Friday, July 30, 2010

Ibarat Air di Daun Keladi

AKU daun keladi, kau air. Aku  mungkin bisa membungkus kau,
tapi hanya lewat akar aku bisa meresapkan kau ke dalam aku.

Aku Kaci, kau Cindai. Bersanding tentu kita tak padan. Tapi, bila
kau perkenankan aku mengemasmu, agar kau tak tersentuh debu.

Aku Punguk, kau Bulan. Rinduku tak pernah akan sampai, tapi bila
kau purnama, aku bahagia, kau cipta juga bayanganku di tanah itu.  

Aku Begini, Engkau Begitu

AKU telanjang kaki petani, terlulur lumpur, terbasuh air kali; Engkau adalah silau cahaya, singkap betis bidadari.     

Aku Anjing Pasar, tak melolong karena perut kosong; Engkau meringkuk, manja, Kucing Angora, bahkan mungkin tak tahu apa lapar itu.

Aku rumput gelagah. Tegak memijak, di lumpur basah. Engkau Anggrek Bulan, nun di punjung dahan, kanopi hutan.

Aku  Kelelawar buta, menangkap rahasia suara, menabraki segala gelap. Engkau Kupu-kupu Raja, di sayapmu Tuhan jadi perupa tak bubuhkan nama.

Aku Kecubung, merunduk, ungu murung. Engkau Bunga Matahari: kuning yang terang, menantang arah terang.

Wednesday, July 28, 2010

[KOLOM] “Saya Ikhlas Masuk Neraka,” kata Ciputra

Ir Ciputra

Dengan surga, Tuhan ingin memanjakan kita. Dengan dunia, Tuhan tak ingin kita malas.

DI Hotel Ciputra, Jakarta, pekan lalu, saya bertemu dengan Ciputra. Dia bicara di depan Forum Pemimpin Redaksi Grup Jawa Pos. Dia menghasut kami tentang entrepreunership, suatu kata yang ia rumuskan dengan sederhana sebagai upaya mengubah rongsokan menjadi emas.

 Saya menjadi pemandu diskusi dengannya, pagi itu. Pagi ketika, ia harus mengorbankan kebiasaannya, sehingga hari itu ia harus bangun pagi, agar tak terjebak macet dalam perjalanan dari rumahnya di Bukit Golf, Pondok Indah, menemui kami.

Di panggung rendah kami duduk berdua. Tapi, sofa empuk yang disediakan tak ia duduki. Terlalu rendah tampaknya. Ia tak nyaman duduk dengan menekuk lutut dalam sudut sempit. Ia minta kursi biasa yang lebih tinggi, dan duduk di sana, kakinya bisa selonjor.

“Saya ikhlas masuk neraka. Asal jangan disiksa. Kenapa? Karena banyak yang bisa saya kerjakan di sana,” kata Ciputra. Ini kalimat mengejutkan, secara khusus saya mencatat kalimat itu.



Apa arti kalimat itu? Bagi Ciputra, hidup adalah kerja keras. Ia pernah hidup amat kekurangan. Karena itu ia tak ingin bangsa ini miskin.

Selama dua tahun saat usia enam hingga delapan tahun, ia dititipkan pada tante-tantenya. Ia diperlakukan “kejam”. Ia harus membersihkan tempat ludah, dan mengerjakan hal-hal lain yang berat dan kotor.

Pada saat Ciputra berusia 12 tahun, ayahnya Tjie Siem Poe, ditangkap oleh tentara Jepang, tuduhannya: menjadi mata-mata Belanda, lalu wafat di dalam penjara di Manado. Hanya kabar kematiannya yang sampai, di mana jenazah itu dimakamkan tak pernah diketahui. Ingatan saat ayahnya melambai, dan tangisan ibunya, tak pernah terhapus dari benak Ciputra.

Tanpa kepala keluarga, keluarga itu menghadapi hidup berat. Mereka bertahan hidup dengan hasil dagang kue. Ciputra kecil, mengurus sapi piaraan, sebelum ke sekolah, jalan kaki 7 km. Toko kelontong yang jadi andalan hidup keluarga itu sudah ditutup paksa oleh Jepang, saat sang kepala keluarga diciduk.

