Friday, July 31, 2009

Ada Sesuatu

ADA sesuatu dari cara dia mendekat - menjauh
tak seperti kekasih lain, ia telah memikatku
Ada sesuatu dari cara dia membujuk - merayu

Aku tak akan meninggalkannya, tak sekarang ini
Tahu bagaimana? Kau tahu aku percaya padanya

ADA sesuatu pada senyumnya, dia sadari itu,
bahwa aku tak lagi pernah mencari kekasih lain,
Ada sesuatu pada perangai, ia jujurkan padaku

Aku tak akan meninggalkannya, tak sekarang ini
Tahu kenapa? Kau tahu aku percaya padanya

Kau bertanya, apakah cintaku akan tumbuh berbunga?

Aku tak tahu, kataku, sungguh aku tak pernah tahu
Kau coba tetap tinggal di sini, mungkin kau akan tahu
Tapi aku tak tahu, sungguh aku tak akan pernah tahu

Ada sesuatu dari apa yang dia telah amat tahu
Dan apa yang harus aku buat? Mengingatnya selalu!
Ada sesuatu dari apa yang ia haribakan di hadapku

Aku tak akan meninggalkannya, tak sekarang ini
Tahu bagaimana? Kau tahu aku percaya padanya

:: Terjemahan bebas lepas (dan tak bertanggung jawab) atas lagu Something - The Beatles.


Petunia



"KAMI sedang berdoa," kata rekah bunga-bunga itu,
baru saja kita menyiraminya. Mungkin itu semacam
wudhu juga, kataku, pembasuh resah, pembilas rusuh.

"Kami sedang berzikir," kata segar daun-daun itu,
dan yang kering luruh, tak pergi dengan keluh, sebab
ia sempat mendengar doa, sempat menyebut zikir juga.

"Kita?" tanyamu, padaku. Saat itu seperti ada suara
air mengalir, sejuk sekali sepertinya. Aku memastikan
ingatkah engkau pada catatan rencana, beberapa ruas
jalan, sejumlah patahan, sekian tikungan, curam
tanjakan dan benih yang kita tanam yang kini tumbuh
sebagai bunga di beranda, yang baru saja kita sirami,
yang mengajari kita berdoa, mengajak zikir bersama.

Sekering pedih peluh, kita tahu, tak pantas ada keluh.


Gerbera



"ADA akar rahasiaku, menyerap butir cahaya,"
katamu, dan aku percaya. "Engkau tak sabar
memekarkan terangnya, kan?" Aku juga seperti
akar itu, merahasiakan saja segala pertanyaanku.

"ADA telinga rahasiaku, yang menyimak semua tanya
yang kau sembunyikan itu," katamu, dan aku percaya.

Kubayangkan akulah yang menyusun petal-petalmu,
mengatur sepal-sepalmu, "Seperti menata nyala
lampu di ruang tidur," kataku. Dan diam-diam
kusisipkan sesuatu di antara yang benderang itu.

"Aku tahu," katamu, "....yang kau rahasiakan itu!"


Thursday, July 30, 2009

Chrysanthemum



ENGKAU warna, menunggu dijemput cahaya

Dan aku tangkai belaka, yang setia menjaga
dengan tubuh luka, aku kenang asal akar kita,

dia yang tak ada di antara: vas, senja, dan
beranda, penanam yang tak kita kenal siapa.

:: Gambar dipinjam dari SINI



Wednesday, July 29, 2009

[FIKSIMINI] Adegan di Kamar Hotel

DI kamar hotel itu dia adalah sutradara, penulis skenario, penata cahaya, juru kamera, figuran, dan pemeran utama.

"Engkau akan mendengar suara pintu diketuk. Engkau akan membuka pintu itu. Engkau akan melihat dia berdiri di pintu itu. Engkau akan menarik tangannya masuk ke kamar. Engkau akan memeluk dia. Engkau akan ...." kata sutradara, sambil membaca skenario yang disorongkan padanya oleh si penulis skenario.

"Sebentar. Dia itu siapa?" tanyanya. Dan sepi jadi gelisah. Sepi melambai-lambaikan tangan ke matanya. Sepi itu seakan ingin bilang, "Halo? Aku di sini. Si Dia itu adalah aku. Halo?"


Caladium



BUKAN percik air ditepis daun-daunmu
aku kental getah di dalam pembuluhmu

Bukan raya warna, wajah daun-daunmu
aku bening getah fasih mengucap tanah

:: Foto dipinjam dari SINI

Tuesday, July 28, 2009

Pudica



TAHUN apa yang baru saja berganti?
Tahun kecil perjalanan hati ke hati

Siapa, seperti berpesta kembang api?
Kami, hati yang tak mau lekas mati

Kenapa kuncup, bagai sipu malu putri?
Bukan, ini katup jari: ucap doa kami


:: Foto dipinjam dari Iwan Kurniawan



Helikonia



DIA bukan penjaga batas luas kebun raya
hanya penjemput embun datang terlambat

Dia bukan si perambah liar rambung rimba
hanya pelintas yang terpesona sunyi pagi

Dia bukan perangkai tangkai rupa-rupa bunga
hanya pengagum julang-juntai warna helikonia



Hibiscus




SEPERTI dipetik di setangkai haiku
Segeriap angin ragu ingin berlagu

Bak kecup lembut di kembang sepatu
Bunyi sunyi mekar di bunga bibirmu


Monday, July 27, 2009

Palmae




TANGANNYA pelapah palma, di dadamu nyeri,
ia mengusapkan duri-duri. "Lukai aku lagi,
lukai aku lagi," engkau meminta, berulang kali.


:: Gambar dipinjam dari SINI


Tentang Adikku Muhammad Sadli (1)

ADA titik balik dalam diri seseorang. Aku melihat itu beberapa kali terjadi pada dirinya. Pada diri adik kandungku, Muhamad Sadli. Senin (20/7) lalu ia menikahi kekasihnya Septiana Sofa. Dia adik yang meskipun beberapa waktu sempat agak susah kupahami, tapi dia selalu membuat aku bangga, dengan banyak kejutan yang dia ciptakan.


***

AKU berjalan mengikutinya saja malam itu. Malam mulai larut. Kami sudah melewati dua kampung. Lebih dari dua kilometer dari rumah. Lengang sekali. Kecuali sesekali ada suara jengkerik yang ketika berkrik-krik seperti tepat di lubang telinga. Dia tahu aku mengikutinya. Dia lalu tiba-tiba berpaling, menatap ke arahku.

"Ayo, kita pulang," kataku. Dia menangis. Aku tak bertanya apa-apa. Sebentar aku tepuk dan peluk pundaknya. Kami lalu berjalan bersisian, ke arah rumah, ke arah pulang. Ia menceritakan kenapa malam itu ia ingin minggat dari rumah. Cerita yang akan tetap tinggal sebagai rahasia kami.

Waktu itu, dia masih SD. Aku sudah SMA. Kami empat bersaudara. Aku anak kedua. Ali - begitulah kami memanggilnya - lahir sesudahku diselangi Zulhaidir, adikku yang meninggal saat belum genap 40 hari usia hidupnya. Aku dan abangku berselisih tahun ganda. Mudah bagiku mengingat jarak umur aku dan dua adikku. Ketika aku masuk SD, Ali lahir. Ketika Ali masuk SD, Heni Mariani adik perempuan bungsu kami lahir.

