Saturday, September 30, 2006




Di Halaman Madrasah

     DI halaman madrasah, mereka tidak bertingkuh tentang menang dan kalah.

     KE masjid, setelah belajar tajwid, anak-anak itu bubar mengejar azan asar,
lalu bergurau, tentang imam tua bersuara karau, dan selumur umur di sumur.

     DI halaman madrasah, mereka nonton akrobat, saksi malam penjual obat.

Thursday, September 28, 2006

Malaikat Ingat Setiap Alamat

      KAU bayangkan pesawat televisi kecil tersetel. Seperti pada kamar hotel.

     AKU masih menghayati sejuk AC. Sisa-sisa ekstase. Dengung kulit punggung.
Maithuna yang menyetubuhkan kita lagi, tadi. Anak-anak nyenyak. Meringkuk.
Kita jaga, mereka mimpi tentang sejuk rahimmu. Subuh berdentang, penjaga
mengetuk tiang. Kita tak mencatat nomor pintu. Malaikat ingat setiap alamat.

Wednesday, September 27, 2006

[Ruang Renung # 168] Sembunyi

SEMBUNYIKANLAH cinta dalam sajak cinta kita. Kalau pun tidak sepenuhnya bisa kita sembunyikan, maka tampilkan cinta itu ala kadarnya saja. Tantangan untuk kita ketika memuisikan cinta adalah bagaimana cinta itu hadir, terasa, membayang tanpa dizahirkan dalam kata. Bagaimana cinta itu hadir kuat sebagai roh dalam sajak cinta kita.

SIASAT berpuisi seperti itu juga bisa kita pakai untuk tema lain: puasa, marah, nasihat, patriotisme, dan tema-tema lain. Carilah cara mengucap yang unik, yang baru, yang tidak itu-itu saja, agar puasa, marah, nasihat dan patriotisme itu tidak hadir wadakiah. Mereka kita hadirkan ruhiah saja. Sebagai ruh, ia hadir secara lembut, mengelus, menyusup. Kehadiran yang seperti itulah yang biasanya memberi kesan hebat.

TENTU saja kita boleh marah, boleh memberi nasihat, boleh menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang kita hayati, boleh menunjukkan kewiraan kita sejelas-jelasnya. Tapi, sebaiknya itu tidak dilakukan di dalam puisi.

Memanjar Azab Membayar Siksa

Nasib
menahan sendiri
berat salib
ke bukit gaib
kau memanggul aib
memanggil
apa yang pasti raib.

Sepanjang
jalan lengang
hanya sepi berlalu lalang,
bahkan darahmu pun
tak sempat tergenang
walau berkeras
engkau ingin mengenang.

"Siapa yang
meninggalkan perih
bayang-bayang,
siapa yang
tak bisa tak hilang?"

Ya, akan ada
yang terbayar dengan mata luka
di tanganmu yang menganga
mengingat nama
mengikat lupa
memanjar azab.

Atau
membayar siksa?

Monday, September 25, 2006

Ihwal Menulis dan Membaca Puisi

KENAPA menulis dan membaca puisi? Pertanyaan ini dipakai oleh Amy Lowel dalam pembuka dua buah esainya. Saya menggabungkan kedua pertanyaan itu. Jawaban dan uraian berikut ini sebagian besar juga saya terjemahkan dari dua esai tersebut.


Bagi Lowell, pertanyaan itu sama saja jika ia ditanya: kenapa kita harus makan? Kita makan karena kita harus makan, supaya terus hidup, tapi setiap kali kita duduk untuk menyantap hidangan, kita toh tidak bilang, "Saya harus makan hidangan ini supaya saya tidak mati." Kita makan karena kita lapar. Dan bagi kita menjadi kenikmatan dan sesuatu yang selalu kita ingin lakukan.

Apa sih pentingnya puisi? Kata Lowell, puisi adalah salah satu yang paling mendasar dari hidup manusia. Tapi, secara alamiah kita tak menempatkan sajak dalam hitung-hitungan lebih seperti kita makan, lalu besok makan lagi.

Tanpa puisi jiwa dan hati manusia menderita dan mati. Satu-satunya perbedaannya adalah, semua manusia tahu kalau dia tidak makan dia akan mati, dan tak semua bahkan hanya segelintir yang menyadari tanpa puisi jiwa mereka akan mati.

Apa sih sesungguhnya puisi? Puisi adalah contoh tingkat tinggi yang amat sempurna dari emosi, atau dari setiap emosi sekilas. Tapi, puisi selalu adalah perasaan seseorang tentang sesuatu, seperti deskripsi detil sebuah pertempuran yang diceritakan oleh prajurit yang terlibat baku tembak dalam pertempuran tersebut.