Ciputra adalah optimisme. Ia – dengan bahasa sendiri – mengatakan, yakin bisa mengubah penderitaan menjadi kemakmuran. “Untuk menuju ke sana, saya menempuh perjalanan sulit: terjal, berbatu-batu, dan berduri,” katanya.

Ciputra yang akrab disapa dengan nama Pak Ci, lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan.

Setamat SMA, bungsu dari tiga saudara itu merantau ke Jawa. Ini adalah langkah besar yang mengubah kehidupannya. Dengan kerja keras ibunya, ia masuk Jurusan Arsitektur ITB, Bandung. Belum lulus, dia sudah buka biro konsultan arsitektur. Itu harus ia lakukan, karena itulah satu-satunya cara ia bertahan. Sejak tingkat dua, ibunya tak lagi kirim biaya kuliah.

Setelah lulus, ia hijrah ke Jakarta. Tahun itu, 1960, ia setengah menggelandang, bersama istrinya yang sudah ia kenal sejak SMA di Manado, dari losmen murah satu ke losmen lain.

Ciputra tidak mencari kerja. Ia bisa yakinkan Pemerintah DKI untuk membuka perusahaan daerah. Awalnya, PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang kini punya 20 anak perusahaan dan 14.000 karyawan itu, hanya diurus lima orang, termasuk Ciputra yang menjadi direktur, hingga kelak menjadi direktur utamanya. Inilah perusahaan yang berhasil mengubah daerah seram Ancol menjadi kawasan pelancongan kelas dunia.  Lalu, selebihnya adalah sejarah, Ciputra sukses mengembangkan tiga kelompok usaha besar.  

“Saya tak tahu di mana ijazah sarjana saya,” kata Pak Ci. Ia sendiri, menantang lulusan Universitas Ciputra – sekolah yang ia dirikan dan tahun ini akan meluluskan angkatan pertama – untuk melaminating saja ijazah sarjana, membingkainya lalu gantung di dinding. Tak usah dipakai untuk melamar kerja. Jadikan kenang-kenangan saja bahwa mereka pernah kuliah.

“Saya tantang mereka menjadi entrepreuneur,” kata Ciputra. Ini bukan tantangan kosong, sebab si penantang adalah orang yang 50 tahun yang lalu, telah melakukan hal yang sama.

Ada kisah lucu soal ijazah itu. Suatu hari Dian Sumeler, istrinya, menemukan ijazah itu dan mengingatkan Ciputra, betapa itu benar-benar tak pernah dipakai untuk mencari kerja. Bukan ijazah itu hal yang paling penting . “Hal terpenting yang saya dapat dari ITB adalah kreativitas,” katanya. Kreativitas di bidang arsitektur itulah yang melengkapi kemampuannya menjadi entrepreneur. Bukan ijazahnya.

Ciputra yakin, bangsa ini bisa diselamatkan dengan semangat entrepreunership. Ia kerap mengutip David McClelland, suatu yang ia yakini benar bahwa suatu bangsa akan makmur jika mempunyai entrepreneur sedikitnya 2 persen dari jumlah penduduk. Indonesia? Sekarang hanya ada 400 ribu pengusaha yang bisa dikelaskan sebagai entrepreneur, hanya 0,18 persen. Harusnya kita punya 4 juta lebih! Sangat kurang.

Seperti sering diakuinya, ia tak pernah merasa sukses. Ia yakin, jika ia sudah merasa berhasil, maka kreativitas akan mandek. Itulah mungkin penjelasan dari kalimatnya soal surga dan neraka yang saya kutip di atas.

Jika surga ibarat kursi nyaman, duduk menikmati hasil, dan neraka adalah tantangan yang harus dijawab dengan kerja, Ciputra memilih neraka. “Asal jangan disiksa, dan banyak yang bisa saya kerjakan di sama,” kata kakek sembilan cucu itu.

Ya, bagi Ciputra kerja adalah kemuliaan. Bekerja baginya jauh lebih mulia daripada duduk menikmati kenyamanan.  "Bangkitkan kepercayaan. Tidak boleh larut dalam keputusasaan. Inilah pentingnya punya integritas, punya karakter, punya mental juara," kata Ciputra.