Ali lahir saat keluarga kami sudah punya rumah sendiri. Tahun 1978. Saya ingat saat kenduri tasmiyah - ritual religius pemberian nama untuk bayi - Ayah menyiapkan tiga nama: Sazli Rais, Muhamad Sadli, dan Sofyan Hadi.

Kyai Guru yang mencabut satu di antara tiga kertas bertulisan nama-nama itu - begitulah kami mempercayai bahwa itulah nama yang dikehendaki Allah untuk si bayi. Bayi itu, sejak malam itu bernama Muhamad Sadli, itulah nama yang terpilih untuknya.

Aku selalu berusaha menjadi abang yang baik bagi adik-adikku. Rasanya, orang kedua setelah Ibu yang menggendong adik-adikku di rumah adalah aku. Kalau ibu ke kebun, dan aku tidak sekolah maka akulah yang menjaga adik-adikku di rumah. Aku terampil mengganti popok, menceboki, mencuci kain lampin, membuat susu, dan menyuapi adik-adikku makan bubur.

Aku punya banyak jurus jitu supaya mereka betah beberapa jam menunggu sampai Ayah dan Ibu kami pulang nanti tepat di waktu salat Zuhur. Salah satunya, aku punya pertunjukan wayang kertas. Wayangnya aku buat dari karton bekas kotak rokok. Tokohnya macam-macam binatang yang kuberi nama tiga huruf. Ada kucing yang mungkin dulu kuberi nama Si Uki, Si Iku Tikus, Si Ook Ayam, dan berbagai binatang lain.

Layarnya adalah kain putih bekas yang aku pakukan di bingkai kayu. Nah, dengan penerangan lampu teplok maka dari bayang-bayang wayang kertas tadi mengalirlah berbagai cerita yang aku karang sendiri. Di kampung kami, pada tahun-tahun itu belum ada listrik.

Aku juga terampil membuat berbagai macam mainan lain. Kitiran dari kaleng sabun colek merek B29. Topeng-topeng yang kubuat sendiri meniru wajah tokoh film boneka Si Unyil. Dan, ah, rasanya saya tak pernah kehabisan akal untuk membuat betah adik-adikku.

Meski begitu, sesekali saya bisa lengah juga. Ali, misalnya, suatu kali pernah menangkap tabuan, sejenis serangga penyengat besar yang racunnya lebih ganas daripada tawon biasa. "Nyup, nyup!" kata Ali. Maksudnya nyamuk. Tabuan yang terperangkap di kaca depan rumah kami itu pun dia tangkap. Dia menangis melawan nyeri. Bengkak jarinya untuk beberapa waktu.

Tapi, Ali bukanlah anak lelaki yang cengeng. Sejak bayi Ali tidak pernah kurus. Ia bayi yang lahap makan. Gemuk dan jarang sakit. Dalam pertumbuhannya kemudian, dia saya kira beberapa waktu hanya bingung bagaimana menempatkan diri di bawah dua abang lelakinya, Dani dan Aku. Tapi, dari kebingungan itulah dia menemukan pijakan untuk menentukan titik baliknya sendiri.(bersambung)

Tentang Adikku Muhammad Sadli (2)

AKU pernah memukul beberapa orang sepupu karena mereka membuat Ali kecil menangis. Mungkin itulah tindakan paling heroik yang pernah kulakukan untuk membela Ali. Tapi, setelah itu tak banyak lagi yang bisa kulakukan. Ali tumbuh menjadi dirinya sendiri.


***

AKU waktu itu sudah bekerja di Tarakan. Lewat telepon, Ali mengabarkan dia ada di Yogyakarta, cari kuliah di sana. Ada guru SMA-nya yang pindah ke sana. Aku sangat gembira dengan keputusannya itu. Setamat SMA Ali menganggur setahun. Ini pasti ada kaitannya dengan ekonomi orangtua kami yang belum cukup kuat untuk mengongkosi kuliah beberapa orang anak. Aku belum lulus, Dani juga belum bekerja tetap.

Setahun tidak kuliah, aku dengar Ali menjadi pelatih pramuka, bahkan sampai ke Ujungpandang. Aku sebetulnya merasa bersalah. Jangan-jangan ini salahku. Aku tahu Ali sangat suka dengan buku cerita serial Balada Si Roy - Gola Gong yang aku hadiahkan padanya. Juga komik bisu - sama sekali tanpa teks - Gong. Ini komik Jepang. Tokohnya seekor dinosaurus kecil yang bertahan hidup sampai ke zaman modern. Gong, tidak seperti leluhurnya yang punah. Ia dinosaurus cerdas dan bertenaga amat kuat. Gong adalah metafora dari perjuangan mempertahankan diri dan membangun kehidupan.

Belakangan dia mengabadikan kesukaannya pada kedua cerita itu dalam namanya: Ali Gong Shadlle.

Setahun tidak kuliah, Ali memuaskan petualangannya. Membayangkan jadi kedua Gong tokoh idoalnya. Dia suka bercerita padaku bagaimana dia menyemangati kawan-kawannya. Dia melatih teater, membina anak pramuka, bikin perkara macam-macam. Dia melanjutkan apa yang dia lakukan waktu SMA. Saya tahu, mama sangat bangga ketika Ali di SMA. Dia jadi Ketua OSIS, menggairahkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, dia sering dijemput kepala sekolah ke rumah, dan dia juga jadi anggota Paskibra di Kabupaten Kutai Kertanegara.

Dia suka bercerita tentang Rusdi, kawannya yang meninggal dalam masa latihan Paskibraka. Rusdi jatuh saat memanjat tiang bendera. Tiangnya patah. Rusdi tewas di tengah kawan-kawannya. Ali sering mengulang cerita itu. Aku kira perisitiwa-peristiwa itu membuat Ali tumbuh menjadi orang yang dicintai kawan-kawannya. Setahuku, Ali tidak pernah punya musuh. Sejak kecil ia suka mengalah, dan menyelesaikan masalah pertemanan tidak dengan otot.

Ali juga amat peduli pada orangtua. Dialah yang banyak merawat Julak Sata - paman tertua dari pihak Ibu - yang di akhir hayatnya lumpuh sampai beberapa saat kemudian meninggal. Ali yang mengangkat julak ke kamar mandi. Itu mungkin karena, badan Ali besar, paling besar di antara kami. Dia juga paling hitam kulitnya. Sepupu-sepupu kecil kami memanggil Ali dengan panggilan "Gajah".

Oh ya, Ali juga paling kuat makan. Ini meneruskan kecenderungannya sejak bayi itu. Nah, maka hati-hatilah dengan makanan. Nenek kami - tinggal di rumah bersebelahan dengan rumah kami - suka menyembunyikan makanan. "Nanti habis dimakan Ali," kata Nenek.

Tapi, kalau ada makanan yang tak habis, makanan sisa, Nenek selalu mencari-cari Ali. "Mana Ali Si Gajah? Ini ada makanan, sayang sekali tak habis. Kalau ada Ali, tak ada makanan mubazir," kata Nenek. Ali tidak pernah makan hati. Dia hanya tertawa ngakak dan meneruskan kebiasaannya: menghabiskan makanan nenek.

