Thursday, November 30, 2006

[Sajakanak # 009]

Monster Kering Mengintai dari Balik Pot Bunga

TAHUKAH kamu ada monster jahat yang mengintai dari
balik pot bunga? Monster itu bernama monster kering.
Dia suka mengisap air dari bunga-bunga. Kalau
bunga-bunga kehabisan air diisap oleh monster kering,
maka bunga akan layu dan kalau kau tidak
lekas-lekas membunuh monster itu dengan menyiram dia
dengan air segar maka bunga-bunga akan mati.

TAHUKAH kamu, saya perhatikan ulah monster kering
itu di halaman rumah saya. Di halaman rumah
saya ibu saya menanam banyak sekali bunga.
Ada keladi hias dan alokasia. Ada aglaonema
dan diffenbachia. Ada anturium dan spatifilum.
monster kering mengintai semua jenis bunga-bunga.
Ketika tanah dalam pot kering dia segera saja
masuk ke dalam tanah itu dan menghasut akar.

TAHUKAH kamu, saya rajin menyirami bunga-bunga
milik ibu di halaman rumah kami. Sehari dua kali.
Pagi dan sore. monster kering tak berkutik. Tapi
dia tak pernah mau beranjak dari halaman rumah
kami. Dia mengintai di balik pot dan menunggu
saya lupa menyiram bunga. Tapi, saya tak akan
lupa. Apakah ibumu rajin menanam bunga juga?
Apakah kamu tahu ada monster kering mengintai
di balik pot bunga yang ditanam ibumu?

Wednesday, November 29, 2006

[Sajakanak # 008]

Saya Menggambar Teman-teman Saya

SAYA suka menggambar di sekolah. Saya suka
menggambar teman-teman saya. Teman-teman
saya suka menggambar pemandangan. Saya suka
menggambar teman-teman saya menggambar
pemandangan. Teman-teman saya menggambar
gunung, sawah, rumah, jalan dan tiang listrik.

SAYA menggambar Samsul dan ayahnya yang
suka menebang pohon di gunung, dan gunung
sekarang jadi tak berhutan lagi. Ayah Samsul
sekarang tak menebang pohon lagi. Karena tidak
ada pohon yang bisa ditebang lagi.

SAYA menggambar Marjuki yang bapaknya bekerja
di sawah tapi sawah itu bukan sawah bapaknya lagi
karena digadaikan waktu bapaknya sakit dan bapaknya
tak bisa menebus sawah itu lagi.

SAYA menggambar Arif yang tak punya rumah tapi
dia suka sekali menggambar rumah. Arif juga tak
punya ayah dan ibu. Dia tak tahu siapa ayah dan
ibunya. Dia tinggal di panti bersama anak-anak
yang juga tak tahu siapa ayah dan siapa ibunya.
Arif jarang pulang ke panti. Dia suka tidur di masjid.

SAYA menggambar Usman yang rumahnya jauh
dari sekolah sehingga sejak subuh dia sudah berjalan
agar tidak terlambat waktu sampai ke sekolah. Usman
sering tidak masuk sekolah. Kalau hujan jalan yang
ditempuh usman tergenang, basah dan becek.

SAYA menggambar Sabri yang pernah ke kota
bersama truk ayahnya membawa hasil pertanian
ke kota dan melihat banyak tiang listrik. Di kota, kata
Sabri, juga banyak tiang yang tak ada kabelnya tapi
lampunya bisa menyala. Lampu-lampu itu membuat
kota terang di malam hari. Tidak seperti desa kami.

SAYA suka menggambar di sekolah. Saya suka
menggambar teman-teman saya yang sedang
menggambar di sekolah. Teman-teman saya suka
saya menggambar mereka. "Gambarmu lucu," kata
mereka. Tapi, Pak Guru tak pernah tertawa melihat
teman-teman saya yang ada dalam gambar saya.

[Sajakanak # 006]

Ayah Mengajak Saya Menanam Pisang


BANYAK monyet di kebun kami. Monyet-monyet
mencuri pisang yang ditanam oleh ayah. Pisang
yang disiangi oleh ibu. Monyet-monyet tidak pernah
menanam pisang. Mereka rakus pisang. Mereka juga
merusak pohon pisang. Saya ingin jadi superman.
Saya ingin bisa terbang mengusir monyet-monyet
yang bergantungan di dahan pohon-pohon. Monyet
tidak takut pada aku dan ayah. Soalnya kami tidak
bisa memanjat dan bergantungan di pohon-pohon,
seperti monyet. Ayah, ibu dan saya, kami cuma
keluarga petani yang punya kebun untuk pisang.

SUATU petang lewat para pemburu bersenapan.
Mereka bukan superman. Saya suka melihat senapan
yang mereka sandang. Saya tak boleh menyentuhnya.
Mereka menembaki monyet-monyet yang makan
pisang di kebun kami. Banyak monyet yang mati
tertembak. Kebun kami jadi ladang pembantaian.
Sekarang para pemburu menguasai kebun kami.
Mereka memakan semua pisang yang matang.
Mereka juga memakan monyet-monyet yang
tertembak. Setelah semuanya habis mereka pergi.
Meninggalkan sisa-sisa rumpun tunas pisang. .

"MANA yang lebih kejam monyet atau pemburu?"
saya bertanya pada Ayah. Ayah tidak menjawab.
Dia mengajak saya menanam pisang lagi di kebun
kami. Walaupun saat itu dari hutan yang jauh
terdengar suara bising kawanan babi-babi hutan.

[Sajakanak # 007]

Monster Dingin dan Peri Mimpi


KATA ibu saya anak yang malas mandi pagi. Banyak
alasan bagi saya untuk menghindari mandi pagi.
Tapi, sebenarnya saya bukan anak yang malas
mandi. Di kamar mandi ada monster dingin. Monster
dingin sembunyi dalam air di bak air di kamar mandi.
Saya takut sama monster dingin. Matanya besar.
Besar dan dingin. Tangannya kasar. Kasar dan dingin.
Mulutnya menebarkan salju. Salju yang dingin.
Monster dingin adalah penguasa kamar mandi.
Dia tak suka kalau ada anak yang menikmati
kamar mandinya. Makanya dia takut-takuti saya
dengan dinginnya. Monster dingin takut sama
siang. Karena kalau siang datang maka tangan dan
mata dinginnya tak bisa menakut-nakuti saya lagi.

WAKTU saya kecil ibu suka bikin siang pada pagi
hari dari air panas. Monster dingin takut dengan siang
yang dibikin oleh ibu di bak mandi saya. Saya tidak
takut pada monster dingin yang menguasai kamar
mandi. Saya hanya tidak ingin peri mimpi yang
semalaman bermain dengan saya pergi dari kepala
saya kalau saya bertarung dengan monster dingin
pagi-pagi. Peri mimpi tak suka melihat saya bertarung
dengan monster dingin. Dia akan kembali ke puri
malamnya dan menunggu untuk bertemu saya di sana.

[Sajakanak # 005]

Saya Bercukur Sebelum Sekolah

BESOK saya sekolah. Tadi saya dibawa ayah ke tukang
cukur. Saya harus bercukur. Rambut saya harus rapi.
Supaya otak saya tidak acak-acakan. Supaya mudah
menerima pelajaran. Di sekolah, saya dapat pelajaran
membaca, menulis dan berhitung. Tukang cukur bertanya
apakah saya mulai masuk sekolah? Ayah saya menjawab:
"Ya. Supaya jadi anak yang pintar." Tukang cukur itu
bertanya juga tentang cita-cita saya. Saya tak tahu
apakah cita-cita itu, walau pun seandainya saya tahu
apakah cita-cita itu, saya juga tidak tahu apakah cita-cita
saya. Sama seperti anak-anak lain di kampung saya.

