menawarkan kesegaran baru dari sajak ke sajak. Aan memilih jalan itu dan ia tampak semakin asyik menempuhnya. Ini salah satu sajak terbarunya: Doa Api yang Membakar Hutan, sajak yang indah, penuh bermakna.


jadikanlah aku lebih rendah hati. matikanlah sebagian besar hidupku.



Matikanlah sebagian besar hidupku? Saya tercenung, ketika baru saja sampai pada baris ini. Hakikat hidup dan mati yang selama ada di jagad raya pikiran saya tiba-tiba terhantam. Terkelucak. Sumur ironi tergali dalam dengan sekali keruk saja. Api tak ada jika dia mati. Tak ada bangkai api. Tak ada mayat api. Abu dan arang adalah apa yang disebabkan oleh api. Ia bukan bekas api. Bukan perkara gampang untuk sampai pada pengucapan sederhana tapi bernas itu: api yang meminta rendah hati itu meminta ia dimatikan saja sebagian besar hidupnya.


kalau membakar adalah takdirku, biarkan aku hanya mengabukan daun-daun kering di kaki-kaki pohonan agar kelak lebih hutanlah mereka.



Pesona sajak ini makin memancar pada bait kedua. Membakar adalah takdir api. Ini semacam pemancing imaji. Pembaca tak akan menolak ini sebab memang itulah takdir api. Karena sadar akan takdir itu dan tak bisa ditolak oleh si api, maka si api meminta agar ia hanya mengabukan daun-daun kering di kaki pohonan. "Agar kelak lebih hutanlah mereka." Dari bait ke bait keutuhan sajak ini amat terjaga, seraya kekomplekan makna dibangun, perlahan-lahan. Salah satunya dengan mengubah kata hutan yang benda itu menjadi sifat. Kata-kata ditransformasikan, dialihfungsikan. Ini salah satu jurus puisi. Dalam puisi ini jurus itu langsung menohok telak.


ceritakanlah kisah-kisah sedih pada langit; tentang anggrek liar yang mati sebelum berbunga, tentang buah-buah yang jatuh sebelum berbiji, tentang burung-burung sesat dalam asap dan kehilangan sarang, agar menangislah ia, agar tumpahlah airmatanya dan hutan bertunas berdaun dan hijaulah kembali.



Ah, manisnya imaji ini. Hujan yang diharapkan diminta dengan sangat sopan. Hujan yang diharapkan dibayangkan sebagai tangis langit yang ikut bersedih karena kisah duka akibat bencana kebakaran hutan. Bencana itu tidak disebutkan. Hanya disarankan dengan indah lewat pengamatan yang tajam pada tubuh hutan: anggrek liar, buah jatuh, dan burung sesat yang jadi korban.


kembalikanlah aku pada tumpukan sampah di kota, pada tungku dapur orang-orang kelaparan, pada aliran darah orang-orang gigil kesepian juga pada sepasang suami istri yang sudah lama tidur saling berbagi punggung.



Pesona itu belum berlalu. Api yang sederhana tidak ingin hidupnya mati sepenuhnya. Ia yang hidup seadanya ingin tetap berguna bila dikembalikan pada sampah di kota, tungku dapur orang kelaparan, aliran darah orang kesepian, dan suami istri yang tak lagi hangat di peraduan. Api tak lagi dilihat sebagai api tapi diluaskan maknanya pada panas dan hangat, sifat yang ia bawa. Apa yang dijajarkan pada bait ini tak sejajar sebenarnya, tapi ketaksejajaran itu menjadikan bait ini indah dan imaji api dan hangat itu semakin indah terasa.


jadikanlah aku lebih sederhana!

Balikpapan, 14/10/06


Sajak yang luar biasa. Sederhana pada kata. Indah pada makna. Tak ada kata-kata rumit dalam sajak ini. Tak ada kalimat-kalimat aneh dalam sajak ini. Tak ada tabrakan-tabrakan imaji yang ruwet. Tapi segalanya terhampar membentangkan keluasan makna. Luar biasa.

Pada Sebuah Songkok

       SEMUA ini hanya terjadi pada sebuah puisi yang usil. Yaitu ketika ia
meninggal dan ingin dikubur dengan tenang. Maka, kepada saudara-saudaranya
yang masih berstatus prasejahtera ia tinggalkan: Warisan Langsung Tunai.

DI lapangan tempat bekas pemungutan suara,
tinggal bilik yang kosong dengan paku yang masih juga
berlumuran darah, bekas coblosan di gambar wajah.
Harapan itu masih terbaca
: semoga nasib orang banyak dimenangkan juga.

Angin ngadat. Langit pucat.
Si Bungsu datang terlambat.


       BERARTI, ketika itu semua warisan telah terbagi. Kebun karet,
burung-burung betet, kitab mantera penjinak jin, koleksi cerita silat Kho Ping Ho,
saham-saham perusahaan, pun lahan kavling kuburan elit.

SI Bungsu akhirnya hanya kebagian songkok. Sebuah. Masih mulus
dan terbungkus rapi dalam kotak kemasannya. "Saudara? Ini belum
pernah dipakai sama sekali ya?" ia tak sempat bertanya.
Kepada lelaki tua (keriputnya pertanda mestinya
ia sudah pensiun lama) petugas kantor pos yang membagikan
kupon warisan, ia minta alamat almarhum di akhirat.
"Maaf, alamat beliau belum jelas.
Masih dihisaf amal ibadahnya. Belum tuntas"

Si Bungsu akhirnya menerima takdir:
"Barangkali memang di songkok ini
ada terselip benih rezeki."

