Tuesday, February 28, 2012

Ia Menulis di Linimasa

PADA usia ke-40 dan beberapa dentang kemudian,
ia menulis di linimasanya, hidup yang baik telah
memberi satu hal: aku telah mampu untuk lupa.

Lupa, adalah gudang tanpa pintu, dan di situ,
sejumlah peristiwa terperangkap, berhenti,
bersama beberapa nama, dan segenap perannya.

Di gudang itu, tak apa-apa, bila sesekali ia kembali,
misalnya ketika ia perlu satu alasan sangat sepele
mengenang apa saja yang tak memaksa dikenang.

Itu bisa ada pada sepotong foto yang terlipat, lengket
Atau pada jam bekas, berhenti berdetak pada 3.50!

Atau pada tumpukan acak majalah berita mingguan
yang sebagian besar halamannya tak sempat dibaca.

*

PADA usia ke-40 dan beberapa dentang kemudian,
ia menulis di linimasanya, hidup yang baik tetap
memberi satu hal: aku masih mampu untuk ingat.

Itu sebabnya ia masih menulis puisi: yang dengan
caranya ajaib, pada bait-bait selentur kantung karet,
memberi tempat pada segala yang hendak dilupa,
dan segala yang menerus-terus hendak diingat. 

Wednesday, February 22, 2012

[Kolom] Jepit Rambut dan Rantai Jam

O. Henry
 SAYA akan mengisahkan ulang sebuah cerita. Tokoh kita adalah sepasang suami istri yang saling menyayangi. Masih muda. Belum punya anak. Mereka orang biasa dari kalangan orang kebanyakan.

Della, istrinya, perempuan berambut panjang berwarna perak yang indah. Jim, suaminya, orang dari keturunan terpandang, mewarisi rumah, yang karena kesulitan ekonomi, maka satu kamar di rumahnya  itu disewakan. Tapi upaya itu tak seberapa banyak menyumbang pendapatan. Jim sangat bangga dengan satu jam kantong tanpa rantai, warisan dari kakeknya. Ia sangat menyukai jam bermodel klasik itu.



Satu hari menjelang natal, keduanya diam-diam gelisah karena tak punya uang lebih untuk membeli hadiah. Hadiah kejutan, tentu saja. Sebagai pasangan yang saling mencintai, memberi hadiah natal menjadi semacam keharusan.

Apa yang dilakukan Della? Ia menjual rambut panjangnya yang indah itu ke sebuah salon yang membeli rambut untuk wig. Toh nanti akan tumbuh lagi, pikirnya. Dengan uang hasil penjualan rambut itu dia membelikan rantai emas putih untuk suaminya. Ia bayangkan betapa indahnya jam klasik itu dipadukan dengan rantai mengilap-ngilap itu. Jim pasti suka, ia menebak dengan yakin.

Della menyambut kedatangan Jim petang itu dengan senyum penuh rahasia. Kotak hadiah ia serahkan pada Jim. Jim sendiri semula kaget melihat istrinya tak lagi berambut panjang, rambut yang sejak dulu ia sukai. Della mengemukakan alasan yang sama ketika ia menimbang-nimbang hendak menjual rambutnya itu. "Nanti ‘kan tumbuh lagi, sayang," kata Della.

Meski dengan enggan, Jim membuka hadiah yang diberikan istrinya. Ia tampak makin kecewa. "Kamu tidak suka?" tanya Della. Sekali lagi Jim menjawab bahwa dia sangat suka dengan hadiah rantai jam emas putih itu. Della benar-benar mengerti kekecewaan Jim ketika ia membuka hadiah yang diberikan Jim: satu set jepit rambut untuk merapikan rambut yang panjang di bagian samping dan belakang. Hadiah yang sudah lama diidam-idamkan Della.

Sampai di situ, cerita pendek ini sudah amat menyesaki perasaan saya sebagai pembaca. William Sydney Porter si pengarang kita - ya, dia memakai nama samaran O. Henry - memang master untuk cerita pendek dengan akhir penuh kejutan. Kisah-kisahnya, sebagian besar dibangun dengan plot yang berakhir dengan ledakan, kata Arswendo Atmowiloto. 

Kehebatan O. Henry adalah ia menulis cerita dengan tokoh-tokoh orang sederhana, yang ia temui di kota New York, kota di mana ia tinggal, pada awal Abad ke-20.  Tokoh-tokohnya adalah pemain drama yang masih berjuang keras agar terkenal, juru tulis, perempuan tua penjaga rumah sewa, polisi, pelayan, pelukis yang belum punya nama, atau pemain musik idealis yang belum diperhitungkan. Karena itu, ceritanya dekat dengan pembaca.

Cerita demikian hanya lahir dari orang yang dengan tekun mengamati kehidupan orang-orang di sekitarnya, bergaul dengan mereka, mendengarkan kisah mereka.

Sejak kecil, pengarang kita ini amat gemar membaca. Ini memang modal penting seseoang yang ingin menjadi penulis yang baik. Sejak bisa membaca dia sudah membaca terjemahan Kisah Seribu Satu Malam.  Duh, siapakah sekarang yang memperkenalkan bacaan-bacaan bagus seperti kisah klasik itu kepada anak-anaknya?

