Saturday, June 28, 2008

Keinginan Penghabisan

: Maria Monique



AKU inginkan pesawat pesiar yang besar,
pesawat berbadan lebar, yang membawa
aku dan mama terbang dan singgah dari
bandar ke bandar, menjemput anak-anak
yang menunggu dengan dua mata binar.

Aku inginkan pesawat pesiar yang laju,
membawa mesin pencipta boneka yang lucu,
bukan perangkat rumit dengan kabel dan
selang rumit pemacu jantung yang sakit.

Aku inginkan satu paru-paru tanpa makhluk
bersel satu, para bakteri yang nakal itu.

Aku inginkan tabung oksigen yang besar
dan balon-balon emas bercahaya terang,
memancarlah huruf-huruf namaku dan nama
mamaku, juga serangkai kata syair lagu,
dan kami sekelompok anak bersuara padu,
merdu menyanyi dengan dua mata binar.

Aku inginkan satu jantung, yang setiap
detaknya adalah keajaiban bagi kehidupan.

Aku inginkan sebuah festival keriangan,
empat puluh hari lamanya, dan selama itu
jangan pisahkan aku dari tangan, tangan
yang penuh cinta itu, jangan jauhkan aku
dari mata, mata berlimpah cahaya itu.

Aku inginkan hati yang menengadah tangan
bagi doa para narapidana di sel penjara.

Aku inginkan dada yang luas bagi hirup nafas
kami, anak-anak dengan sinar dua mata binar.

Aku inginkan pangkuan, bagai putih hamparan
ranjang perawatan, ruang-ruang bepermainan.

Aku inginkan seribu tangan, bersama melipat
bangau kertas, membawa kami mengejar pesawat
pesiar besar, ke awan, ke tinggi harapan.

Thursday, June 26, 2008

Close-Reader Club

bila selesai saling baca?

mulutku membaca mulutmu

lebih dekat lagi,
lebih
mendekat
lagi
sehingga
dekat tak terhingga
dan mulutku mengucap mulutmu

mengucap kata satu.

Wednesday, June 18, 2008

MAKLUMAT PINDAH ALAMAT

Ah, taklah sampai saya tega pindah alamat meninggalkan blog ini. Sejak beberapa waktu lalu (saya tak mau mengingat tanggalnya, karena toh blog ini saya tidak akan pernah tinggalkan) semua postingan di sini sudah pindah ke -----> RUMAH <----- baru. Di sana beberapa postingan baru sudah hadir walaupun saya masih juga menambahkan cat di sana sini, menata gambar, memasang lampu, dan menata taman.

Saya cuma ingin para tamu nyaman dan betah ketika bertandang.

Hasan Aspahani

Monday, June 9, 2008

Terbayang Sejumlah Kata Benda
Ketika Menatap Langit Mendung


kapas, kapas, kapas, pipimu, air, air, rambutmu,
angin, hujan, hujan, kabut, angin, angin, kabut,
saputanganku, tanganku, pipimu, air, uap, uapair,

angin, bibirmu, hujan, kapas, bibirmu, matamu,
tanganku, payungmu, air, genangan, saputanganku.

sepatumu, talisepatuku, air, airmatamu, kakimu,
tanganku, saputanganku, angin, pundakmu, angin,

nafasmu, nafasku, hujan, hujan, hujan, angin,
udara, dadamu, tanganku, pipimu, kapas, air,
air, airmatamu, matamu, saputanganku, tanganku,

kapas, kapas, jarum, patahan jarum, ujung jarum,
tanganku, air, air, darah, darah, pipimu, jariku,

angin, angin, jejaksepatu, genangan, air, darah.

Melirik-lirik Lirik (Kepada Tuan Agus Noor - 1)

Bukan Lirisisme Benar yang Mencemaskan Kalbu

Oleh Hasan Aspahani


SAPARDI Djoko Damono telah menyatukan diri dengan lirik pada waktunya yang tepat. Kumpulan Duka-Mu abadi adalah suatu perkembangan baru, pembebasan dan pertemuan kembali - "Nyanyi Sungi Kedua - Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono 1967-1968", Goenawan Mohamad, dalam buku "Setelah Revolusi Tak Ada Lagi".