***

Ali mengakhiri petualangannya. Dia akhirnya ikut kata kami. Dia kuliah di Balikpapan. Aku waktu itu sudah lulus kuliah dan mulai bekerja di Balikpapan, jadi reporter di Manuntung (sekarang Kaltim Post). Tapi, kuliah D1 di Balikpapan tak membahagiakan dia. Ali lulus tapi ijazahnya tak pernah dia ambil. Di akhir kuliahnya yang cuma setahun dia berselisih dengan dosen-dosennya, soal majalah kampus. Aku tak tahu persisnya seperti apa. Dia mungkin hanya ingin membahagiakan Ayah dan Ibu. Ali ikut wisuda - mungkin hanya supaya ada juga foto dia pakai toga didampingi Ayah dan Ibu kami.

***

Tiga bulan setelah teleponnya dari Yogya, aku tak dapat kabar lagi. Tiba-tiba saja dia bilang dia kuliah di UMS Solo. Ini kejutan kesekian dari Ali untukku.

Setelah itu, hidup membawa kami ke nasib masing-masing. Aku menikah dengan kekasihku Dhiana Daharimanoza - perempuan amat baik, teman kuliah, yang kubayangkan akan jadi istriku sejak tingkat II kuliah - dan pindah ke Batam.

Beberapa kali Ali minta kirimi uang tambahan kuliah dan sebisanya aku bantu. Dia Solo dia bertahan sebisanya. Ia tinggal di Asrama Kaltim - yang pasti lebih murah - dan sering mengirim kabar tentang macam-macam kegiatan ekstra kuliahnya. Dia bikin naskah teater, menyutradarai pementasan, dan pernah terlibat produksi film.

Dia juga bercerita mulai menjalin hubungan dengan Septiana Sofa yang kelak hubungan itu mereka jaga keberlanjutannya sampai akhirnya mereka menikah. Ali bertahan di Solo lama, karena kemudian adik bungsu kami Heni Mariani menyusulnya, kuliah di sana, di kampus yang sama.

Aku bangga, sekaligus cemas. Kecemasan itu terbukti kelak, Ali berselisih lagi dengan dosen pembimbingnya, dan ia tinggalkan saja kuliahnya yang tinggal skripsi.

***

Kabar tentang rencana pernikahan Ali dan Sofa sudah kuterima jauh hari. Ini titik balik kesekian kali dalam hidup Ali.

Pertanyaan pertama sebagai abangnya: apa dia bisa mencari nafkah untuk keluarganya? Tapi, pertanyaan itu saya simpan saja. Ini hanya pertanyaan orang yang terlalu cemas. Saya sudah sangat percaya, bahwa Ali bisa. Dia selalu punya jalan keluar yang terbaik buat dia, jalan yang orang lain tak terpikirkan. Dia bukan lagi lelaki kecil yang dulu saya harus jaga, saya bela dari gangguan teman-temannya. Ini mungkin hanya melankoli seorang Abang saja.

Aku tak bisa datang ke pernikahan Ali di Pekalongan, kota tempat keluarga istrinya. Ayah dan Ibu, serta Heni Mariani saja yang menghadiri walimah dan resepsi pernikahan itu. Bersamaan dengan hari bahagian itu, Dani - abang sulung kami - juga dianugerahi anak pertama.

Aku bolak-balik menelepon ke Solo dan Samarinda. Dani menikah agak lambat. Dani lewat telepon meminta aku memberi nama buat anak lelaki pertamanya itu. "Nanti kalau orang tanya, siapa yang menamai, jawabnya enak: pamannya, penyair nasional," kata Dani. Aku tertawa terbahak-bahak mendengar alasan Dani, geli sekaligus senang.

Setelah mengusulkan beberapa nama, Dani akhirnya sepakat: Kavi Aunurrafi. "Kalau Kak Dani tak mau pakai nama itu, biar anakku saja tahun depan pakai nama itu," kata Ali. Ha ha ha, di tempat masing-masing: di Pekalongan, Samarinda, Batam, kami tertawa. Mungkin seperti dulu, kami tertawa bersama, di ruang keluarga rumah kami di Sei Raden sana.

Batam, Juli 2009
:: Hadiah perkawinan untuk Muhammad Sadli dan Septiana Sofa.

[FIKSIMINI] Adegan Hujan

JURU kamera sudah siap di belakang kamera. Juru lampu sudah mengatur pencahayaan. Sutradara pun memberi aba-aba, " Action!"

Tiba-tiba hujan turun, lebat sekali. Juru kamera, juru lampu, sutradara pun berlari ke tempat teduh.

"Katanya adegan hujan? Baru saya mau beraksi, eh kok semuanya bubar?" kata Hujan, ia kecewa.

"Bagus," kata Sutradara. Ia memuji akting Hujan tadi. "Ini adegan hujan terbaik yang pernah saya buat," katanya.


[FIKSIMINI] Adegan Memasak

"KITA perlu adegan memasak. Tapi, siapa yang memasak? Adam atau Hawa?" kata sutradara kepada awak produksinya. Mereka sedang membuat film Adam dan Hawa.

"Adam!" kata penulis skenario. "Kenapa dia? tanya sutradara. "Saya kira memang dialah yang punya pemikiran bahwa segala sesuatu yang dipetik Hawa harus dicurigai, setelah kejadian dengan buah khuldi itu," kata si penulis skenario.



[Fiksimini] Adegan Menulis Puisi

DIA memegang telepon pintar itu dengan dua tangannya. Dia menatap telepon pintar itu dengan dua matanya. Dia mengetik puisi pada telepon pintar itu dengan dua ibu jarinya.

"Bagaimana penonton kita nanti bisa yakin bahwa dia tokoh penyair kita itu sedang menulis puisi?" tanya sutradara kita.

"Mungkin kita harus memindahkan lokasi pengambilan gambar ini, wahai, Sutradara!" kata Juru Kamera.

Maka, adegan itupun dipindahkan dari semula di kamar mandi, pindah beberapa tempat yang juga meragukan: sebuah kuburan tua, ruang kedatangan pelabuhan feri, ruang tunggu dokter kandungan.

Si aktor yang berperan sebagai penyair itu menggerutu, "Ah, puisi memang tidak pernah bisa meyakinkan siapa-siapa..."



[Ruang Renung # 239] Lekas Masuk Koran

ADA lagi yang bertanya begitu. Dulu juga itu pertanyaanku. "Bagaimana caranya supaya puisi saya lekas menaklukkan koran?"

Jawabannya sederhana:

1. Engkau harus menulis puisi, terus-menerus. (Tapi engkau bertanya, "kenapa banyak kawan saya yang sepertinya main-main saja bikin puisi tapi puisinya sudah dimuat di mana-mana?)

2. Engkau harus menulis puisi yang bagus, khas, mengejutkan. (Dan engkau bertanya, "kenapa puisi yang dimuat di koran-koran itu sepertinya biasa-biasa saja? kadang juga terasa membosankan tapi kok sajak mereka-mereka itu dimuat terus?)

3. Engkau harus mengirimkan puisi yang kamu tulis itu ke surat kabar yang engkau ingin di sana sajakmu di muat. (Engkau jangan bertanya soal ini)

Mengenai pertanyaanmu yang ada dalam parantesis di atas, saya akan jawab nanti. Tunggu, ya...