Ketika merumuskan definisi puisi seperti di atas, Lowel tak ingin disalah mengeti, maka ia tambahkan, bahwa tidak setiap puisi adalah puisi sejati. Banyak, sebagian besar (Oh, ini sialnya!) puisi adalah sekadar imitasi yang jelek; sebagian lagi vulgar.

Ada yang bilang membuat sesuatu yang samar-samar seperti puisi adalah tindakan kriminal. Memang kesamaran adalah bagian yang kerap hadir dalam puisi. Puisi yang penuh kesamaran belum tentu bisa menghidupi jiwa, karena seringkali ditulis oleh seseorang tanpa perasaan vital dan orisinil, tanpa imajinasi yang menyala-nyala.

Jadinya adalah puisi yang tak berarti kecuali kata-kata bodoh, hambar seperti sesuatu yang dipaksa-jejalkan, terpencil jauh dari hidup manusia, dan hanya cocok untuk kecengengan orang muda atau orang tua yang sok tahu banyak. Memuakkan.

Itulah yang disebut sesuatu yang seperti puisi atau puisi-puisian (ini istilah saya). Secara teknik disebut derivative, artinya pengarang menjiplak emosi orang lain, bahkan seringkali kata-kata orang lain, lalu jadilah puisi-puisi hambar yang bicara tentang bunga, sinar bulan, cinta dan kematian. Padahal si penulis tak pernah digerakkan langsung oleh apa-apa yang ditulisnya: bunga bulan, cinta, kematian, dan obyek puitis lainnya.***

Amy Lowell (1874-1925), salah seorang penyair yang terus menerus bereksperimen dengan berbagai bentuk puisi, penggerak puisi imagis, dan pelopor puisi bebas yang disebutnya prosa polyphonic, tapi tetap konservatif pada inti puitika. Karyanya dibukukan sejak 1910, yang terkenal antara lain A Dome of Many Coloured Glass (1920). Salah satu dari buku puisi itu diterjemahkan oleh Hasan Aspahani, yaitu Malam Bulan Maret (Marc Evening).

Letter to A Young Poet (Letter 2)

"Jangan Biarkan Dirimu Dikendalikan Oleh Ironi"

INILAH surat kedua, yang diterima oleh penyair muda Franz Xaver Kappus dari penyair agung Rainer Maria Rilke. Jika di surat pertama Rilke menyampaikan hal yang paling dasar, yakni motivasi dan alasan menulis, di surat kedua ini sudah ada saran yang sedikit teknis.


Viareggio, dekat Menara Pisa (Italia)
April 5, 1903.

Engkau harus maafkan adu dulu. Sebab telah membuat engkau mengunggu sampai hari in, terima kasih, sampai aku teringat suratmu tanggal 24 Februari itu. Saya dalam kondisi yang tak begitu sehat, bukan sakit juga. Tapi tersiksa oleh semacam influenza yang melemahkan, yang bikin saya tak bisa berbuat apa-apa. Dan akhirnya, sejak sakit tak juga membaik, aku bertolak ke laut selatan ini. Seperti sebelumnya ada dermawan di sini yang menolong saya. Tapi saat ini saya belkum sepenuhya pulih, saya kesulitan menulis, maka cuma sedikit baris yang bisa saya tulis padahal banyak sekali yang ingin kukirim padamu

Tentu saja, engkau harus tahu bahwa setiap surat-suratmu selalu menggembirakanku, dan engkau harus sabar dengan jawabanku, karena mungkin akan sering membiarkanmu dengan tangan kosong; Pada akhirnya, dan tepatnya dalam seseuatu yang paling dalam dan paling penting, kita akan kembali sendiri; dan banyak hal mesti terus berlangsung, banyak hal mesti terus terjadi, seluruh konstelasi peristiwa mesti diisi, untuk satu kemanusiaan yang dengan berhasil menyarankan arah, atau menolong satu lainnya.

Hari ini, aku akan menyampaikan padamu dua hal lagi.

IRONI: Jangan biarkan dirimu dikendalikan olehnya, khususnya ketika engkau berada pada momen-momen tak kreatif. Ketika engkau teramat kreatif, cobalah gunakan ironi itu, sebagai salah satu cara untuk menguasai hidup. Gunakan hingga ke saripatinya, dan kita tak perlu tak enak hati karenanya. Tapi ketika engkau sendiri sudah jadi teramat familiar dengan ironi itu, kalau engkau gentar bahwa ia akan tumbuh jadi familiaritas, maka putar arah saja ke objek-objek yang agung dan serius, daripada bertahan pada ironi yang mengecil dan tak tertolong lagi. Carilah ke dalam kedalaman Benda-benda; karena disitu ironi tak pernah jadi lemah---dan ketika engkau tiba di tebing keagungan, temukanlah bahwa cara memahami dunia yang sepeti ini terbit bangkit dari pentingnya eksistensimu. Selama engkau berada di bawah Sesuatu yang serius, akan ada yang jatuh lepas darimu (kalau ia sesuatu yang aksidental), atau tumbuh menguat, dan jadi perkakas serius dan mengambil tempat yang sama di antara instrumen yang dapat mewujudkan kerja kesenianmu.