Barangkali.
Kemiskinannya
bisa ia entaskan sendiri.


       DI akhirat, Sang Almarhum belum bisa lengser dari karir
politiknya. Ia ikut pemilihan umum di sana. Cuma ia terganjal satu syarat:
ia tak tahu nomor songkoknya sendiri. Padahal di formulir ia tak boleh
sembarangan menerakan angka. Ia hanya hafal nomor sepatu, ukuran
kemeja dan celana, ukuran merek kondom favorit, PIN kartu ATM di sebelas
bank, bahkan ia masih ingat nomor masing-masing tujuh belas kartu kreditnya.
"Nomor songkok Anda, Tuan?" tanya malaikat, petugas pendaftaran,
yang tak bisa disogok dengan apapun bentuk rayuan dan godaan.
Tapi ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang usil. Lalu apa
soalnya? Lalu apa masalahnya?

SOALNYA, Si Bungsu yang kebagian warisan songkok
tampak sangat sejahtera ketika memakai songkok itu.
Saat menghadiri prosesi pemakaman
ia bahkan diminta membaca talkin.
Berkat songkoknya, ia disangka ustadz spesialis
pembaca doa pengantar perjalanan ke ruang remang kematian.

MASALAHNYA, sejak pemakaman itu,
ia selalu diminta untuk memimpin penguburan
para tokoh-tokoh penting yang putus kontrak kehidupan.
Alias mati. Dan harus dikembalikan lewat kuburan.

DIA bahkan sudah dipesan agar mempersiapkan
doa khusus bagi seorang tokoh amat penting
yang merasa orang-orang masih
menyimpan seribu alasan
untuk mencintainya. Terus-terusan.

"SONGKOK warisan. Songkok hoki.
Berapakah nomor ukuranmu?
Di kepalaku, kok Engkau pas sekali mencloknya."


       SI Bungsu, kini sudah kaya raya. Ia beli sebidang tanah yang luas
tak terkira. Di sana ia bangun Taman Pemakaman "Pintu Surga". Ia pasang
iklan di televisi dan koran: mau mati dengan nyaman? Jauh-jauh hari Anda bisa
persiapkan. Kami sediakan kavling kuburan, bebas banjir dan penggurusan.
Kematian makin praktis. Memang. Masuk surga, cita-cita luhur itu tampak makin
sederhana dan mudah mencapainya. Di gerbang pemakaman ia pasang peringatan,
ia pasang tanda: SILAKAN MENANGISI SEPUASNYA.

       SI almarhum ingin sekali kembali ke dunia fana. Keabadian itu ternyata
tak lain tak bukan hanya ancaman. Juga siksaan. Ia ingin sekali memakai songkok
yang tak pernah sempat ia pakai. Dan mengintip nomor ukuran yang tertera
di sisi dalamnya.

SEMENTARA, saudara yang
menghabiskan warisan, sibuk berdoa:
"Tuhan, kembalikan dia, agar bisa mewariskan
lagi pada kami harta yang tak terkira."


       SI Bungsu malah tenang-tenang saja. "Hidup atau mati sama saja. Yang hidup
toh pasti mati juga. Untuk itu, untukmu dan untuknya, sudah kusiapkan kavling
khusus dengan harga istimewa. Harga untuk keluarga. Sedikit terjangkit kronisme,
toh tak akan jadi apa-apa."

Dari Khazanah Pikiran Rakyat

Tiga Sajak ini:

1. Laut dan Hujan Memandikan Aku
2. Jam Dinding Hadiah Darimu
3. Rumah Berpagar Bunga-bunga

terbit di Khazanah Pikiran Rakyat, Sabtu 21 Oktober 2006.

Sunday, October 29, 2006

Ziarah ke Disneyland

UNTUK persiapan mengikuti lebaran, dia tamasya ke pasar.

TANGANNYA digandeng seorang pengemis buta yang berperan
      sebagai pemandu wisata. Dia pun diajak berkenalan dan
      bersalaman dengan tokoh-tokoh pedagang kawakan. "Silakan.
      Berbelanjalah sampai pingsan. Sampai dompet Anda kewalahan."
      Kepadanya ditawarkan air zamzam asli dari amerika, peci
      bergengsi produksi singapura, kurma segar made in jepang,
      dendeng unta buatan cina dan kemeja model ustadz ibukota.

PULANG dari pasar ia sewa beca. Menyelamatkan belanjaannya.
      Ia lewati jalan-jalan kota yang suasananya sudah sepi. Tak ada
      arak-arakan jemaah takbiran, tak ada dak duk dak duk suara beduk.
      "Wah, saya keasyikan melancong ke kawasan perniagaan. Tak
      sadar Ramadan sudah gantian sama Syawal, bulannya lebaran."
      Lalu sesampainya di tujuan, dia perhatikan rumahnya dengan
      seksama. Ada yang terasa hilang. "Wah, tega-teganya, puasa pergi
      tak meninggalkan sisanya buat saya. Sungguh amat keterlaluan."

LANTAS dihidupkannya televisi. Dia kangen dengan siaran yang
      menemaninya sahur tiap subuh. Di sebuah stasiun yang jarang
      ditontonnya, nampang menteri urusan lebaran dan pelancongan
      serta perniagaan, mengabarkan sebuah pengumuman, "Lebaran
      tahun ini diperpanjang. Dengan kebijakan pemerintah, dan demi
      ketenteraman rakyat, maka kami umumkan sebuah bonus lebaran.
      Dan rakyat miskin mendapat bantuan langsung tunai lebaran."