Fuchsia




KENAPA aku bayangkan bunga matamu sewarna fuchsia?
Mungkin karena tangis rahasiamu embun airmataku

Kenapa aku bayangkan tangkai waktumu serapuh fuchsia?
Mungkin sebab rindu semata gunting: rawan-genting


Friday, July 24, 2009

Ananda Sukarlan memainkan Sajak Hasan Aspahani "PALESTINA" di depan Presiden dan Wakil Presiden

The President of Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, and the Vice President Jusuf Kalla will attend the world premiere of Cantata no. 2 "LIBERTAS", a new masterpiece by the renowned composer Ananda Sukarlan. "LIBERTAS" is commissioned by Bimasena, and patron of this concert is Dr. Purnomo Yusgiantoro, Minister for Energy and Mineral Resources of Indonesia and Chairman of the Board of Advisors of Bimasena.


The first part of the concert will feature in the first part the maestro Ananda Sukarlan himself playing the piano compositions such as Prelude, op.3 no.2 by Sergei Rachmaninov, Andante from Sonata Pathetique, op. 13 by Ludwig van Beethoven, and Rapsodia Nusantara no .3 by Ananda Sukarlan himself .

The second part will feature Ananda Sukarlan's Cantata no. 2 "LIBERTAS", based on poems on universal freedom and human rights, and its numbers are the following :

Bentangkan sayapmu, Indonesia! - Poem by Ilham Malayu

Palestina - Poem by Hasan Aspahani

The young dead soldiers do not speak - Poem by Archibald MacLeish

I understand the great hearts of heroes - Poem by Walt Whitman

A un poeta muerto - Poem by Luis Cernuda


Requiescat, to those who died fighting for freedom

(for english horn and strings)

Ia telah pergi - Poem by WS Rendra

Kita Ciptakan Kemerdekaan - Poem by Sapardi Djoko Damono

Krawang – Bekasi - Poem by Chairil Anwar


Joseph Kristianto -Baritone Soloist
Institut Teknologi Bandung Choir cond. by Indra Listiyanto
Adelaide Simbolon-Organ, Harianto-English Horn, Neo String Quartet

on: Thursday, 13 August 2009
Time: 19.00 – 22.00 hrs
(Preceded by a light buffet)

Venue: The Grand Ballroom of The Dharmawangsa
Jalan Brawijaya Raya 26, Jakarta Selatan

This concert is also aimed to support the YAYASAN MUSIK SASTRA INDONESIA (Indonesian Classical Music Foundation), a foundation with aims to help young people from low income families, to have access to classical music and learn to play musical instrument. More info about the Foundation can be found at http://www.facebook.com/group.php?gid=63718204240

Admission fee : Member of BIMASENA Rp. 1.000.000,-
(as donation) Public Rp. 1.500.000,-

(Including a light buffet dinner)

BIMASENA, The Mines and Energy Society

Attn. Ms. Hastin / Ms. Eva
Tel: (6221) 725 8668 Fax: (6221) 723 6193
E-mail: bimasena@cbn.net.id

Lima Adegan Cinta yang Biasa Saja

1. SEORANG ibu menyampuli buku-buku anaknya, suatu malam di sebuah rumah. Besok pagi, anaknya mulai sekolah lagi. Ibu itu mengenang dulu, ibunya melakukan hal yang sama. Ibu itu dengan bangga menuliskan nama anaknya di kolom nama buku-buku itu.


2. SEORANG ayah mengajak anaknya sembahyang Jumat. Ketika khotbah anaknya minta izin untuk tidur di pangkuannya. "Nanti kalau salat, bangunkan saya ya, Ayah," kata anaknya.

3. SEORANG suami mencuci setumpuk piring kotor, sebelum dia berangkat kerja, pada suatu pagi. Istrinya saat itu sedang menyiapkan seragam dan buku sekolah untuk anaknya. Dan tidak ada orang lain untuk mengerjakan pekerjaan rumah itu.

4. SEORANG ayah memotong kuku tangan anak perempuannya. "Kamu akan berkurang kecantikanmu, kalau kukumu panjang dan kotor, Nak," katanya pada anak perempuannya, yang tak tahu bahwa sebentar lagi akan dapat menstruasi pertama.

5. SEORANG anak perempuan mengajari adik lelakinya menulis huruf-huruf kecil dengan rapi dan bersih, sehabis salat magrib, sebelum salat isya. Di rumah itu, ada peraturan baru: tak boleh menghidupkan televisi di antara dua waktu salat itu.

Wednesday, July 22, 2009

Ke Remang Kemang

SEBERAPA jauhkah jalan dari hotel ke kafe itu?

Engkau disembunyikan banyak tikungan, aku
kian dekat ke jawaban, pada jangkau tangan.

Seberapa lama waktu dari malam ke pagi itu?

Aku dan jam tangan, bertaruh tentang siapa
tepat meramalkan: kedatangan dan kepergian.

Seberapa remangkah Kemang? Seberapa terang?
Seberapa gamangkah kenang? Seberapa bimbang?

Seberapa telahkah hilang? Seberapa humbalang?



Monday, July 20, 2009

Sajak-sajakku di Kompas (lagi)

Inilah 37 sajak-sajak pendek yang saya kirim ke Kompas dan akhirnya dimuat enam di antaranya:

1. Penjahit, 1

KITA, kain-kain yang luka, menisik
koyak dengan serat-daging sendiri.



2. Penjahit, 2

KITA, sepasang kain, sehelai-setebah, tak berjarum,
tak bergunting. Kita sepasang penjahit belajar tabah

Menyambung tepimu dan sisiku: sebenang-sebenang.


3. Penjahit, 3

KAMI penjahit telanjang. Tak sehelai pun
nama tersandang. Kalian pengerat benang
bermulut gunting, gantung di genting ranting.

Angin beringin kalian sangka menyikut muka,
menikam kiri siku. Ramailah kalian gunjing, gaduh
gemerincing, nyaring, sumbang lonceng sumbing.



4. Pengemudi

PANJANG jalan ini, jauh mengantar
kami ke sampai yang tak Sampai

Yang duduk di sebelah kemudi, Kau,
bersiullah bila sepi mulai jadi Sepi.



5. Pemarut


SEBAB kami yang jerap mesti disantankan
agar kembali ada, apa yang dirampas ampas

Sebab kami yang lama-padat mesti dibutirkan
seperti mendung Kau-parut jadi serbuk hujan.



6. Penoreh

HARI tumbuh: tegak batang getah,
kami para penoreh menadah wadah

O, kenapa yang tertampung darah?



7. Pemetik, 1

Lebat putik hujan berjatuhan
O, sepucuk dikau dipetik awan



8. Pemetik, 2

KALAU sudah teramat rimbun waktu
aku duga itu dari serbuk airmatamu
menempias sejuk ke hutan usiranku

Bagaimana bisa aku memetik bibirmu
dengan gemetar tak sabar di bibirku?



9. Penggali, 1

KAMPUNG kami tak berhenti menangis,
mengair-matai mata sumur-sumur kami

Kami penggali liang: yang lahad, yang hayat,
makin dalam: menemukan hujan yang hakikat.



10. Penggali, 2


SIAPA menggali lubang liar di punggungnya?