Ia pernah bekerja sebagai tenaga pembukuan di bank, dan dipecat karena kecerobohannya. Meskipun bisa didakwa dengan kasus penggelapan uang ia tidak dilaporkan polisi, sampai ada audit dan ia pun jadi buronan. Ia lari ke Hundoras bersama istri dan anaknya. Dalam pelarian istrinya sakit, lalu pulang untuk berobat dan berharap kelak menyusulnya lagi. Tapi, nasib berkata lain, istrinya makin parah. Ia punya pirasat istrinya tak akan berumur panjang, ia pun pulang. Ia ditangkap, tapi ia tak menyesal karena sempat menemani istrinya menghadapi ajal.

Di dalam penjara yang harus ia jalani selama lima tahun - karena ia pernah belajar sebagai apoteker - pengarang kita ini bekerja di apotek penjara. Ia meneruskan bakat menulisnya dan di situlah ia mulai menggunakan nama samaran O. Henry, konon itu adalah nama sipir yang ia kenal di penjara.  Sejak itu, namanya melegenda. Bahkan kini di Amerika sebuah penghargaan tahunan diberi nama mengikut seperti namanya, diberikan kepada buku cerita pendek terbaik.

O. Henry, adalah contoh terbaik, dari nasihat bagi siapa saja yang ingin jadi penulis hebat. Nasihat itu adalah: tak ada cara terbaik untuk menjadi penulis hebat, kecuali satu: menulis dan menulislah.  Tahun 1902, ketika tinggal di New York itulah, masa-masa paling produktifnya. Sepanjang tahun itu ia menghasilkan 381 cerita pendek. Angka fantastis. Lebih dari satu cerita per minggu. Ia menulis setidaknya satu tulisan seminggu untuk satu majalah mingguan yaitu New York Sunday Magazine, yang memuat karyanya rutin.

Kita kembali ke Della dan Jim. Memang, ini hanya kisah fiksi, rekaan pengarang kita O. Henry. Tapi, selalu ada hikmat dari cerita semacam itu bukan? Cinta yang kuat, sesederhana apapun itu, diwujudkan dengan cara sederhana misalnya dengan saling memberi hadiah pada hari-hari istimewa ternyata bisa menjadi sangat mengharukan. Keharuan itu, saya yakin akan menambah kadar cinta itu. Hadiah kecil, pada hari istimewa, adalah wujud perhatian, dan cinta membutuhkan itu. Perhatian, wujud dari kepedulian, dan itulah yang menjadi pelumas yang melancarkan produksi di mesin cinta bernama hati kita.

Bagiakah Jim dengan hadiah rantai jam itu? Anda yang sudah pernah membaca ceritanya pasti tahu bagaimana O. Henry dengan amat ‘sadis’ mengaduk-aduk perasaan pembacanya. Tak cukup meledakkan plot dengan memaparkan kisah bahwa Jim ternyata memberi hadiah jepit rambut pada Della istrinya, pengarang kita meninju kesadaran kita dengan satu ledakan lain yang lebih dahsyat. Jepit rambut itu, dibeli oleh Jim, dengan uang hasil penjualan jam antik yang sangat ia banggakan itu. O, ya. Cerpen yang saya kisahkan ulang tadi judulnya 'Hadiah Kejutan'.  Saya membaca versi terjemahannya, buku berjudul "Cinta Yang Hilang", diterbitkan oleh Penerbit Serambi.
 
“Jangan bermimpi jadi cerpenis kalau belum membaca O. Henry,” kata saya di twitter, sambil mencolek Eka Kurniawan, pengarang yang oleh banyak kalangan disebut sebagai penerus Pramudya Ananta Toer.  Eka – yang novelnya Cantik Itu Luka sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa itu menjawab, “kalau boleh menambahkan, baca juga (Anton) Chekov dan (Guy de) Mapaussant.” 

Saya setuju!  O. Henry (1862-1910), di kalangan sastrawan dunia dikenal dengan sebutan Mapaussant (sastrawan Prancis yang disepakati sebagai perintis genre cerita pendek modern) yang lahir di Amerika. []

Tuesday, February 21, 2012

Arief Bakhtiar Mengulas Lelaki yang Dicintai Bidadari

TUAN Rilke barangkali nyasar mengirim surat. Itu menurut Hasan Aspahani.

Tuan Rilke, lengkapnya Rainer Maria Rilke, mengirim sebuah surat untuk Xavier Krappus, di tahun 1903. Tapi surat itu nyasar sampai kampung petani kelapa di Sei Raden, Kalimantan Timur, dan dibaca oleh seorang lulusan sarjana pertanian. Yang kemudian terjadi adalah percakapan.

“Jangan tulis puisi cinta,” tulis Tuan Rilke, ”karena terlalu gampangan dan terlalu biasa”.

Percakapan itu dibalas Hasan Aspahani. Tentu saja Hasan Aspahani, lulusan sarjana pertanian itu, hanya bergurau mengenai surat yang tersasar. Tapi mungkin tak sepenuhnya: ia tak bergurau dengan membuat 79 sajak puisi cinta dalam kumpulan sajak Lelaki yang Dicintai Bidadari yang diterbitkan tahun ini.
 
