Wednesday, September 29, 2010

Berhempas Angin Malam

SEPERTI apakah marah itu? Ia kalajengking bersayap, terbang dan hinggap di dadaku! Perkuburan namamu. Tak ada sarang laba-laba di rongga itu!

Ini persabungan kita: kau unggas ganas dierami hempasan angin malam, dan aku ular liar menetas dari panas telur magma! Darah yang tak mau beku di lubang luka!

Seperti sepasang paruh enggang, aku enggan menajamkan buta mata pedang! Paruh yang jingga, tak kuharap darah kita mengganti warnanya. 

Tuesday, September 28, 2010

Menyelidik Diksi

1. Diksi itu pilihan kata, kata Gorys Keraf. Bagi saya: memilih kata! Saat menulis puisi - proses mendiksi atau memilih kata, adalah tahap yang penting.

2. Bagaimana kita bisa memilih kalau kita tak punya pilihan? Jadi, tak ada cara lain, kalau ingin diksi kita maksimal: kuasai banyak kata!
 
3. Bagaimana caranya? Banyaklah ketemu kata, di buku, di lidah orang, di surat kabar, di kamus, di kemasan kue, di mana saja!
4. Saya tak tahu, apakah cara-cara itu mudah atau susah bagi upaya kita menguasai jurus diksi! Dan, diksi bukan cuma memilih kata.

5. Coba rasakan: tampar, tinju, tempeleng, jotos, gampar, hantam, tumbuk, pukul. Apa yg sama dan apa nuansa makna dari kata itu?

6. Ketika mau mengucap sesuatu kita pilih kata yang mana yang pas! Itulah diksi! Mencari cara, kata, ungkapan yang paling pas dengan gagasan kita.    

7. Diksi juga berarti kemampuan membedakan nuansa makna dari kata-kata. Tujuannya? Supaya bisa memakai kata itu dengan piawai!

8. Diksi, sekali lagi, hanya mungkin kalau kita menguasai kata: kosa kata! Kalau kata kita terbatas, diksi pun tak leluasa.

9. Diksi juga diperlukan atau dipakai saat menyusun teks pidato, menulis esai, karya ilmiah, naskah iklan, jadi tidak hanya dalam puisi.   

10. Kamus itu dokumen, bahwa pernah ada, sedang ada, ada tapi tak lagi dipakai, sejumlah kata. Kamus bisa jadi rujukan.
  '
11. Ketika merujuk ke kamus untuk mencari, atau melacak kata, kita boleh taat, patuh, atau membangkang padanya.

12. Itulah bedanya diksi dalam teks puisi dan dalam naskah lain. Dalam puisi diksi menggila, nakal, sok jinak padahal binal!    

Engkau Laksana Bulan Kosong

ENGKAU laksana bulan kosong, hari-hari tak terhitung, tanggal pecah, kalender lari dari dinding kamar dan meja gambarku.

Hatiku kedap kamar gelap: tak ada kenangan harus kujaga. Kukira harus ada jendela, minta sedikit kuak, agar ada tempias cahaya.

Kamar dan aku saling mengosongkan. Kami tahu tak lagi terjangkau sakral saklar. Pecah jua kelopak lampu...

Kalau nanti segala lenyap, aku akan bertemu Senyap itu. "Hai, Senyap, saudara sepanti piatu, waktu yang tak beribu, apa kabarku?"

Aku sumbu, pada lampu yang lama tak tersulut. Jika gelap menyala, ingin sekali aku bertemu dia, api yang membakarku!

Mataku tak bersapaan dengan lampu bisu itu. Tak sepatah cahaya terucap darinya. Kaukah yang datang? Dan menyalalah kita?

Lampu yang luka: mengalir gelap dari koyak sumbunya. Kau tak melihatnya. Kau tak dengar jerit cahaya yang lepas darinya.

Engkau laksana bulan berpaling dari wajah malam kami. Gelap diperebutkan. Kami tak percaya cahaya, karena telah lama dipersesat terangya.

[Ruang Renung #251] Bahasa Tuhan

Tuhan itu tidak verbal. Dia bicara lewat metafora. DIA itu jagonya metafora! Jangan-jangan itulah satu-satunya gaya bahasa-Nya.

[Ruang Renung #250] Dari yang Menakjubkan hingga Sajak yang Mengingatkan

YANG menakjubkan dari menulis puisi adalah: kata-kata dalam bait itu seakan kekal dan jadi milikmu. Kalimat yang bukan puisi segera menguap hilang!

Kata bisa kuajak bermain, bergembira, kejar-kejaran, ia sembunyi dana aku mencari, yaitu ketika aku menyajak bersamanya.

Kadang aku bertemu kata, dan ia seakan bilang, "hei kau belum pernah menyajakkan aku!" Aku suka menyajak untuk kata yang seperti itu.

Apakah aku ingat pada semua sajak yang kutulis? Tidak, sebaliknya, mereka yang sering mengingatkan aku.



Ahli Waris

KALAU kau pergi

jauh bersama mati  

Jarak  yang tak terseberangi 

Aku menjadi 
satu-satunya ahli warismu: 
Menguasai seluruh sepi

Dengan siapa itu harus kubagi?

Friday, September 24, 2010

[Ruang Renung #249] Memurnikan Puisi, Menajiskan Puisi

MENULIS puisi, kata SCB, adalah upaya untuk mengutuhkan atau melengkapkan kemanusiaan dalam kesempurnaannya. Hebat benarkah upaya itu? Tidak. Upaya itu tak pernah akan berhasil, sebab manusia tak pernah sempurna. Tapi, itu tak sia-sia.



Kata pertama, bahasa pertama, barangkali sejenis puisi itu, belum jelas benar makna kala itu dan tiap orang memaknai sebisanya. Yang paling penting di situ adalah: kegembiraan mengucap! Tidak memaksa untuk didengarkan! Tidak meminta diperhatikan.