LALU, televisi menyiarkan pemenang sayembara pelancong teladan
      yang berbelanja paling kesetanan di sebuah pusat pelancongan atau
      sentral perniagaan. Dia lihat wajah yang mirip dirinya sedang
      mendorong beca belanjaan. "Selamat, Anda berhak atas hadiah
      utama, yaitu pergi berziarah ke disneyland bersama artis ibukota.

Kisah Kota Buaya

      KOTA itu dihantui sepasang buaya, keduanya jantan
keduanya betina. Keduanya menebar telur ancaman
di rawa sepanjang tebing sungai yang membelah kota.

      ITULAH sepasang buaya terakhir yang dulu menetas
di hulu. Sungai yang tak lagi sungai sejak pohon-pohon
ditebang lalu dihilirkan lalu dimuarakan lalu ditongkangkan
lalu diasingkan ke negeri rakus pengunyah bubur kayu.

      ITULAH sepasang buaya yang menyantap tangan dan
kaki: menyisakan orang bertubuh buntung bermata buta
berhati kosong bermulut yang selalu lapar menganga.

      SEPASANG buaya itu terus membesar hingga ekornya
di hulu dan kepalanya di muara. Sepasang buaya itu terus
bersanggama dan menelurkan ketakutan. Di rawa-rawa
kota telur-telur itu membesar, cangkangnya menebal dan
bergerak-gerak seperti menunggu saatnya menetas seekor
hewan amat ganas: buaya pemangsa buldoser dan traktor.

      KOTA itu dihantui sepasang buaya, keduanya jantan
keduanya betina. Keduanya selalu lapar: mengira hitam
yang melumpuri sungai adalah merah, warna darah hewan
yang tak sempat marah. Hewan yang dipersembahkan
dalam perjamuan-perjamuan besar para tuan-tuan besar.

      ITULAH sepasang buaya yang menitipkan juga telurnya
di dada peladang, di kiri kanan tangan para pencari rotan.

Saturday, October 28, 2006

Memo Pelukis

      YANG paling menggentarkannya adalah
kanvas kosong: bidang lengang yang suka
membayangkan wajah sendiri. Padahal ia
telah bertekad tak akan pernah mudah takluk
pada bujuk cat dan rayu kuas, sebelum
menemukan letak luka yang ia sembunyikan.
Lalu ia bisa bersabda: akhirnya sembuh juga
luka kita, ya.

Sebuah Kedai di Jalan Braga

       : Kang Kef


ADA sebuah kedai di Jalan Braga. Kedai yang sudah lama
       menyediakan Kisah dan aksesori pelengkapnya: beraneka
       plot, bermacam karakter, berbagai tema, dan segala jenis
       waktu rekaan dan beberapa tempat atau lokasi khayalan.

AKU ingin sekali singgah di sana: belanja kata sepuasnya.

KEDAI itu ditunggu oleh seorang lelaki berhati baik yang gemar
       berbaik hati. Aku ingin sekali singgah di kedai itu. Kata orang,
       di waktu senggang, sang penjaga kedai suka iseng menganyam
       ketupat kisahnya sendiri, lalu mengirimnya ke koran mingguan
       dan berbagai majalah cerita. "Agar rasa lezatnya imajinasi bisa
       dinikmati sambil sarapan dengan harum kopi seduhan sendiri."

AKU ingin sekali sarapan di sana: sarapan kata bersamanya.

Sajak Sebelum Tidur

        : Ikra

SEBELUM tidur, ia senantiasa meminta, "dongengkan puisi untukku."
        Kuturuti saja. Kubaca puisi favoritnya: Anakmu Bukanlah Anakmu.

LALU dia tertidur lelap sekali. Kulihat damai mimpinya jelas sekali.
        Damai yang tak pernah bisa kumasuki. Paling-paling aku hanya
        bisa menyalinnya ke dalam puisi. Yang kelak akan kubaca sendiri.

SETELAH tidur, ia lekas berkata, "Sabarlah, Ayah. Jangan terlalu
        percaya pada kata puisi itu. Saya tahu: Ayahku Tetaplah Ayahku."

LALU ia membawaku ke halaman. Mengajakku main hujan-hujanan.
        "Tenang, Ayah. Puisi yang kau tulis, diam-diam sudah kubaca dan
        kuhafalkan. Kata-katanya abadi: tak akan luntur oleh air hujan."

Friday, October 20, 2006

Maaf

DIA yang jagonya memanjat kelapa
belum bisa juga menganyam ketupat

DIA yang paling tahu memilih bambu
belum juga pandai membakar lemang

DIA yang rajin memelihara ternak
tak tega menyembelih seekor pun

Wednesday, October 18, 2006

 Tempat Bayar Zakat

NAIK pesawat, dia pergi jauh, menuju ke sebuah tempat. Di
bandara, sebelum berangkat, ibunya berpesan, "Nak, Jangan
lewatkan salat, jangan lupa sisihkan umur buat bayar zakat."

DI pesawat, dia mencari-cari penumpang berwajah munir, tapi munir
sudah pergi berjuang melacak jejak orang yang hilang, pergi melacak
keadilan yang hilang, pergi melacak negeri yang hampir hilang.

"ANDA mencari siapa?" tanya seorang pria, seperti intel lagaknya.
"Oh, tidak. Saya sedang mencari diri saya." Dia mencari nomor
kursi kelas ekonomi. Ramai sekali di sini. Sepi sekali di sini.