Selengkapnya baca di sini. 

Wednesday, February 15, 2012

[Kolom] Bersama Pak Bondan: Satu Pagi, Dua Kedai


Gambar diculik dari blog Toekang Loekis Kaos

“KALAU ada waktu dan uang saya mau cari DeGuzman. Saya yakin dia masih hidup,” kata Bondan Winarno, beberapa waktu lalu, sebelum berangkat kembali ke Jakarta.  

 Kami duduk satu meja, berempat. Saya bersama Wakil Pemred Batam Pos Ismeth Syafriadi, dia bersama Wasis Gunarso, kepala suku milis ‘intelijen’ dan ‘informan’ tempat makan enak senusantara, Jalansutra. Wasis kini dipercaya mengelola jaringan restoran Kopitiam Oey milik @Pakbondan (begitulah dia menamai akun twitternya). Pagi itu kami sarapan di dua tempat. Pertama, di Mie Tarempa, Sungai Panas, dan kemudian di Kedai Kopi Harumanis, Nagoya. 

Ya, dia adalah Bondan Winarno, pria kelahiran Surabaya, 29 April 1950, yang kini – tersebab oleh sihir televisi –dikenal orang sebagai orang paling bahagia sedunia, karena tiap minggu tampak selalu sehat, dan bisa jalan-jalan dan makan-makan ke mana saja, asal di sana ada tempat makan enak.  Ya, dia adalah tokoh yang mempopulerkan istilah ‘maknyus’, ‘top markotop’, ‘sip markosip’, atau ‘endang bambang gulindang’ untuk memuji – sekaligus secara tersamar memberi peringkat - kelezatan suatu masakan setelah ia mencicipinya.


Pak Bondan, apa boleh buat, kini amat terkenal sebagai pencicip makanan enak. Tak banyak yang tahu (atau mau tahu) bahwa dia adalah wartawan yang hebat.  Kuliahnya macam-macam, dan tak beres. Ia mulai karir mula-mula menjadi  jurufoto  di Puspen Hankam. Lalu berpindah-pindah ke banyak lembaga penting lainnya, baik sipil, juga militer, namun tak pernah jauh dari ruang lingkup tulis-menulis.  Ia menulis kolom ‘Kiat’ di Majalah Tempo, berisi tulisan pendek berbagai kasus manajemen dari berbagai belahan dunia, ditambah tarikan kesimpulan dan analisis dari sudut pandangnya yang selalu bernas. Kolom itu sempat terbit dalam dua buku kumpulan.

“Waktu itu tak banyak yang mendalami manajemen,” kata Pak Bondan.

 Dalam satu tulisannya di serial ‘Kiat’, misalnya, dia menulis bagaimana seorang pengusaha tambak di Filipina menembus pasar udang Jepang. Yang ia budidayakan adalah udang tiger berkulit hitam. Di Jepang udang ini semula tidak laku, kalah pamor  dengan udang lain yang berkulit putih.  Si pengusaha – seorang wanita – yang punya tambak ribuan hektar di negerinya tak habis akal. Mula-mula di Jepang komoditasnya itu digratiskan. Dia yakin lidah Jepang akan menerima udang hitam itu, karena rasa dagingnya sama enaknya. Kulitnya yang hitam toh akhirnya tak juga dimakan. Soalnya adalah orang Jepang terkenal punya cita-rasa tinggi dalam hal penyajian makanan.

Upaya gigih si pengusaha berhasil, bahkan keadaan berbalik. Udang tiger kemudian menjadi udang yang mahal, dan karena permintaan tinggi, banyak negara menjadi pemasoknya, termasuk Indonesia.  Saya ingat tambak-tambak di Kampung saya nun di pesirir Kalimantan sana dulu ditaburi benur udang Tiger, karena sedemikian menggiurkannya pasar ekspor ke Jepang itu.

“Itu namanya inovasi. Menciptakan pasar,” kata Pak Bondan dalam kolomnya tersebut. Semudah itulah dia menjelaskan bagaimana inovasi dilakukan oleh seorang pengusaha, tanpa mengkhotbahkan teori yang rumit berjela-jela.

Pak Bondan juga pernah tiga tahun memimpin sebuah koran besar di Jakarta. “Hanya tiga tahun. Karena saya memang tak mau lama-lama. Saya hanya membenahi sistem keredaksian. Yang paling susah itu bagaimana mengubah wartawan-wartawan tua yang susah sekali diperbaiki,”  kata lelaki yang usianya sudah melampaui kepala enam - tapi masih sangat sehat - yang pernah menghabiskan masa kanak-kanaknya di Padang. Di tangannya koran tersebut menjadi bercita rasa modern.

