Monday, September 16, 2013

Hai, Gadis

Sajak Pablo Neruda


ENGKAU para gadis yang mencari
maha cinta, maha cinta yang mencekam-mengancam,
apa yang kau dapatkan, wahai Gadis?

Barangkali
waktu, waktu!

Karena kini,
di sini ini, lihat itu bagaimana ia berlalu
menyeret batu-batu surgawi itu,
melapukkan bunga-bunga dan dedaunan,
dengan kebisingan cambuk bebuihan
menghempas pada semua batu dari duniamu,
dengan aroma kental mani dan kuntum melati, 
di iga bulan yang mengucur berdarah-darah!

Dan sekarang
kau sentuh air dengan kaki kecilmu,
dengan hati kecilmu,
dan engkau tak tahu mesti berbuat apa lagi!

Yang lebih baik adalah
perjalanan-perjalanan malam hari,
ruang-ruang rumah yang telah terbagi-bagi,
setapak jalan yang tak tentu arah,
tarian yang tak menuntut apa-apa,
daripada meneruskan petualangan!

Setelah ketakukan mati, juga kebekuan,
atau keraguan,
maka bagiku dengan langkah-langkah besarku,
akan kutemukan dia,
di dalam dirimu
atau bila jauh darimu,
maka dia yang akan menemukan aku,
dia tidak akan gemetar menatap-menghadap rupa cinta itu,
dia, yang kelak melebur-menyatu
denganku
dalam kehidupan, dan dalam kematian! 

Senantiasa

Sajak Pablo Neruda

BERHADANGAN muka denganmu
aku tak cemburu.

Datanglah dengan seorang lelaki
di punggungmu,
datanglah dengan seratus lelaki di rambutmu,
datanglah dengan seribu lelaki di antara dada dan kakimu,
datanglah sebagai sungai
di arusnya penuh lelaki tenggelam
mengalir sampai ke laut yang kejam,
buih yang abadi, dan sang cuaca.

Bawalah, bawa mereka semua
bawa ke mana aku menunggumu:
kita yang akan senantiasa sendiri,
kita yang akan senantiasa kita: kau dan aku,
sendiri di atas bumi
untuk memulai kehidupan ini.

Thursday, September 12, 2013

Maladi Malam Tadi

              : Richard Oh


1. Bala Kelelesa

INI yang kini kutanggung, sekarang, Bung!
: bala kelelesa. Kata yang melata padaku,
menerpaksakan aku, menjadi aku yang bukan aku.

Lidahku sakit berpenyakit, oleh kebeluman
yang tak akan pernah bisa kusudah-sudahkan.



2. Atrium Sebuah Plaza

CAHAYA ranum, pada sebuah plaza, dikepung
putus-sangka. Dan kau, lelaki keras kepala.

Plaza ini adalah plasenta. Dan kita, adalah
jabang janin yang tak pernah bisa keluar dari
sana. Kandungan matang bulan, dan kita tak
pernah berani untuk benar-benar dilahirkan. 

Kalau Ibu kita mati, keringlah tali-tembuni.



3. Melewati Kedai Kopi

KALAU kita duduk di situ, di bangku kayu itu,
maka kita akan menciptakan suatu kehilangan,
yaitu yang pergi tanpa pernah ia mau menunggu.  

Kalau kita duduk di situ, Tuhan akan mencuriga,
apa yang hendak dilakukan oleh penulis cerita,
sutradara, juru rekam gambar, pelakon sandiwara?

Membuat kisah tentang kisah Seorang Tukang Kisah?

Kalau kita duduk di situ, tapi kita tidak duduk,
tidak di situ, dan kita tak memakakan kalau kita.


4. Senja dan Hujan, di Senayan


KAMI tiba tiba-tiba, bertiket perahu terbang

Bukan karena senja dan hujan ini mengundang
Pekan tanggung terasa telah tua, mengujung
Seperti bilang, "jangan, kau jangan datang!"

Senja dan hujan, membuatkan jalan di Senayan
menjadi murung kandang, mengurung dari pulang,
juga sebegitu susah, sekadar sebentar singgah. 



5. Raung Kaca, Ruang Baca

NANTI aku ke sana sebagai pemelesir, terusir.

Mencari buku yang hilang, atau yang belum ada.
Itu sebab aku mampu sepura hati, berpura-pura.

Itu seperti danau, berparas kaca, bayanganku
meraung di sana, aku yang hanya sanggup gugup,
tentu tak mendengarnya: mencemaskan pangkalan
ditelan pasang, tak bisa berhenti, pusang hati.

Nanti aku ke sana sebagai pemburu, dengan pemuras,
senantiasa menodong ke arah kiri, ke dada sendiri.



6. Aku Sudah Tidak Lagi Bertanya

AKU sudah tidak lagi bertanya, lewat dari tapal berapa
lepas kata dari ikatan pantun, tualang menjadi tapa, 

Aku pejalan berbahagia, menggadang pada rumah radang,




7. Antara Engkau, Dia dan Aku

ENGKAU adalah buku yang terus ingin dia baca.
Aku hanyalah pembatas buku, yang mengingatkan,
tapi selalu saja akhirnya tercecer, terlupakan.