WAKTU pramugari menawari mi goreng dan jus jeruk, dia
menolak, "Maaf, saya sedang belajar puasa." Waktu pilot
cadangan menawarinya pindah duduk ke kelas eksekutif,
dia pun enggan beranjak, "Wah, maaf, saya di sini saja, Bung.
Anda tidak lihat saya ini musafir yang sedang belajar salat?

DIA akhirnya sampai juga di tempat yang dia sebut dalam niat,
sewaktu pamit berangkat. Di konter informasi pariwisata dia
langsung minta peta, dipelajarinya tempat-tempat mana saja
yang menyediakan mesin isi ulang usia, mengecek masa
berlakunya, dan menghitung berapa zakat umur harus dibayarnya.

"JANGAN sampai lupa dua kalimat password, ya Nak," dia
teringat lagi pesan khusus ibunya, dulu sebelum berangkat.

[Tadarus Puisi # 009] Kapan Datang dari Kenangan?

Goenawan Mohamad
Cerita untuk Mita

Di tromol itu kulihat permen dan bintang-bintang
dan gambar seorang perempuan pirang.
Ia memperkenalkan: "Aku dari sebuah masa kecil.
Kau kukenal dalam kenangan."

Sebenarnya aku tak banyak punya kenangan
tapi malu untuk ditertawakan.
"Oh, ya, siapa ya nyonya, kapan datang dari Belanda?"
Ia tertawa: "Salah, aku merk manisan Amerika."

1976


KALAU kita terpukau oleh sajak-sajak Goenawan Mohamad (GM) yang memang memukau itu, maka kita akan mudah pula terkejut dan kemudian mengingat satu sajaknya "Cerit untuk Mita". Saya kira inilah sajak GM yang paling remeh idenya, dengan demikian juga tetap saja ia: sangat istimewa.

GM yang mengutip Goethe; menulis tentang Zagreb untuk Xanana Gusmao; menyajak untuk pelukis Frida Kahlo, dan penyair Amerika Allen Ginsberg; tentang New York, Sarajevo, Sydney dan Hiroshima; eh tiba-tiba saja ada menulis sajak tentang permen dan gambar seorang perempuan pirang yang dikenal dari sebuah masa kecil, dalam sebuah kenangan di merk manisan Amerika.

Si aku yang tak punya banyak kenangan - karena itu kenangan ringan ini begitu riang dikenang - tetapi si aku malu ditertawakan, sok tahu saja mengira si nyonya berambut pirang berasal dari Belanda. Seperti main tebak-tebakan. "Salah, aku merk manisan Amerika." Jenaka.

Riang. Ringan. Ini bukan sajak tanpa makna, tapi memang tidak terlalu menuntut dan tidak menantang pembaca untuk mencari makna dari padanya. Tapi apa salahnya? Sajak toh tak harus melulu harus mengajak pembaca cemas dan gelisah. Yang riang dan ringan juga bisa membuat kita merenung. Sajak memang bisa dan boleh bicara soal hal yang remeh dan sepele. Sajak memang boleh bicara tentang apa saja, kan?. Ah, betapa kayanya. Betapa kita bisa menjemput sajak di mana saja, bukan?

[Ruang Renung # 169] Menyelidik Si Diksi

MUNGKIN berlebihan kalau dibilang kerja menyair pada intinya adalah mendiksi. Memilih kata yang tepat untuk mengucapkan sesuatu. Tema-tema sajak berulang dari satu penyair ke penyair. Selain menggarap tema-tema baru, bisakah kita menghindar dari tema cinta, maut, rindu, kesepian, ketidakadilan, atau ketuhanan? Bagaimana cara menyajakkan tema itu, itulah yang jadi taruhan keberhasilan sajak kita. Dengan kata lain bagaimana tema itu diucapkan. Dengan kata lain kata apa yang dipakai atau dipilih untuk mengucapkan tema itu. Dengan kata lain: diksi.

BAGAIMANA kita bisa memilih kata kalau kita tidak punya pilihan yang banyak? Maka, perkayalah diri kira dengan kata, supaya leluasa memilih. Leluasa mendiksi. Tapi, jangan pula kita jadi orang kayakata yang sombong. Mentang-mentang punya banyak kata lalu sok mengumbar kata-kata di sembarang sajak biar dibilang hebat. Apalagi kalau kata-kata itu kita dapat dengan cara yang tidak bajik dan tidak baik. Apalagi kalau kita cuma sok memiliki kata itu padahal kata itu sendiri tak pernah merasa menjadi milik kita.

BUKANLAH itu maunya diksi. Diksi itu memilih. Sebelum kita memilih tentu kita harus akrab dulu dengan apa yang kita pilih. Supaya dia ikhlas dan mendukung niat pengucapan kita. Dengan kata lain mencari kata yang paling pas untuk dipakai pada waktu yang pas.

BAGAIMANA kalau kita mau mengucapkan dengan kata-kata sembarang saja? Kalau pengucapan dengan cara itu dilakukan dengan sadar, artinya memang menjadi pilihan di antara pengucapan-pengucapan lain yang kita punya, itupun diksi juga namanya, asal sembarang kata tadi tetap membuat pengucapan kita sampai juga pada niat sajak kita.
 