SENANG sekali mendengar Tuan Agus Noor saat ini sedang menulis esai tentang perpuisisan Indonesia. Setiap upaya menuliskan lagi telaah tentang puisi Indonesia, sejarahnya, pencapaian-pencapaiannya, selalu saya anggap sebagai upaya membuat peta.

Saya ingat pelajaran kartografi saya. Peta dibuat berdasarkan dua hal: pertama peta yang sudah ada, dan kedua survei langsung ke lapangan. Bila peta lama belum ada, atau suatu daerah belum dipetakan maka tak ada cara lain kecuali melakukan pengamatan dan pengukuran di lapangan.

Penyair memerlukan peta itu. Untuk apa? Agar dia bisa melihat wilayah-wilayah mana yang belum dirambah oleh penyair terdahulu. Peta diperlukan agar ia bisa menentukan dari titik mana dia memulai petualangannya sendiri agar tidak mengulang jalan yang sudah ditempuh oleh pendahulunya, dengan sadar atau tidak. Akan buruk sekali bila seorang pendatang baru merasa sudah menemukan jalur pendakian baru, padahal jalur itu sudah bolak-balik ditempuh oleh penjelajah lain.

***

Itulah perkaranya, Tuan Agus Noor. Rasanya, siapapun kini yang hendak memulai petualangan dan penjelajahan itu, tidak pernah menemukan peta yang memadai. Saya mencontohkan diri saya sendiri. Ketika memulai serius ingin berpetualang di dunia puisi ini saya meraba-raba. Saya akhirnya sampai pada keyakinan tidak ada yang pernah sungguh-sungguh memetakan jalur, jalan, gunung, jurang, bahkan kuburan, perpuisian Indonesia.

Banyak butir yang saya setuju pada pengantar Hasif Amin dalam buku Puisi Tak Pernah Pergi - Sajak-sajak Bentara 2003 (Kompas, 2003). Karena saya anggap relevan dengan diskusi ini saya hadirkan saja apa yang saya sarikan sembilan butir dari sana:

1. Perjalanan perpuisian Indonesia sejak abad ke-20, sejak ia mencoba lepas dari tradisi lisan, sesungguhnya tak pernah benar-benar bergerak sebagai sebuah disiplin yang membina dasar-dasarnya sendiri secara kukuh.

2. Hukum tertinggi yang dipeluk erat-erat dan tak dapat diganggu-gugat adalah licentia poetica: hak mutlak penyair untuk menggunakan bahasa sebebas-bebasnya, termasuk menyimpang dari tata pembentukan kata atau kalimat yang lazim bila perlu.

3. Bergantung pada gairah dan bakat (maupun kenaifan) masing-masing penyair, puisi menjadi semacam lahan bebas (bahkan liar) yang tak menyediakan perangkat khusus yang jelas dan memadai menyangkut penciptaannya.

4. Puisi Indonesia berjalan hampir tanpa mengenal prosodi, misalnya disiplin yang mendalami anatomi puisi menurut metrum, ritme, rima itu.

5. Ketiadaan pendalaman atas anatomi puisi, bisa dilihat sebagai hikmah yang mungkin menyelamatkan penyair dari kesibukan berlebih terhadap tetek-bengek yang terlalu teknis dalam merangkai karya.

6. Semenjak sajak bebas muncul pada abad ke-19, metrum menjadi sesuatu yang tampak kian mengekang dan merepotkan dan karenanya disingkiri jauh-jauh.

7. Tanpa metrum, sajak bebas seharusnya melahirkan musiknya sendiri-sendiri. Sajak-sajak bebas yang unggul telah membuktikan hal itu.