Dan hal kedua yang ingin kusampaikan padamu adalah ini:

Dari seluruh buku saya, saya hanya menemukan sedikit buku yang tak dapat saya lepaskan, dua diantaranya ada di sini, tepat di sisiku sekarang: pertama kitab suci, dan buku penyair agung Denmark Jens Peter Jacobson. Engkau tahu karyanya? Gampang untuk mendapatkan buku itu, beberapa sudah diterbitkan di Reclam's Universal Library, dalam terjemahan yang sangat bagus. Coba baca volume kecil dari "Six Stories by JP Jacobsen" dan novelnya "Niels Lyhne", dan mulailah dengan cerita pertama dalam buku pertama tadi. Judulnya "Mogens".

Kalau harus kusebutkan siapa yang memberi ilham esensi kreativitas terbesar bagiku, yang dalam dan tak habis-habis, hanya ada dua nama: Jacobsen sang penyair besar, dan Aguste Rodin, sang pematung. Keduanya tak tertanding di antara seluruh seniman yang hidup sekarang.

Dan sukses selalu di bidangmu!

Yours,
Rainer Maria Rilke.

Letter to a Young Poet (Letter 1)

"...ask yourself in the most silent hour of your night: must I write?"

INILAH surat pertama dari sepuluh surat yang merupakan bagian dari risalah yang berada di peringkat puncak, yang paling direkomendasikan dalam deretan buku tentang Proses Kreatif. Masterful and highly inspirational. Penyair Jerman Rainer Maria Rilke hingga kini masih dianggap sebagai penyair dengan gaya khas di era puisi modern. Wajib dibaca bagi siapa saja yang bergelut di dunia kreatif, khususnya di bidang sastra, terutama puisi.


Paris
Pebruari 17, 1903

Salam hormat,

Suratmu saya terima beberapa hari lalu. Aku ingin berterima kasih atas besarnya kepercayaan yang kau tempatkan padaku, Itulah semua yang bisa aku perbuat. Aku tak bisa mendiskusikan syair-syairmu, untuk beberapa alasan aku merasa asing dengan critism. Tak ada yang menyentuh sebuah karya sendi, lebih sedikit daripada kata critism. Tak semuanya bisa dinyatakan dan dilisankan, seperti yang biasanya diharuskan kepada kita untuk dipercaya. Sebagian besar pengalaman justru tak terlisankan, mereka terjadi di dunia kecil yang tak pernah dimasuki oleh kata-kata; dan yang lebih tak terkatakan daripada segalanya adalah karya seni, keberadaannya misterius dan ia terus ada disamping dunia kecil kita, hidup yang sementara, sekadar transit.

Dengan catatan ini sebagai pendahuluan, izinkan aku kasih tahu bahwa syair-syairmu tidak punya gaya khas, meskipun syair-syair itu sungguh punya kesunyian dan permulaan yang tersembunyi dari sesuatu yang personal. Aku rasakan itu sangat jelas pada puisi terakhir, "My Soul". Ada sesuatu yang mencoba untuk menjadi kata dan irama.

Engkau bertanya apakah syairmu bagus? Engkau bertanya padaku. Engkau juga bertanya kepada orang lain sebelumnya. Engkau kirimkan syair-syair itu ke majalah. Engkau membandingkan dengan syair lain, dan engkau kecewa ketika sejumlah editor menolak karyamu. Sekarang (sejak engkau bilang perlu saran saya), aku minta sudah hentikan saja itu. Engkau melihat keluar, dan itu lah yang harus engkau hindari sekarang. Tak ada yang bisa memberi advis dan bantuan--tak ada seorangpun.

Itulah yang harus kamu lakukan. Satu hal. Lihat dirimu sendiri. Temukan alasan uang menitahkanmu untuk menulis. Tengok apakah lasan itu sudah menyebarkan akarnya ke dalam hari terdalammu; buat pengakuan, apakah kamu akan mati kalau kamu dilarang menulis; dan lebih dari itu semua: tanyalah dirimu sendiri di saat malammu yang paling sepi: apa memang harus saya menulis? Gali dalam dirimu, temukan jawaban yang dalam. Dan apabila jawaban sesuai dan bergema keras, apabali engkau menjawab pertanyaan ini dengan jawaban tegas, "Ya, saya harus!" Maka kembangkan hidupmu sesuai dengan tekad itu. Hidupmu, sesederhana apapun harus menjadi tanda (sign) dan saksi (witness). dari gerak hati (impulse) ini. Lalu, cermati alam. Lalu, jangan lakukan seperti yang dilakukan orang lain sebelumnya, cobalah ugkapan apa yang kau lihat dan kau rasakan, cinta dan kehilangan. Tapi jangan tulis puisi cinta. Hindari bentuk sajak ini, karena teralalu gampangan dan teralalu biasa. Padahal puisi cinta sesungguhnya itu sangat sulit dibuat. Puisi cinta menuntut kekuatan yang penuh, perlu kematangan penulis, hingga perlu bernar-benar tercipta puisi yang individual, kaya rasa, padalah puisi jenis ini sudah sangat banyak sekali jumlahnya.