Tuesday, October 17, 2006

Dedy Tri Riyadi
Sajak di Liuk Nyiur

: hasan aspahani

"Sedemikian dekatkah
kata-kata dari laut?"

di liuk nyiur
aku tafakur
tentang kedalaman
yang tak terukur

Monday, October 16, 2006

[Tadarus Puisi # 008 ] Yang Lebih Mencemaskan dari Bencana Gempa

ADAKAH yang lebih mencemaskan daripada bencana gempa yang makan korban ribuan jiwa manusia? Joko Pinurbo, penyair yang menetap di Yogyakarta, yang juga korban gempa itu, dalam sajaknya "Surat Dari Yogya" (Antologi Puisi Yogya 5,9 Skala Richter, Penerbit Bentang, Komunitas Sastra Indonesia, PDS HB Jassin, dan PT Exelcomindo Pratama Tbk (XL)) mencemaskan Syamsul, "kekasih kita" itu.

Syamsul adalah tokoh dalam sajak yang disebut oleh penyairnya sebagai "sajak darurat". Syamsul dalam sajak itu adalah seorang tukang becak. Syamsul masih bisa tertawa di malam terakhir sebelum menghilang. Artinya dia masih bisa bergembira karena masih sempat membawa turis melihat korban gempa lainnya. Rumahnya juga porak poranda. Lihatlah, betapa banyak alasan untuk cemas. Kecenderungan untuk menjual segalanya atas nama perturisan telah pula dianut dan dilakoni oleh seorang Syamsul. Si korban yang menjadikan korban lain sebagai obyek wisata, jadi tontonan turis. Ah. Syamsul toh cuma orang biasa, cuma tukang becak yang mengikut saja arus besar di kotanya.

Syamsul, kekasih kita, tiba-tiba raib entah kemana.
Pada malam terakhir ia terlihat masih tertawa
bersama Saut. temannya minum bir dan bercanda.
Bahkan ia sempat mengantar sepasang turis
melihat-lihat korban gempa.
Setelah itu ia tinggalkan begitu saja becaknya
di depan rumahnya yang porak poranda.


Mental pedagang - yang melihat segalanya sebagai komoditi dan pasar - sedang meraja, meratu, mematih dan memanglima sekalian. Kota - tak hanya Yogya - akan menjelma jadi plaza raksasa. Ini hiperbola, tentu saja. Perubahan ke arah komersialisasi yang membawa banyak perubahan lain, banyak yang akan terasa baru, dan segala yang lama akan tinggal cerita, mungkin. Tetapi langkah lekas perubahan itu tidak selalu dapat dijajari oleh kaki-kaki kecil orang-orang kecil kaum Syamsul. Kaum yang gagap berubah, yang pasrah, yang akhirnya hanya bisa menganggap seakan hidup susah adalah berkah.

Bait kedua hampir separuhnya berisi kecemasan penyair dan baru di dua baris terakhir, bangunan keutuhan puisi dikembalikan lagi kepada sosok Syamsul yang disebut di awal baris bait pertama. Dikembalikan pada sarungnya yang berkibar-kibar di depan rumah. Sarung yang berkibar memang telah menjadi "milik" Joko Pinurbo. Kata sarung dalam banyak sajaknya telah menjadi metafora yang komplek dan sangat efektif sebagai salah satu jalan bagi penyair untuk menerakan semacam tanda tangannya pada sajak-sajaknya. Salah satu saja. Karena bak pesilat tangguh, Joko Pinurbo telah memiliki dan menciptakan banyak jurus persajakan baru. Ibarat pendekar ulung, dari suara tarikan nafasajaknya saja, orang sudah tahu dia adalah bukan sembarang pesilat.

Kotamu nanti bakal menjelma plaza raksasa.
Banyak yang terasa baru, segala yang lama
mungkin akan tinggal cerita
dan kita tak punya waktu untuk berduka
Banyak yang terasa musnah, atau barangkali
kita saja yang gagap untuk berubah,
seakan hidup miskin adalah berkah.
Entahlah. Aku hanya lihat samar-samar
sarung Syamsul berkibar-kibar di depan rumah.


Dan sajak adalah karya fiksi. Banyak penulis sajak pemula melupakan ini. Fiksi tidak melulu mengandalkan apa yang terasa - walau sajak memang harus berperasaan, tidak melulu luapan emosi - walau sajak harus beremosi dan membangkitkan emosi, tetapi juga memberi tempat pada apa yang dikhayalkan, dengan kata lain juga pada imajinasi. Adegan pada bait terakhir ini tidak akan lahir bila si penyair tidak memainkan imajinasi. Becak Syamsul datang ke rumah si aku. Becak itu diorangkan. Becak itu dibayangkan bicara seperti orang, bertanya kemanakah Mas Syamsul, tuannya itu.

Si Aku kepada si becak mengatakan bahwa Syamsul telah berubah jadi nama sebuah Kafe, lagi-lagi sebuah satire yang dahsyat. Sebuah sindiran yang hebat. Sebuah hiperbola yang tepat. Ketimbang menyebut Syamsul bekerja di kafe -- kafe lambang perubahan kota itu dan salah satu wahana ekonomi kota yang menggerus keberadaan kedai kopi tradisional atau paling tidak menyaingi dengan posisi menang duluan -- penyair menyebutkan Syamsul berubah jadi nama sebuah kafe.

Dan, ah, si aku, penyair yang mestinya berada pada barisan terakhir yang menjaga kecemasan atas perubahan tak tertahankan itu, pun telah berubah menjadi pemandu wisata. Becak itu pun tak dikenalnya lagi, dikiranya turis juga dan diajak pula berkunjung ke kafe baru bernama: Syamsul.