Dan etos kerja itu ia tularkan. Ia ajarkan, secara langsung, juga lewat sekolah dan universitas formal. “Kalian adalah cicit murid saya,” katanya.

Chairman Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan - orang yang dengan gagasannya dulu tentang jaringan koran lokal - memungkinkan kami, para pemimin redaksi Koran di grup ini berkumpul di Jakarta, di Hotel Ciputra, di hadapan Ciputra,  pernah berkata begini, “Etos kerja keras itu di Jawa Pos grup ditularkan oleh Eric Samola kepada saya. Pak Eric mendapatkannya dari Ciputra.”

“Kalian adalah entrepreneur. Orang-orang yang berpikir dengan entrepreneurship. Kalau tidak, tak mungkin jaringan koran ini jadi sebesar sekarang,” kata Pak Ci.

Dan itu adalah proses yang terus-menerus dan makan waktu. “Saya mendidik Eric selama sepuluh tahun. Dahlan dididik Eric juga sepuluh tahun,” katanya. []

Friday, July 23, 2010

Teh Limau Setengah Gelas

AKU bernaung dari tangis, kau menuang airmata, manis.

Wajahmu basah hujan, tubuhku resah jalanan. Hatiku
bunga jeruru, tanganmu berdarah, di sepetik situ.


Pada beberapa lepau, di jejak lampau, kita singgah, 
tak bisa menghindar dari saling sanggah; tubuhmu
membantah tubuhku. Luluh. Peluh. Tak tersengguh.

Remuk gagang pintu, aku mengungu, kamar menunggu.

Selalu saja, hanya sisa setengah, teh limau, seduh
bersudah-sudah, di gelas yang hendak segera pecah.

 

Thursday, July 22, 2010

Mempelai yang Tak Pernah Kujelang

Kau yang mengunci sunyiku, kau yang tahu apa yang paling kutakuti: keberanian menumbuhi kau, sebagai benih yang tak akan berbuah padamu.

Ladang itu: hati pagiku, tangan siangku, mata petangku, tubuh malamku. Ladang itu: tugal tangisku, tadah hujan airmataku.

Aku seperti menunggu saat meminang: dengan mahar diri sendiri dan seperangkat hidupku ini. Kau: mempelai yang tak pernah kujelang.

Friday, July 9, 2010

[fotograpuisi] Kanvas yang Sutra, Cat yang Cahaya

 Julie Estelle, foto: Jerry Aurum

DIA kanvas yang sutra, dia cat yang cahaya,
Kau pelukis berkuas bening, lensa yang kaca

Segala seperti mewarna sendiri, sisi komposisi

Penghampar alas jingga, dinding ranum marun

Warna tubuh yang tak akan bisa kita beri nama.

Bibir tak bertabir, tapi seakan ia menahan kata:
sependam rahasia ia kabarkan, bila kala itu tiba
mungkin kau-aku harus waspada pada itu mata.

Tapi, dia kanvas yang sutra, dia cat yang cahaya.

Thursday, July 8, 2010

Semacam Rencana

 Joko Anwar 

Piyu Padi

Julie Estelle

INGIN menyajakkan foto-foto dari buku jepretan fotografer "bermata emas" Jerry Aurum.

Terima Kasih

PAGI yang binar, tawa bayi hari, nafas melati,
terima kasih, engkau tak mengajari, tapi aku
jadi mengerti, cara terbaik memulai hati.

TOPI yang teduh, jalinan daun jatuh,
dahan khuldi yang jauh,  terima kasih,
matahari mengira di kepalaku engkau
tumbuh, memanen cahayanya.

SEPATU yang sabar, sepasang kembar,
putra trubadur akhir dan peharpa
pengembara,  terimakasih, langkah belum
sejuta, jejak rahasia.

KAOS kaki yang baik, telapak tangan
bidadari,  terima kasih, berlubang engkau
karena tajam jariku, karena kejam tumitku.


KAWAN baik, saudara serahim dunia, sedarah
alir udara,  terima kasih, kita seperti taburan
planet-planet, berpegang tangan medan magnet.

SAPUTANGAN yang sejuk, selembar subuh
segiempat, terima kasih, aku tak mengeluh
miang, karena peluh siang.