SAYA hanya ingin bisa membaca, berhitung dan menulis.
Supaya hidup kami tidak acak-acakan. Sekolah itu seperti
bercukur. Banyak anak-anak yang juga dibawa oleh ayahnya
untuk bercukur. Mereka besok juga sekolah. Mereka akan
jadi teman sekolah saya. Tukang cukur mencukur rambut
kami dengan model yang sama. Semua ayah punya
keinginan yang sama. Mereka ingin anak-anaknya jadi
anak yang pintar. Apakah sekolah membuat kami nanti
menjadi manusia yang punya fikiran yang sama? Ada
seorang lelaki menunggu giliran juga. Bapak bilang itu
guru yang nanti mengajar saya. Waktu dia dicukur saya
lihat tukung cukur juga mencukur rambutnya dengan
model yang sama dengan model rambut saya.

[Sajakanak # 004]

Saya Suka Berjalan Bersama Sepatu Lampu

AYAH membelikan saya sepatu. Sepatu itu ada lampunya.
Kalau saya berjalan lampunya menyala. Saya memangil
sepatu itu dengan nama sepatu lampu. Warna lampunya
hijau. Lampunya ada empat. Dua di sepatu yang sebelah kiri.
Dua di sepatu yang di kanan. Mereka menyala bergantian.

SAYA senang sekali kalau diajak berjalan-jalan bersama Ayah,
ibu, dan kakak, bersama si sepatu lampu. Saya senang karena
nyala lampu si sepatu lampu membuat orang melihat ke sepatuku.
Saya pernah bertanya kepada sepatu lampu, "kenapa lampumu
menyala?" Sepatu lampu menjawab karena dia punya lampu. Saya
tanya lagi, "kenapa lampunya bisa menyala?" Sepatu lampu
menjawab karena ada baterainya. Saya tanya lagi, "kenapa kalau
saya berjalan baru lampunya menyala?" Karena langkahmu
membuat saklar tertekan dan membuat lampu dan baterainya
tersambung lalu menyala. Saya makin suka berjalan-jalan.

SAYA suka berjalan-jalan bersama sepatu lampu. Sepatu
lampu juga suka berjalan bersama saya. Makanya dia selalu
menyala-nyalakan lampunya kalau saya berjalan bersamanya.

Monday, November 27, 2006

[Sajakanak # 003]

Seorang Anak dan Caranya Minum Susu


SAYA masih minum susu. Pakai botol. Kalau sudah
besar nanti saya minum pakai gelas. Kalau sekarang
minum susu pakai gelas, susunya sering tumpah.
Ibu tak suka melihat ada susu tumpah. Sebab
baju saya jadi kotor. Lantai jadi kotor. Padahal
susu tidak kotor. Tapi susu tempatnya di perut
saya. Susu masuk ke perut saya lewat mulut saya.
Susu tempatnya bukan di lantai dan di baju saya.

KATA ibu susu mahal. Tapi saya harus cepat besar.
Makanya saya harus selalu minum susu. Supaya lekas
besar dan tidak usah minum susu untuk bayi lagi.
Susu itu terbuat dari susu sapi. Makanya mahal.
Saya sering melihat iklan susu di televisi. Iklan
susu yang saya minum pakai botol. Saya tidak ingin
jadi anak yang minum susu dalam iklan itu. Dia
minum susu pakai gelas. Dan tiba-tiba saja,
badannya membesar setelah minum susu segelas.
Saya tak mau besar mendadak. Saya tak mau
kalau tiba-tiba saya tak boleh minum susu lagi.

SAYA ingin melewati masa kanak-kanak dengan enak.
Minum susu pakai gelas itu tidak enak. Saya takut
tersedak. Ayah saya sering tersedak kalau ibu
bilang susu saya habis padahal baru beberapa hari
lalu dia belikan. Saya serba salah. Saya harus
cepat besar dan banyak minum susu, tapi saya
juga tak mau melihat ayah tersedak kalau ibu
mengingatkannya untuk membeli susu buat saya.

[Sajakanak # 002]

Pak Hujan Jualan Hujan di Musim Hujan


PADA musim hujan Pak Hujan sering datang ke rumah
saya. Pak Hujan berjualan hujan. Pak Hujan berjualan
macam-macam hujan. Ada hujan lebat. Ada hujan rintik.
Ada hujan gerimis. Ada hujan badai. Tapi saya tak pernah
beli hujan. Teman saya juga tak pernah beli hujan dari
Pak Hujan. Kalau tidak ada yang membeli hujannya, maka
Pak Hujan menumpahkan saja semua hujan jualannya.

PAK Hujan tidak marah. Soalnya kalau hujannya sampai
ke bumi semua jadi basah. Pak Hujan senang melihat
semuanya basah karena hujannya. Bunga ibu saya di
halaman basah. Jalanan di depan rumah kami basah.
Pohon angsana di tepi sungai basah. Mobil-mobil yang
diparkir juga basah. Kakak juga basah kalau dia pulang
sekolah waktu hujannya Pak Hujan sedang dihujankan.

SAYA suka melihat air hujannya Pak Hujan mengucur
di ujung genteng rumah saya. Saya juga suka melihat
air hujannya Pak Hujan menitik dari ujung-ujung daun
pohon ceri di depan rumah kami. Pohon ceri itu ditanam
ayah waktu ibu melahirkan saya. Pohon ceri itu tumbuh
karena selalu tersirami hujannya Pak Hujan.

TAPI saya tak boleh bermain dengan hujannya Pak Hujan.
Nanti saya demam, kata Ibu saya. Nanti saya mau pesan
hujan khusus dari Pak Hujan. Hujan yang baik hati. Seperti
hati Pak Hujan. Hujan yang tidak membuat saya demam.

[Sajakanak # 001]

Membuat Waktu dari Jam
Tanpa Jarum dan Angka


DI rumah saya ada jam dinding. Seperti di rumahmu
jam di rumah saya punya tiga jarum dan 12 angka. Jarum
yang kurus selalu berdetak mendetikkan waktu. Jarum
panjang suka mengumpulkan 60 detik menjadi semenit.
Lalu jarum pendek menjadikan 60 menit menjadi satu jam.
Saya suka membayangkan ada satu jarum lagi pada
jam di rumah saya itu. Jarum bayangan saya itu bergerak
bebas: searah atau melawan arah tiga jarum lainnya.
Jarum bayangan saya itu juga boleh diam saja atau
mengganggu tiga jarum lainnya. Jarum bayangan saya
itu tidak mau tunduk pada titah waktu di rumah saya.

AYAH suka mencocokkan waktu pada jam tangannya
dengan waktu pada jam di rumah saya. Waktu yang
tidak cocok selalu membuat ayah terburu-buru pergi
dari rumah dan terlambat pulang ke rumah. Saya benci
waktu. Saya tak suka ayah terburu-buru dan terlambat.
Saya mau bikin waktu sendiri. Waktu yang tak perlu
tunduk pada jarum-jarum jam di rumah dan arloji ayah.
Saya ingin bikin waktu dengan jam baru yang tidak
berangka dan berjarum. Saya ingin berikan waktu saya
itu buat ayah supaya dia tak lagi terburu-buru pergi
dan terlambat pulang. Waktu yang saya bikin dengan
jarum jam bayangan saya pada jam di rumah saya.

Friday, November 24, 2006

[Kutipan] Serius?

 Puisi yang serius itu dianggap lelucon? Ah, ini lelucon yang serius!

- Hasan Aspahani,  pemilik situs ini.

[Kutipan] Lelucon

Puisi itu serius. Tapi menganggap puisi itu serius adalah lelucon.

- TS Pinang, pemilik situs Titiknol

Wednesday, November 22, 2006

Sejumlah Tanya Malaikat dari Sejumlah Ayat

                                           : Al-Hijr 28-44


APA yang sedang Dia lakukan dengan segumpal
tanah liat kering dari lumpur hitam itu?

Apakah Dia sedang bermain-main saja atau sedang
sungguh bersungguh?

Dan kenapa tanah yang dibentuk-Nya itu Dia beri
sebut sebagai manusia? Kenapa Dia menyebut
bentuk seperti itu sempurna? Kenapa Dia meniupkan
ruh-Nya dan lihatlah, makhluk itu bernafas dan
kenapa kita diperintahkan untuk menghormat
padanya? Tapi, adakah alasan kita mesti menolak
perintah itu?

Dan kenapa Iblis menolak sujud bersama kita?
Kenapa Iblis menganggap tak pantas baginya
untuk bersujud pada manusia yang dibentuk-Nya
dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang kini
bernafas itu?