Dia kemudian bekerja sebagai konsultan untuk Bank Dunia dan berkantor di Jakarta.  Dengan penghasilan yang besar, seperti dia akui, dan banyak waktu, naluri kewartawanannya terbakar ketika kasus penipuan perusahaan tambang di Kalimantan. Bre-X, perusahaan asal Kanada itu, memalsukan sampel tambang emas, sehingga seolah-olah, di Busang – nun di pedalaman Kalimatan Timur - sana, mereka menemukan lokasi dengan kandungan amat tinggi.  Saham Bre-X kontan naik harga jualnya.  Tapi kemudian diketahui itu hanya akal-akalan, Michael deGuzman, lelaki asal Filipina, yang memimpin perusahaan tambang itu.  DeGuzman bahkan sampai memalsukan kematiannya sendiri. Ia seakan-akan bunuh diri, terjun dari helikopter. Bondan pun melakukan investigasi. Ia masuk hingga ke lokasi tambang, sampai melacak ke makam yang disebut-sebut sebagai makam deGuzman.  Dalam bukunya, Bondan menyimpulkan itu bohong belaka. Ia bahkan harus berurusan dengan gugatan di meja hijau, dengan tuduhan mencemarkan nama baik menteri pertambangan kala itu. Ia dituduh dibiayai pihak asing.

“Di persidangan saya tunjukkan slip pembayaran pajak penghasilan saya yang waktu itu nilainya 120 juta. Itu pajak yang saya bayar. Saya ingin kasih gambaran kepada hakim di sidang tersebut bahwa saya punya uang, dan kalau hanya untuk melakukan liputan sampai ke Filipina waktu itu, kecil sekali buat saya. Dengan begitu saya ingin mementahkan tuduhan bahwa saya dibiayai pihak tertentu,” ujarnya.

“Justru di pengadilan ituah saya mempermalukan menteri pertambangan. Dia menggugat saya dengan pasal pencemaran nama baik, karena di buku saya itu saya sebutkan dia tak pandai berbahasa  Inggris. Di sidang saya minta dia berbicara tentang apa saja yang dia kuasai, satu paragraf saja dalam bahasa Inggris. Ternyata memang tak bisa,” kata Pak Bondan seraya tergelak.  Akhirnya, Pak Bondan divonis bebas.  

Proses sidang itu, menurutnya, menarik untuk dipelajari sebagai contoh bagaimana jika seorang jurnalis berperkara di pengadilan.  Buku liputannya tentang skandal penipuan tambang itupun kini menjadi pelajaran penting bagi pers Indonesia bagaimana sebuah liputan investigasi dilakukan. “Nanti saya kirim bukunya untuk Anda,” kata Pak Bondan berjanji, dan nanti pasti saya tagih.

*
Dengan keterampilan sebagai wartawan handal itulah, saya kira, Pak Bondan bisa menjadi ‘pakar icip-icip’. Ia membekali dirinya dengan pengetahuan tentang sejarah bahan pangan, muatan sosiologis suatu jenis makanan, sampai ke tatakrama pengajian.  Sajian kuliner, di depan seorang Bondan, tak cuma teronggok sebagai benda menarik untuk disantap, tapi ia bisa mengurai cerita panjang dari situ.

Misalnya teh tarik dan nasi ayam Hainan. “Ini  menurut sejarah, adalah kreasi para perantai dari Hainan. Ketika merantau ke selatan, tinggal antara lain di semenanjung Malaysia, dan di pulau-pulau di Indonesia, tak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Melihat orang setempat suka makan ayam dan minum teh dan suka minum yang lemat dan manis, maka mereka menciptakan nasi ayam yang lekas disajikan. Di negeri asal mereka sendiri, menu itu sampai sekarang tak dikenal,” katanya.

Pak Bondan juga yakin bahwa cara menyajikan teh dan kopi dengan saringan kain itu juga kreasi para perantau Hainan.  “Tapi,  kalau mendengar ini orang Aceh bisa marah ke saya, karena menurut mereka itu adalah penemuan mereka,” kata Pak Bondan sambil tertawa.

Di Kedai Harumanis, kami menyantap mie lendir. Melihat ‘barista’ tua – yang meskipun sudah bongkok tapi masih sangat sigap menyajikan minuman - di kedai itu beraksi, Pak Bondan ingin membuktikan sesuatu. Ia dekati si pemilik kedai dan bertanya dari mana asal nenek moyang mereka. Benar! Dari Hainan. 

Satu hal lagi, dengan begitu, Pak Bondan membuktikan, bahwa kemampuan dan kegemaran menulis, ditambah naluri, keterampilan, rasa ingin tahu sebagai jurnalis yang ada dalam dirinya, jika dipakai untuk apa saja bisa membuat segala hal jadi menarik, termasuk soal asal usul makanan, yang bagi sebagian kita asal enak ya langsung saja dimakan. 