Makin runcing, ujung tanduk Waktu, kami
semakin ragu seberapa lama ia tetap jinak



11. Penggali, 3


SUDAH dalam? Kami terjebak di kedangkalan
Sudah malam? Kami tertidur di timbunan-impian



12. Pendayung, 1

LAUTKU mendayungkan perahumu, berlabuhlah
Anginku menujukan ke pelabuhanku, berlayarlah

Malamku memperada kerlip bintangmu, berianglah!



13. Pendayung, 2


AKU pendayung perahu-Mu sungai ke sungai,
masih jauh mata muara: labirin hilir dan hulu

Aku pendayung perahu-Mu pelantar ke pelantar
tak jua terikat tambat: kusut pasang dan surut




14. Pendayung, 3


KAPANKAH, O, kita akhirnya sampai jua
di perahu besar itu, wahai Pendayung?

Danau yang tidur, bermimpi panjang
tentang sepasang penumpang hilang



15. Pendayung, 4

DI pantai, dayung dan perahu
bertukar kata tentang laut yang
mereka dengar seperti selalu
bertanya tentang sesuatu yang
sejak lama ingin ia ketahui.

"Tapi Pendayung itu, kenapa dia
tak pernah mau menjawabnya, ya?



16. Penadah, 1

DI lapak-lapak judi
pasar besar barang bekas ini
waktu dihargai
murah sekali

Para pencuri
datang dengan jam mati.
"Sibuk sekali, Tuan. Sibuk sekali,
tak ada lagi waktu yang bisa kami curi."



17. Penadah, 2

BERAPA kau hargai, Kitab Suci ini?
Di rumah ibadah dan lengah jemaah, ini kucuri.

Tunggu, Tuan. Apakah Tuhan tahu tadi?
Siapa yang seperti mengikuti engkau datang kemari?



18. Penadah, 3

"AKULAH juga pencuri, apa yang kutadah ini," kata penyair itu,
di kepalanya - keranjang besar itu - menumpuk-membusuk kata.

Ia membayangkan lembut rambut akar, dan wangi sari mawar.



19. Penadah, 4

IA temukan hujan di musim tak berjadwal: sebuah pasar gelap.

"Kemarau mencuriku, dan menjual pada si penadah ini," kata
si hujan yang basah dan menggigil itu. Aku tak tahu siapa
yang ia maksudkan, dan berapa harga harus kutebuskan.



20. Pelacak, 1

KAMI, para pelacak, cermat menebak Jejak. Kami,
berdahuluan, siapa lebih cepat menemukan Dikau.



21. Pelacak, 2

KAMI akan saling kehilangan. Setelah sebuah Pertemuan.
Sembunyilah. Semakin letih mencari, kita semakin Kami.



22. Penjerat

DIA menunggu kami terjebak di lengah sendiri,
menyentak, leher mati, sebelum jerat terinjak!



23. Pemburu, 1

AKU pemburu tak berpeluru

di padangmu kau ingin aku
melumpuhkanmu. "Lepaskan,
arahkan apa saja ke tubuhku,"

katamu. Tapi, kau unggas liar,
tak pernah kukenal jeritanmu.

Dan aku pemburu tak berpeluru,

di padangmu kukira akan ada
yang salah membidikkan mata
bilah panah ke dada kiriku.



24. Pemburu, 2

TAK ada bangkai hewan terkapar, kita bergaya,
tak ada senapan dengan sisa asap di mulutnya

Peluru menyesali, ia bikin kosong selongsong

Kita makin hilang, terbuang, padang ke padang
membawa kerangka, sangga bagi tubuh berluka



25. Pemburu, 3

KITA memunguti peluru, melacak jejak sepatu si pemburu
Darah yang menanda arah, darah kita: hewan luka parah



26. Pemburu, 4

SEPERTI ada sebuah peluru, selalu dia mengikutiku.



27. Pemburu, 5

"AKU bukan pemburu," kata si pemburu itu,
dan kita memberinya peluru, lalu ia tembaki
kita, dan di unggun bangkai kita ia berdiri,
hanya untuk meneriaki kita, "Awas, pemburu!"
sambil menunjuk ke sesuatu di kejauhan itu.



28. Pemburu, 6

DENGING panjang telepon. Dan nyaring. Ia abaikan. Tak ada lagi halo.
Ia baru saja pulang berburu. Puas menembakkan peluru ke tubuh sendiri.


29. Perayu

"AKU perayu perahu," kata si gelombang,
bertepuk lepas, angin yang agak malas...

Kita nelayan bimbang, lupa, laut tak lagi
menimang, menepuk lambung lambang...



30. Penjilat

SEPASANG lidah berjuluran di belah-sebelah mata kita!

Mulut kita buta, tersumpal biji-biji mata: termuntah tak,
tertelan pun tak. Berbuah buih di keduanya: mulut+mata!


31. Penjudi

KITA: lembar kartu tak lengkap, dadu tak bermata.

Tak ada lagi pertaruhan. Terlalu besar itu Tangan__
membagi-bagi kita, melempar kita ke nisab nasib.


32. Penyamar

SETELAH jantung dan tubuhmu, Ia ciptakan wajah.

Dua mata yang ingin menangkap dunia, hidung yang
kelak lupa - tak bisa menyimpan aroma surga - dan
mulut yang menyempurnakan penyamaran.

"Jadi?" Ia bertanya. "...maka, jadilah," kata-Nya.
Setelah mengatasi satu-satunya ragu. Ragu-Nya sendiri.


33. Penembang

: iie'

DIKAU sempurna surai suara,
aku cuma bebal tangkup telinga

Sepasang telinga yang membuta

tapi kunikmatkan jua terang cahaya
diterkam tikam, lagumu: seligi tajam


34. Penangis

BANYAK sekali matahari, pada satu hari,
pada satu mata ini. Bahkan, memandang
diriku sendiri pun, tak aku bisa, tak aku
kuasa. Hari menyala, berapi pada mata.

Hari mengering, mengerang mati airmata!


35. Pelupa

TIDUR lama, dan lupa, membebaskan kita dari maut dan tua.

Tapi, kita terkurung sawang, menebal di pintu guha. Tak
terbaca tanda waktu, di tulang anjing dan kerangka kuda.


36. Pencatat


KITA selalu kekurangan huruf. Kata-kata menagih makna ke kita.
Kota mengejar kita. Kota diperdaya huruf yang lari dari kata kita.


37. Pengasah

"INI pisaumu," kata-Mu, menyerahkan sebilah waktu.

Sejak itu, aku mengasahnya di batu leherku, "Tajamkah
sudah?" tanya jantungku, seperti risau, bagai menunggu.

[Ruang Renung # 238] Antologi

MENURUT kamus etimologi kata antologi berasal dari bahasa Yunani "anthos" dan "logia", masing-masing berarti "bunga" dan "kumpulan, atau mengumpulkan".

Dalam Bahasa Indonesia kata itu umumnya diterjemahkan sebagai bunga rampai. Saya kira sebenarnya juga kurang cocok, sebab yang paling pas adalah "rangkaian bunga".

Kata Antologi diambil dari buku "Anthologia". Sebuah buku yang dikompilasi oleh Meleager berisi lebih dari 6.000 sajak pendek, karya lebih dari 300 penyair, dalam rentang satu milenium lebih.

Kalau mau merujuk ke asal kata itu, maka yang disebut Antologi adalah buku kumpulan banyak karya sastra, dari banyak sastrawan, dalam satu bentang waktu.

