Sunday, April 5, 2009

Lamunan, Lennon!

PERNAH kutandai mana pintu ke mimpi itu
dengan seletus peluru dan harum mesiu

Sambil menunggu gelap, saat menyelinap,
aku bayangkan, yang tak engkau bayangkan:

Bayangkan, bila tak ada Tuhan. Bayangkan!

Aku tertangkap perangkap: gerah ruh di
rumah tubuh, yang kukira telah lengkap

tak tahu langitkah yang hamburkan hujan?
tak tahu lautkah yang gemetarkan gelombang?

Kuhapus juga apa yang tanda, jauh kujauhi
pintu ke mimpi itu, menjura pada Cahaya!





Cepat, Chaplin!

KADANGKALA --- kurasa --- kau dan aku
bagai dua pelakon dalam film mahabisu

baru saja kita pecat Sutradara itu
kita atur sendiri adegan paling lucu

Misalnya --- aku yang hendak mengukur
hangat mulutmu dengan lidahku

Kau menggeleng tapi kau buka jua mulutmu
Aku tiba-tiba telah beruap keringat di sana

"Cut, cut!" kataku meniru Sutradara kita,
kupikir bisa mengulang adegan jenaka itu.



Semak, Marx!

MALAM itu, engkau seperti orator ulung,
tubuhku mimbar, sarung tilam bergulung

"Bersatulah orang jatuh cinta sedunia!"

Udara kamar sesak, segala sudut bergetar

Menunggu tiap akhir kalimatmu lalu hingar,
tepuk & teriak, bagai ribuan rakyat lapar!

*

Malam itu, engkau juru kampanye partai besar
aku tak lagi mau peduli pada apa ideologi

"Bersatulah orang-orang tolol sedunia!

Kusut remang kamar, segala mengerang,
segala pangkal dan asal tak lagi terlacak

Alamak! Aku terjebak, semak janggut Marx!


Nah, Nietzsche

IA sentuh ubun-ubun engkau dengan kecup embun,
menuntun aku tentang tabiat Kasih dan Kasihan.

Ia belum mati, Ia belum mati, Puan Kasih! Kasihkan!
Bahkan bila ia berkenan, aku mohon nabi perempuan:
Ia utus kau padaku, satu-satunya pembenarmu.

Kekal cium pada engkau, Puan, di punggung lengan.