Satu hal lagi, Pak Bondan adalah orang yang sangat santun. Dia sangat Jawa dalam hal ini. Saya belajar banyak dari beliau soal yang satu ini.  Di dua kedai tempat kami sarapan pagi itu, ada saja yang menyapa, "Pak Bondan, ya?" Dengan ramah beliau menyambut ukuran tangan, membalas salam dan menjawab, "bukan, saya Tora Sudiro!"***

Tuesday, February 14, 2012

Ayu Utami: Saya Akan Terus Menggugat

Sampul Muka
AYU  Utami menerbitkan karya barunya 'Cerita Cinta Enrico" (KPG, Februari 2012). Ini adalah karya sastranya ke sekian setelah "Saman", "Larung", "Bilangan Fu", "Manjali dan Cakrabirawa", serta satu kumpulan esai "Parasit Lajang". Ayu bukan penulis yang amat produktif, tapi ia ketat menjaga mutu sastra karya-karyanya. Beberapa bukunya sangat laris dan diterjemahkan ke bahasa asing. Bagaimana dia mempertahankan etos kepenulisannya? Saya mewawancarainya untuk blog ini. Berikut hasil tanya jawab dengan penulis yang menggambar sendiri ilustrasi untuk sampul buku terbarunya itu.

HASAN ASPAHANI (HA): Saya lihat, ada hal yang terus Anda lawan dan gugat dalam dan dengan karya-karya Anda: lembaga agama yang kaku, institusi negara yang tak beres, militer yang tak manusiawi, bangunan kultural kita yang tak adil menempatkan wanita dan laki-laki. Sampai kapan anda menggugat dan melawan itu? Merasa lelahkah Anda?
AYU UTAMI (AU): Sampai kapan? Sampai hal-hal itu tidak sewenang-wenang lagi. Jadi, mungkin saya akan terus menggugat sampai akhir hayat. Sebagai manusia, saya kadang lelah, tetapi juga selalu mendapat tenaga baru. Tenaga itu saya dapat dari teman-teman seperjuangan, juga dari harapan bahwa hari
esok harus lebih baik. Sebetulnya, selain mengguggat, ada tiga hal yang tanpa saya sadari di awal selalu muncul dalam tulisan saya: Tuhan, seks, dan irasionalitas. Ini bukan gugatan, tetapi tampaknya tiga hal yang menakjubkan dan menggelisahkan saya karena tidak bisa dijelaskan oleh logika. Baru belakangan saya sadar bahwa ketiganya selalu muncul.

Ayu Utami (Foto dari Toak)




HA: Ketika menulis karya Anda, siapa mereka yang Anda bayangkan membaca karya-karya Anda? Atau Anda tidak peduli?
AU: Pada saat menulis Saman, yang saya bayangkan akan membaca adalah teman-teman dekat sendiri. Setelah itu, saya tidak terlalu peduli betul. Pembaca bisa siapa saja. Tetapi saya juga menimbang kapasitas
pembaca. Misalnya, saya tahu pembaca itu ada kelas kekuatannya seperti olahragawan. Ada orang yang kelas lari marathon, ada yang kelas lari 10km, ada yang cuma 1km itu pun sambil jalan dan tersengal-sengal. Pembaca juga seperti pencicip makanan. Ada yang, seperti anak-anak, sukanya yang gurih dan manis. Ada yang bisa mengapresiasi rasa pahit, asam, dan serat keras seperti daun pepaya. Buku saya berbeda-beda kelas dan jenisnya. Parasit Lajang, misalnya, buat kelas ringan dan manis. Saman dan Manjali, manis. Larung, gelap Bilangan Fu buat kelas berat dan pahit-sepat. Saya ingin pembaca ringan suatu saat bisa naik kelas. Tapi kalau tidak bisa, ya tidak apa.


HA Saya kira Anda adalah paduan bakat yg besar, kerja keras, dan lingkungan yang mendukung. Setelah melahirkan sejumlah karya hebat, apa tantangan Anda menulis saat ini? Apa kesulitan-kesulitan Anda untuk terus berkarya?
AU: Saya merasa kurang waktu untuk menulis. Sebab, saya tidak boleh mengandalkan uang dapur dari novel. Itu berbahaya. Meskipun beberapa buku saya bestseller, saya tetap tidak boleh mengandalkan ekonomi dasar dari sana. Menjadikan novel sumber penghasilan utama akan membuat saya kehilangan kebebasan dalam menulis. Nanti saya hanya berusaha agar buku saya laku, sehingga kompromi dengan selera pasar. Saya ingin jujur dengan pencarian estetik saya. Kejujuran itu ada harganyaa. Jadi, saya harus punya pekerjaan lain untuk mendukung karya saya. Nah, kadang-kadang pekerjaan itu mengurangi waktu berkarya. Kadang, saya juga suka ragu, untuk apa sebetulnya saya menulis. Apalagi ada ribuan judul buku setiap bulan. Tapi, setiap kali keraguan dan rasa sia-sia itu muncul, saya bilang pada diri sendiri:
setidaknya, saya mencoba menulis sebaik mungkin untuk mematok standar kesusastraan Indonesia.


HA: Setahu saya Anda pernah jadi wartawan. Seberapa membantu pengalaman itu dalam kerja Anda sebagai penulis fiksi?
AU: Sangat membantu. Dunia pers mengajari saya disiplin dengan tengat waktu. Dunia pers juga melatih saya melakukan riset dan wawancara--yang sangat penting dalam novel-novel saya.