Maka selamatkanlah dirimu dari tema umum ini dan tulislah tentang apa yang ditawarkan oleh hidupmu sehari-hari. Gambarkan penderitaanmu dan keinginan terdalammu, yang melintas lewat pikiran dan percayamu -- uraikan semua ini dengan getar hati, dalam sunyi, ketulusan hati, dan ketika kau ekspresikan dirimu sendiri, gunakan segala sesuatu yang ada di sekitarmu, wujud dari mimpi-mimpimu dan obejek-objek yang kau ingat. Kalau hidup sehari-harimu sepertinya tak ada yang istimewa, jangan salahkan. Salahkan dirimu sendiri. Akui saja bahwa dirimu tak cukup syarat menjadi penyair yang dapat terus menerus memperkaya hidup; karena bagi seorang kreator tak ada istilah hidup kaya atau miskin. Dan walaupun engkau dikurung dalam penjara yang dindingnya meredam seluruh suara dunia -- bukankah engkau masih punya masa kanak-kanak? Juga perhiasan tak ternilai harta karun kenangan. Alihkan perhatianmu ke situ.

Cobalah membangkitkan perasaan yang karam tenggelam, dari masa lalu yang kaya itu; pribadimu akan menjadi lebih kuat, kecemasanmu akan melebar dan menjadi tempat di mana engkau dapat hidup dalam senja, dimana bising suara oarang lain jadi lampau sudah, jauh berjarak. Dan apabila smua itu berbali datang, bangkit dari benam dengan kata-katamu sendiri, itu salah saatnya syair datang, dan kau tak perlu berpikir untuk bertanya apakah syair itu bagus atau buruk. Juga tak perlu untuk mencoba-coba apakah syair itu sebagai milikmu yang alami, bagian dari kepingan hidupmu, suara hidupmu. Sebuah karya seni bernilai ketika ia bisa terbit-bangkit karena diperlukan. Itulah satu-satunya cara seseorang bisa menilai sebuah karya.

Karena itu, aku tak bisa memberimu advis, kecuali satu hal, kembalilah ke dalam dirimu sendiri dan tengok lagi seberapa dalam arus dimana hidumu mengalir langsung dari sumbernya, engkau akan menemukan jawaban dari pertanyaan apapun yang harus kau pertanyakan. Terimalah jawaban itu, terimalah apa yang diberikan padamu, tanpa harus mencoba untuk menginterpretasikannya. Mungkin dengan cara itu engkau akan menemukan bahwa dirimu memang diseru untuik menjadi penyair. Lalu, terimalah takdir itu, dan embanlah itu, itu adalah beban juga kehormatan, tanpa pernah bertanya apa yang didapat dari luar. Untuk seorang kreator sebuah dunia harus tercipta baginya, dan harus menemukan semuanya dalam dirinya dan di dalam alam, kepada siapa seluruh hidup ini dipasrahkan.

A Letter to a Young Poet*

INILAH risalah yang berada di peringkat puncak, yang paling direkomendasikan dalam deretan buku tentang Proses Kreatif. Masterful and highly inspirational. Rilke hingga kini masih dianggap sebagai penyair dengan gaya khas di era puisi modern. Wajib dibaca bagi siapa saja yang bergelut di dunia kreatif, khususnya di bidang sastra, terutama puisi.


Di akhir hidupnya, penyair Chech Rainer Maria Rilke berkorespondensi dengan seorang penyair muda, Franz Xavier Krappus. Franz muda, setelah membaca buku koleksi Rilke, serta merta ia menyurati Rilke. Dikirimnya puisi karyanya untuk dibaca penyair agung itu dan minta sejumlah saran.

Berikut ini adalah sejumlah surat yang peling memberi inspirasi, yang dikumpulkan dan dipublikasikan sesudah Rilke mininggal. Krappus memulai suratnya seperti berikut:

Di akhir musim gugur 1902. Saya duduk di bawah pohon chesnut tua, di taman Akademi Militer, Wina, membaca buku. Saya begitu terpesona dengan oleh kata-kata di buku itu, hingga hampir tak menyadari ketika pendeta di akademi itu, satu-satunya staf yang bukan tentara, Professor Horacek, duduk di sampingku. Dia mengambil buku di tanganku, melirik sampulnya, dan mengangguk-anggukkan kepala. "Poem of Rainer Maria Rilke?" dia bertanya sambil berpikir. Dia membuka-buka halaman buku itu, berhenti, membaca beberapa syair dan memandangi buku itu merenung-renung. Akhirnya, ia berkata, "well, Rene Rilke, muridku, sudah jadi penyair dia akhirnya."