Dan yang penting lagi, adalah ada seorang atau satu tim yang melakukan kerja besar itu, mengkompilasi, memilih, menentukan mana yang layak masuk mana yang harus dibuang.[]


[Ruang Renung # 237] Apa yang Disediakan Bahasa

BAHASA menyediakan banyak kemungkinan kita mengucapkan sesuatu. Satu hal bisa disampaikan dengan banyak cara. Itu yang menyebabkan puisi mungkin. Itu yang membuat puisi itu menarik. Itu yang kita percaya bahwa bahasa punya potensi estetis.

Penyair yang tak menyadari hal itu, pasti tidak akan pernah bisa merasakan nikmat dan asyiknya menyair. Ia hanya akan sibuk meyakinkan dirinya sendiri, menata diri di depan cermin buram kenyataan, hanya untuk mendengarkan gumaman sendiri: tengok betapa penyairnya diriku.


Jangan Tanya Saya, Tanya Masriadi



Nyoman Masriadi, "Jangan Tanya Saya Tanya Presiden" (2007), 150 x 200 cm.


Tulis Akhir Postingan Anda

Sunday, July 19, 2009

Saturday, July 18, 2009

Sarapan Api

ADA besi basi di daging bakar
sarapan pagi kami hari itu.

Itu daging tuhan disembelih
dengan menyebut nama kami?



Thursday, July 16, 2009

Di Sebuah Kafe di Kemang

: Totot Indrarto


"APAKAH warna Sepi?" kawanku bertanya.

Aku hendak bersuara, tapi didahului
oleh bunyi itu, "bening!" serunya. Ah,
ternyata dia sendiri yang menjawab:
Sepi, sejak tadi ia ada di tengah kami.

Sepi itu lantas menjatuhkan beningnya
ke dalam gelap kopi, dari Mandailing
atau Toraja? Ah, kenapa, jauh sekali
perjalanan keping-keping biji menghindar
Sepi. Toh, di sini itu juga yang ditemui.


*


"Apakah rasa Sepi?" kawanku bertanya.

Aku tak ingin menjawab, menunggu Sepi
itu bersuara sendiri. Dan tak terdengar
apa-apa, kecuali seperti seperih rintih,
sesakit siksa, sepukul pilu. "Sepikah,
itu yang sedang memperdengarkan suara?"

Gelas kosong kami tiba-tiba penuh terisi.

"Tuan tadi memesan seduhan airmatakah?"
tanya pelayan kafe. "Tidak," kata kami.

"Tapi, Sepi tadi yang minta ini disuguhkan,
katanya Tuan ingin tahu apa rasa airmatanya!"

Kami berdua tak juga berani, sekadar
mencicip, mencari tahu rasa Sepi tadi.



Tiga Permintaan untuk Kepala Sekolah

AKU minta pelajaran seni diperbanyak jamnya. Kalau perlu,
menghabiskan 50 persen waktu sekolah. Lalu, seludupkan
saja bahan-bahan pelajaran lain itu di dalam pelajaran seni.
Ilmu tentang anatomi tubuh berikan dalam pelajaran menari.
Teori tentang spektrum warna sisipkan di pelajaran menggambar.
Pelajaran moral dan agama? Pasti lebih mudah kami terima, saat
kami bermain drama. Ah, aku yakin, Bapak. Semua bisa diberikan
dalam pelajaran kesenian, dan kami dengan mudah menerimanya.

Aku minta tak ada kursi dan meja. Juga tak ada ruang kelas, Pak.
Ini seperti mengajari kami tentang penjara, atau birokrasi yang
kelak menjerat kami di kantor-kantor pemerintah yang kami biayai.

AKU minta raport khusus, ya, Bapak. Raport yang tak ada
kolom ranking. Kalau pun ada tolong kosongkan saja, Bapak.
Aku yakin bisa selalu jadi juara kelas. Tapi, apa artinya itu
buatku? Apakah aku bisa membantu murid yang paling bodoh
di kelasku, kalau aku ada di atas peringkat kelas itu?

Tak banyak, Bapak. Terima kasih. Cukup tiga permintaan itu saja.


Tidak Ada Sambungannya!

Tugas Pertama di Sekolah

AKU menulis dua puluh baris namaku. Dua puluh nama yang berbeda-beda. "Ibu Guru, kenapa kita hanya punya satu nama?" tanyaku, sebelum ia memberi nilai salah pada tugas pertamaku itu.

Ibu Guru tak menjawab.

Ia sibuk dengan pertanyaan lain, pertanyaan teman-temanku, pertanyaan yang tidak penting, seperti: besok pakai baju apa, Bu? Besok bukunya sudah dibagikan ya, Bu? Besok masuk kelas jam berapa, Bu?

AKU kira pelajaran pertama yang harusnya diajarkan adalah bagaimana membuat pertanyaan yang baik. Besok, aku harap Ibu Guru memerintahkan kami membuat daftar hal-hal yang ingin kami ketahui. "Anak-anak, Ibu beri PR ya. Tuliskan nama Ayah dan Ibu, serta alamat rumah kalian," kata Ibu Guru sebelum kami pulang.

Ibu Guru memberi aku tugas yang tidak penting.



Monday, July 13, 2009

Hari Kedua Masuk Sekolah

AKU membolos dari kamar kelas. Sembunyi
sepanjang hari di perpustakaan: yaitu - katanya -
aula tempat menyemayamkan banyak mayat, aku tak
percaya, dan selalu betah di sana. Banyak sekali
sahabat-sahabat baik yang mengajak bicara.

Aku sudah pandai menyogok Ibu Penjaga
Buku - pelajaran pertama yang sejak lama
sudah kukuasai maksud dan metodenya:
lakukan sesuatu yang membuat matanya buta,
dan mulutnya terkunci oleh dusta sendiri.

Aku baru akan pulang sekolah nanti di tengah
malam. Setiap hari, kutemukan buku yang
huruf-hurufnya menyala terang: sepanjang jalan
ke rumahku sendiri, aku mengendap-endap
seperti pencuri, dengan halaman buku yang
harus terbuka kubaca. Begitu caranya, agar
aku tak terpeleset atau tersesat, berputar
saja di lapangan sempit upacara hari senja.


Sunday, July 12, 2009

Hari Pertama Masuk Sekolah

AKU nyasar ke komplek kuburan. Guru-guru mati, mengajarkan huruf lewat nama-nama mereka di batu nisan, dan angka-angka kuhafal dari tanggal lahir dan mati. Tak ada tanda-tanda operasi matematika: tambah, kurang, kali bagi dan sama dengan kelak aku tahu dari perkelahian dengan kawan yang suka curang bermain kelereng. Hari itu, aku dapat nilai bagus sekali: tiga benjolan di dahi, lima luka di sekujur kaki, dan tujuh memar di kedua belah tangan.



Picasso, Cat Cathing a Bird. April 1984, cat minyak, kanvas 82x100cm.


[Tadarus Puisi # 35] Tiga Kata Suci Gus tf


Tiga Kata Suci

Sajak Gus tf

aku kini tahu, kenapa "menguap" kata sucimu. Bila
kaubiar getir mendidih, meletup hilang si gugu sedih.

aku kini tahu, kenapa "mengendap" kata sucimu. Bila
kaubakar sekam dendam, tinggal lepah jerami diam.

aku kini tahu, kenapa "meresap" kata sucimu. Bila
kautapis tepuk tepis, menyesap naik si ceguk tangis.