Kenapa Dia mengusir dan mengutuk iblis lalu Ia
menangguhkan siksa hingga akhir masa?

Kenapa Dia percaya manusia tak akan tersesat
oleh goda iblis? Kenapa iblis menyebut sekelompok
"kecuali" di antara manusia yang tak akan pernah
mengaburkan batas antara maksiat dan taat?

Kenapa Dia berkata akan menjaga manusia tetap
di lurus jalan-Nya? Kenapa Dia seperti memberi
isyarat bahwa akan ada juga manusia yang terjerat
goda, yang tersesat juga?

Dan neraka, dan neraka, dan neraka kenapa sejak
dini sejak kini telah diancamkan sebagai imbal siksa
sedang kita kini berada di nikmat surga?

Dan tujuh pintu ke sana itu, ke neraka itu, kenapa
Ia buka pula sejak pertaruhan itu bermula?


Catatan:
Secara acak saya membuka Al-Quran, selepas Isya, semalam. Yang terbentang adalah Surat Al-Hijr ayat 14. Saya berusaha untuk tidak menganggap ini sebagai kebetulan. Saya berusaha untuk tidak heran. Ayat itu adalah ayat pertama yang menjelaskan tentang penciptakan manusia. Saya membaca terus sampai ayat 28. Ayat-ayat yang menjadi awal dari banyak hal untuk manusia: iblis terkutuk, iblis meminta penundaan azab, malaikat yang taat, dan ah betapa yakinnya Dia pada ketaatan manusia, mahluk baru yang baru saja Dia ciptakan. Saya kira banyak penyair juga risau dengan tema ini. Ah, jangan-jangan ada yang salah dari apa yang saya renungkan selama ini? Saya mau beristigfar.

Monday, November 20, 2006

[Ruang Renung # 172] Akibat Kata, Akibat Silat

TIAP kata yang kita pilih untuk puisi kita membawa akibat sendiri pada puisi yang kita tulis. Akibat-akibat itulah yang harus kita pertimbangkan, kita permainkan, kita maksimalkan. Kumpulan akibat dari setiap kata merupakan akibat puisi. Kita harus sampai pada puisi yang berhasil yaitu puisi yang berakibat hebat pada pembaca. Pembaca itu, termasuklah diri kita sendiri.

BERPUISI dengan kata lain adalah memainkan serangkaian jurus-jurus silat akibat. Pada kita sendiri, sebagai pesilat, mengamalkan jurus-jurus silat itu mengakibatkan jiwa kita jadi tambah sehat, rasa kita terkendali, dan setiap laku di luar puisi bisa dijalani dengan sadar yang penuh. Termasuk sadar pada setiap akibat dari apa saja yang kita perbuat.

Sunday, November 19, 2006

[Ruang Renung # 171] Mendekati Kebenaran

MENULIS puisi bukan sekadar berindah-indah dengan tubuh bahasa. Bukan hanya memolek-molekkan wajah ucapan dengan kata-kata bercahaya. Yang juga penting adalah jiwa atau apa yang hendak diucapkan dan ditubuhkan itu. Jiwa puisi itu juga harus indah dan bercahaya. Ia harus mengandung sesuatu yang bisa membuat pembaca tertunduk, merenung, mengingat diri sendiri. Ia harus menggugah. Ia harus menawarkan sesuatu yang bernilai dan berkebenaran.

MEMANG kebenaran itu ada di mana-mana. Kebenaran di satu sisi jalan, kadang tak ada di sisi jalan lain. Tetapi jika kita mau menempuh sabar, maka akan selalu saja ada kebenaran yang sama yang ada di sepanjang jalan mana pun. Ada kebenaran yang sama hendak dituju di ujung sana, di jalan mana pun kita menempuhnya. Dengan puisi, pada kebenaran yang seperti itulah kita mesti senantiasa gandrung dan mendekat.

DAN, kita kutip Budi Darma, apabila kebanyakan orang mengatakan bahwa yang penting di dalam tulisan sastra adalah keindahannya, maka sebetulnya keindahan itu pun bukanlah disebabkan oleh keindahan bahasanya seperti yang banyak dikatakan orang, melainkan karena keberhasilan tulisan sastra tersebut mendekati kebenaran. []

Fabel Sebelas Ekor Camar

      : Yo

/1/
SEBELAS ekor camar ingin menahan senja.

Matahari lekas membawa senjanya ke balik
teja, "Maaf, aku hanya punya sedikit jingga."

Muka laut berdandan seperti calon pengantin
menanti esok lusa: saat ia menyanding cahaya.

Matahari menyepi. Diam-diam. Melengkungkan
alis malam. Camar hinggap. Mematuki gelap.


/2/
SEBELAS ekor camar ingin menahan senja
Sebuah hati cemas tak henti menebak cinta.

"Siapa berayun di lengkung alis matanya?"

Fabel Dua Pemancing dan Ikan Raksasa

"DI danau sana ada ikan raksasa. Hanya pemancing
terhebatlah yang mampu menaklukkannya," kata ikan kecil
yang sore itu ia tangkap di sungai di belakang rumahnya.

MAKA sebelum kokok ayam pertama, subuh itu, dia
pun pergi ke danau itu dengan kail terbaik yang pernah
dimilikinya. Dan rupanya di sana sudah ada seorang
pemancing tua yang langsung menyapa, "Hai, berapa
lama kau akan sabar bertahan memancing di danau ini?"

TERNYATA dia dan pemancing tua itu sama-sama
tabah, sama-sama sabar. Keduanya bertahan, semakin
penasaran ingin menaklukkan ikan raksasa yang berabad
lamanya menghuni rahasia di dasar danau. Sudah berbagai
doa dipanjatkan, sebelum kail dilemparkan, tapi sang
ikan raksasa belum juga berhasil terpancing memakan umpan.

HINGGA akhirnya dia kehabisan umpan. "Bagi umpan, dong,"
katanya pada pemancing tua, "kabarnya engkau masih punya
umpan andalan." Si pemancing tua melempar sesuatu, "Nih,
ini dia!" teriaknya. Melihat umpan itu dia berseru, "Nah,
ini dia!" Tapi, sebelum dia memasang umpan itu, ada suara
purba dari dasar danau sana: "Nuh? Ah, bukan. Bukan dia!"
[Kutipan] Tak Bisa Mengelak

SAYA merasa ada sesuatu dalam diri saya yang memaksa saya untuk menulis. Saya tahu bahwa saya tidak dapat mengelakkan paksaan ini. Saya juga merasa, bahwa tanpa menulis saya menjadi manusia tidak bermanfaat. Karena itulah, tanpa menulis saya merasa berdosa.

* Budi Darma dalam "Pengakuan", termuat dalam buku "Solilokui", Penerbit Gramedia, Jakarta, Cetakan kedua 1984.

Saturday, November 18, 2006

Kita pun Bertukar Sebelah Sepatu

        : Dedy TR

KITA dulu bertemu ketika kita masih belajar berjalan.
Masih sama telanjang kaki. Kau membanggakan
parut di telapak dan lutut. Aku bercerita soal sakit
ketika rambut yang mulai tumbuh di kaki harus dicabut

KITA pernah terpincang-pincang. Nyaris saja jatuh. Dan
mengira gunung yang hendak ditaklukkan terlalu tinggi
untuk kaki kita yang masih juga telanjang. "Kita tak boleh
letih," katamu. Kita mengenang Sepatu di puncak itu.

KITA bertemu lagi setelah punya sepasang sepatu. "Tapi
aku tak sempat lagi kemana-mana," katamu. "Ah, mungkin
sepatu barumu perlu dibawa jauh dari toko yang menjualnya
dulu," ujarku. Dan kita bertukar sebelah sepatu. Sepatu palsu.

Fabel untuk Seekor Domba yang Disembelih

"NANTI akan ada malaikat menggendongmu," pemuda
itu berpesan pada dombanya, seperti mengingat suatu
bisikan dari mimpi yang baru saja mengucak matanya.

"Nanti malaikat itu membawamu ke sebuah bukit," pemuda
penggembala itu berdiri, lalu menatap jauh. Seakan menebak
arah, dari mana tadi angin datang membawakan kabar itu.