Lalu setelah itu saya belajar darinya tentang seorang anak muda kurus yang dikirim orangtuanya ke Akademi Militer, 15 tahun lalu. Saat itu Horacek sudah bertugas sebagai pendeta di Akademi Militer. Hotacek masih ingat bekas muridnya itu dengan jelas. Dia menggambarkanmurid itu sebagai orang yang pendiam , serius, anak muda yang sangat berbakat, suka menyendiri, dan dengan sabar bertahan dari stres hidup di asrama militer. Setelah tahun keempat, dia pindah ke akademi militer lain di Mahrich-Weiskirchen. Lalu, bagaimanapun, dia nyaris kehilangan daya tahan belajarnya di resimen, maka orangtuanya menyuruhnya keluar dari sekolah itu dan mengizinkannya untuk melanjutkan studinya di rumah , di kota Prague. Lalu, apa yang terjadi setelah itu, tak diketahui lagi oleh Horacek.

Setelah percakapan itu, kuputuskan untuk mengirimkan surat ke Rainer Maria Rilke, juga karya-karya saya, dan meminta kritiknya. Waktu itu umurku hampir 20 tahun, tidak sungguh-sungguh di ambang karir, sebab ada yang bertentangan dalam diriku; sebuah pemberontakan dari dalam. Saya berharap dapat hiburan dan pengertian, dari seseorang dari pengarang buku In Celebration of Myself. Tak sungguh-sungguh meniatkannya, aku menulis surat begitu saja, lalu menyertakan syair-syairku. Pada syair-syair itu saya membuka semua perenungan trdalam saya sendiri tanpa ditutup-tutupi, padahal ini tak pernah saya lakukan sebelumnya.

Beberapa minggu lewat, dan jawaban surat pertama tiba. Surat bersegel biru, diposkan dari Paris. Di tanganku surat itu terasa berat, amplopnya bersih, indah dan tulisan tangannya sungguh meyakinkan. Seperti isi suratnya, dari baris pertama hingga baris terakhir. Lalu sejak itu mulailah korespondensi saya dengan Rainer Maria Rilke, hingga tahun 1908. Perlahan-lahan frekuensi korespondensi kami menurun dan akhirnya terhenti. Karena hidup mendesak saya untuk memilih jalan lain, yang oleh penyair penyair dengan sentuhan kepedulian, hangat, ramah, seperti hendak melindungi saya.

Tapi, itu tidak penting. Yang terpenting adalah, sepuluh pucuk surat---penting untuk memahami dunia yang dihidupi dan digeluti Rainer Maria Rilke, penting untuk siapa saja yang mulau dan sudah terlibat sekarang dan di masa nanti. Ketika jiwa yang besar dan terpilih bicara, yang harus mesti tutup mulut.

Franz Xaver Krappus
Berlin, June 1929.

Friday, September 22, 2006

[Tadarus Puisi # 7] Rasa Lapar yang Asing Itu

Kita berdua saja, duduk. Aku memesan
ilalang panjang dan bunga rumput -
kau entah memesan apa. Aku memesan
batu di tengah sungai terjal yang deras -

kau entah memesan apa. Tapi kita berdua
saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.


1989

(Di Restoran, Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, Grasindo 1994)

PILIHAN-PILIHAN dalam hidup ini seperti kita memilih restoran. Tak ada paksaan untuk masuk ke restoran mana pun. Tak ada yang mengharuskan atau melarang kita untuk hanya makan di sebuah restoran yang itu-itu saja. Ketika kita duduk di kursi ada pilihan pilihan menu yang disodorkan.

MENU apa yang kita pilih? Itu pun sebuah kebebasan. Restoran kehidupan yang kita masuki tentu berbeda-beda tawaran menunya. Ada yang menjanjikan ratusan menu, ada yang bermenu tunggal alias tak ada pilihan. Berbahagialah jika kita kini sedang berada di sebuah restoran yang menyodorkan kebebasan menu.

PILIHAN menu yang akan kita santap adalah nasib masing-masing pengunjung restoran. Aku dan kau yang datang bersamaan pun tak tahu apa yang masing-masing kita pesan. Aku memesan ilalang dan bunga rumput, kau entah memesan apa. Aku tak bisa memaksamu untuk memesan menu yang sama dengan aku. Aku memesan batu di tengah arus sungai yang deras, kau entah memesan apa.