HA: Seberapa besar karya-karya Anda mengubah diri Anda? Mengubah hidup Anda?
AU: Setelah melihat kembali wawancara-wawancara saya sejak Saman, rupanya memang satu hal yang betul-betul saya inginkan dalam hidup ini: saya ingin jujur. Saya ingin bisa mengemukakan pertanyaan dengan jujur. Tentang apapun. Termasuk tentang Tuhan, agama, lelaki-perempuan, tanah air, orangtua, diri sendiri, apapun. Saya mungkin tidak akan mendapatkan jawaban yang final. Tapi setidaknya saya ingin mengajukan pertanyaan dengan jujur. Karya-karya saya, saya kira, adalah bagian penting dalam proses itu. Artinya, saya merasa proses penulisan itu sendiri mendewasakan saya, selain memberi saya sarana untuk mengajukan pertanyaan dengan jujur sekaligus estetik. Secara finansial, karya saya membantu saya untuk lebih bebas memilih jenis kehidupan saya. Relatif bebas dibanding kebanyakan orang. Saya bisa memilih pekerjaan yang tidak terlalu menyita waktu atau tenggelam dalam rutinitas. Saya bisa memilih untuk tidak semata-mata mencari uang.


HA: Saya yakin karya Anda tak akan lahir tanpa riset. Seberapa ketat Anda melakukan itu untuk karya-karya Anda. Taruh kata Enrico, seberapa lama karya itu ditulis? Berapa lama risetnya?


AU: Semua pakai riset. Sedikitnya wawancara dan riset pustaka. Jika mungkin dengan perjalanan. Masing-masing novel berbeda. Saman ditulis delapan bulan, sambil riset pustaka. Larung tiga tahun, dengan perjalanan juga. Bilangan Fu, dengan riset, perjalanan, dan perombakan cara penulisan berulang-kali, makan waktu empat setengah tahun. Cerita Cinta Enrico hanya saya tulis dalam dua setengah bulan--karena itu kisah nyata yang sudah saya hafal sebagai fragmen-fragmen selama sebelas tahun mengenal Enrico. Tinggal memaknai ulang dan memberi tulang-punggung pada fragmen-fragmen itu. Saya senang novel itu karena Enrico sendiri surprise dan melihat kembali hidupnya dengan kacamata makna yang baru.


HA: Terakhir, soal remeh-temeh, sebagai penulis, Anda punya kebiasaan khusus ketika menulis? Waktu khusus? Suasana khusus?
AU: Jika tidak ada kegiatan lain, saya menulis sepanjang hari. Jika harus rapat dan lain-lain, saya biasanya menulis pagi hari (sekitar jam 6 sd 9), lalu ke kantor atau lainnya, dan menulis lagi sepulang dari urusan itu sampai kira-kira tengah malam. Saya tidak suka begadang, karena saya butuh tidur cukup untuk punya energi. Saya tidak bisa menulis dengan iringan musik. Saya sangat peka dengan musik dan tidak bisa mengabaikannya. Jadi, musik akan mengganggu mood saya. (Jika sedang lari pun saya tidak suka ada musik, sebab musik akan mengubah denyut jantung saya). Saya senang musik tapi mendengarkannya dalam waktu khusus atau sambil menyetir mobil. Setelah beberapa hari menulis terus biasanya saya merasa energi habis. Saya butuh olahraga untuk mengembalikan energi. Olahraga saya minimal lari dua atau tiga kali seminggu. Olahraga membersihkan mood jelek dan memberi tenaga positif. Hal lain yang sangat penting. Untuk menulis saya harus banyak membaca. Anehnya, saya suka membaca sambil berlatih musik. Sekarang saya sedang belajar musik India.***

Sesuatu yang Mungkin Sajak, tapi Itu Pasti Cinta

AKU selalu ingin tahu sekuat apa cintamu padaku, karena dengan kekuatan cintamu itulah, aku kuat menjaga cintaku padamu.

Aku tidak jatuh cinta padamu pada pandang pertama, tapi kaulah yang pertama membuka mataku, mata yang lama kututup dari cinta.

Bukan karena terpandang padamu,dulu, lalu aku jadi cinta padamu. Tapi, karena cinta itulah aku memandangmu, tak henti-hentinya.

Cinta adalah tenaga. Karena itu, engkau adalah kekuatanku. Cintamu adalah jawaban, bagi hidupku yang selalu penuh pertanyaan.

Begitulah cinta kita maknai, cinta yang membebaskan seraya juga saling menjaga. Bukan cinta yang mengekang dan yang berdusta.


Wednesday, February 1, 2012

Sesuatu yang Tak Ingin Kutulis, tapi Kubiarkan Tertuliskan

SEPERTI melihat wajah pada poster besar, presiden yang menang tetapi gagal, dan itu adalah wajah kita sendiri.

Seperti membaca peringatan di layar monitor besar: awas ancaman teroris, lalu wajah-wajah yang diburu, kita seperti becermin di situ.

Seperti pengumuman berulang-ulang, jam penerbangan, pintu masuk ruang menunggu, dan pemberitahuan waktu sembahyang. Kita masih ada waktu.