Wednesday, July 7, 2010

[KOLOM] Beberapa Diktum Demokrasi

INI cuma lintasan pemikiran acak. Saya tentu saja bukan pemikir mahir. Bukan perumus teori yang bagus. Saya kadang suka sok menjadi pengamat, dan tentu saja tidak terlalu cermat. Jadi, jadikan bahan renungan deh, jadikan bahan untuk menilai betapa dangkalnya wawasan saya ini. Jangan terlalu diamini, janji ya?

1. DEMOKRASI beranjak dari rasa tidak percaya. Agama berdasar pada rasa percaya!

Karena kita melihat masalah manusia di depan mata, dan kita tidak percaya pada pemimpin, maka kita memerlukan demokrasi. Itulah sistem yang kita pakai sekarang untuk menjamin bahwa kekuasaan itu bisa dibatasi, dan pemimpin bisa diganti. Agama berangkat dari kepercayaan. Kita percaya Tuhan itu ada, meski kita baru nanti akan berjumpa dengan-Nya di akhirat sana.

2. PARTAI itu anak kandung yang lahir dari rahim demokrasi, tapi merasa merekalah ibu kandung yang melahirkan demokrasi, dan melupakan rakyat.

Partai-partai itu sering lupa bahwa demokrasi itu adalah upaya untuk menata kehidupan bersama mencapai kondisi terbaik yang bisa dicapai. Partai hanya instrumen dan mesin demokrasi. Tapi, si intrumen ini kadang merasa bisa mengubah kerja dan fungsi si mesin itu.

3. DEMOKRASI itu seperti perkawinan. Ada komitmen bersama. Ada pembagian kerja. Ada juga mempelai yang selingkuh dan kasar.

Semua pihak yang terlibat, harus bertekad bersama merawat demokrasi itu agar berjalan menjadi lebih baik, dan membawa semua pihak ke keadaan yang lebih baik. Korupsi dan kolusi itu adalah tindakan kriminal nomor satu dalam demokrasi!

4. ADA beberapa cara mengganti penguasa. Demokrasi bukan cara yang paling sempurna. Tapi, mungkin ini yg paling minim risiko.

Pilihannya apa? Ditunjuk oleh penguasa yang lebih tinggi? Atau kalau di pusat, dengan kudeta bersenjata? Kekuatan desakan rakyat? Atau berbagai sistem utopis yang belum menemukan cara terterapkan untuk mengganti penguasa itu? Jadi, sementara sepertinya memang demokrasi itu cara yang paling minim risiko.

5. TUHAN itu otoriter pada beberapa hal, tapi pada banyak hal, Ia adalah demokrat sejati.

Nasib itu demokratis. Tuhan bebaskan kita "menentukan" sendiri nasib kita dengan kerja keras kita sendiri. Kapan kiamat? Nah, untuk yang satu ini, di sini Dia otoriter! Dalam Al-Quran, banyak ayat yang menegaskan bahwa Tuhan tahu apa yang terbaik buat manusia, dan manusia tidak tahu. Dalam kacamata manusia, ini otoriter, kan?

6. Demokrasi bisa diperalat, jadi kendaraan, jadi kedok.

Pada dasarnya demokrasi itu memang alat, kendaraan dan  kedok. Ia bukan tujuan. Untuk sampai tujuan, kita perlu kendaraan, bukan? Untuk mengerjakan sesuatu, menebang pohon misalnya, kita perlu kapak, bukan? Nah, demokrasi jadi kedok, ketika penguasa lalim, sistem belum memungkinkan, maka demokrasi bergerak dari balik kedok. Prinsip Zorro, namanya.

7.  DEMOKRASI adalah upaya maksimal manusia menata hidupnya sendiri. Kalau itu datang dari Tuhan, ia akan jadi bagian dari agama.

Karena bukan agama, tak ada dosa dalam demokrasi.  Ketika penguasa zalim, itulah saatnya agama bergandengan tangan dengan kepentingan demokrasi. Jadi, keduanya bisa sejalan. Apakah demokrasi bertentangan dengan agama? Bisa begitu. Dan biasanya, agama yang oleh penganutnya dianggap lebih benar daripada demokrasi.
 
8. DEMOKRASI itu seperti merek yang dijual dengan sistem waralaba, dan si pemakai boleh mengutak-atik menyesuaikan sistemnya.

