Thursday, November 13, 2003

Pada Suatu Pagi Hari Ada Lelaki Tanpa Celana

Di tengah membanjirnya sajak-sajak liris yang kebanyakan kering dan rumit, saya kira Joko berhasil menyempal dan membawa kesegaran yang lain dalam dunia persajakan kita. Tanpa mengorbankan kedalaman makna.



SAJAK Joko Pinurbo dalam buku Telepon Genggam (Penerbit Buku Kompas, 2003) salah satunya berjudul Laki-laki tanpa Celana. Ini adalah sajak yang unik dan tidak lazim. Keunikan pertama adalah panjangnya. Memang tidak ada batasan sepanjang apa puisi boleh ditulis. Hanya saja sepanjang yang pernah saya baca dari buku-bukunya, ini adalah sajak terpanjang. Dalam buku berformat 14 x 21 sentimeter sajak ini makan tempat 9 halaman.



Yang lebih unik selain urusan fisik tadi adalah isi puisi itu. Joko berangkat dari sajak Sapardi Joko Damono, Pada Suatu Pagi Hari (Mata Pisau, Balai Pustaka, Cetakan keenam, 2000; Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994). Saya kira Joko Pinurbo mengutip sajak itu dari buku yang pertama. Karena secara pas sajak itu berada di urutan terakhir daftar isi.



Dalam sajak Joko, nama Sapardi, dan sosoknya sebagai penyair bahkan hadir dalam bait-baitnya. Kita kutip saja sajak itu selengkapnya:



Pada Suatu Pagi Hari



Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.




Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.



Lihatlah kemudian apa yang dilakukan oleh Joko Pinurbo terhadap puisi di atas. Pada separo bait kedua puisi Laki-laki tanpa Celana tiba-tiba saja muncul kalimat… Nah itu dia. Saya terhenti lama di sebuah sajak Sapardi Djoko Damono, “Pada Suatu Pagi Hari”…. Lalu disalinlah bait pertama puisi di atas. Jika tak pernah memperhatikan sajak Sapardi, maka pembaca tak akan tahu bahwa bagian itu adalah sajak lain yang disalin begitu saja oleh Joko. Ia yang ada dalam sajak Sapardi sudah dihadirkan Joko sejak awal puisinya itu:



…Saya berpapasan dengannya… Ia biarkan serbuk hujan bertaburan di atas rambutnya yang diikat begitu saja… dst.



Perhatikan frasa ‘serbuk hujan’ yang sangat Sapardi itu. Saya kira Joko sangat sadar memilihnya. Di sinilah kelihaian Joko menyair dipertontonkan. Di sinilah tantangan-tantangan bagi penyair yang menulis belakangan hari dijawab olehnya. Saya kira susah mengelakkan pengaruh penyair terdahulu. Apalagi yang sekuat Sapardi. Pengaruh itu memang tak perlulah dielakkan. Tapi, aku tak mau jadi bayam, kata Popeye. Demikian ditulis Sutardji (Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001, Penerbit Buku Kompas, 2001). Membaca buku puisi bagi penyair bukannya harus dihindari. Maksud Sutardji jelas, jangan karena membaca sajak Afrizal dan menyukainya maka , lantas kita menulis sajak-sajak bak Afrizal, sampai-sampai ada sebutan Afrizalian. Jangan lantas karena menyukai sajak Sapardi, lalu melahirkan sajak-sajak Sapardian. Kalau itu yang dilakukan maka jadilah sajak-sajak kelas sayur, bukan kelas Popeye, ledek Sutardji.



Saya kira, Joko berhasil mengelak dari ledekan itu. Keberhasilan itu bisa diukur dari bagaimana ia menjadikan sajak Sapardi yang hanya dua bait itu sebagai ide dasar membangun sajak sembilan halaman.



Laki-laki tanpa Celana masih kental membawa gaya Joko. Liris tapi bukan lirik. Ada bertabur frasa yang mengejutkan yang bikin kita terhenyak karena memang mengejutkan, dan lebih sering lagi kita tersenyum bahkan sesekali tergelak karena memang jenaka. Joko sesungguhnya mempertegas gayanya yang santai dalam menyikapi dunia puisi dan kepenyairannya sendiri.