Gus tf mengirimi saya buku terbarunya, "Akar Berpilin" (Gramedia, Juni 2009). Saya langsung suka pada sajak di atas. Buku ini menandai 27 tahun ia menyair, bila dihitung sejak buku pertama "Sangkar Daging" (Grasindo, 1997), yang memuat sajak tahun-tahun 1980-1995). Sebuah perjalanan menyair yang membanggakan, dan pasti juga merisaukan. Gus, dengan ini telah menerbitkan tiga buku. Buku keduanya, "Daging Akar" (Penerbit Kompas) terbit 2007.


Menyair, adalah pekerjaan yang kritis. Ini pekerjaan yang amat mudah melambungkan perasaan, tetapi pada detik berikutnya bisa mendorong jatuh pada perasaan sia-sia. Karena itu amat menarik bila kita memperhatikan bagaimana seorang penyair mempertahankan kepenyairannya. Dengan tiga buku - bukan jumlah yang banyak -, sejumlah penghargaan, dan sajak-sajak yang terjaga kualitasnya, Gus tf telah memberi teladan pada kita.


Gus, menurut saya adalah penyair yang bekerja terutama dengan otak dan kemudian hati. Ia mengandalkan rasio, lalu menyertakan rasa. Khalayak pembaca puisinya mungkin tak luas (saya termasuk orang yang berada di dalam lingkaran sempit itu), sebab sajaknya selalu mengajak dan menantang untuk berpikir. Dan, para pembaca yang doyan pada yang serbainstan tentu saja tak betah dengan ajakan itu.

Saya suka sajaknya di atas, sebab, pada sajak itu dia menurut saya berhasil menyeimbangkan rasio otak dan rasa hati.

Anafora "Aku kini tahu..." - dengan tegas menandai bagaimana sajak ini dimulai dengan pikiran. Ini seperti bilang, bahwa ada pertanyaan lama yang dicari jawabannya. Penyair memikirkan itu, dan akhirnya "dia pun kini tahu"... ada tiga kata suci itu: menguap, mengendap, meresap. Kalimat berikutnya pada masing-masing bait, yang menjelaskan kenapa kata-kata itu adalah kata suci, sepenuhnya adalah penjelasan soal rasa. Saya tak sepenuhnya bisa mencerna dengan rasio tapi seperti bisa meraba dan mengerti dengan hati: ya, kalau getir itu dibiarkan mendidih (dan tentu itu kemudian menguapkan si getir itu), maka sedih pasti akan hilang. Begitulah... (hah)

[FIKSIMINI] Kematian yang Lucu

Syaiful sedang membaca buku "Aku Ini Binatang Jalang" - kumpulan sajak lengkap Chairil Anwar, terbitan Gramedia yang disunting oleh Pamusuk Eneste.

Malaikat Pencabut Nyawa bertanya pada Syaiful, "Itu buku karya penyair yang menulis sajak 'Aku' itu, 'kan?

"Ya, iyalah. Memangnya ada Chairil Anwar yang lain?" kata Syaiful.

"Makanya, saya tanya. He he he. Saya tak akan pernah lupa padanya. Waktu saya mencabut nyawanya dulu, saya sempat merasa ada yang lucu begitu..." kata Malaikat Pencabut Nyawa.

"Terus? Ternyata apa yang lucu?" tanya Syaiful.

"Saya baru tahu, setelah beberapa waktu kemudian membaca baris terakhir sajak 'Aku' yang bunyinya: aku mau hidup seribu tahun lagi.... He he he..." ***


[FIKSIMINI] Tak Ada Pengantar dari Malaikat Pencabut Nyawa

Syaiful baru saja selesai menulis sebuah buku. Judulnya unik: HIDUP SUKSES, MATI PUN SUKSES! Sebelum mengirim ke penerbit, dia ingin Malaikat Pencabut Nyawa memberi semacam kata pengantar atau paling tidak "endorsment" di sampul belakang.

"Saya baca dulu ya," kata Malaikat Pencabut Nyawa sambil membolak-balik naskah buku itu.

"Bagaimana? Sudah ketemu kira-kira Bung akan menulis apa sebagai pengantar?" tanya Syaiful setelah melihat si Malaikat itu seakan-akan sudah menyelesaikan membaca naskah bukunya.

"Wah, maaf, Bung. Berat. Anda tak cukup reputasi untuk menulis buku ini," kata Malaikat Pencabut Nyawa," "Isinya bagus, kelemahannya justru pada Anda sebagai pengarang. Pertama, hidup Anda belum sukses. Kedua, Anda belum mati, bagaimana Anda mau mengajari orang mati dengan sukses?" ***


[FIKSIMINI] Permintaan yang Merusak Reputasi

"Bung," kata Syaiful, "kalau saya menjelang mati nanti, kasih tahu, ya. Sebelumnya, kalau boleh, ajari saya cara mencabut nyawa saya sendiri. Asyik juga rasanya bisa mengakhiri hidup sendiri."

Malaikat Pencabut Nyawa diam, Syaiful terus bicara, "Sesekali Anda istirahat mencabut nyawa orang kan tidak masalah?"

"Bung," kata Malaikat Pencabut Nyawa, "jangan minta macam-macam, deh. Apalagi permintaan yang bisa merusak reputasi saya!"***



Friday, July 10, 2009

[FIKSIMINI] Cara Mengisi Waktu Luang

"KALAU lagi bosan, atau sedang mengisi waktu luang di sela-sela kesibukan, apa yang Anda lakukan, Bung?" tanya Syaiful sok akrab, kepada Malaikat Pencabut Nyawa.

"Saya? Ya, paling-paling cuma baca manual 'Cara Meniupkan Ruh Manusia'. Siapa tahu suatu saat dapat tawaran tugas baru, atau diberi kesempatan alih profesi," kata Malaikat Pencabut Nyawa.***


[FIKSIMINI] Pertanyaan Pertama Malaikat Tentang Manusia

Adam sudah selesai diciptakan. Tuhan tinggal meniupkan ruh untuk menghidupkan dia, jadilah manusia pertama itu. Iblis menolak sujud. Iblis pun terusir dan dikutuk.

Malaikat terdiam, lama menatap pada sosok Adam, manusia pertama yang sebentar lagi dihidupkan.

"Ada apa lagi?" tanya Tuhan pada malaikat, "kamu juga meragukan makhluk baru ciptaanku ini?"

Malaikat lekas menukas, "Oh tidak Tuhan, saya cuma ingin tahu bagaimana saya harus mencabut nyawanya nanti, kalau memang Engkau tugaskan saya untuk melakukan pekerjaan itu..." ***



[FIKSIMINI] Jangan Mati Sebelum Saatnya

"Bung, kemana saja? Saya cari-cari, Anda di sini rupanya," kata nyawa Syaiful kepada Malaikat Pencabut Nyawa.

Si Malaikat heran melihat Syaiful, "Lho, Anda siapa? Mau apa ketemu saya?"