Suatu malam becak Syamsul datang ke rumahku:
"Apakah Mas Syamsul ada di sini?"
Kubetulkan celanaku, kurapikan sajak-sajakku:
"Syamsul masih ada. Ia tidak ke mana-mana.
Syamsul sudah menjadi nama sebuah kafe
yang baru saja dibuka. Maukah kau kuajak kesana?"

Saturday, October 14, 2006

Seorang dari Gambar Sebuah Iklan

          : Pakde Totot

/1/
"MASIH ingat saya, Tuan?" tanya seorang teman dari
dalam gambar iklan. Dia mau saja diajak bersalaman.

Dia pura-pura ingat, padahal setelah dengan susah payah
membongkar kenangan, belum juga nama itu ditemukan.

Di mana dulu kami bertemu: di sebuah kotak pesan atau
di pekan festival filem, setelah menonton satu pertunjukan?

"Oh ya, apa kabar? Masih betah juga di dunia iklan?"

Ah, mau kemana lagi. Di sini kan masih bisa enak makan.
Masih bisa merayakan kehidupan. Masih bisa ketawa
walaupun stres dikejar deadline: monster laba-laba berkaki
delapan yang suka menjeratmu lupa-mandi-lupa-makan,
di jaring perangkap kantor delapan hari delapan malam.

/2/
"MASIH ingat saya, Tuan?" lagi-lagi teman dari dalam
gambar sebuah iklan mengajak salaman dan kemudian
minta dia mengabadikan adegan: bikin foto kenangan.

Dia mulai ingat sekarang, lelaki berpakaian hitam, yang
kemana-mana tak pernah mau bawa handphone gadungan.

"Masih jazzy? Masih suka kelayapan cari buku bergizi?"

/3/
"HALO, teman. Ada kabar apa dari dunia periklanan?"
dia mendahului menyapa takut dikira pura-pura lupa.

Tapi, dia yang disebut teman malah menatap keheranan,
raut mukanya seakan mau bertanya: Anda korban iklan?

Tiba-tiba saja dia kangen sekali pada banyak orang:
Tokoh-tokoh yang terciptakan dalam teks naskah iklan

Astronot yang mengajaknya jalan-jalan ke planet iklan.

Sang Sutradara yang diam-diam berteriak: camera, action!

Dan ah dia kangen sekali pada perempuan yang sedang
berulang tahun sendirian: "Kalau berdoa, Sayang, bisikkan
pada-Nya, agar kita dijauhkan dari godaan iblis berbulu iklan
yang tak mau lekas dilupakan tapi bikin kita pelupa, yang
melenakan, yang bikin kita lupa pada hakikat kehidupan,
dan diam-diam suka memakan kita sebagai mangsa korban."

Sajak Gombal

         : Paman Tyo

"HIDUP kadang memang cuma segumpal gombal,"
ujarnya, nekad saja merumuskan perjalanan yang
sering tak masuk akal. Istilah kerennya irasional.

"HIDUP kadang cuma melepas dan melekatkan label,
di tubuh kita sendiri," ujarnya, seraya mengagumi
bekas tempelan gambar lama di wajah, tubuh, tangan
dan kakinya sambil merenung ringan, angin-anginan
saja: apa ya yang belum pernah menempel di sana?
Istilah kerennya, ia memberi nilai lebih pada kehidupan.

Friday, October 13, 2006

Semacam Sampiran Pantun Tanpa Isi

Siapa mengerti kenapa bingkai itu bertali
Sedang gambarmu tak sempat kaupasang

Lama menatap bingkai yang makin kosong
Memperjelas cermin wajahmu dilapisi debu

Berapa lama sembunyi di belakang bingkai
Tak jenuh menunggu: kau hanya kian ragu

Bingkai kayu berukir rambatan bunga liana
Kau letih mencari kemana akar mencakar

Di balik bingkai siapa menulis namamu
Huruf-huruf yang disamarkan oleh waktu

Kau menduga bayang menegas di bingkai itu
Memastikan cahaya yang membuat ia ada

Tanpa gambarmu, bingkai menahan getir getar
Kosong: semacam sampiran pantun tanpa isi

     

Catatan:
      Semula saya ingin menulis beberapa buah pantun. Pantun dengan sampiran yang menggali imaji-imaji bingkai. Pantun dengan sampiran itu akan saya isi dengan renungan-renungan tentang bangkai, tentang kematian dan tentu dengan demikian juga tentang kehidupan. Bangkai, bingkai. Bangkai, bingkai. Saya kira permainan bunyi antara kata kunci pada sampiran dan pada isi itu akan mengasyikkan.
      Tapi, dalam perjalanan penciptaan pantun-pantun itu saya menemukan keasyikan lain. Saya membuang saja isi dan meninggalkan sisa sampirannya. Kenapa dibuang? Apakah masih pantun namanya jika hanya ada sampiran tanpa isi? Ah, ya bebas saja. Tak ada yang mengatur saya, bukan? Saya toh punya satu jurus kunci: menyelamatkan puisi saya dengan judul yang mengikat semua sampiran-sampiran itu menjadi benar. Jadilah judul itu: Semacam Sampiran Pantun tanpa Isi. Sampai pada bait terakhir, saya kemudian terpikir untuk "menyelesaikan" rangkaian sampiran pantun itu dengan bait yang mengandung kalimat yang menjadi judul. Ini berisiko, sebab sampiran-sampiran kosong itu bisa jadi tidak "kosong" lagi. Tapi, apapun lah, saya beranikan asja menempuh risiko itu dengan membuat bait penghabisan tersebut.
      Bukan sekali ini saya "mempermainkan" pantun. Sekali waktu saya pernah juga membuat pantun-pantun yang tak tuntas. Sekali waktu saya juga pernah membuat dua pantun yang diselingi dua baris tunggal. Bebas saja, bukan? Saya mungkin akan menemukan permainan lain pada pantun ini. Pantun toh tak akan jatuh kepantunannya karena saya permainkan. Puisi saya tetap saja sah sebagai puisi, dan ia memberikan keasyikan pada saya. Semoga ia juga memberi keasyikan pada Anda yang ikut membaca.