Lihat bagaimana dia mempermainkan lagi puisi Sapardi:



…”Non, sepertinya saya pernah melihat Non dalam sajak Sapardi, ‘Pada Suatu Pagi Hari.” Ia tampak bingung dan tidak mengerti apa yang saya katakan. …



Sebelumnya ada bait ini …Buat orang semelankolis saya, membaca puisi sering lebih mujarab dari minum obat dan saya berusaha tidak telat minum puisi sebab akibatnya bisa gawat.



Nirwan Dewanto menempatkan Joko sebagai antipoda puisi liris sekaligus puisi protes (Tempo Edisi Khusus Akhir Tahun 2002). Liris ya, tapi puisi protes saya kira tidak. Yang diolok-olok juga oleh Joko adalah sajak-sajak balada. Sajak yang tengah kita bicarakan ini pula yang paling pas mewakili olok-olok itu. Ada plot cerita. Ada semacam kemurungan dan tragedi hidup. Ada tokoh-tokoh imajiner yang campur aduk dengan Sapardi penyair yang dihadirkan Joko.



Kita kutip lagi bagaimana Sapardi masuk ke dalam puisi Joko itu:



Saya hampir tak percaya melihat Sapardi duduk manis di samping perempuan itu, memberikan komentar sambil membolak-balik halaman-halaman buku Laki-laki tanpa Celana yang disebutnya memikat antara lain karena tokonya luar biasa. Sesekali mereka berdua terlihat berbincang akrab sambil ketawa-ketawa….



Nah, lihat betapa cerdas dan liarnya imajinasi penyair. Laki-laki tanpa Celana itu ternyata sebuah novel. Entah, saya sebenarnya ragu menuliskan bahwa Joko juga tengah memperolok-olok genre sastra yang lain yaitu novel dan cerpen (karena panjangnya dan gaya naratif puisi ini).



Saya kira ini adalah balas dendam dan balas jasa yang sempurna dari seorang Joko kepada Sapardi. Sapardi sendiri memang sudah memberi catatan khusus pada kepenyairan Joko. Pada kata penutup yang dibuatnya untuk buku puisi sulungnya Joko (Celana, Indonesiatera, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation, 1999), Sapardi memberi catatan semacam peringatan: awas penyair ini berhak mendapat perhatian kita! Peringatan itu, saya kira telah mendorong Joko untuk terus menerus merebut perhatian pembaca dan (ehem) Sapardi juga. Maka ‘diculiknya’ Sapardi masuk ke dalam sajaknya. Diperalatnya sajak penyair itu untuk kepentingan sajaknya sendiri. Tanpa merusak sajak itu, tanpa melanggar hak si penyairnya juga.



Kalau percaya dengan kalimat … penyair picisan meniru, penyair besar mencuri, maka Joko tidak keduanya. Dia tidak meniru dan tidak mencuri. Dia sekali lagi, secara cerdas dan kreatif, memperalat sajak Sapardi dalam kerja menyairnya. Bahwa puisi bisa berangkat dari sajak lain pun dilakukan Sapardi pada beberapa sajaknya. Coba tinjau sajak Tentang Pohon, 2, (Mata Jendela, Indonesia Tera, 2001) yang sebelum masuk ke bait pertama puisi mengutip sajak Jalaluddin Rumi. Pada sajak Sapadi lain bahkan api ide bisa dipantik dari syair lagu Beatles (Dalam Diriku, Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994; Sihir Hujan, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia Kuala Lumpur, 1994).



Di tengah membanjirnya sajak-sajak liris yang kebanyakan kering dan rumit, saya kira Joko berhasil menyempal dan membawa kesegaran yang lain dalam dunia persajakan kita. Tanpa mengorbankan kedalaman makna. ***



* Tulisan ini bisa dibaca di situs www.puisi.net.