Kata seorang penyair, puisi membuka ke masa depan bahasa. Saya tak mengerti itu, tapi saya ingin percaya pada kalimat itu. Bahasa itu hidup. Ia bisa mati, sekarat, atau lelah. Puisi, kadang dalam wujud yg tak ingin tampak, memberi nafas segar pada bahasa. Itu sebabnya puisi berharga. Ia jadi cagar bahasa, suaka kata. Dan penyair harus jadi penjaga yang cermat! Bukankah bahasa itu ada jauh sebelum Ilmu Bahasa dilembagakan? Saya kira dulu bahasa dimulai dengan beberapa patah kata.

Para pemakainya bersepakat untuk menambah kata baru, terus-menerus, satu menawarkan, yang lain setuju, sesuai keperluan pengucapan. Benda, hal-ihwal, bagian tubuh diberi kata. Ada seseorang atau beberapa orang yang amat menonjol dalam soal ini, dia dipercaya oleh kelompoknya. Dia pada masa ini mungkin disebut pujangga itu.

Puisi, seakan mengekalkan proses awal itu. Kita memberi kata pada yang terlupa diucapkan, yang tak diberinama, pada yang sia-sia, pada yang seakan tak perlu bermakna. Puisi itu mengejar kemurnian. Tentu saja puisi itu mudah cemar. Mudah bernajis. Bisa diselundupi oleh banyak hal.

Dalam berucap, kadang tidak mudah untuk jujur. Puisi - dengan kelok-beloknya - memberi ruang, menawarkan jalan itu: jalan untuk jujur berucap. Puisi bukan untuk sembunyi, tapi menyingkap apa yang tersembunyi. Puisi bukan untuk menyamarkan, tapi memberi sandi pada yang rahasia. Kadang kita tak tahu harus mengucap apa, karena apa yang terasa amat asing. Puisi memberi cara untuk menyosokkan apa yang ganjil itu.[]

Wednesday, September 22, 2010

ESAI - Syair Zikir di Tubuh Peluh

Oleh Khrisna Pabichara


TETAPI sajak adalah sebuah tetapi. Demikian maklumat ringan Hasan Aspahani dalam Pengantar Penyair pada buku sajaknya, ”Telimpuh”. Ya, katanya lagi, sajak adalah sebuah pendedahan yang didahului oleh kata sambung tetapi. Lebih lanjut, penyair yang belajar secara otodidak ini menegaskan bahwa melalui ketetapian sajaknya, penyair mengingatkan. Jika seorang ilmuwan bekerja dengan metode, maka penyair bekerja lewat kata. Jika ilmu dibangun dari sekumpulan fakta sebagaimana rumah dibangun dari tumpukan batu-batu, maka sajak dibangun dari sekumpulan kata. Penyambungnya, di antaranya adalah tetapi. Namun, sekumpulan batu-batu belum tentu bisa disebut rumah. Sama seperti tidak semua kumpulan kata bisa dinamakan sajak.



Tidak ada jalan pintas menjadi penyair. Jika kita berniat menjadi penyair, kita harus membangun inteligensia, kepekaan, dan pengendalian-diri. Harus rajin membuka diri dan ”pintu tafakur” selebar-lebarnya, biar kecerdasan estetika masuk sebanyak yang kita inginkan. Harus telaten dan disiplin, tidak mudah berpuas diri, dan berani mengambil risiko berlatih secara bertahap dari awal, setapak demi setapak. Harus serius mencoba mematut gaya dan lelaku kepenyairan lewat beragam eksperimen. Harus ada kata ”tetapi” ketika serangkai kata sudah kita anggap sebagai sajak. Biar lebih padat, lebih rekat.

Hal ini kembali ditunjukkan Hasan pada Telimpuh. Baginya, eksperimen adalah satu-satunya ”jalan kepenyairan”. Ia seperti hendak ”menentang” pendapat Stéphane Mallamé: sajak terbangun dari bahasa, bukan gagasan. Baginya, sajak memikul tanggung jawab besar, tidak semata kedalaman makna dan akrobat bentuk. Ada sesuatu yang lebih dahsyat. Sebagaimana Tagore menyalakan bara patriotisme, Iqbal meneguhkan semangat kebangsaan, atau Rendra membangun hasrat perlawanan lewat sajak-sajaknya. Melalui berangkai eksperimentasi kemasan, semenjak Orgasmaya hingga Telimpuh, penyair kelahiran Kutai Kertanegara ini membangun sajaknya dari bahasa, sekaligus gagasan.

BAGAIMANA menyusun kau, aku dan langit/ dengan pendar selembut satin,/ dan balon percakapan yang penuh jerit? (Komik Strip, 2; 8). Jika Harris Firdaus menyebut pembacaan Telimpuh laksana menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah, maka saya menyebutnya sebagai sehimpun sajak yang menciptakan ruang meditasi, tempat kita bisa menegasi rupa-rupa pertanyaan, juga jawaban. Jika Agus Noor menamakannya sebagai ”seorang petualang estetis”, maka saya menamakannya sebagai penjelajah yang tak kenal henti mengembara dari satu langgam ke langgam lain.

Seorang kawan saya yang bukan penyair, Sofyan Hadi, bahkan pernah berkata, ”Jika ingin membuka kamus, baca saja Telimpuh.” Artinya, penyair berhasil menawarkan alternatif pemaknaan terhadap kata. Coba kita simak bagaimana Hasan memaknai kata.

ABAR: ada yang mesti jadi pengingat, agar yang terlalu/ laju tertahan sewajarnya. Ada yang mesti jadi penahan/ agar yang terlalu lekas berlalu sepantasnya. (Kamus Empat Kata Berhuruf Awal A; 21).

CENGANG: nah, inilah. Aku yang menatap ke diri sendiri/ tak habis heran. Tak berjawab, semua pertanyaan./ Inilah. Aku yang meraba ke jejak sendiri. Tak jelas/ arahan, tak tentu tujuan. Pun tak pulang jadi niatan,/ sebab Rumah sendiri beralamat di entah. Kemungkinan,/ cuma di pembungan. (Kamus Empat Kata Berhuruf Awal C; 22).