8. Tapi tanpa metrum, sajak bebas juga kemungkinan bisa celaka akibat miskinnya latar pemahaman dan penguasaan akan kompleksitas puisi, dan yang lahir adalah sajak yang tak mempertimbangkan kekuatan setiap unsurnya sebagai pembangun sebuah komposisi yang mantap.

9. Puisi yang tak memiliki kesadaran bentuk yang memadai, dan hanya meluncur ringan tanpa beban (selain beban pesan), tapi juga tanpa kekokohan, hanya gairah yang menggebu-gebu tapi bisa tanpa arah.


Bagi saya, Tuan Agus Noor, yang harus dicemaskan adalah butir pertama itu: puisi Indonesia sesungguhnya tak pernah benar-benar bergerak sebagai sebuah disiplin yang membina dasar-dasarnya sendiri secara kukuh. Para penyair terkuat kita adalah seorang pembuat peta dasar yang handal untuk kepenyairannya sendiri. Sapardi seorang sarjana sastra, Chairil seorang pembaca dan dari tulisan-tulisannya kita tahu betapa dia punya pijakan dan bekal peta yang bagus, pun Sutardji, Afrizal, Joko Pinurbo. Jadi imbauan yang produktif sekarang adalah: segera siapkan sebuah peta yang lengkap! Bangun fondasi persajakan yang kukuh! Bukan: Awas, ada bahaya laten lirissime!

Bila lirik dan sajak-sajak liris sekarang dicemaskan oleh banyak orang, termasuk Anda, maka saya kira itu hanya akibat dari apa yang dicemaskan Hasif. Dalam istilah saya: Peta Dasar untuk Penyair Indonesia itu tidak pernah lengkap. Padahal peta itu bisa dibuat dn saya pastikan ia akan sangat membantu agar wilayah-wilayah baru perpuisian Indonesia bisa dibuka.

Penyair yang datang kemudian harus mencari-cari peta sendiri. Saya bisa mencontohkan diri saya sendiri, bagaimana dulu saya memulai petualangan perpuisian saya. Saya meraba-raba, dapat sesobek Sapardi saya melangkah selangkah, dapat sesobek peta lain dari Chairil saya ambil dua tindak, dapat sesobek lain dari Rendra saya terjerembab, dapat selipat peta lain dari Goenawan saya mendaki, dan ketika diberi sebuah peta berskala besar dari Sutardji saya pun merancang jalur pendakian lain. Begitulah saya mungkin masih berputar-putar di sebuah tempat, mungkin juga saya nyasar ke sebuah puncak sendiri, dan pasti saya pernah melintasi jalur yang sudah ditempuh oleh penyair terdahulu itu dengan sadar atau tidak.

Saya tidak mencemaskan lirik, saya tidak mencemaskan sajak-sajak liris. Atau, baiklah, saya bisa juga cemas pada lirisisme itu, tapi mungkin dengan alasan yang berbeda.

Saya memulai obrolan ini dengan mengutip esai Goenawan Mohamad. Kutipan itu menjadi alasan pertama saya untuk tidak cemas (dan nanti juga untuk cemas) pada sajak liris. Kenapa tidak cemas? Karena lirik Sapardi lagi-lagi saya kutip Goenawan - "...penting untuk kita catat bukan saja sebagai bab baru dari Sapardi Djoko Damono, tetapi juga karena merupakan satu tanda pertumbuhan puisi Indonesia yang sedang melepaskan diri dari masa lalunya."

Jangan-jangan para penyair sekarang tidak pernah menyadari bahwa ada masa lalu yang hendak dilepaskan dengan sajak liris Sapardi itu. Yang harus dilakukan adalah menyadari dan menimbang telahkah masa lalu itu sepenuhnya sudah lepas? Dengan demikian telahkah upaya merengkuh yang lirik itu tak beralasan lagi?

Tuan Agus Noor, yang harus dicemaskan sekarang adalah lirik-lirik mutakhir kita tidak lagi suatu "perkembangan baru", bukan lagi sebuah ikhtiar "pembebasan", dan bukan lagi sebuah "pertemuan kembali" dengan sesuatu sebelum "masa lalu" yang dibilang Goenawan tadi. "Masa lalu" itu adalah riuh rendah sastra dan sajak yang tersubordinasi politik.