"Nanti malaikat itu akan menyerahkanmu kepada seorang
lelaki tua," pemuda penggembala yang tabah itu menugalkan
tongkat pada rumput, membayangkan apa yang akan tumpah.

"Nanti engkau akan ditukar dengan seorang pemuda yang
ikhlas ketika hendak dikorbankan oleh ayah yang lama menanti
kehadirannya," pemuda penggembala yang tabah dan patuh itu
mengusap-usap lehernya yang berkeringat, juga leher dombanya.

"Nanti orang-orang akan mengorbankan aku. Tetapi tetap saja
mengorbankan engkau. Tanpa menukar dengan apa-apa," bisik
domba itu kepada pemuda penggembala yang tabah dan patuh
tapi kini amat letih, sebelum domba itu disembelih di lehernya.

Friday, November 17, 2006

Di Lengkung Alis Matamu - Sampul Buku Itu

Fabel Sebabak
pada Suatu Pagi
di Sebuah Taman
tak Bernama



Beginilah. Sebuah hari dimulakan.

Kupu-kupu:
Selamat pagi,...

Mawar:
Ah, kau lagi.

Kupu-kupu:
Seperti sejak kukenal kau,
pagi ini kau indah sekali.

Mawar:
Hmm, rayuanmu. Masih
seperti sejak kukenal engkau.

Kupu-kupu:
Bolehkah kita bertukar
satu petalmu, dengan
sesobek sayapku?

Mawar:
Jangan, terlalu tak
seimbang tawaranmu itu.

Kupu-kupu:
Tapi, aku rela. Sayap burukku
membuat aku malu. Bayangkan
betapa bangganya aku terbang
dengan menebar aroma wangimu.

Mawar:
Jangan, jangan. Sebaiknya
seperti selama ini saja.
Kau datang ke sini. Kita
bertukar cerita. Kau dengan
petualanganmu, dan aku dengan
perenunganku di taman ini.

Kupu-kupu:
Ah, mungkin aku terlalu memaksa,
tapi toh petal-petalmu kelak luruh,
kenapa tidak kau beri kesempatan
aku mengabarkan indahnya kepada
dunia di luar taman ini?

Mawar:
Jangan.Jangan. Biar begini saja.
Bolehkan aku menawarkan sesuatu
selain yang kau minta?

Kupu-kupu:
Apakah itu?

Mawar:
Di dadaku, ada madu.
Yang termanis dari yang pernah
kuramu. Ambillah, aku rela
kau habiskan itu untukmu.

Kupu-kupu:
Itu saja?

Mawar:
Apa lagi yang kau minta?

Kupu-kupu:
Izinkan aku meletakkan
telur-telur anak-anakku,
di hangat dedaunanmu.

Mawar:
Silakan saja, kalau kau percaya.

Kupu-kupu:
Terima kasih.
Aku selalu percaya
padamu.

Begitulah, sebuah hari diartikan.

Fabel Cicak yang Ingin Sekali Bernyanyi

        : shiela

"CICAK," bisikmu, dengan radang meninggi
      dan batuk di sela nafas kanak-kanakmu.
      Dan kami pun mengingat-ingat
      lagu dari masa kecil dulu:
      ...cicak di dinding merayap berkeliling.

PADAHAL kau hanya ingin tertidur nyenyak
      setelah tadi sendirian hanya mendengarkan
      ibu cicak bercerita tentang sebuah Rahasia.
      Bagaimana dia menyimpan telur-telurnya.

PADAHAL memang masih ada ibu cicak
      di dinding itu yang ingin sekali bisa
      bernyanyi mengantar ke mimpi-mimpimu.

Thursday, November 16, 2006

Fabel Sepasang Merpati

      DARI secabang ceri yang jauh, sepasang merpati
melihat orang berkumpul di sekitar kandangnya. Ada orang
mengetam papan lalu membuat peti; ada orang memotong
kain putih; ada orang memahat nisan dan ada yang menimba
air lalu sepasang merpati itu melihat lelaki tua yang tiap
pagi menaburkan jagung itu dimandikan. "Tampaknya dia
sedang tidur damai sekali? Tapi kenapa sejak pagi tadi
hingga sore begini dia lupa memberi jagung untuk kita?"

      SAMBIL menghangatkan telur-telur mereka malam
itu, sepasang merpati itu mendengar orang-orang membaca
doa. Dan nama lelaki tua yang tiap pagi mengisi tempat
minum di kandang itu berkali-kali disebut. "Tapi, kenapa
tidak ada suara lelaki tua itu? Biasanya saat malam begini
suka membaca doa-doa hingga hanya sisa-sisa suaranya."

      PAGI itu ada sepasang merpati muda yang baru saja
belajar terbang. Karena sayapnya letih, kedua merpati itu
hinggap di sepasang makam. Sepi, ada angin sisa malam
tadi yang datang menebarkan wangi melati. Sepasang
merpati itu bertukar tanya lewat mata. Merpati betina muda
itu bertanya, "Pernahkah kau dengar ibu kita dulu bercerita
tentang seorang lelaki tua yang setiap pagi menabur jagung
lalu ia menyiram rumpun melati yang ditanam istrinya?"

Wednesday, November 15, 2006

[Tadarus Puisi # 013] Tiba-tiba yang Tiba Tiba-tiba

Tiba-Tiba Malam pun Risik
Sajak Sapardi Djoko Darmono



tiba-tiba malam pun risik
beribu Bisik
tiba-tiba engkau pun lengkap menerima
satu-satunya Duka

1967



PERTAMA membaca sajak ini, saya kira ini sajak yang ganjil. Pendek dan tiba-tiba saja dimulai dengan "tiba-tiba....". Kita biasanya akan membangun suasana dulu. Tapi sajak ini tidak. Dan malam pun risik. Kita terbiasa dengan kata berisik. Kalau pun kata "risik" tidak ada dalam kamus, maka pemakaian kata "risik" di sini menarik. "Risik" tidak pernah rasanya dipakai dengan awalan atau akhirn lain, kecuali "ber". Kata "risik" diciptakan dengan memisahkannya dari awalan "ber". Penyair telah asyik bermain sejak bait pertama.

Kenapa berisik? Ada seribu bisik. Bisik adalah bicara yang dipelankan. Yang tak ingin diperdengarkan. Tapi ada ribuan bisikan. Itulah yang membuat suara berisik. Ini bukan keributan. Kenapa berisik? Karena engkau pun tiba-tiba lengkap menerima satu-satunya duka yang dituliskan dengan Duka. Pada tahun-tahun itu, amat tak lazim memakai huruf besar pada suatu kata. Ada apa dengan duka yang Duka itu? Penyair sudah membuat lorong remang-remang yang asyik dan menantang kita untuk menjelajah ke sana.

Apakah Duka yang lengkap diterima itu? Mungkin itu adalah ruh yang pertama kali ditiupkan ke janin. Mungkin juga itu wahyu yang pertama diterima dan engkau adalah nabi. Atau Duka itu adalah amanah, sebuah tugas berat dan kita yang menerimanya kelak harus mempertanggungjawabkan satu-satunya Duka itu. Tak ada pilihan. Kecuali menganggapnay sebagai Duka.


Bentuk sajak ini adalah kwatrin, sajak empat baris. Sajak yang tertib sebenarnya. Lihatlah bunyi yang sama di ujung barisnya: risik/ bisik/ menerima/ Duka. Baris-barisnya bersajak AABB. Ketertiban dan keteraturan bunyi yang memperindah sajak ini. Dengan demikian sebagian perangkat puisi sudah dimaksimalkan. Keutuhan terjaga dan kompleksitas terbangun.

Tuesday, November 14, 2006

Sitok Srengenge:
Lebih Bahagia daripada Saat
Pertama Kali Mencium Pacar



SITOK Srengenge sibuk. Dia tak sempat menjawab enam pertanyaan saya, meski ingin sekali menjawabnya. Dia kirim jawaban untuk Cherry Jiang dari Hongkong yang kurang lebih mengajukan pertanyaan yang sama. Mereka bertanya jawab dalam bahasa Inggris.