GERSIK: hanya ombak masih setia. Datang. Ke pantai itu./ Pantai kita itu? Aku mencari kita. Mencari apa yang/ sisa. Mungkin suara. Gemerisik pasir. Karang kering./ Memungut sisa diam kita. Mengatakannya. Dengan/ sisa kata yang terbaca pada lengking lantun camar,/ lengkung pelangi samar. Tapi, kau tak ada. Hanya aku./ menyesali kita. Menyesaki kata. (Kamus Empat Kata Berhuruf Awal G, 2; 24).

TELIMPUH: aku hendak terus bersimpuh, sehingga lumpuh. Sampai/ sembah ini kau sentuh. ”Telah aku lewatkan beribu subuh,/ telah aku lawatkan duka yang patuh,” seperti zikir, resital syair,/ jatuh air tangis membulir-bulir. Aku hendak terus bersimpuh,/ hingga menguap semua peluh, di tubuh. (Kamus Empat Kata Berhuruf Aal T, 2; 38).

Bagi saya, kepiawaian Hasan menerjemahkan kata-kata, seperti kata abar-cengang-gersik-telimpuh, lebih dari sekadar kecerdasan puitik: mengawin-silangkan metafora, repetisi, rima, dan irama. Ia memiliki kekuatan melebihi kemampuan kamus mengungkap daya kata. Kedalaman diksinya sarat daya laten yang menyingkap tabir eksistensi kita dan menorehkan sejarah kepenyairan baru sebagai hasil dari petualangan liar semiotika yang dilakukannya. Bagaimana dengan bangunan konvensi? Tidak masalah. Hasan tidak mendobrak, apalagi merubuhkan konvensi bahasa formal. Ia, dengan cergas, malah memanfaatkan konvensi bahasa yang ”biasa” itu menjadi ”tidak biasa” dan ”lebih khas”.

Kebebasan adalah pengandaian tepat keseluruhan sajak Hasan. Pernak-pernik sepakbola, kiasan yang digunakannya, hanya sebentuk tamsil dari ketakbebasan manusia.

”Tolong dicuci bekas luka dan bisa atau bawa saja lari,/ sampai hilang pedih nama dan perih angka di punggungnya,”/ katanya seperti penyair membacakan bait puisi. (Dengan Demikian Sebuah Epitaf Telah Dituliskan; 46).

Kaos itu ”seolah-olah” tak betah lagi pada keriuhan pertandingan, hendak menjauh dari ingar-bingar pemujaan, berhasrat kuat melarikan diri dari berhala kepalsuan, kemudian memilih hidup otentik dan berusaha memilih wilayah eksistensi. Menentukan pilihan: kebebasan. Kebebasan, seperti yang pernah diperjuangkan Sartre, menjadi diri sendiri.

Bandingkan dengan sebuah pertanyaan:

Kalau bola harus memakai kostum, berapa/ nomor punggung yang cocok untuknya? (Solilokui Sang Bola Kaki, 1; 52).

Bagi pemain bola, nomor punggung termasuk ”dikeramatkan”. Angka 7 bisa identik dengan Christiano Ronaldo, 10 untuk Diego Maradona, 5 bagi Paolo Maldini, dan sebagainya. Tapi, tidak semata itu yang hendak dicapai Hasan. Bola, baginya, menjadi alegori. Kita terlalu lama membiarkan diri abai terhadap alur hidup. ”Biar mengalir seperti air,” begitu jawaban diplomatis yang sering kita dengar, lebih bermakna sebagai ”kesahajaan”. Atau, ”ketakberdayaan”? Hidup tidak sesederhana itu. Manusia adalah pengada, ungkap Climacus, yang memiliki kesadaran (consciousness). Bukan hanya kesadaran terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, tetapi juga kesadaran terhadap diri sendiri (self-consciousness). Dengan kata lain, kesadaran untuk menentukan hidupnya: ”bagaimana seharusnya hidup” dan ”bagaimana semestinya mati”.

Penyair menolak ketidakberdayaan, keputusasaan, atau kepasrahan total. Hal ini ditunjukkannya pada:

bisakah bola membedakan, ia sedang/ digocek oleh Ronaldinho atau Zidane? (Solilokui Sang Bola Kaki, 2; 54).

Ia juga menolak militerisme, termasuk perang sebagai perangkatnya.

KENAPA semua tentara tidak dilatih menjadi/ pemain sepakbola saja?// Bukankah pemain bola tidak perlu sepatu/ lars, topi baja, apalagi peluru dan senjata?// Bukakah kostum pemain bola lebih meriah/ dan enak dilihat daripada seragam tentara? (Solilokui Sang Bola Kaki, 3; 56).

Memang, menjaga negara dari ancaman musuh, tidak semudah mengamankan pertandingan sepakbola dari gangguan perusuh. Tetapi, perang memang tidak mungkin diselesaikan lewat permainan sepakbola. Bukankah sepakbola juga sering menciptakan perang?

Terlepas dari keragaman garapan gagasan penyair, melalui Telimpuh, banyak hal yang bisa kita rekam dalam jejak ingatan. Ajakan untuk berpikir menjadi diri sendiri, keberanian menyuarakan ”zikir-pikir” demi kemajuan bangsa dan negara, serta tidak larut dalam luluh peluh yang mengalir di sekujur tubuh. Semisal lelakon Socrates, meneguhkan diri pada sesuatu yang diyakininya. Bahkan, meski harus mati.

Pada akhirnya, setiap penyair akan menemukan ”jalan kepenyairan” yang hendak ditempuhnya. Sebagai penyair, lewat banyak kembaranya, Hasan Aspahani menempuh segala yang diyakininya. Syair yang digubahnya dalam bingkai sajak, seolah-olah adalah lelantun zikir. Atau, seruan untuk sejenak berpikir. Itulah gunanya ia menyair, katanya.