8 Kutipan Berharga dari "Bumi Manusia"

Hasan Aspahani


NOVEL yang hebat selain alur kisahnya mengguncangkan kesadaran pembacanya, juga bertaburan kalimat cemerlang di sepanjang ceritanya. Begitu pula dengan novel mahakarya Pramoedya Ananta Toer "Bumi Manusia". Berikut ini delapan petikan menarik yang penuh kandungan motivasi dari novel dengan latar belakang bangkitnya kesadaran berbangsa di nusantara ini.

1. BERBAHAGIALAH dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri - Tokoh Nyai Ontosoroh kepada Minke.

2, "...kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan baiknya... - Tokoh Jean Marais kepada Minke.

3. MEMERINTAH pekerja pun kau tak bisa karena kau tak bisa memerintah dirimu sendiri. Memerintah diri sendiri kau tak bisa karena ku tak tahu bekerja - Tokoh Annelies Mellema kepada Robert Mellema.

4. SEKALI dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa - Tokoh Nyai Ontosoroh kepada Minke.

5. DUNIAKU bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya - Tokoh Minke kepada Ayahandanya.

6. KALAU orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan cara-Nya sendiri - Tokoh Bunda dalam percakapan dengan Minke.

7. KAU akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua - Tokoh Nenenda yang ucapannya dikenang oleh Minke.

8. KALIAN boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai - tokoh Magda Peters, guru Minke.




Priangan Si Jelata

SENJAMU, Bandung, kopi tanah, diseduh dengan salah
Cihampelas, jalan malas, ke arah malammu yang marah

Cabang pohon sepasang, sembahyang, tanpa berjamaah.
Doa-doa menggantung, tak tergantang, tak terjamah.


*

Siangmu, Bandung, para lelaki dari pesisir utara
menyalakan bara, membakar runcing daging mentah

"Kami beri kau restu mendustai kami, bukan karena
kami tak pandai menagih janji!" Kau, sedang tuli. 

Abu Bakar Sang Pembenar, dan Dua Ekor Unta

IA persiapkan dua ekor unta, tunggangan terbaik untuk
belasan hari yang diwahyukan, siang dan malam perjalanan.

Ia persiapkan dua ekor unta, untuk dia dan untuk sahabat
masa kecilnya, yang ia temani menempuh antara, dua kota.

Ia persiapkan dua ekor unta, untuk seorang yang selalu
ia benarkan katanya, sebelum dan terlebih sesudah kerasulan. 

Ia persiapkan dua ekor unta, yang kelak memilih sendiri
di mana ia hendak singgah, di kota yang menyambut ramah.

Sunday, August 25, 2013

Sketsa 1

DENGAN paruh yang patah parah, dia mengaduk-aduk bayang sendiri, hingga ia pun larut di dalamnya.

Dengan sayap yang lemah payah, dia memeluk dirinya sendiri, sampai tak lagi bisa ia lepas dari ketatnya.  

Wednesday, August 14, 2013

Burung

 Sajak Pablo Neruda

IA yang melintas dari burung ke burung,
pada segenap anugerah hari yang berkah.
Hari yang mengayun suling, alun ke alun,
hari yang berdandan, baju dedaunan,
mengepak kepak yang membuka lorong
menembus pada apa yang dihembus angin
hingga ke tempat di mana burung memecahkan
angkasa biru yang padat -
lalu di sana, malam pun tiba.

Ketika aku pulang dari berbagai tualang,
aku diam, terdiam dan hijau
antara matahari dan geografi -
Aku saksikan bagaimana kepak sayap itu,
bagaimana wangi itu menyebar lewat
telegrap, bulu-bulu sayap,
dan dari ketinggianku, kusaksikan jejak setapak
musim semi dan susunan atap bubungan,
nelayan di kios-kios ikan,
pantalon busa buih-buihan;
Aku saksikan itu dari langit hijauku.
Aku tak lagi punya alif-ba-ta
tak setimbang burung layang-layang pada berkas terbangnya,
percik riak, percik cahaya,
dari burung kecil yang terbakar
yang menarik-menari, serbuk sari.
SAYA tahu tak ada pembaca yang bertanya. Seorang penulis musti memaksakan seleranya kepada para pembacanya! - Jan Neruda
 

Tuesday, August 13, 2013

Ditakdirkan Bagiku Kepasrahan

LIDAH yang tak memaksa, bertanya pada kental kuah laksa: rasa apa yang selalu bisa kau sembunyikan dariku?


Tangan yang tak mendesak, berkata pada cawan yang remang retak: luka apa yang kau persiapkan untukku?

Mata yang tak mengancam, berbisik pada liuk periuk: bumbu apa kautambahkan pada laparku yang kau rebus itu?  

Hati yang terombang bimbang, menduga pada nganga belanga: kapan aku harus membenam di minyak menyalamu itu?