Mungkin kecemasan itu sama dengan yang disampaikan Fariz RM tehadap musik Indonesia. "Terjerumus dua kali," kata Fariz kepada majalah Rolling Stone Indonesia. Para grup musik baru Indonesia sekarang meyakini bahwa kalau mau sukses tirulah langkah Kangen Band. Maka, bermunculanlah kini Merpati Band, Matta, Vagetos, sampai d'massiv, dll. Di musik orang bisa menyalahkan produser atau selera masyarakat yang sedang buruk.

Di sastra siapa yang harus disalahkan?

Jadi, Tuan, karena tidak pernah menapak pada sebuah dasar yang kukuh, maka penyair kita sekarang mengira sajak itu baru sajak kalau berupa sajak liris. Lebih parah lagi, saya setuju dengan Nirwan Dewanto, yang liris itupun kini berupa lirisisme dengan kord tiga jurus.

Karena tidak ada peta dasar yang lengkap, yang menantang petualangan baru, maka penyair mutakhir kita malas berpetualang. Untuk mempertahankan kepenyairannya dia setor muka, sesekali ikut gerak jalan santai, sesekali ikut bertamasya naik gunung atau jalan-jalan ke pantai ramai-ramai.(bersambung)

Thursday, June 5, 2008

[Tadarus Puisi # 032] Nonton Televisi Rusak

Televisi
Sajak TS Pinang


televisi kami retak kacanya, memar oleh tongkat bendera. membran loudspeakernya koyak sebab bising berita yang tak lelah teriak. ALLAHU AKBAR. kami maha kecil. siapa mengajari televisi kami demikan barbar? mungkin kami lupa mematikannya sebelum mengasingkan diri di bantal tidur di mana kami rajin bermimpi menjadi kanak, selamanya kecil. maha kecil. kami lelah menjadi dewasa, merasa telah besar dan tahu hal-hal yang benar. televisi kami lelah berkabar, ia kini cuma sekotak plastik penuh memar.

televisi kami tak berbunyi lagi. kepalanya terbakar. lalu kami membalutnya dengan kain sprei agar lukanya tak berdarah lagi. maafkan kami, o televisi, kami hanya ingin membalut retakmu yang sembab. televisi kami buatan eropa. setelah kami balut retak lukanya. kini mirip buatan arabia.



UPAYA puisi adalah perkara mengucapkan sesuatu. Sajak di atas adalah contoh yang baik. Siapa yang tak tahu kejadian rusuh di Monas itu? Siapa saja boleh beri pendapat, unjuk sikap, boleh setuju atau membenci. Penyair pun boleh ambil bagian. Tentu dengan caranya: menulliskan sajak. Sajak bagi penyair adalah ucapannya, komentarnya, pendapatnya atas peristiwa yang menarik minatnya atau mengganggu batinnya. Sajak tentu saja boleh diniatkan sebagai komentar atas sebuah peristiwa. Sespontan apapun komentar itu, bila dikerjakan dengan hati, pastilah tampak padanya gurat-gurat permenungan si penyair.

Lantas soal lain adalah bagaimana mengucapkannya. Lagi-lagi sajak ini menunjukkan sebuah upaya mencari dan menemukan cara pengucapan yang baik. Penyairnya tidak menelan mentah, sedikit mengunyah dan memuntahkan lagi peristiwa itu. Penyair kita ini dengan caranya sendiri - dengan perumpaan yang suka saya pakai - mengambil setumpuk serasah daun kasar peristiwa, lalu ketika ia sentuh dedaunan itu jadi semacam kompos. Belum matang memang, tapi kita tidak lagi hanya disodori dedaunan yang tentu saja mengundang tanya: kalau cuma dedaunan ini yang kau sodorkan, hei penyair, aku pun bisa memungutnya di tepi jalanan itu.