KHRISNA PABICHARA adalah penyair, motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta.
CATATAN: Esai ini dimuat di Riau Pos (Minggu, 19/07/2009) dan Batam Pos (16/08/2009) 

Telimpuh: Kitab Puisi Yang Menawarkan Pembaruan

Oleh : Arief Mahmudi
Judul buku : Telimpuh
Penulis : Hasan Aspahani
Penerbit : Koekoesan
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : 107 + xiii halaman
Harga : Rp. 29.500
Nama Hasan Aspahani (HA) tentu sudah tidak asing bagi para penikmat karya sastra negeri ini. Karya-karyanya, terutama puisi dan cerita pendek, kerap tampil di halaman sastra sejumlah surat kabar nasional maupun daerah. Dan, bagi mereka yang ngêh saat membaca karya-karya HA, tentu akan menangkap “sesuatu” yang membuat karya-karyanya terasa berbeda dengan penulis lainnya. Apakah gerangan “sesuatu” itu?

“Sesuatu” itu ialah pembaruan. Pembaruan yang dimaksud tidak hanya berkisar pada bentuk dan tema, namun juga pada gaya bertutur. Kita bisa baca, misalnya, pada cerpen “Sejumlah Fiksi Mini” (Koran Tempo, 1 Maret 2009) dan “Bung Badut” (Koran Tempo, 10 Mei 2009).

Itu pada cerpen. Lantas, bagaimana dengan karya puisinya? Adakah pembaruan di sana? Jawabnya: ya. Dalam Telimpuh, yang merupakan buku kumpulan puisi keduanya setelah Orgasmaya (2007), kita dapat menemukan pembaruan-pembaruan itu.

Lihatlah, misalnya, dalam sajak-sajak yang terdapat pada bab kedua, “Kamus Empat Kata”. Sajak-sajak dalam bab ini sangat unik. HA menulis puisi seperti menjelaskan makna yang terkandung dalam entri sebuah kamus saja. Berikut penulis kutipkan bait pertama sebuah sajak berjudul “Kamus Empat Kata Berhuruf Awal T, 2”:

TELIMPUH: aku hendak terus bersimpuh, sehingga lumpuh. Sampai sembah ini kau sentuh. “Telah aku lewatkan beribu subuh, telah aku lawatkan duka yang patuh,” seperti zikir, resital syair, jatuh air tangis membulir-bulir. Aku hendak terus bersimpuh, hingga menguap semua peluh, di tubuh.

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada penyair sebelumnya yang menulis, meminjam istilah Haris Firdaus, “sajak kamus” seperti yang telah dikutip di atas. Barangkali inilah pembuktian HA sebagaimana yang ia tuturkan pada “Pengantar Penulis” yang terdapat di halaman awal buku ini: “Tetapi, sajak juga sebuah kemudian. (…) Sajak yang kemudian, adalah sajak yang terus-menerus menawarkan pembaruan dan kebaruan.”

Sejumlah esais telah memberi komentar terhadap buku ini. Haris Firdaus, sebagaimana yang dimuat pada bagian penutup buku ini, menyebut pembacaan Telimpuh ibarat “menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah”. Adapun Khrisna Pabichara, dalam sebuah esainya di Batam Pos, menyebutnya sebagai “sehimpun sajak yang menciptakan ruang meditasi, tempat kita bisa menegasi rupa-rupa pertanyaan, juga jawaban”.

Peresensi adalah mahasiswa FITK/PAI/Konsentrasi Pemikiran. Pegiat sastra di Komunitas Sastra SENJAKALA, Ciputat.

OPINI - Saat Sastra(wan) Jadi Komentator Lapangan

Misbahus SururMahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim

Permainan sepak bola efektif dan permainan alur cantik, mana yang lebih menarik? Jamak pengamat bilang, yang pertama barangkali representasi permainan Inter Milan di bawah kendali Jose Mourinho. Sedang yang kedua, lebih ke model permainan klub-klub Spanyol, terutama Barcelona di bawah tangan dingin Josep Guardiola.



Lalu, bagaimana aksi lapangan negara-negara peserta Piala Dunia tahun ini. Adakah permainan cantik, setidaknya, mampu dipelopori negara-negara bertabur bintang, semisal Brasil, Argentina, Spanyol, Italia atau Belanda? Ah, bukankah dalam pergelaran empat tahunan itu, model permainan cantik tak terlalu diminati atau bahkan tak pernah menjadi prioritas. Sebab, ketika sudah tiba hajatan paling akbar itu, yang mutlak dibutuhkan sebuah tim adalah kemenangan, bukan godaan bermain cantik. Permainan sepak bola Eropa, berikut tipe Amerika Latin di klubnya masing-masing, memang bisa kita akui sebagai cermin permainan kelas tinggi. Tapi, dalam Piala Dunia 2010 ini, berderet superioritas itu bukan jaminan untuk memainkan sepak bola indah, bukan?


Jika demikian halnya, bisa jadi, kita malah menonton hal-hal linear dan normatif belaka. Ringkasnya, tak pernah ada permainan yang memukau, trik-trik yang menarik, juga gocekan-gocekan cergas dan tangkas. Lebih lagi, tuntutan untuk bermain terbuka, di mana ketika peluit wasit ditiup, permainan bergulir tanpa beban apa pun yang dibawa pemain; beban patokan gol, keharusan memenangi pertandingan juga beban untuk bermain secara baik.

Sudahkah kita temukan secercah tarian bola indah pada diri Jabulani—nama bola resmi Piala Dunia di Afrika Selatan? Alih-alih, dalam sebuah tim dengan kualitas dan kalkulasi pemain di bawah rata-rata, misalnya, sekelas Afrika Selatan, Aljazair, Swiss ataupun Jepang, mereka harus mengintroduksi permainan cerdas: siasat dan perhitungan matang juga strategi yang jitu. Pendeknya, teknis belakalah yang harus diunggulkan. Entah terkait pola menyerang, pola pertahanan, pola untuk bisa mendapatkan suplai bola dan memasukkan bola ke jala lawan.