Demokrasi itu seperti sistem standar operasi yang terbuka. Siapa saja boleh memakainya sebagai dasar untuk mengembangkan sistem lain yang lebih baik. Justru demokrasi akan gagal kalau mentah-mentah dicontek. Pasti ada kemungkinan untuk mengutak-atik menjadi lebih sesuai, dan cocok untuk kondisi masyarakat pemakainya. Tapi, keterbukaan itu pula yang membuat demokrasi sering diselewengkan. Nasib....

9. DEMOKRASI itu tidak sempurna. Kalau demokrasi itu dinyatakan sudah sempurna, berarti dia tidak demoratis lagi.

Demokrasi itu gagasan manusia. Bukan gagasan manusia. Kalau manusia menyatakan dia sempurna, maka ia berlebihan. Apalagi buatannya, kalau dinyatakan yang dibuat manusia itu sempurna, maka itu juga kebohongan.

10. DENGAN demokrasi dihasilkan pemimpin terbaik, tercipta aturan terbaik.

Tapi, demokrasi juga membutuhkan kedua hal itu. Kecurangan, akal-akalan, selalu akan terbongkar dalam sebuah sistem penyelenggaraan negara yang demokratis. Semakin menyadari itu, semakin baiklah perilaku pemimpin, semakin demokratis kepemimpinan yang ia jalankan.

11. ALANGKAH demokratisnya, jika presiden dipilih dengan kompetisi seperti piala dunia. Ada babak penyisihan sampai final.

Bisa dicari, apa saja yang dilombakan. Tentu bukan adu otot. Ini adu konsep, dan adu otot. Juga adu kecerdasan emosi, dan kedewasaan sikap. Semuanya harus digelar dengan terbuka. Disiarkan seluruh stasiun televisi. Skornya harus jelas, tak perlu lembaga survei untuk bikin hitung cepat.  Kehebatan sepakbola dibanding politik adalah: di lapangan itu, tak ada pidato jual kecap! Tak ada janji kampanye!

12. KITA perlukan demokrasi, ketika kita harus memilih, tetapi sebenarnya kita tak punya pilihan.

Ini lebih baik daripada ada kekuatan siapapun, dengan senjata atau uang, yang datang, memilih diri sendiri, memaksa kita yang tak memilih dia, menerima dia juga. Ini jauh lebih buruk.

13. DIPLOMASI itu adalah cara berbohong untuk menutupi kebohongan. Demokrasi adalah sistem yang memungkinkan orang berbohong.

Ya, atas nama demokrasi, orang bisa berbohong atau berkata dengan benar. Tanpa demokrasi bisa jadi semua yang dikatakan cuma bohong. Dalam suasana demokratis, kebohongan gampang ketahuan, kok. Percayalah. Yang diperlukan adalah rakyat yang melek bukan antidemorasi, serta cerdas bukan cuai pada politik.***

Tuesday, July 6, 2010

Menari, Mata Tari

KALAU ini adalah perangkap, Tari, di mana kau akan dikeluarkan olehnya?

O, sudahkah untukmu kuucapkan selamat pagi? Di televisi, tak lagi, kulihat
engkau mengabarkan gambarmu sendiri. Juga di iklan, penyejuk ruangan.

Rekaman itu, Tari, seperti seribu tabung 3 kg elpiji, meledak di kepala kami.
"Itu bukan tari," katamu. Itu matahari yang memang selalu telanjang? Sinar
memancar? Di kusut ranjang? Suhu yang didustai oleh penyejuk ruangan?

O, matamu adalah bukan matahari, matamu mata Tari. Mata yang menari?

Kalau ini adalah jerembab, Tari, di mana kau akan dibangunkan olehnya?

Karena Kau! Karena Kau?

KARENA kau berhati api, dan kami kayu bakarmu, kau kirim bensin dalam botol bersumbu, untuk memadamkan keberanian kami?

KARENA kau perwira tinggi, mahir menabung upeti, dan kami babi kotor menabung recehan di celengan mungil, kau bisa bayar diam kami?

KARENA kau punya senjata dan kami beri uang untuk beli peluru, maka kau berhak menodong mulut kami, supaya kami diam karena takut padamu?