KITA toh membayar sendiri untuk pilihan-pilihan kita? Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, aku memesan rasa lapar yang asing itu. Rasa lapar yang asing itu? Ah, lapar yang sebenarnya jadi alasan kita untuk datang ke restoran di mata penyair disebut sebagai sesuatu yang asing. Kita rupanya tak mengenal lapar itu. Untuk menjadi pengunjung restoran yang baik dan terus menjadi lebih baik, kita harus bisa mengenalnya terus menerus. Memesannya dan menyantapnya lagi di restoran kesayangan kita.

Laparmu yang Dulu

SEHABIS menyantap siang melahap malam, di
restoran kesayangan, ada yang tiba-tiba saja
terhidang. Dia bilang, "saya tak memesan ini!"

"Tapi masih ingat aku, kan? Laparmu yang dulu?"

DIA pura-pura sibuk membersihkan gigi dan mulut,
menatap piring yang berhasil dia kosongkan.

"Oh sepertinya Anda sedang kenyang sekali.
Baiklah aku permisi dulu. Ini memang bukan
saat dan tempat yang tepat mengingatku lagi."

Thursday, September 21, 2006

Mencari Haus Memburu Lapar

PULANGKAN lagi
     air pada takdir
         nasi pada nasib

BIAR bisa terus berjalan
     mencari haus
         memburu lapar

Wednesday, September 20, 2006

Perjalanan Lapar

DARI piring ke piring
     mencari kata terpantas
         nama bagi sebutir nasi

DARI tangan ke tangan
     mencari jari-jari petani yang
         menanam pagi pada batang padi

DARI lidah ke lidah
     mencari air dan tanah yang setia
         mengalir di darah tubuh sawah

Tuesday, September 19, 2006





Foto oleh Elisa Lazo de Valdez

Pencari Lapar

DI pintu fajar
sekerdip air mata
dijatuhkannya
pada sumbu lampu
yang tinggal kerlip.

Menyalalah terus,
katanya, sampai aku
kembali esok
dengan tangis penuh
terkandung jenuh
di kantung mata.

Menyalalah terus,
katanya, aku harus
bisa pergi mencari
lapar pada nasi-nasi
yang selama ini
kuserakahi.

Monday, September 18, 2006

Syairmu Penabalmu, yang Menahbiskanmu Jadi Penyair

Esai Hasan Aspahani

Mau jadi penyair? Ya berkaryalah. Memangnya siapa yang memberi status penyair kepada Raja Ali Haji? Kepada Amir Hamzah? Kepada Sutardji Calzoum Bachri? Atau kepada Hasan Aspahani? Karyalah yang menjadikan seseorang itu jadi penyair atau bukan. Memangnya Dolorosa Sinaga disebut permatung kalau dia tidak membuat sebuah karya patung pun? Memangnya, Amri Yahya itu disebut pelukis kalau dia tidak melukis sebidang kanvas pun? Memangnya GM Sudarta itu mau disebut kartunis kalau dia tidak menciptakan tokoh Oom Pasikom?

Tentu berkarya saja tidak cukup, dan lantas kau disebut sebagai penyair. Kalau hanya kau simpan di map dan diselipkan di laci, siapa yang tahu bagus tidaknya karyamu? Siarkan karyamu setelah kau yakin itu layak disebut sebagai karya bermutu, dan bisa pula mendukung niatmu untuk disebut sebagai penyair. Eit, jangan putus asa kalau redaktur menolak karyamu. Jangan memaki bahwa redaktur sastra itu penguasa yang otoriter.

Menyiarkan dan menebarkan karya tidak harus lewat satu majalah, satu surat kabar, atau jurnal saja. Kenapa tidak kau bukukan saja sendiri? Kenapa tidak mencari cara menyebarkan lain yang lebih kreatif, tidak cengeng, dan bahkan cara itu bersama karya hebatmu bisa dengan cepat mengangkat kau ke singgasana penyair, kalau memang itu yang benar-benar hendak kau duduki. Kau bisa ikut lomba cipta puisi, kau juga bisa kirim ke situs sastra, atau buatlah situs sendiri.

Mau contoh? Buatlah brosur puisi, buatlah pembacaan puisi keliling dari sekolah ke sekolah, dari terminal ke terminal, atau buatlah majalah sastra sendiri. Kamu pikir Taufik Ikram Jamil itu siapa kalau tidak ketekunannya berkarya dan membina sejumlah majalah sastra seperti Berdaulat, Menyimak dan Sagang.

Kau pikir D. Zawawi Imron itu mengemis-ngemis ke redaktur sastra supaya karyanya dimuat? Kau pikir siapa yang menerbitkan buku puisi Sapardi Djoko Damono pertama kali? Bukan penerbit tapi seorang pelukis bernama Jeihan. Lalu apakah Jeihan yang mengangkat SDD sebagai penyair? Bukan, tapi karyanya itu.