Selain hal-hal urgen di atas, sebuah permainan tentu sangat terikat dengan seperangkat aturan. Kelak, dari jalinan regulasi yang diterapkan wasit hingga realitas di lapangan itu, akan menuturkan cerita dan peristiwanya sendiri. Tak peduli di sana mengemuka fenomena yang lumrah-lumrah saja ataupun janggal. Toh, dari berbagai peristiwa itu nantinya akan ada yang dikenang, meskipun ada pula yang segera dilupakan. Pun sejumlah pemainnya bisa menjelma pahlawan kendati tidak sedikit yang menjadi pecundang. Yang jelas, ihwal yang menyertai pertandingan demi pertandingan tersebut akan semakin menggenapkan anggapan kita bahwa para manusia (lapangan) adalah sang homo ludens, makhluk yang suka bermain.

Tetapi, dari sekian permainan yang kerap dihelat, barangkali masih jarang yang memperhatikan bagaimana perasaan rumput dan bola di lapangan, juga bagaimana pikiran gawang dan benda-benda di stadion. Kalaulah ada yang mengajak kita merenungkan hal yang renik itu, mungkin cuma sedikit. Dan yang sedikit itu, termasuk penyair Hasan Aspahani (HA). Ya, di saat banyak peminat sepak bola biasa menikmati permainan lewat cerdasnya gocekan bola pemain, juga segala keindahan yang terpampang di sana.


Aspahani malah mengomentari benda-benda mati yang berserakan di lapangan. Seolah ia menahbiskan dirinya sebagai penyambung lidah benda-benda tak bernyawa itu. Lalu menghidupkan sebuah adegan di lapangan kata-kata, tak kalah meriah dari yang terhidang di lapangan bola. Sangat jadi, ini upaya Aspahani untuk mengintegrasikan tema-tema yang alpa digarap dan dieksperimentasi penyair-penyair lain. Lagi pula, benda-benda itu memang jarang ada yang mau mengomentari, apalagi menyelami keluh-kesahnya.

Dalam sajak Malaikat Penjaga Gawang, misalnya, sehabis pertandingan, si kulit bundar tertidur pulas dan bermimpi protes pada malaikat penjaga gawang: “Kenapa engkau halangi aku menyentuh jaring-jaring gawang itu? Kenapa setiap kali aku ada di dalam tenteram tanganmu, kau tendang lagi aku ke tengah-tengah lapangan untuk diperebutkan?”. Seperti seorang anak kecil, sang bola berkeluh, menandas-lunaskan segala yang dirasakan. Karena sejujurnya, ia ingin tenteram pulas di jala, tak ingin diperebutkan lagi. Sudah malas dikejar-kejar sekian puluh pemain, tiap kali pertandingan digelar. Tapi sungguh malang nasib sang bola, sia-sia ia bertanya dan berusaha membela diri karena keluhannya tak pernah dapat jawaban “karena” atau “sebab”.

Pada sebuah pertandingan penutup (final), seharusnya tak ada kata imbang karena yang diharapkan masing-masing tim adalah kemenangan. Kemenangan di sini dalam arti siapa yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan, bukan pada tingginya ball possession, kebagusan strategi atau unggulnya kapasitas pemain. Yang juga tidak seperti pertandingan penyisihan yang sah-sah saja terjadi imbang (tanpa gol atau gol yang dihasilkan sama). Maka, jika dalam pertandingan tak terdapat gol, bagaimana mau digelar sebuah pertandingan final. Tapi, inilah yang terjadi dengan “Pertandingan Penghabisan” versi Hasan Aspahani.

Dengan atraktif, satire dan menohok, Aspahani memain-mainkan bola liar kata-katanya: Tuhan, Engkau tidak usah nonton, kan? Memang sebaiknya sejenak kami Engkau tinggalkan. Jangan pernah lagi Engkau main tangan, bikin gol ke gawang salah satu dari kami, doa seorang kapten sebuah kesebelasan. Seolah kesebelasan satu tak mau menyakiti kesebelasan lawan, dengan jalan membuat gol. Setelah perpanjangan waktu, disertai ceceran kartu kuning dan merah yang mengganjar tackle-tackle kotor para pemain, gol pun tetap tak terjadi. Dan, doa kapten tim itu sungguh-sungguh dikabulkan Tuhan.


Perhelatan sepak bola di zaman modern ini, tentu bukan sebuah permainan biasa tetapi sudah menjelma sebagai ritus yang menerabas sekat-sekat wacana dan tradisi, dengan segala peranti kepentingan yang terselip di dalamnya. Membaur pekat di dalam maupun di luar lapangan, dari yang unik hingga soal mistik, dari yang renik hingga yang klenik, bahkan dari yang fantastis hingga yang erotis. Menyatu dalam helat permainan bersama riuh tempik-sorak penonton. Dan, lamat-lamat, penonton pun sering main spekulasi sendiri. Serasa kepala mereka dipenuhi rumus-rumus probabilitas. Dan seperangkat probabilitas itu bukankah sangat karib dengan mental penjudi? Inilah yang diulas dengan kemasan ironik dalam salah satu sajak Aspahani. Di mana tiap datang event Piala Dunia, selalu tak bisa lepas dari kepentingan di luar lapangan: semarak perjudian. “Saya yang berjudi nyawa di lapangan, mereka enak saja adu nasib di meja perjudian,” keluh seorang pemain bola dalam Lengking Peluit yang Lama Tak Ia Perhatikan (hlm 48).