Monday, October 9, 2006

Sajak yang Paling Religius

HINGGA malam ke-10, dia masih belum sempat
singgah tarawih, padahal masjid dan rumahnya
cukup dekat, hanya berjarak takbir seangkat.

"Aku sibuk menyiapkan sajak paling religius."

HINGGA malam ke-20, dia masih belum juga
sempat ikut tadarus, padahal masjid dan kedai
tempatnya nongkrong cuma terpisah sesibak kitab.

"Aku sedang menyiapkan sajak paling religius."

HINGGA malam ke-30, belum juga ia berhasil
menciptakan sajak sebait, lalu dia tertidur
dan tak bangun-bangun hingga tak mendengar:

Pagi itu berkumandang sajak yang paling religius.

Sunday, October 8, 2006

Aforisma Kaki Petani

KATA sawahnya, "akulah sepatumu. Yang berbagi tempat
untuk kerikil, lumpur, & anak katak, di sisi kakimu."

Saturday, October 7, 2006

Aforisma Jantung Petani

TIAP hari di dadanya tumbuh satu jantung. Ia
petik jantung itu dan dia tanam di dada sajak.

Puasa Bulan

BULANNYA tak pernah ada padanya, tak pernah diam
pada kalendernya, tak pernah sabit atau purnama,
tak pernah menanggali hari-hari dengan angka-angka.

Bulannya seperti nasibnya: nasib yang selalu puasa.

Dia dan bulannya pernah saling berjanji, akan bertemu
di sebuah azan, pada suatu hari. "Kita akan berbuka
diri bersama; menanam benih-benih kurma yang kita pungut
dari musala ke musala, yang kita curi waktu salatnya."

Lama dia belajar mengerti dan menikmati puasa: rindu
pada bulannya. Bulan idaman yang belum datang juga.

Dia masih meneruskan puasa yang panjang dan lama:
puasa bertemu bulannya, sampai seribu bulan lamanya.


WAKTU datang bulan puasa, bulannya diam-diam tiba.
Menciptakan pertemuan yang tak pernah ia duga-duga.

"Maaf, Anda ini siapa?" katanya sambil menyiangi gulma
di kebun kurma. ""Saya cuma puasa yang sedang belajar
jadi bulan. Anda sendiri puasa-puasa begini sedang apa?"

"Saya menunggu puasa bulan saya sempurna. Dan
kutanam sendiri benih-benih kurma sambil menanti
bulan saya memenuhi janjinya berbuka bersama."

"Sudah berbuahkah?" tanya bulannya. "Sudah," jawabnya,
"Buahnya manis, seperti rasa rindu pada bulanku. Buahnya
lebat, cukup untuk berbuka bersama seribu bulan lamanya."

Friday, October 6, 2006

Semua Bintang yang Kukagumi Basah

Soneta XVVI Pablo Neruda


Maka semua bintang-bintang yang kukagumi,
kuyup dalam sungai dan basah kabut, tersiram,
lalu kupilih hanya satu yang kucintai.
Sejak itu, aku pun tidur bersama malam.

Maka semua ombak, seombak, dan lagi seombak,
laut yang hijau, dingin udara hijau, cecabang hijau,
lalu yang kupilih hanya satu ombak:
Yang tak pernah dapat terpecah, ombak tubuhmu.

Semua jatuhan air, semua akar-akar itu
Di sini, benang-benang cahaya tersimpul padaku;
bergesa atau lambat, datanglah mereka padaku

Aku inginkan rambutmu, semuanya hanya untukku.
Bahkan bila ditawarkan segala keramahan tanahlahirku
aku hanya akan memilih keras kejam hatimu.

Siapa Penah Saling Menghasrati Seperti Kita?

Soneta XCV Pablo Neruda


Siapa pernah saling menghasrati seperti kita?
Lihatlah, pada abu purba hati yang terbakar,
dan biarlah kecupan kita bersentuhan di sana,
hingga bunga tak tertubuhkan itu bangkit mekar.

Biar kita mencinta Hasrat yang nyantap khuldi sendiri
dan masuk menusuk, segala rupa dan tenaga, ke bumi:
baginya, kitalah cahaya yang meneruskan
dia yang tak terusakkan, benih yang rapuh rawan

Hasrat itu, masuk ke dalamnya waktu musim sejuk,
tersebab salju dan saat-semi, yang tak ada di musim rontok,
membawanya ke sinar baru sang buah apel,

Kesegaran itu terbuka oleh belitan yang asing
seperti Hasrat purba yang berkelana dalam kebisuan
terus menembus ke bawah permukaan mulut keabadian

Dulu Sebelum Aku Mencintaimu

Soneta XXV Pablo Neruda

Dulu, sebelum aku mencintamu, aku bukan apa-apa:
Kekasih, aku bimbang di jalanan, dikepung apa-apa:
tapi segala bukan juga apa-apa, segala tak bernama:
dunia leleh, cuma cair air, yang entah menunggu apa.