"Sok lupa lagi. Saya ini sudah mati, tahu?" kata Syaiful, "Harusnya Bung yang mencabut nyawa saya. Tapi ini nyawa saya terpisah sendiri!" Terakhir, nyawa Syaiful hanya ingat, ketika dia dan badan Syaiful sedang tancap gas di jembatan Suramadu. Dia mau pulang ke Madura dari Surabaya. Lalu motornya terpental, karena tersandung mur yang lepas dari baut pagar jembatan itu. Badan dan nyawa Syaiful jatuh ke Selat Madura.

Malaikat itu membolak-balik catatan, sambil sesekali melihat ke nyawa Syaiful. "Anda salah. Anda belum saatnya mati. Cepat kembali sana. Tahu jalan kan? Saya tak perlu antar ya..." kata Malaikat itu santai.

***

"Oh, syukurlah, dia masih hidup. Lihat dia bernafas," kata lelaki itu. Syaiful sadar. Badannya basah kuyup. "Tadi, sepertinya dia mati suri," kata lelaki itu kepada kawannya yang sibuk mendayung kapal penuh besi tua. "Anak siapa dia itu? Bikin repot kita saja... " kata si pendayung.

Syaiful berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tapi ia tak bisa mengingat apa-apa.***



[FIKSIMINI] Pertanyaan Paling Lucu

Malaikat Maut terpingkal tertawa-tawa. Baru saja ia mendengar sebuah pertanyaan yang paling lucu yang pernah ditanyakan padanya. "Aduh, lucu sekali pertanyaanmu!" katanya sambil terus tertawa.

Syaiful tak tahu di mana tersembunyi kelucuan pertanyaannya. Dia mengajukan pertanyaan biasa saja: "Bung, dalam Rukun Iman, kami manusia harus percaya pada Malaikat. Apakah dalam Rukun Iman Anda, Anda harus percaya pada manusia juga?"

Sesungguhnya, bagi Syaiful ini pertanyaan sangat serius. Tapi, entahlah, kenapa Malaikat Maut itu tertawa terpingkal-pingkal. ***



[FIKSIMINI] Keluhan Malaikat Pencabut Nyawa

"Bung, lagi banyak order, ya? Boleh tanya-tanya sedikit?" tanya Syaiful kepada Malaikat Pencabut Nyawa.

"Sibuk? Ah tidak juga. Sebenarnya, dalam kondisi normal, saya tidak harus kerja buru-buru, kecuali...." malaikat itu langsung pergi. Menghilang, secepat kilat, sebelum menyelesaikan kalimatnya.

"... huh, katanya tidak sibuk," kata Syaiful kesal.

"...kecuali kalau, seperti tadi," tiba-tiba malaikat tadi sudah muncul lagi, "saya harus pergi buru-buru jadinya," katanya menjelaskan. Tapi, Syaiful belum mengerti juga. "Maksudmu?"

"Ya, seperti tadi. Semua kematian itu sebenarnya terjadwal. Saya tinggal cek jadwalnya. Tapi, kalau ada yang bunuh diri, saya jadi repot. Soalnya mereka memaksa mati sebelum saatnya. Dan itu tidak ada dalam jadwal kerja saya..." ***


[FIKSIMINI] Salah Cabut Nyawa

"Bung, saya kira Anda salah cabut kali ini," kata nyawa Syaiful kepada Malaikat Pencabut Nyawa, "Saya rasanya belum saatnya mati. Kok saya dipisahkan dari tubuh itu?"

"Salah?" tanya malaikat, seperti terkejut, tapi juga seperti gembira. "Ya, salah!" kata Syaiful sebel.

"Akhirnya, setelah sekian ribu tahun menjalani tugas ini, saya bisa juga salah," kata Malaikat itu. "Tuhan, boleh aku ajukan permohonan cuti, kan?" ***



[FIKSIMINI] Cara Mencabut Nyawa

"Bagaimana, sih, caranya mencabut nyawa?" tanya Syaiful kepada malaikat yang hari itu datang padanya. Syaiful mula-mula mengajak malaikat itu mengobrol sambil mengopi dan menjuadah.

"Mau tahu? Mau saya ajari?" kata malaikat. "Boleh," kata Syaiful. Maka, malaikat itu pun langsung mencabut nyawa Syaiful.

"Nah, begitu caranya..." kata Malaikat. Syaiful pun sudah tewas. Badan dan nyawanya terpisah. Malaikat bingung, "Lho, kok mati?" kata malaikat itu.


Wednesday, July 8, 2009

Di Tempat Pemungutan Sunyi

SUNYI sekali di sini. Aku tak mendengar Engkau. Engkau masih betah diam? Aku datang, cuma untuk memungut suaraku sendiri. Engkau, kapan akan memungut aku? Memungut sunyiku?

Sunyi sekali di sini. Aku dan sunyi saling mendengarkan. Aku menyimak lagi sunyi, tapi yang terdengar nyaring justru diriku sendiri. Aku tak bisa juga memungut sunyiku sendiri.

Suaraku, kenapa tak berbunyi? Sunyiku, kenapa lebih nyaring daripada diam Engkau? Ah, aku mungkin harus lebih tekun mendengarkan Engkau. Mendengarkan sunyi dan bunyi Engkau.



Monday, July 6, 2009

Mahabunga

IA bukan bunga tapi ia lebih Bunga!

Ia tak wangi, tak warna, tak goyang
tak petik, tak lebah hinggap padanya

Ia bukan bunga tapi ia paling Bunga!

Ia tak kelopak, tak mahkota, tak putik
tak benang sari, tak menangkai dirinya

Ia bukan bunga tapi ia sangat Bunga!

Ia tak layu, tak luruh, tak kering, tak
jatuh, tak matahari ambil embun darinya

Ia bukan bunga tapi ia sungguh Bunga!




Sunday, July 5, 2009

Pasase Pasir Pasasir

"LEPASKAN aku," katanya pedih, pada padu masa lalu. Ia ingin lekas menyeberang. Sebentar lagi para pengepung datang. Sedangkan ini pantai cuma berpusar pada pasir. Pasang berenang, mengantar sebatang tongkat hilang.

"Tak ada jejakku lagi di situ?" seperti cemas tanya, musakat Musa. Ia tak mau percaya, ia sengapkan saja kata. Sejauh ini ia telah berlari. Hingga laut mati. Jangan-jangan ia ada bersama para pengejar itu juga.

Ia bukan pasasir terusir, tertinggal kapal sekejap mampir. Ada Nuh melintas dan menyapa, "mari sini, naik ke bahtera kami, mau Tuan jadi senawi?" Ah, belum mendarat jua? Bukankah badai itu sudah lama reda?


Friday, July 3, 2009

Tiga Teori Tentang Berakhirnya Sebuah Puisi

PUISI berakhir ketika terlalu banyak kata
berebutan menyebut sebuah peristiwa dan
penyair tak mengendalikan mereka, eh bahkan
ikut juga menyebut-nyebut diri di sana...

Puisi berakhir ketika terlalu kabur makna,
sebab kata-kata terlalu bising, berebut berteriak,
tak terdengar lagi sunyi yang ada di antara
mereka, sunyi yang menjaga kata itu tetap kata...

Puisi berakhir ketika penyair dan kata tak
saling sapa ketika bertemu dalam sebuah peristiwa,
padahal peristiwa itu ingin sekali menyapa keduanya
: dikekalkan dalam makna, oleh penyair dan kata...


Tulis Akhir Postingan Anda