Dalam dunia sajak, kata Goenawan Mohamad, riwayat kata dan tubuh adalah dua entitas terbatas yang dibujuk oleh sesuatu yang tak berhingga. Dalam sajak-sajak Aspahani, riwayat dua entitas itu seakan terwakili sekaligus oleh hadirnya buku antologi sajak Telimpuh (Koekoesan, 2009) ini, khususnya pada tema Malaikat Penjaga Gawang. Setidaknya, di sini, persamaan antara bola dan sastra, adalah sama-sama ingin memperlihatkan setangkup keindahan. Jika yang pertama berusaha memamerkan keindahan lewat utak-atik benda berkulit bundar hingga sedap dipandang mata. Maka yang lain, adalah upaya memainkan kata-kata dengan balutan keindahan bahasa, agar pembaca tercerahkan: katarsis.


Melalui sajak dialog maupun monolog, Aspahani berusaha menghidupkan benda-benda mati di lapangan. Ia seolah tengah mengamalkan laku dan prinsip meditasi "kemudian". Sajak "kemudian" bagi Aspahani adalah sajak yang terus-menerus menawarkan pembaruan dan kebaruan kata-kata. Tapi tetap dibimbing dialog-dialog yang cerdas. Dalam sajak Setelah Sebuah Gol umpamanya, bagaimana monolog bola itu mampu ia bangun secara ambigu tetapi juga menyiratkan pertanyaan eksistensial sehingga pembaca seperti digelitik untuk mempertanyakan apa kepentingan penonton dalam permainan sepak bola yang ia tonton.

Sebagaimana kredo "tetapi" yang diteguhinya, dalam sajak Solilokui Sang Bola Kaki, Aspahani seperti ingin menunjukkan sepenggal "tetapi" itu. "Tetapi" adalah penghubung dua kalimat atau frasa yang bertentangan. "Kenapa semua tentara tidak dilatih menjadi pemain sepak bola saja?... Mungkin dunia akan lebih damai, kalau/wajib militer diganti wajib main bola? Dan suara-suara tembakan pun berganti/menjadi riuh penonton di lapangan sepak bola?... Bukankah dengan demikian, tak ada orang biasa/yang terluka? Atau bahkan jadi korban sia-sia” (hlm 56). Membaca penggalan sajak ini, kita seolah-olah digiring untuk merenungi kata-kata Aspahani berikut: "Bila dunia menampakkan A, maka penyair harus menemukan dan menghadirkan B dalam atau dengan sajak-sajaknya". Dalam sajak-sajak yang khusus bertema sepak bola ini, Aspahani seperti tak henti membuat kejutan-kejutan baru, ia terus berlari mengejar bola kata-katanya, untuk kemudian melunaskan setiap ciptaan dalam situasi estetiknya sendiri.

Lampung Post, Sabtu, 26 Juni 2010

Monday, September 20, 2010

Selampai Sutra & Kancing Shanghai

ADUH, bagaimana aku tahan
tak  lunglai, tak lalai, di detik
kau melepas taut pada kait
kancing shanghai?       Siapa
menenun selampai, sutra
dadamu itu? Aduh, aduhai!

Getar Helikopter

SEPERTI getar gempa, getir
dada, kau berbaling-baling kata,
menyandarkan helikopter besar.

Aku berbaring, lupa dan lapar!

Sepicing Mata Kancing

AKU malam, yang tak sempat
mengancing dada. Hatiku
hanggar kosong. Tubuhku landas
pacu. Kau, penerjun liar, jatuh di
seberang, hutan ilalang.

Mataku loket tiket, tak ada
berpenunggu, ini bulan hantu,
setiap penerbangan akan
terganggu. Kau pilot tua,
setengah buta dan peragu.

Tubuhku buta semata, telah
lepas sepicing mata kancing,
tertusuk duri: rindu yang liar,
nyaring, dan runcing!

Hingar, Liar, Gempar

AKU terkurung, hingar helikopter, seperti terlempar, dikepung lapar, ke sudut dapur, terhambur tumpah, biji-biji rempah.

Aku tersudut, liar helikopter, seperti terlambung, terdampar lapar, ke sudut dapur, terserak lantak, rimpang-rimpang rempah.

Aku terperangkap, gempar helikopter, seperti tersuruk, ditumbuk lapar, ke buncu dapur, tertimpa bubuk lada, pecah cabai mentah.

Friday, September 17, 2010

Sungsang Buku Sepasang

KITA 
sepasang Buku, 
terbuka, 
tapi tak saling baca. 

Halaman kita 
makin buram, 
dan kita 
merasa 
yang tertulis di sana 
adalah 
sabda. 

Kita lupa 
Tangan 
yang menulis 
pada kita, 
adalah 
Tangan yang sama. 

Kita lupa
Serat yang 
mengertas 
pada kita 
adalah 
Serat yang sama.  

Kita 
sepasang Buku 
yang lupa, 
ingin saling 
menghapus nama, 
padahal 
sejak semula 
namaku tertulis 
di halamanmu, 
namamu terbaca 
di halamanku.  

Sunday, September 12, 2010

Cinta Tak Terlacak, di Bait-bait Acak

: untuk banyak kawan  


1. O, malam dan ruang putih. Aku seperti pasien bedah. O, kau datanglah, sebagai dokter piket atau malaikat penyensus nyawa.

2. SEPI itu seperti menantang, ia paksa aku teriak lantang! O, namamu, duri tajam di lidahku. Seucap saja, kian nyeri luka!

3. O, tanganmu termometer, mengukur hangat dahi-dadaku. "Demammu akan jadi tinggi," katamu. O, bisa kau ukur panas hati?

4. INGKAR itu sangkar yang mengurung janji, atau tali yang menjerat sayapnya. Kau tak akan sampai padaku. Tak akan hinggapi hatiku.

5. O, bulu mataku tangkai daun. Basah itu? Sisa embun. Aku sangat ingin tahu, siapa menangis untukku di sisi ranjang itu

6. KITA pasien dan pembezuk, saling menulis janji. Kalau tak sempat kita tunaikan: itu akan tertulis di nisan, semacam ratap, epitaf.