Yang kutahu hanya kamar-kamar penuh berdebu,
lorong-lorong di mana bulan menghidupkan terang,
gudang-gudang kusam yang menggeram, "hilang",
pertanyaan-pertanyaan yang bersikeras di pasir itu.

Segalanya memang hanya kosong, mati, bisu,
yang jatuh yang terbuang, yang melapuk busuk
hantu asing tak terbayang, segalanya hanya itu.

yang satu - tak saling aku - pada yang lain satu
hingga kemolekanmu dan hingga kefakiranmu
mengisi musim gugur berlimpah dengan berkah.

Tuesday, October 3, 2006

[Kutipan] Menulis Apa yang Ingin Ditulis

Ketika menulis, saya tidak berpikir apakah tulisan asya akan diterbitkan atau tidak; ketika akan diterbitkan pun, saya tidak berpikir apakah ada yang akan membaca atau tidak. Bahkan saya tidak berpikir apakah tulisan saya pantas atau tidak disebut puisi. Biar semua itu orang lain yang memikirkannya. Tugas saya hanya menuliskan apa yang ingin saya tulis.

- Mustofa Bisri, Negeri Daging, Bentang, Yogyakarta, 2002.

Sunday, October 1, 2006

Wawancara dengan Asap di Sebuah
Negeri yang Hutannya Selalu Terbakar



Tanya: Siapakah sebenarnya Anda, Wahai Asap?

Jawab: Siapa saya? Saya kira tak akan ada
yang pernah bertanya tentang siapa saya.
Senang sekali rasanya seandainya saya bisa
menjelaskan pada Anda siapa saya sebenarnya.

Tanya: Jadi, Anda ini siapa sebenarnya?

Jawab: Manusia sejak pertama menyalakan api
di dunia tak pernah peduli pada kami, pada asap
yang selalu hadir sebelum api, hadir bersama api,
bahkan tetap ada sesudah api mati. Tetapi, manusia
memang tak pernah mau menganggap kami penting.
Bukankah kalian selalu berkata, "ada asap maka ada
api?" Jadi kami hanya kalian jadikan tanda, kami hanya
isyarat bagi keberadaan api yang kalian sengajakan.

Tanya: Saya belum mengerti, siapa sebenarnya Anda?

Jawab: Ketika kami mengepung kota, bandara,
pelabuhan, sekolah dan rumah-rumah, maka kalian
bertanya, siapa yang menyalakan api? Siapa yang
membakar lahan dan pohon-pohon hutan? Siapa
yang hendak membuka kebun berjuta hektar luasnya?
Siapa yang menyulut ladang gambut? Dimanakah
titik-titik panas api tertangkap satelit? Tidak pernah
ada yang peduli tentang kami, bukan? Kalian sibuk
melacak jejak panas dan api, padahal mereka pasti
telah mati ketika kami sampai ke depan pintu dan
jendela rumah kalian di kota-kota yang jauh dari hutan
dan ladang tempat awal kami memulai perjalanan.

Tanya: Wah, Anda belum menjelaskan siapa Anda?

Jawab: Kami adalah sahabat angin yang tahu harus
meniup kami kemana, kami adalah sahabat angin
yang tahu kapan harus menurunkan dan menaikan
kami di angkasa, kami adalah sahabat angin yang
suka memainkan angka-angka pada alat pengukur
pencemaran udara yang kalian pasang di kota-kota,
kami adalah sahabat angin yang suka menyeludupkan
kami menembus masker yang kalian pasang di
mulut dan hidung kalian, kami adalah sahabat angin
yang ingin menyembunyikan langit dari pandangan
kalian tapi kalian tak pernah merasa kehilangan.

Tanya: Tolong, jelaskan dengan cara sederhana
siapakah Anda sebenarnya?


Jawab: Kalian tidak akan pernah mengerti siapa
kami sebenarnya, kecuali nanti jika mayat kalian
telah dikubur atau dibakar, ada asap bening yang
tersuling dari tubuh kalian setelah nafas terakhir
dihembuskan, tapi pada saat itu kalian tak perlu
lagi bertanya karena telah mengerti sepenuhnya
siapa diri kalian dan siapa kami yang sebenarnya.

Kontak Jodoh

PENYAIR; yang selalu mengira ajalnya tiba esok
hari; tinggi badannya telah berhenti tumbuh sejak
tulang-tulangnya yang tak pernah berhenti menua
gagal menghafal saat penggantian penanggalan;
berat badannya tak pernah ingin ia ketahui karena
selalu kekurangan; sabar menghadapi diri sendiri
dan pemaaf tapi pelupa; ingin jujur tapi senantiasa
tergoda untuk berdusta bila tak menemukan ucapan
yang pas untuk duka laranya; amat suka pada kesepian;
dan seringkali sok serius menjalani hidupnya yang
yang kembang kempis; dan tidak pernah terlibat
tindak pidana tetapi merasa selalu diikuti oleh
sepasukan intel dan sepasukan penembak jitu.

MENDAMBAKAN puisi yang bisa dibacakan oleh
pengemis saat memohon sedekah di lampu merah;
puisi yang diteriakkan buruh saat berdemonstrasi
menuntut kenaikan upah; puisi yang disalin anak
sekolah ke dalam secarik kertas kemudian
diselipkan di saku untuk diam-diam dibaca saat
guru di depan kelas tak becus menjelaskan
lekuk liku kehidupan; puisi yang diingat pengembara
saat rindunya pada rumah memaksa air matanya
menetes; puisi yang dikutip oleh wartawan sebagai
kepala berita dalam berita tentang negeri yang
sedang disuruh tabah dengan rangkaian bencana.