[Kolom] Yang Terbang dengan Sayap Kepercayaan

SAYA membaca buku Stephen M.R. Covey alias Stephen Covey Jr.  di kursi  27 E Garuda dalam penerbangan nomor GA 151 dari Batam ke Jakarta, Minggu lalu, diiringi lamat-lamat irama lagu-lagu nusantara gubahan Addie M.S. Buku yang sudah diterjemahkan dalam 22 bahasa itu  judulnya  “The Speed of Trust”, adalah buku yang ikut andil menyelamatkan Garuda!

Pada kurun waktu 1995-2005, maskapai penerbangan plat merah itu sama sekali tak punya marwah.  Prestasi keuangannya buruk. Selama dekade itu hanya tiga tahun mencatat laba. Selebihnya tekor. Padahal BUMN penerbangan ini dimanjakan oleh berbagai peraturan pemerintah, misalnya, hanya merekalah yang boleh mengoperasikan pesawat jet. Tapi, reputasinya awut-awutan.  Konsumen menjauh karena pelayanan buruk. Jadwal penerbangan sering telat tanpa pemberitahuan. Intinya adalah: Garuda salah urus dan kehilangan kepercayaan.

 
Ketika ditunjuk menjadi Dirut Garuda pada tahun 2005, Emirsyah Satar pada awalnya menolak. Tapi, Rayuan maut Robby Djohan tak bisa ia tolak. Apa yang dilakukan oleh pria kelahiran Jakarta ini? Ia membeli 200 buku “The Speed of Trust” lalu membagikannya kepada seluruh direksi hingga ke vice president.

Emirsyah – kawan seangkatan Barack Obama di SD Menteng itu -  tahu persis, masalah besar di jajaran manajeman Garuda saat itu adalah krisis kepercayaan. Semua pihak saling mencurigai. Maka berteriaklah Emirsyah! Garuda, ujarnya, tak akan pernah maju kalau orang-orangnya sibuk saling berprasangka. Ketika masalah pokok itu diatasi, maka sisanya adalah catatan prestasi. Sebagaimana burung yang gagah, prestasi  Garuda membubung tinggi. Prestasinya moncer. Sebuah lembaga pemeringkat mutu layanan maskapai penerbangan bergengsi di dunia member ganjaran bintang empat.  Pada tahun 2011 lalu, Garuda membukukan pendapatan Rp25,5 triliun, dengan laba bersih Rp627 miliar. Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika saya bisa memimpin perusahaan dengan laba sebesar itu.

*

Bagaimana Covey Jr. mengulas “trust” atau “kepercayaan” dalam bukunya itu? Inilah hal yang mampu mengubah segalanya, katanya.  Dan ini berlaku sama bagi siapa saja, tim mana saja, organisasi apa saja, bangsa yang mana saja.  Seandainya “kepercayaan” itu hilang, maka apapun yang telah dibangun akan hancur dan runtuh.

“Kepercayaan adalah bagian penting yang membuat pasar bekerja dan dunia berputar,” kata putra dari Stephen Covey penulis buku “7 Habits of Highly Effective People” dalam satu wawancara di majalah Fortune edisi Indonesia.  Covey Jr. menjadi sosok sehebat ayahnya, antara lain juga berkat ia dibesarkan dengan kepercayaan ayahnya.

Inilah yang dengan mudah kita lihat telah dan sedang terjadi di Indonesia.  Bangsa ini terus memelihara kecurigaan. Sulit sekali membangun rasa saling percaya. Orang kaya curiga kepada orang miskin. Orang miskin marah pada yang kaya. Partai melupakan pendukungnya. Rakyat kecewa pada pemerintah. Pemerintah menulikan kuping dari kritik rakyat. Wakil Rakyat yang terhormat berperilaku yang justru menginjak-injak kehormatannya sendiri.  Apa yang dalam garis besar kita sebutkan di atas itu akhirnya mengarah pada satu hal: tidak ada kepercayaan. Itu sebabnya bangsa kita lambat keluar dari masalah-masalah kita.

Bagaimana membangun kepercayaan di tengah kecurigaan yang masih pekat ini? “Caranya sederhana tapi tidak mudah,” kata Covey Jr, “mulailah dari diri kita sendiri.” Ya, Anda betul, Tuan, itu sederhana tapi memang sulit.  Mulailah untuk percaya, maka itu adalah awal kontribusi kita memulai siklus kepercayaan, sebab kepercayaan itu memang timbale balik.

“Ketika kita percaya orang lain, mereka cenderung mempercayai kita pula,” kata Covey Jr.,  “Apa yang dibutuhkan adalah pertama orang, pemimpin dan organisasi yang tahu bagaimana menginspirasi kepercayaan.”

Kedua, bagaimana memperluas kepercayaan dengan cara cerdas di lingkungan yang rendah kepercayaannya. Jika orang lain dapat menerima, maka kita bisa mulai membuat lingkaran kepercayaan, lalu meluaskan lingkaran itu.  “Tapi kita harus cerdas. Para pemimpin terbaik tahu bagaimana tingkat kepercayaan di lingkungannya, dan kapan harus menaruh kepercayaan dan kapan tidak. Dan kita perlu belajar dari mereka,” kata Covey Jr.