7. SUBUR sekali tidurku, di ranjang pasien ini. Lebat mimpi, tanaman menjalar, liar. Apa sebenarnya yang ingin kau semakkan padaku?

8. AKU kaktus liar, di padang dengan musim basah sebentar. O, aku sabar menunggu sekali saja ada bunga di tubuhku: mekar, sebentar.

9. BUKANKAH sejak semula aku mencintai sakit ini? O, siksa cinta ini? Aku tak akan sembuh, aku tak ingin pulih. Aku pasien rawat jalanmu.

10. AKU akan pulang, lepas dari ruang gawat darurat ini, ranjang terbang, perawat bersayap bimbang, kukira hatinya melayang.

Saturday, September 11, 2010

Di Pucuk Pohon bukan Cemara, 2

Sajak Shania Saphana


Kucing itu, seperti engkau, 
perasaan yang piatu. Atau
sebaliknya. Sama saja. Hati ini,
seperti rumah panti, yang tak
membetahkan dan hanya sesekali
engkau ingin singgah.

Aku adalah penunggu yang tak
ramah, dan tak pernah punya
bekal waktu untuk merawat cinta
yang liar. Aku selalu lapar, rakus
pada jarak jauh, dan itu
membuat aku selalu pergi,
bergairah.

Tak ada daging seremah, atau
sisa tulang yang tak terkunyah,
tak ada kuah tumpah. Hati ini,
taman bermain terbengkalai.
Rumput sudah tinggi. Di situ,
aku suka sembunyi, bersama
seekor tupai liar, dan engkau tak
akan datang sebagai perambah.


:: terima kasih untuk @banyupadmatangi

Friday, September 10, 2010

Di Pucuk Pohon bukan Cemara, 1

 Sajak Shania Saphana

Matahari itu, aku kira, adalah paket kilat,
kiriman rutin dari kantor Tuhan. Ia yang
mengirim semacam Selamat Pagi, ke bumi.

Aku tak mau terlambat menjawab. Tapi, jangan
cepat pergi ya, Matahari! Tuhan sudah tahu
jadwal hari liburku, bukan? Hari ini aku
sedang mencuci, hari yang kusut, cinta yang
kumal, hati yang kotor: ini kutukan kantor.

Mesin cuciku, tak membilas sempurna, kau
tahu, Kau tahu. Sabun cuciku, buih keringatku.

:: Terima kasih untuk @banyupadmatangi

Lagu Terakhir Kelompok Musik yang Hampir Bubar

CINTA terkadang memang tak senantiasa mudah, bukan?

Kita rapuh rangka layangan, dengan angin dipermainkan
Sudah terlalu panjang, benang hitam ini kita ulur-ulurkan

Kusut serat cahaya kilat, di langit, tak lagi bisa kita
bedakan, aku ingin menggulung apa yang tak terputuskan:
sebelum segalanya jadi rumit dan tak dapat diuraikan...

Hujan itu airmata yang melebat tapi sudah sangat hambar

Cinta sewaktu-waktu memang tak selalu sampai, bukan? 

"Aku ingin menangis," katamu. Aku mungkin akan jadi sabar,
bisa berkali-kali mendengar, seperti menyimak lagu terakhir,
karya seperdua hati, kelompok musik yang hampir bubar

Tuesday, September 7, 2010

Penjara Penjera

JENGUKLAH, kawan jauh, aku belum lagi mau mati!

Di blok ini - begitulah di sini, lama tahun-tahun ini -
pagi pergi dengan sepotong rebusan ubi, dan siang

adalah remah tempe. Yang rutin dan kehilangan asin  

Matahari, bayangan buta, mencari di rimbun mangga,
getar suara gitar, riak ombak radio, lelaki tanpa baju


Kalau kau datang, kawan jauh, bawakan sekadar buah!

Ada bis warna gerhana, yang mengantar dan menjemput
di ruang sidang, untukmu tahun hukuman ditetapkan

Pintu merah tua, jadwal kunjung dan amar peringatan

Pohon yang kau tanam, tak sempat berbuah, tumbang,
waktu menunggu  itu jadi beliung, mengayun sendiri

ke pangkal, ranting sejenak, menyentak, lalu linglung

Jemputlah, kawan jauh, aku tak tahu apa di balik pintu
lepas penjera itu, lebaran, ini penjara memperbebas aku...

Saturday, September 4, 2010

Madhu

SEBELUM rindu, telah ia lupakan rindu
Ketika pecah fajar hari pertamanya itu

Mengibas sayap seperti menepis basah
Pada manik embun menghangat rasa salah

Ia kenang Kekasih seperti harum nektar
Sembunyi di ruang dasar bunga-bunga mekar

Dongeng itu baru saja, ia segeliat larva
Tak silau cahaya, karena ia tak bermata

Ia telah tahu begitu saja, yang memanggil
Yang menunggu, di sauna-embun-matahari itu

Adakah aku mencari? Apakah dia di sini?

Seperti pintu, kelopak itu membuang kunci
Mempersila rindu, mempersalah matihati

Putih putik adalah bibir rahasia Kekasih
tapi lidahnya kedap, manis tak terkecap

Juntai tangkai adalah lambai hati Kekasih
Memanggil ia dengan suara, sunyi Mahasuara

Hanya akan pulang ia, dengan embun bergula
Renjis-percik lagu, dari Madhu sesamudera

Apakah dia menanti? Ataukah dia sembunyi?

Di sayapnya, waktu mengepak dan hinggap,
Ia tak menolak, dan hari-hari lengkap...