Mutu karya. Itulah pemaknaan tunggal. Tapi, ingat mutu tidak dilihat dari dimuat tidaknya sebuah karya di media. Karena belum tentu yang dimuat itu bagus, dan sebaliknya yang tak dimuat belum tentu jelek. Tak ada jalan pintas. Karena seorang redaktur itu orang yang makan gaji. Itu hanya sebuah jabatan struktural di sebuah media. Ia bisa dan kadang sangat subjektif.

Eh kira-kira dimana posisi seorang kritikus, ya? Apa pedulinya kita? Dulu memang ada HB Jassin yang tak bisa ditampik telah membesarkan dan menemukan seorang Chairil Anwar. Tapi, kembalilah tengok karyanya. Jassin mungkin tak akan pasang badan membela Chairil (apa untungnya?) kalau karyanya memang tak bermutu? Terbukti toh Jassin benar sampai sekarang, puisi-puisi Chairil tetap saja tak kehilangan kebaruannya.

Jadi kembali lagi ke karyamu. Kalau memang mutiara, kritisi akan tahu meskipun ia menyelam dalam dan kau berada dalam cangkang yang keras tebal pejal. Selamat jadi penyair, eh selamat membuat syair.***

Sunday, September 17, 2006

[Ruang Renung # 167] Pergilah....

BAGUS atau burukkah sajakku? Engkau bertanya begitu padaku. Engkau sudah pula bertanya kepada orang lain sebelumnya. Engkau kirim sajak-sajakmu ke majalah. Engkau banding dengan sajak-sajak lain, dan engkau kecewa ketika editor menolak karyamu. Sekarang (sejak engkau bilang engkau meminta saranku) saya minta padamu untuk berhenti melakukan semua itu. Engkau mencari jawaban ke orang lain, engkau mencari keluar dirimu, itulah yang harus kau hindari sekarang. Tak ada seorang pun yang bisa memberi saran atau pertolongan - tak ada seorang pun. Hanya ada satu hal yang harus engkau lakukan. Pergilah mencari jawaban ke dalam dirimu sendiri (Surat untuk Penyair Muda, Surat I, Rainer Maria Rilke)

PERGILAH mencari jawaban ke dalam dirimu.
PERGILAH mencari jawaban ke dalam ...
PERGILAH mencari jawaban ke ...
PERGILAH mencari jawaban ...
PERGILAH mencari ...
PERGILAH ...

Monday, September 11, 2006

[Ruang Renung # 166] Pizza Beraroma Terasi

JUDUL puisi itu tidak terlalu salah kalau kita ibaratkan aroma yang meruap ketika sepotong terasi digoreng. Terbayanglah kesedapan sambal terasi dari aroma itu. Tetapi kelezatan sambal terasi tidak akan pernah benar-benar ternikmati tanpa mencolek sambalnya.

YA, judul puisi adalah aroma masakan yang lebih dahulu menyapa, dan masakan yang baik, seharusnya juga diberi atau membangkitkan aroma yang juga mengundang selera. Jangan menipu: menyajikan aroma lain untuk masakan yang lain. Apalagi sampai sengaja menebarkan aroma yang seolah lezat dari masakan puisi yang bikin sakit perut. Pembaca akan merasa terpedaya, dan menuduh kita sebagai juru masak puisi yang tidak jujur. Jangan membantah tuduhan itu, tidak penting. Yang penting adalah pembaca akan batal menikmati sajian puisi kita, jika dari aromanya saja dia sudah merasa diakali. Warung puisi kita akan sepi pengunjung, dan akhirnya kita sebaiknya gulung tikar saja.

KECUALI kita ingin memasak puisi untuk diri kita sendiri. Terserah. Anggap saja percobaan. Mungkin ada masanya nanti, pizza beraroma terasi akan diterima selera.

Pornograsi

DIA dan sepi
kemudian saling
menelanjangi.

Di tubuh sepi
dia temukan
apa yang dulu
hilang tercuri
dari tubuhnya
sendiri.

Di tubuh sepi
dia bertemu
kelamin suci
: mungkin
itulah jalannya
kembali
ke rahim yang
mengandungnya
dulu, pertama kali.

Sunday, September 10, 2006

Lima Mitologi di Kompas

Lima Mitologi dari blog ini menumpang terbit di Kompas Minggu, 10 September 2006.

[Ruang Renung # 165] Mengulang Lelucuan = Tidak Lucu

SELUCU apapun sebuah lelucuan ketika disampaikan berulang-ulang maka kelucuannya pasti luntur. Begitulah juga puisi. Sehebat apapun ungkapannya dan sedalam apapun maknanya, kalau didaurulang terus, dari puisi ke puisi kita, apalagi kalau kita comot dari puisi orang lain, maka maknanya akan mendangkal, gaya ungkapannya pun busukbasi. NIlainya hilang sama sekali.