Dalam kurun waktu pengalaman saya memimpin organisasi redaksi dan bisnis surat kabar, yang masih seumur semaian jagung, saya membuktikan apa yang dijelaskan oleh Covey Jr.  Satu-satunya alasan yang  bagi saya sendiri bisa menjelaskan kenapa saya diberi amanah untuk memimpin adalah “Kepercayaan”. Si pemberi kepercayaan, percaya saya akan mampu menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan.  Dan itulah yang saya jaga.  Saya harus siap kapan saja kepercayaan itu diambil dari pundak saya.  Tentu saya tahu bahwa ada orang lain juga mencurigai saya, artinya tidak menaruh percaya pada saya.  Sepanjang saya bisa membuktikan – cepat atau lambat - bahwa kecurigaan itu tak berdasar, saya tak peduli.

Saya ingat, ketika SMA kelas satu saya sudah mulai bekerja. Almarhum Ibu saya  waktu itu gembira dan sekaligus cemas. Anak SMA yang bekerja, begitu beliau dengar dari orang,  sudah tahu rasa uang, maka biasanya akan anjlok prestasi akademiknya.  

Saya yakinkan Ibu saya, “kalau nanti nilai-nilai di rapot saya jelek, saya akan berhenti bekerja! Lagi pula uang honor dari kerja saya saya belikan buku dan majalah, tidak saya gunakan untuk hal-hal lain yang tak benar.” 

Saya bisa bertanggung-jawab pada janji itu, dan sejak itu Ibu saya percaya. Kepercayaan itulah yang rasanya memuluskan banyak hal-hal dalam hidup saya berikutnya.

Dalam skala yang amat kecil, saya meneladani Rasulullah. Dua dari tiga sifat seorang Rasulullah adalah “Benar” dan “Terpercaya”.  Keduanya berkaitan sangat erat.  Jika seorang tidak benar dalam berkata-kata dan berperilaku tak mungkin dia dipercaya oleh orang lain. Kita tak akan pernah percaya pada seorang pendusta, bukan?

*
 Covey Jr. menguraikan dalam bukunya bagaimana kepercayaan itu memuat siklus, membesar, sebagaimana ia sebutkan dalam wawancaranya, dan di dalam bukunya ia sebutkan hal itu sebagai metafora “efek berantai”.  “Kuncinya adalah memahami dan belajar bernavigasi dalam apa yang saya sebut sebagai 5 Gelombang Kepercayaan,” katanya.

GELOMBANG PERTAMA:  Kepercayaan Diri.  Ya. Segalanya harus dimulai dari dalam diri sendiri, dimulai dengan mempercayai diri sendiri. Kita percaya bahwa kita mampu menetapkan dan mencapai sasaran, menjaga komitmen, dan yakin bahwa kita mampu menginspirasikan kepercayaan kepada orang lain. Yang terakhir ini penting.  Dalam bahasa Dahlan Iskan, dia tak percaya  pada orang yang “ingin masuk surga sendirian.”

GELOMBANG KEDUA: Kepercayaan dalam Hubungan. Setelah selesai dengan percaya pada diri sendiri, apakah dengan serta-merta orang lain percaya? Tidak! Maka kita harus membuka “rekening kepercayaan” kita pada orang lain, lalu dengan pasti kita memperbesar isi rekening itu. Sebagai mana rekening bank, ini bisa terkuras habis, kalau kita tak cermat membelanjakannya, curang, atau culas.

GELOMBANG KETIGA: Kepercayaan dalam Organisasi. Setelah hubungan antarorang, maka kepercayaan itu harus terbangun di dalam sebuah organisasi, apapun bentuknya, sekecil apapun ukurannya, sependek apapun rentang waktu kerjanya.  Nabi membangun kepercayaan itu pada sebuah umat besar dalam kurun waktu hingga akhir zaman.   Seorang manajer menjaga kepercayaan sepanjang dia masih dipercaya hingga dipromosi (jika rekeningnya meningkat) atau dipecat (jika rekeningnya terkuras habis).

GELOMBANG KEEMPAT:  Kepercayaan Pasar. Dengan satu kata, Covey Jr memadankan tingkat ini sebagai: Reputasi. Contoh paling mudah tentu saja perusahaan barang konsumsi. Apapun jenis barangnya, tanpa kepercayaan pasar, konsumen akan meninggalkannya. Garuda pernah mengalami itu. Ketika jadwal penerbangan tak tentu arah, penumpangpun berpindah ke maskapai lain.

GELOMBANG KELIMA: Kepercayaan Masyarakat. Apa beda pasar “konsumen” dengan masyarakat? Pada akhirnya sebuah bisnis harus mengembalikan apa yang ia peroleh – setelah memberikan kewajibannya pada mereka yang sudah berkontribusi pada bisnis tersebut – kepada masyarakat luas. Siapapun masyarakat itu, yang tentu tak semuanya adalah konsumen pemakai produknya. Dengan cara itu justru kepercayaan akan semakin besar isi rekeningnya.

Seperti Garuda, dengan lima gelombang, kita bisa menumbuhkan sayap kepercayaan di diri kita, lalu terbanglah tinggi dengan sayap kita itu.[]