Ia tak peduli, berapa bunga ia singgahi,
Dengung itu yang nanti menyunyi-menandai

Apakah Kekasih adalah bayang-bayang hari?
Angin yang jari, menunjuk pada serbuksari

Apakah Kekasih adalah diam yang menemani?
Terbang yang kelilingi tiga lingkar bumi

Apakah Kekasih adalah ada diri dia sendiri?
Awatara - yang menemui dan tak lagi mencari

Ketika telah ada, ia mungkin tak pernah ada
Hanya tubuh berganti, yang meneruskan kerja

Menjemput bening gula, manis yang rahasia
Sebelum jatuh bunga, dan buah tak menggumpa

Sayapnya nanti merapuh, lalu ia terjatuh...

Ketika nanti tiada, ia mungkin selalu ada
Pada Madhu, yang menyentuh lidah Kekasihnya

Friday, September 3, 2010

Sekata dari Engkau, Sebait dari Aku

1.
JAUH sekali pulang, ke dalam sendiri diri. Lama sekali sampai ke sebut nama sendiri. Susah sekali menemu, mencari diri sendiri.

2.
AKU kini kamus satu kata, setebal bantal raja, berisi hanya satu lema: letih, dan ribuan lembar uraiannya. Kau penyusunnya.

3.
MUNGKIN ada ribuan alarma! Berdering di hatiku ketika merecup benih cinta dari engkau, tangkai yang menari, melepas tebaran spora!

4.
AKU pembantai, ribuan cupid kucekik dan mati lunglai. Kenapa masih juga tak kuasa, padamu aku jatuh cinta?

6.
BERAPA selam bisa kita menyelam ke dalam hati dalam? Hati adalah sumur tak berdasar, lorong tak berujung, seperti koridor cahaya.

7.
KARENA cemburu, aku masuk berburu, ke malam yang lebat. Kukira bisa kutaklukkan hewan biru, penuba hatiku.

8.
RINDU kukira adalah jelaga, pada peita, cinta yang tak terbakar sempurna. Tak apa, ia bisa kita pisahkan dari Cahaya, bukan?

9.
JENUH itu mungkin sekantong ampas, kucelup sudah ribuan gelas, tak lagi ada rasa menyentuh, di lidahku yang kian kebas.


10.
BAHKAN gerbong ini pun tersesat, terlepas dari loko, dan rel yang tak biasa, bias ke arah lain: stasiun yang buas

11.
ANAK pipit, di sarang terbakar suatu petang. Tak sempat teriak, "bunda", pada induk yg mengabu sayapnya, mengarang tulangnya

12.
MENGUNYAH lirih, pedas daun sirih. Kita yang tak ada: kau dan aku, menumbuk perih.

13.
BELUM habis, kita isap resah, ketika sepasang gelas itu, di tangan kita, pecah. Mata kita, saling asah. Malam, makin tajam.

14.
DI remang meja kafe, dulu kita atur komposisi, jarak dua hati: kau tak akan lupakan aku, tapi tetap pergi. Begitu? Begitu!

15.
MULUTKU pengemis lunglai. Bibirmu kedai ramai. Bila kusinggah, lidahku lepuh, bagai tercelup panas kuah soto, gurih yg membiusku

16.
DILEMA, 2 lema tak bernama, tak bisa kusinggahi, kamus yg dulu kutinggalkan, blm kurampungkan. Tak mungkin ada pertanyaan, bukan?

17.
APA yg kubayangkan ttg tulus cinta? Daun hijau, mahkota jingga menduga bahwa warna yg merona padanya disebabkan oleh embun

18.
SEPERTI lampu atheist, bagaimana ia bisa tak iman pada cahaya? Seperti aku menolak kau, bagaimana aku bisa munkar Cinta?

19.
SEPARAH apakah rinduku? Ketika aku menangis karenanya, labirin jalanku mengurai diri, menyusun jalur lurus menujumu. 

20.
PERTARUHAN penghabisan. Aku letakkan hidup yang edan. Di meja-Mu, perjudian terakhirku.. Ayo, segera bagikan kartu!

21.
KAUKAH yang melintas, sepintas, antara riuh terompah dan senyap telimpuh? Aku tak menghitung utuh, angka pecah, sudah berapa subuh?

22.
AKU tak akan ucapkan itu: baiklah, kata yang tidak baik itu. Apa baiknya? Kau pergi, aku tahu kenapa dan kemana. Baiklah?

23.
KAU pergi. Padaku tertinggal sebilah kenapa, seperti pisau yang menikam-nikam, menggali di kepala.

24.
AKU kata, lari, dari kalimatmu yang terlalu sering mengucap sendiri. Aku kata, ingin bikin tempat, bagi pelarian sendiri.

25.
AKU mau menunggu, tapi tidak dengan waktu yang liat itu. Lihat, dia tak tertebas, pedang jam, yang sesungguhnya makin tajam.



 
 

Wednesday, September 1, 2010

Harmoni

PADA Panggung Ungu, terpanggang mataku, bergeletar gendang telingaku, dilanda ombak suara, dilindu gelombang lagu.

Pada hati, lelaki menyentuhkan jemari di suara-suara itu, sunyi memanggil nyawanya kembali. Aku mendengarmu, mendengar sembunyiku
 
Bagaimana mengeja namamu, Suara? Aku bertanya, karena tak cukup sekali saja, aku merasa, kehilangan engkau.

Dua Seperti, Satu Wajahmu

SEPERTI wajahmu subuh, berpupur embun
yang tak terbasuh. Matamu ujung rangka payung,
tak habis meneteskan, anak-anak hujan.

*
Seperti wajahmu siang, terlumur peluh yang miang.
Tubuhmu mentah, matahari adalah arang, menyala
di atas panggang. Hari segera jadi matang.   

Melukis dengan Cahaya

: Diki Umbara & Reni S. Umbara  


KAMI sepasang kamera, dari semesta mata.
Kami merawat cahaya, menjaga apa yang
diteranginya.

Kami sepasang lensa, mahir menjinakkan
cahaya, meneduhkannya pada sebuah bidang,
merukunkannya bagai satu keluarga.

Kami sepasang rana, pada satu ruang sukma,
bergantian atau bersamaan: menutup dan membuka,
menyenangkan Cahaya.