Saya terjemahkan saja surat itu dan saya jadikan bentuknya sebagai tanya jawab. Seperti wawancara. Simaklah:

Tanya: kapan Pertama Kali Menulis puisi?

Jawab: Saya menulis puisi ketika saya duduk di bangku SMP. Saya tunjukkan puisi itu kepada guru dan dia suka sekali membacanya. Lalu puisi itu dia tampilkan di majalah dinding sekolah. Puisi itu juga dia jadikan contoh ketika dia membahas puisi di kelas. Saat itu saya merasa bahagia sekali. Lebih bahagia daripada saat mencium pacar saya pertama kali. Ha ha ha.

Tanya: Puisi tentang apa itu?

Jawab: Saya lupa. Tapi saya sangat ingat temanya: Cinta. Puisi itu, kalau saya tinjau lagi sekarang, bukanlah puisi yang bagus sekali. Sajak pertamamu jauh lebih bagus. Saya terus belajar menulis, diam-diam, sampai saya lulus SMA tahun 1985.

Tapi, saya mulai serius menulis pada tahun 1986, waktu saya kuliah di universitas.

Tanya: Bagaimana Anda belajar menulis?

Jawab: Saat itu, saya berlatih di sebuah grup teater yang dipimpin oleh penyair, aktor, dramawan termahsyur di Indonesia (WS Rendra). Dia punya perpustakaan pribadi dengan ribuan koleksi buku. Di sana saya temukan banyak sekali buku puisi. Suatu hari, saya pinjam semua buku puisi dan saya baca dan saya pelajari puisi-puisi di buku itu setiap hari. Saya tidak hanya membaca tapi juga menyeleksi. Saya pilih mana yang bagus dan saya pisahkan mana yang buruk. Hasilnya saya punya daftar sepuluh buku bagus yang ditulis oleh sepuluh penyair. Sisanya, buku puisi jelek yang bertumpuk kayak gunung sampah.

Tanya: Lalu?

Jawab: Saya kembalikan semua buku itu ke perpustakaan. Hari-hari berikutnya, saya baca ulang buku-buku itu berulang kali dan memilih lagi mana yang terbaik. Dari sepuluh buku itu akhirnya saya dapat enam buku dan tak bisa lagi menyortirnya. Lalu saya tanya diri saya sendiri, "Hei, Sitok! Kalau kamu memang ingin benar jadi penyair, kamu harus menulis sebagus mereka (penyair yang menulis enam buku itu), atau lebih baik dari mereka. Kalau tidak, kamu hanyalah bagian dari tumpukan sampah dan hanya layak untuk dicampakkan."

Setahun kemudian, pada tahun 1987, ada Forum Penyair Nasional di Jakarta. Saya datang kesana dan mengikuti semua acara tiap hari. Siang hari ada diskusi, malam hari mereka bacakan karya-karya mereka. Saat itu saya benar-benar kecewa. Penyair-penyair tak sehebat yang saya bayangkan. Darah muda saya yang arogan bergolak. Saya membatin, "Kalau mereka bisa jadi penyair dengan karya-karya sekasar itu, saya yakin, saya bisa menjadi menulis lebih baik."

Tanya: Kapan anda disebut penyair?

Jawab: Singkat kata, setelah saya menulis beberapa sajak dan menerbitkannya di sejumlah media. Orang kemudian menyebut saya sebagai penyair. Tahun 1992, saya terbitkan buku kumpulan puisi pertama saya.

Tanya: Anda masih terus menulis puisi?

Jawab: Sampai hari ini, saya masih menulis puisi. Kenapa? Banyak hal yang membuat saya bahagia. Tapi hanya ketika saya menyelesaikan sebuah puisi yang baik saya merasa lebih bahagia. Memang, ada banyak orang berbakat dan penyair besar di dunia. Tapi, mereka dulu juga bukan siapa-siapa kan? Setelah saya baca sajak pertamamu, saya yakin kamu punya bakat. Kamu beruntung.

Tapi, kamu harus tahu, bakat saja tidak cukup. Bakat besar bisa hilang terkubur oleh kemalasan. Maka, saya sarankan, jagalah bakatmu itu dan berlatihlah, terus menulis, dan jaga stamina kreativitasmu. Saya harap, kelak kita bisa bertemu di forum kehormatan, dan kamu hadir sebagai penyair penting yang membawa dan menghadirkan negerimu dan generasimu.

Monday, November 13, 2006

Di Negeri Puisi

                         : bungamatahari

ADA negeri puisi, yang jauh tapi tak jauh dari
      negeri mimpi. Penduduk di negeri itu berbicara
      dengan puisi, dan lihatlah betapa mereka bahagia.

Aku akan membawamu ke sana. Dan lihatlah nanti kita
      juga betapa akan berbahagia. Kita belajar lagi
      mencari kata yang tepat untuk memesan kopi
      segelas; mencari tempat untuk singgah sembahyang;
      mencari telepon umum untuk mengabarkan rindu ke
      alamat yang menunggu.

Kita nanti akan betah di sana. Sebab di negeri itu
      kita akan menemukan rumah yang jauh tapi tak jauh
      dari alamat yang kita sebut dengan rindu dan nama
      kita tertulis indah di pintunya.

[Kutipan] Puisi Brilian dan Tugas Penyair

1. PUISI brilian lazimnya memakai kata-kata sederhana. Oleh sentuhan tangan penyair yang baik kata-kata sederhana menjelma menjadi puisi yang baik. Hanya penyair jelek yang obral kata-kata.

2. SALAH satu tugas penyair memang memberi tenaga dan jiwa pada kata-kata. Tanpa ambil peranan itu, dia akan menulis esai dan bukan puisi.

* Linus Suryadi AG.

[Tadarus Puisi # 012] Otobiografi Thukul

Otobiografi*
Sajak Wiji Thukul

tak pernah selesai pertarungan menjadi manusia
tak pernah terurai pertarungan menjadi rahasia
adalah buku lapar arti
tipis segera habis diburu kubur-kubur waktu

hari-hari pun sajak menagih kata
kata-kata pun ketagihan jiwa
dalam sebuah buku lembar-lembar berguguran
tak seperti bunga tetap kita sirami di taman-Mu ini



MENJADI manusia adalah sebuah pertarungan. Ya, ada lawan, ada arena, ada kalah dan menang, itulah hakikat pertarungan. Lawan kita juga ada dalam diri kita. Arena pertarungan hidup adalah juga pada hati kita sendiri. Kita berganti-ganti menjadi manusia yang kalah atau manusia yang menang. Tapi ini adalah pertarungan yang tak pernah selesai.

YANG mengakhiri upaya menjadi manusia itu adalah kelak ketika kit*a sampai pada rahasia. Sampai pada maut yang tak pernah terurai bagi kita kapannya dan kenapanya. Untuk sampai pada rahasia kematian itu pun adalah juga sebuah perjuangan. Ironi dan paradoks pun berlapis-lapis di sini. Pertarungan menjadi manusia artinya perjuangan untuk menjalani hidup adalah juga perjuangan untuk mengurai rahasia mati.

TAPI, penyair Thukul sadar perjuangan itu harus diberi arti agar tak jadi sia-sia. Ia lalu menyebutkan buku. Buku hidup. Buku yang mencatat. Buku yang kelak meninggalkan jejak perjuangan yang minta diberi arti, yang lapar minta dimaknai. Buku kehidupan itu seringkali hanya sebuah buku tipis yang harus buru-buru dipenuhi catatan. Thukul meramalkan hidupnya sendiri yang pendek, seakan mengingatkan dirinya sendiri akan kematian yang lekas menjemputnya. "Diburu kubur-kubur waktu," katanya.

MAKA Thukul dan kita yang hidup ini berhadapan dan menjalani hari-hari yang sajak yang menagih kata. Bukan sembarang kata, tapi kata yang ditagih sajak adalah kata yang padanya ditagih untuk menghadirkan jiwa, bukan mayat kata, bukan kata yang mati, bukan kata yang bangkai, bukan kata yang busuk yang tak mengucap apa-apa.