Penyair dan syairnya yang telah menunjukkan bahwa dia telah berupaya perlu kita beri harga. Harga yang pantas. []

Tuesday, June 3, 2008

Penyulap Hamburger Penyisih Salju

Sajak Hasan Aspahani


        : Sigit Susanto

DI negeri itu dia bicara dengan dua bahasa, dan
sejuta kata lain yang menyusun tata bahasa baru,
bahasa hatinya. Ia mengetuki pintu buku, dan bila
tak ada sahutan ia akan mengincar jendela.

"Buku itu mungkin memang pintu ke sebuah surga,
tapi yang pasti ia jendela mengintai lorong-lorong
dunia," katanya padaku, lewat telepon tengah malam.

Ada jendela juga di hatinya. Jendela yang ia buka
selebar-lebarnya, dan dari sana terbanglah sebuah
buku ke arahku, buku yang ia tulis dengan bahasa
barunya itu. Katanya, "kalau kakiku tak berjejak di
lorongmu, setidaknya hatiku telah bicara padamu."

Aku tentu mengenali sudah huruf-huruf di bukunya itu.
Dia, si penyulap laparku dengan hamburger porsi besar,
dia si penyisih raguku, seperti menyisih bukit salju.

Monday, June 2, 2008

Di Pasar Buah

Sajak Hasan Aspahani

     anggur. seperti menggigit merah butir-butir darah,
mengalir-menjalar-merambat ke batang lidah.
seperti hijau butir-butir tasbih, bila sebuah tersentuh,
maka sekali nama itu tersebut, adakah nama itu juga
mengalir-menjalar-merambat ke batang lidah?

     jeruk. kepal tangan petinju kecil, memeram permen
manis-masam dalam genggam, ada yang mencair
tumpah ketika dihantamkan pukulan ke lidah,
aku ingin jadi kanak-kanak lagi, berlari-menari-
melompat-memanjat, di kebun, dari pohon ke pohon
berbuah lebat, kubayangkan sebuah ring, di sana
mulut berlidah kering, menyembunyikan taring.

     pisang. menyisir lapar lidah, melepas kelat getah,
selengkung panjang, mengenang tabah batang,
pada kuning yang terang kudengar lagu petani,
berdendang tentang kelelawar sepasang yang
terpaksa terbang saat rumpun itu ditebang.

     mangga. kutimbang juga seberapa panjang penantian,
petani yang menjaga pohon itu sejak menggali
lubang, lalu ia harus patuh pada musimmu, lalu
ia sabar menunggu mekar bunga-bunga kecilmu,
lalu ia girang saat kau mengisi seserat demi seserat
manis dagingmu, setetes demi setetes segar sarimu.

Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (10)

Oleh Hasan Aspahani


10. Dari Pegunungan Chairil ke Galena Nirwan

MARI kita main-main dengan dua sajak berikut ini:

1. Malam di Pegunungan
Sajak Chairil Anwar

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pepohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947



2. Fajar di Galena
Sajak Nirwan Dewanto

Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri, setelah betapa renta ia berupaya menerangi sebatang jarum dalam mimpimu. Berapa lama sudah kau terbangun? Seraya mencari sisa putih mori ke arah rumpun kana, kau berkata kepada sebutir batu gamping di jalan setapak itu. "Dengarlah namaku matahari, aku perawat kuburan di tepi mississipi, maka aku tak akan terkelabui kata-katamu."

(2007)


Membaca sajak Nirwan ini, saya mula-mula harus mencari rujukan tentang Galena. Tanpa tahu apa-apa tentang kata itu, kunci pemaknaan saya tidak terbuka.

Galena ternyata nama kota di Illinois, Amerika Serikat. Saya mulai meraba-raba dari situ. Meraba? Ya, baru sedikit pintu terkuak. Jalan masih gelap. Berbeda dengan sajak Chairil. Ia menyodorkan judul yang mudah dirujuk: "pegunungan". Saya tak perlu memastikan itu pegunungan mana. Dan memang pemaknaan tidak terhambat bila saya tak bisa memastikan itu pegunungan yang mana persisnya.