TAPI hidup seringkali hanya menawarkan kerapuhan. Seperti buku-buku yang lembar-lembarnya berguguran. Gugur yang tetap harus diberi arti. Tak seperti bunga yang ketika kelopaknya telah berguguran kita tak perlu lagi menyiraminya. Kita akan biarkan dia melapuk dan kelak menjadi hara dan kembali diserap tanaman. Lembar buku yang berguguran tetap disirami. Sebab ia tertabur di sebuah taman kehidupan, taman-Nya. Dia yang menghidupkan, dia yang menggugurkan, dia juga yang membangkitkan.

* Dari buku Aku Ingin Menjadi Peluru, Wiji Thukul, Indonesiatera, Magelang 2004.

Fabel Lembu Hendak Jadi Katak

"MURUNG sekali engkau hari ini, Tuan Lembu?" katak
sawah menyapa lembu yang sedang termenung bersandar
di pematang. Keempat kakinya masih terendam dalam
lumpur. "Apakah gerangan yang merisaukan hatimu?"

"Oh, katak sahabatku. Aku baru saja teringat kisah
Katak Hendak Jadi Lembu. Tahukah kau siapa pengarang
yang menciptakan kisah tentang para tetua kita itu?"

Namanya aku tidak tahu, kata katak, tapi setahu aku
dia sudah lama pergi meninggalkan warisan kisah itu.
"Kenapa pula engkau teringat kisah yang selama ini bisa
membuat kami tahu diri, tak pernah lagi memaksa ingin
mempunyai tubuh besar seperti engkau, Tuan Lembu?"

"Aku hanya ingin meminta dia membuat lagi sebuah
cerita berjudul Lembu Hendak Jadi Katak. Aku ingin
sekali tahu bagaimana dia mengakhiri kisah itu."

Fabel Di Kolam Teratai

       KATAK melompat dari teratai ke teratai mengejutkan
ikan sepat yang sedang memainkan gelembung udara
dan berudu-berudu tertawa melihatnya dan beberapa
capung ingin sekali hinggap di bunga teratai yang sedang
mekar-mekarnya tapi beberapa lebah madu mendengung
memperingatkan.

      DI semak rumput di tepi kolam itu ular merenung lama
menyesali apa yang dulu hendak dibisikkannya pada
Nakhoda Tua di kapal yang menyelematkan mereka dari
banjir raksasa setelah hujan empat puluh hari lamanya dan
tiba-tiba saja gerimis turun membikin lingkaran-lingkaran
yang manis di permukaan kolam teratai itu.

Di Tepi Kolam di Suatu Petang

DI tepi kolam, kucing berdoa, "Tuhan, beri aku insang."

Di seberang, berteriak berang-berang, "Mau kau kuajari
berenang, pandai menyelam dalam, ke dasar kolam?"

Di bawah pohon, pemancing diselimuti kantuk, tak tahu
lagi ia, telah sejak lama habis umpan di mata kailnya.

Ikan-ikan yang tak pernah tidur, berseru riang, "Siapa yang
tak pernah kenyang? Siapa yang tak bisa berenang?"

Si pemancing telah tertidur. Tak sempat mendengar seruan.

Kucing mengira gelagah menadah, mengaminkan doanya.

Fabel Gajah Bodoh dan Anjing Buta

"SEBESAR apa aku sesungguhnya tubuhku?" tanya
gajah bodoh kepada temannya, seekor anjing buta.

"SANGAT besar, kawan, hingga menutup matahari, dan
aku kegelapan, tak bisa melihat sebesar apa persisnya"

Fabel Ibu Penyu dan Ikan Paus

/1/
"MAU kemana, Ibu Penyu?" tanya seekor paus betina,
mereka bertemu di sebuah pagi, di tengah samudera.

"MAU mengantar telur-telur keturunanku ke pantai,
tempat aku dulu diantar dan ditelurkan oleh ibuku,
tempat aku dulu dierami pasir dan panas matahari."

/2/
DI pagi yang lain, di sebuah pantai, seekor paus terjebak
surut laut. Anak-anak penyu yang baru menetas berebut
gegas, berenang ke tengah samudera, mengikuti naluri,
mengaluri perjalanan yang dulu ditempuh ibu mereka.

JIKA nanti anak-anak penyu itu bertemu ibunya, mereka
ingin sekali bertanya, "Ibu, makhluk raksasa apakah yang
sampai juga ke pantai kita itu? Apakah ia juga sepertimu
yang bertelur lalu pergi meninggalkan anak-anaknya di sana?
Di Balik Lukisan Kaligrafi
Di Dekat Sebuah Rak Kitab



SEEKOR cicak menatap halaman kitab yang
terbuka. Seorang anak lupa menutupnya.
Setelah subuh tadi melancarkan bacaannya.

"Adakah nama kita tersebut di sana?" tanya
cicak itu kepada temannya yang lebih tua.

"Ssst, jangan berisik dulu. Lihatlah ada nyamuk
hinggap di sebelah kiri dan kanan kita...."

Kedua cicak itu diam. Lalu mengendap. Dan hap!
Nyamuk pun tertangkap. Mangsa pun terdekap.

Cicak itu berdecak-decak. Lalu berak. Hampir
saja tahinya jatuh di halaman kitab yang masih
saja tebuka halamannya. Masih saja tergeletak.

Lelaki yang Sedang Memberi Makanan Ikan-ikan

           : Yo

LIHAT, matanya seperti kolam selingkar gelombang. Ada
seekor air mata berenang-renang. Di atasnya ada merpati
seorang (terbang), dan bayi yang telanjang (bayang-bayang).

LIHAT, dia ingin sekali mengajak kita berbincang-bincang.
Dia ingin sekali ikut berenang bersama air matanya. Agar
basah itu tetap di hatinya. Agar tak menetes kemana-mana.

Thursday, November 9, 2006

Aan M Mansyur
DI GUNUNG PASIR

         :hah


Menuju Kota Kutai, aku mampir di Gunung Pasir
di sebuah warung menggantung di tubuh tebing
istirahat minum secangkir the hangat
sambil menyaksikan matahari pucat
jatuh ke sela-sela bukit kerontang
dan hampar lautan subur ditumbuhi kilang

Aku teringat kawan, seorang penyair
di sinilah ia lahir
lalu menyingkir karena terusir
oleh lelaki-lelaki kuat
mengangkat kayu gelondong
dan minyak bertong-tong

Sesaat setelah magrib dinyalakan
lelampu tiba-tiba saja padam
Dari mesjid azan terpenggal
serupa suara seru tak dihafal
Perempuan dari balik bilik kasir
aku dengar berkata nyinyir,

"Ladang minyak, ladang minyak,
lampu padam tiap malam."

Di Gunung Pasir,
aku teringat seorang penyair
yang suka menulis syair sarat sindir


Gunung Pasir, 2006

Wednesday, November 8, 2006

Sebatang Teman Lama

LAMA juga dia tidak ngobrol dengan teman lamanya itu.
Sering bertemu tapi mereka sok banyak kesibukan, tak
pernah sempat bertukar teguran atau berbagi sapaan.

"DIMANA ya dulu kita berkenalan?" Waktu SMA, bukan?
"Ya, aku tertarik dengan bodimu yang ceking". Ah, kamu
pun dulu tak segembrot sekarang, alias kerempeng kering.

WAKTU kuliah, mereka masih suka ngumpul di kos-kosan,
bersama kopi dan mi instan, mengetik laporan atau ngebut
menyiapkan pelajaran buat besok menghadapi ujian.

SETELAH tua, katanya dia makin sadar kesehatan. Temannya
yang ceking itu mulai dia lupakan. Sampai akhirnya bertemu
di suatu pagi. "Kabarnya kamu sekarang suka bikin puisi ya?
Buatkanlah puisi untuk mantan sahabatmu ini..." si ceking
berbasa-basi. Baiklah, katanya, tapi saya tidak bisa berjanji.

SI Ceking pun pamitan. "Sampai jumpa di lain iklan." Lalu
melangkah ringan sekali. Ia sebul-sebulkan asapnya sendiri,
dia jentik-jentikkan abunya sendiri, menyanyikan lagu abadi,
"Peringatan pemerintah, merokok bisa menyebabkan......"

SI Tukang Puisi tiba-tiba merasa kangen sekali dengan teman
lamanya itu. "Mati bisa kapan saja, sebabnya pun bisa apa
saja," katanya. Ah, Si Ceking yang tak akan pernah kesepian.
si Ceking yang punya banyak teman itu semakin mahsyur saja.

Monday, November 6, 2006

Madonna of Port Lligat, Salvador Dali, 1950

Sajak-sajak Untuk Dedy T Riyadi (Jakarta)

Gambar yang Dirobek Ayah


DULU ayah suka sekali menggambar wajah ibu.
"Kecantikanmu tidak pernah habis kusalin,"
kata ayah setiap kali tanda tangan ia terakan.

IBU membingkai gambar karya ayah dan memajang
di dinding berdampingan dengan foto perkawinan.

KINI ayah lebih suka menggambar wajahnya sendiri,
lalu ia merobek-robek gambarnya sebelum sempat
dibingkai oleh ibu. Ibu jadi semakin sering mengigau,
"Rembrant, berapa banyak kanvas kau hancurkan?"

AKU sejak dulu tahu betapa tajam pisau peraut,
sebab setiap hari tugasku hanya meruncingkan
pinsil. Aku juga paling suka menyusun puzzle
dari kertas yang disobek ayah, tapi masih juga
ketakukan setiap kali melihat montser menjelma
dari gambar wajah itu. "Power Ranger, tolonglah..."


Belajar Naik Sepeda


IBU membelikanku sepeda. Aku mau belajar
naik sepeda. "Jangan belajar sama ayahmu,"
pesan ibu. "Ya, saya tahu. Ayah sibuk sekali,
tiap hari keluyuran mencari sepedanya yang
hilang dulu," kataku. Padahal aku tahu, ayah tak
sempat belajar naik sepeda. Dalam igauannya,
ayah sering menirukan kring kring bunyi lonceng.

AKHIRNYA aku bisa juga naik sepeda, setelah
belajar langsung pada sepeda. Sepeda yang pandai
mengajari bagaimana aku menduduki sadelnya,
bagaimana aku mengayuh pedalnya, bagaimana
aku mencengkeram setangnya, bagaimana aku
menyandarkannya di pohon, bagaimana aku
memompa bannya, bagaimana aku memasang
rantainya, dan bagaimana mengerem lajunya.

SATU-satunya pelajaran yang tak kuamalkan
adalah bagaimana cara membunyikan loncengnya.
Aku takut ayah marah, karena aku bisa merusak
kring kring yang makin merdu saja dalam igaunya.



Ayah Takut dengan Tinta Merah


"AMBIL rapotmu sendiri, ayahmu tak bisa datang
ke sekolah." Begitulah pesan ibu tertempel di balik
pintu. Aku sudah menduga, ayah semakin takut
pada angka-angka yang ditulis dengan tinta merah.

DI luar dugaanku, aku malah menjadi juara kelas.

AKU kabari ayah, ayah tidak percaya. Ia bertanya
penuh curiga, "siapa yang mengajarimu mengancam
Ibu Guru, sehingga dia mendongkrak semua nilaimu?"

AKU menangis, airmataku melacak jejak airmata ibu.

IBU: perempuan buta aksara yang paling mengerti
bagaimana caranya membaca huruf mimpi-mimpiku.


Aku Menangis Bersama Ibu


AKU berkenalan dengan ayah lewat tangis ibu.

AKU lebih dekat dengan ibu karena kami sering
menangis bersama. "Kenapa rumah ini penuh
air mata?" umpat ayah tiap kali jatuh terpeleset.

SEMAKIN sering aku menangisi ibu, semakin
asing nama yang kudengar di antara isakannya.


Lelaki tanpa Telinga dan Perempuan
yang Menangis Tak Henti-hentinya



SEBELUM pergi merantau ayah berjanji akan pulang
untuk melukis ibu. Ayah pergi mengejar cita-citanya
menjadi pelukis, berguru pada pelukis legendaris yang
sampai mati berhasil mempertahankan kemiskinannya.

"AYAH ingin melukis ibu dengan mata berhias air mata,"
kata ibu. Sejak itu ibu terus memperbaiki tangisannya,
agar bisa menangis sebaik-baiknya. Tiap malam dia
terisak dan menangis, merintih dan menyedu-sedan.

SAMPAI suatu subuh aku dengar tangis yang manis,
isak yang semarak, sedu yang syahdu, sedan yang
tak tertahan! "Harusnya ayah sudah pulang, mendengar
hasil jerih payah ibu..." kataku meyakinkan ibu yang
sepertinya semakin ragu. "Biar saja, aku menikmati
tangisanku, belum tentu ayahmu bisa melukisku" kata
ibu yang semakin tahu warna sejati bening airmatanya.

AYAH akhirnya pulang. Tapi ibu tak mau mengakuinya.
"Suamiku perantau sejati. Ngapain engkau pulang?"

AYAH pun pergi lagi. Padaku ia titipkan dua daun
telinga yang baru saja ia potong sendiri. "Aku ingin
sekali mendengar tangis ibumu yang kabarnya
dahsyat itu." Tanpa telinga, wajah ayah lucu sekali.

DENGAN kuas telinga ayah dan tinta air mata ibu, aku kini
mahir melukiskan hikayat nasib: lelaki pengembara tanpa
telinga dan perempuan yang menangis tak henti-hentinya.

Sunday, November 5, 2006



Penyair IKRA BHAKTIANANDA

Parsel Kiriman Belum Juga Ia Terima

WAKTUNYA hampir tiba, tapi parsel kiriman
yang ditunggu belum juga ia terima. Sudah
lama. Masih sabar ia menunggu sambil belajar
agar bisa membaca dengan lancar, namanya
di kartu dan nama si pengirim dengan alamat
yang samar. Keranjang itu pernah dilihatnya
di sebuah toko. Sejak itu ia rajin menunggu.

IA merasa kini waktunya memang hampir tiba,
tapi parsel yang dia tunggu belum datang juga,
hanya keranjang kosong yang seakan minta
diisi dengan bagian-bagian tubuhnya sendiri,
dan selembar kartu ucapan: "Kirimkan saja
seutuhnya. Anda sudah ditunggu di sebuah
alamat. Jangan lupa cantumkan juga nama
Anda: selengkap-lengkapnya." Ia sudah lancar
membaca. Sejak itu ia makin rajin menunggu.

Jalan Salahkah dan Jalan Benarkah

JALAN pulang ke rumahnya bercabang sejak
di gerbang : Jalan Benarkah & Jalan Salahkah.

SETIAP kali melintasi di salah satu jalan itu, dia
selalu bertanya, "Siapa sebenarnya yang dulu
memberi nama kedua jalan tak bertanda ini?"

SETIAP kali melepas sepatu di teras rumahnya,
setelah lelah seharian keluyuran, dia selalu
bertanya, "jalan mana yang tadi sudah saya
lewati, ya?" Pada sepatu tak ada tanda-tanda.
Sutadji Calzoum Bachri
La Noche de las Palabras

Di Cafe jalanan Noventa y sista, Medellin, Colombia
Kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
Mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
Bekomplot dengan anggur dan cerbeza
bersesongkol dengan gadis-gadis
memancing bulan dengan keluasan dada

Musim panas
menjulang di Medellin
menampilkan sutra
di keharibaan malam cuaca

Ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebut-nyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah wajah usia

Kami para penyair
meneruskan zikir kami
--- palabras palabras palabras palabras
--- kata kata kata kata

Semakin kental mengucap
cahaya pun memadat
Sampai kami bisa buat
Sesuka kami atas padat cahaya

Lantas bulan kesurupan
kesadaran kami meninggi
bulan turun pada kami
dan kami mengatasi bulan

Sampailah kami pada kerajaan kata-kata
Jika kami membilang ayah
Ia juga ayah kata-kata
Jika kami menyebut hari
Juga harinya kata-kata
Jika kami mengucap diri
Pastilah juga diri kata-kata

Di Cafe jalanan Medellin
purnama jatuh
Kata-kata menjadi kami
Kami menjadi kata-kata


Medellin, Colombia 1997

Saturday, November 4, 2006

[Ruang Renung # 170] Zikir Kata yang Memadatkan Cahaya Bulan dan Mengantar Penyair Pada Kerajaan Kata-kata*

PERJALANAN panjang seorang penyair dalam menyair adalah perjalanan menuju Kerajaan Kata. Sebuah tempat atau sebuah keadaan dimana penyair menjadi tak berjarak lagi dengan kata yang ia sajakkan. Jika penyair membilang 'ayah' yang yang terbilang adalah dia kata yang juga ayah kata-kata. Jika ia menyebut 'hari',maka yang tersebut adalah harinya kata-kata, dan jika dia mengucap diri, maka pastilah yang tersebut itu 'diri kata-kata'.