Baiklah, "Fajar di Galena" dan "Malam di Pegunungan". Fajar dan malam. Keduanya menerangkan waktu yang sama-sama jelas membawa makna apa ke hadapan saya sebagai pembaca.

Nirwan langsung menggedor dengan baris-baris gelap: Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri, setelah betapa renta ia berupaya menerangi jarum dalam mimpimu. Pertanyaan saya: Siapakah kamu si pemilik mimpi itu?

Pasti dia adalah si kamu yang disodori pertanyaan di kalimat berikutnya, "Berapa lama sudah kau terbangun?" Tapi siapa yang bertanya? Tidak tahu saya siapa yang bertanya, tapi si engkau itu ternyata matahari. "Dengarlah namaku matahari...." Pengakuan si matahari itu tidak meyakinkan saya, sebab ia dihadirkan dengan cara yang tak begitu kuat duduknya, tengok:
1. Matahari itu mencari sisa putih mori ke arah rumpun kana (Oke, mungkin maksudnya matahari itu menyinari tanaman).
2. Matahari itu berkata ke arah batu gamping (saya tak tahu kenapa batu gamping di jalan setapak. Apakah karena Galena adalah kota tambang? Apakah batu gamping itu adalah hasil tambang utama di sana?).
3. Matahari itu perawat kuburan di tepi Mississipi (Ya, Galena memang berdekatan dengan sungai Mississipi. Tapi, matahari merawat kuburan?).
4. Matahari itu tak akan terkelabui kata-kata si "kamu"? (Kenapa? Entahlah!).

Cobalah kembali ke bait awal. Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri. Maksudnya? Saya kira ini bisa saya kaitkan dengan fajar di judul. Mungkin itu maksudnya, ketika fajar datang, ketika matahari datang, malam mati. Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri. Malam itu renta, betapa renta, karena berusaha menerangi sebatang jarum dalam mimpimu (kamu si matahari itu?). Aduh, rumit. Ada yang bisa menolong saya pembaca separuh buta itu?

Bagi pembaca yang suka kerumitan mungkin mengasyikkanlah menebak-nebak apa maunya sajak itu. Bagi saya, tidak. Ini sajak melelahkan. Dan saya kesal karena perburuan saya sepertinya sia-sia. Tapi, bukankah Nirwan sudah mewanti-wanti agar pembaca jangan berburu lambang dalam sajaknya?(bersambung)

Sunday, June 1, 2008

Luka Mata

Sajak Hasan Aspahani


AKU akan jadi tua
tebu terunduk,

seseruas batang memanjang,

sebelum datang seorang penebang,
dengan parang tak berlidah,
tak kenal manis atau hambar sepah.

Pada mata luka di ruas usia
ada kusimpan
sesisa nanah dan bau segenggam tanah
seperti rekening di bank syariah,
umur akan selesai kucicil,
setoran tak berbunga.

       Siapa itu menyelumur

bagai lepas daun tebu,
mengering tanpa mengerang

jatuh tanpa teraduh-aduh

lalu batal niat-gatal
si tepung-pupur jamur?


*

YA, aku akan jadi tua
duduk, tunduk,
mengenang pokok tebu
seruas dulu kutanam
jadi serumpun kini memagar lingkar sumur.

Lalu lepas sesarang lebah,
kudengar dengung ramai bagai seregu barongsai,
mencuri nektar dari malai.

Manis. Madu. Menangis. Merdu.
             Manis. Madu. Menangis. Merdu.
                   Manis. Madu. Menangis. Merdu.

Lagu tabah ratu lebahkah sampai pada dengarku?


*

AKU akan jadi tua
dan menggali sendiri lubang panjang membujur,
yang bukan sumur.

Ketika itu lidahku seperti akar tebu
mampu sudah mengecap manis dari sesisa air
yang mengalir
       dari tipis pelipis
             dari alur alis
                   dari damai dahi
                         dan tepi pipi.

Dari luka mata. Mataku sendiri.