PERJALANAN menuju Kerajaan Kata itu ibarat mengepung bulan dengan zikir kata-kata. Para pembaca puisi yang telah dituliskan penyair atau pendengar puisi yang diresitalkan oleh penyair bukannya tak dihiraukan. Mereka ikut juga menaklukkan bulan dengan cara masing-masing. Cara yang tidak dibatasi oleh penyairnya. Cara yang tidak ditentukan dengan semena-mena oleh penyairnya. Bebas saja, terserah saja.

BAGI penyair ini bukan perjalanan yang tanpa godaan. Di sekitar penyair ratusan para lilin yang mengucap menyebut cahaya. Seakan ingin menyesatkan zikir penyair. Tapi, para penyair akan terus menaklukkan bulan, dan berpusir** pada cahaya bulan, meneruskan zikir: palabras palabras palabras kata kata kata, hingga cahaya bulan memadat, dan dari padat cahaya itu penyair bisa membuat apa saja sesuka hati. Dan cahaya yang bisa dipadatkan untuk dibentuk sajak apa saja itu tak akan habis. Selama bulan masih memberi terang, selama penyair terus menzikirkan kata, mengingat kata, masuk ke inti kata, berdetak bersama detak jantungnya kata.

LALU bulan kesadaran penyair meninggi, sementara sang bulan yang dituju turun juga mendekat kepada penyair. Itulah saatnya penyair berhasil mengatasi bulan dan itulah saatnya penyair telah sampai pada Kerajaan Kata-kata. Purnama pun ikhlas jatuh setelah mengantarkan penyair pada Kerajaan Kata-katanya. Itulah pencapaian tertinggi: kata-kata menjadi penyair, penyair menjadi kata-kata. Begitu akrabnya, begitu dekatnya.

* Tafsir bebas atas sajak Sutardji Calzoum Bachri "La Noche de Las Palabras".

** Berpusir saya ciptakan dari kata berpusat pikir. Sebagai pilihan lain untuk kata berkonsentrasi. Lebih ringkas.

Friday, November 3, 2006

[Tadarus Puisi # 011] Tersebab Apa Sajak Terbentuk pada Sebuah Pola

BANYAK hal bisa dikaji pada sajak penyair asal Yogyakarta TS Pinang "Tersebab Apa". Sajak ini bisa ditelururi dari bagaimana penyair memadukan beberapa kelompok kata dari bait ke bait sehingga membangun sebuah imaji yang memancing makna yang kaya. Ia bisa dibentang sebagai sebuah hutan penuh hewan buruan: dan kita adalah pemburu yang bertugas menangkap sebanyak-banyak hewan di hutan itu, dengan berbagai siasat dan taktik perburuan.

SAYA ingin meletakkan sajak bagus ini di rehal tadarus kali ini untuk melihat bagaimana sebuah sajak dibangun dari bait ke bait dengan sebuah pola yang sama. Ada risiko besar pada jurus sajak yang begini ini, yaitu ia bisa jatuh membosankan jika tidak dikembangkan dengan cermat dari bait ke bait. Kebosanan itulah yang harus dibunuh benihnya dari bait ke bait. Keingintahuan dan ketertarikan harus terus menerus dipancing. Pembaca harus terus-menerus dipikat sebelum ditawan di akhir sajak.

SUTARDJI Calzoum Bachri memakai pemolaan ini pada beberapa sajaknya. Sajak "Mari" salah satunya. Pola bukan sekadar repetisi. Pola adalah semacam formasi imaji yang diisi dengan kata-kata yang berbeda dari bait ke bait dengan demikian ia juga menimbulkan rangsang makna yang berbeda. TS Pinang tidak ingin bercerita dalam sajak ini. Pola yang ia bikin bagi saya seakan mengantar saya sejenjang sejenjang menaiki puncak sajak yang ia persiapkan di bait terakhir. Tiap anak tangga adalah puncak juga yang mesti saya capai dan saya amati dengan cermat. Pendakian yang nikmat.

DAN puncak yang paling puncak pada sajak ini adalah bait terakhir: tersebab apa/kitab menulis hujan dalam koma/menghitung tasbih/di sajadah dusta/di bukit batu dan gunung kata:/saatnya laut tercangkul lingga. Saya tak pernah yakin dengan kesimpulan yang saya buat atas bait ini dan dengan kaitannya dengan sajak-sajak sebelumnya. Tapi saya tak perlu kepastian itu. Sama sekali tidak perlu. Tiap kesimpulan selalu diragukan oleh godaan kesimpulan lain. Begitulah terus menerus. Mungkin keragu-raguan itulah yang hendak disebutkan oleh TS Pinang? Mungkin. Mungkinkah TS Pinang hendak mengingatkan kesalihan palsu yang banyak dilakoni oleh kita? Kita yang sibuk menghitung tasbih, di sajadah yang cuma dusta, sujud yang pura-pura? Mungkin. Jika pada tiga belas bait sebelumnya kata "tersebab" selalu dikuti oleh kata yang pasti, pada bait puncak itu apa yang menjadi sebab itu dipertanyanan: "tersebab apa".

SOAL "hamil anggur" di bait pertama pun telah pula menawarkan emosi kesal dalam seluruh jiwa sajak. Hamil anggur adalah kehamilan palsu. Kehamilan gagal. Kehamilan yang harus digugurkan. Alih-alih memerankan tugas suci rahim, hamil anggur justru mengotori. Rahim harus dibersihkan tuntas dari butir-butiran bak tandan anggur yang menyaru janin di rahim, bila ingin tetap berfungsi sebagai rahim. Ini pemeragaan diksi yang hebat dari TS Pinang.

TS Pinang
Tersebab Apa*

/1/
tersebab laut
batu hamil anggur
menghitung kalender
di dinding hujan:
saatnya merebus bubur

/2/
tersebab kata
patungpasir pun gugur
menghitung racau
di atap kemarau:
saatnya menabur galau

/3/
tersebab batu
sungai lupa lumpur
menghitung musim
di kerut wajah:
saatnya menggaru sawah

/4/
tersebab bukit
pohon pingsan di ladang
mengitung lidi
di daun enau:
saatnya menanam surau

/5/
tersebab cangkul
sawah menulis siput
menghitung cangkang
di gigir pagi:
saatnya menganyam tali

/6/
tersebab gunung
sungai menumbak laut
menghitung alir
di bulir pasir:
saatnya membaca tafsir

/7/
tersebab kitab
padi menyepi di dapur
menghitung malu
di tungku beku:
saatnya mengubur tinju

/8/
tersebab dusta
hati larikan diri
menghitung senyum
di televisi:
saatnya melarik puisi

/9/
tersebab lingga
mata menggali danau
menghitung garba yang hangus
di sula para lelaki:
saatnya membeli peci

/10/
tersebab hujan
malam menjerang kopi
menghitung getar sepi
di gentar hati:
saatnya menjahit luka

/11
tersebab koma
wajah memar oleh tanya
menghitung tembok retak
di mimbar khutbah:
saatnya membalut candi

/12/
tersebab tasbih
embun mengaji doa
menghitung daun dan ranting
di masjid berlantai marmar:
saatnya menenggak memar

/13/
tersebab nama
tuhan memahat arca
menghitung sebab
di biji jagung:
saatnya menumbuk ingat

/14/
tersebab apa
kitab menulis hujan dalam koma
menghitung tasbih di sajadah dusta
di bukit batu dan gunung kata:
saatnya laut tercangkul lingga


* nomor-nomor bait dari HAH