LELUCUAN baru yang segar dan tidak garing, yang cerdas dan tidak sekadar konyol, bisa dan harus kita temukan bila ingin membuat orang ikhlas tertawa atas kelucuan lelucuan kita. Bukan menertawakan kita yang kehabisan ide. Begitu pun puisi. Gaya dan cara ungkapan dan arah-arah pemaknaan baru harus dan bisa kita gali dari kehidupan, dari kenyataan agar pembaca ikhlas ikut memaknainya, menikmati gaya ungkapnya.

Friday, September 8, 2006

* Inilah sajak yang digubah ulang oleh Chairil Anwar menjadi Krawang-Bekasi

Archibald MacLeish
The Young Dead Soldiers

The young dead soldiers do not speak.
Nevertheless they are heard in the still houses.
(Who has not heard them?)...

They say,
We were young. We have died. Remember us.

They say,
We have done what we could
But until it is finished it is not done.

They say,
We have given our lives
But until it is finished no one can know what our lives gave.

They say,
Our deaths are not ours,
They are yours,
They will mean what you make them.

They say,
Whether our lives, and our deaths were for peace and a new hope
Or for nothing
We cannot say.
It is you who must say this.

They say,
We leave you our deaths,
Give them their meaning.

Thursday, September 7, 2006

Sutardji: Antara Pesan dan Pengungkapan

1. Puisi tentu saja boleh menampilkan suara zamannya, tetapi ia bukan budak zaman. Puisi selalu berdepan-depan dengan zaman. Penyair tidak tercakup atau tertunduk pada sejarah, malah ia mencipta sejarah.

2. Puisi tidak teraih hanya dengan sekadar menghiraukan pesan, isi, dan atau tema. Puisi terutama memberikan perhatian maksimal terhadap cara pengungkapan bahasanya, bila tidak, maka yang dihasilkan adalah puisi yang tidak menghiraukan puisi.

3. Puisi boleh diniatkan kosong dari tema atau tanpa pesan. Puisi yang demikian ini bisa jadi hanya berupa rangkulan akrab terhadap ungkapan atau kata-kata, bahkan sekadar bunyi-bunyian dari kata-kata. Tapi jika dibuat padu dan utuh, terkendali, menarik dan cantik serta unik, maka pembaca akan segera sibuk mencarikan pesan atau makna pada sajak itu.

4. Sebaliknya, sajak yang mengandung pesan sebesar apapun jika ia tidak menghiraukan cara pengucapannya, takkan kunjung dianggap sajak yang berhasil.

5. Puisi boleh dibuat seperti memotret kenyataan. Tapi puisi yang baik bukan potret yang datar. Ada nilai plus yang diharapkan bisa didapat ketika menatap atau membaca puisi potret tadi. Jika tidak maka pembaca tentu lebih suka menatap langsung pada kenyataan.

6. Cara mengungkap atau cara mengucap, adalah salah satu unsur penting mendapatkan nilai plus dalam sebuah sajak.


* Dari Perihal Sajak yang Tak Dimuat dalam buku Sutardji Calzoum Bachri Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001.

Wednesday, September 6, 2006

Perempuan Habis Mandi

DIA
lepaskan
handuk
di
depan
kaca

Di
meja
rias
botol-botol
kosmetika
saling tanya
: kita ini
mempercantik
dia
atau
mengotori
saja?

Edgar Degas. After the Bath. Mid-1890s. Pastel, gouache with traces of charcoal and varnish on three hotisontal strips of grey paper pasted on cardboard. The Hermitage, St. Petersburg, Russia.

Sehabis Tes Kehamilan

TUHAN,
dokter kandungan
sedang cuti
melahirkan

Saya cuma
mau bertanya
garis tiga
itu artinya
apa?

Setelah Lama Pergi

WAKTU pulang.

Pintu itu kini
terbuka lapang.

"Permisi, bagaimana
cara masuk ke sini?

Tuesday, September 5, 2006

Cita-cita Sederhana

KARENA tidak pernah punya waktu
dia ingin punya kalender sendiri.

[Tadarus Puisi # 6] Doa Agar Lapar tak Hanya Mencari Kenyang

Kalau ada tangan yang mengulurkan kenyang dari perut nasi
       hingga enyah lapar ini, Kaulah tangan itu.
Kalau ada kenyang yang meliputi nasi hingga bergerak tangan
       ini membukanya, Kaulah kenyang itu.
Kalau ada nasi yang menghidupkan kembali jiwa lapar hingga
       bangkit kekuatan tangan ini, Kaulah nasi itu.
Tapi kalau ada lapar yang bergerak menggeliat merebut nasi
       untuk sekadar kenyang hingga tergoncang seluruh bumi,

Kaulah airmata ini.

Amin.

(Doa I, Abdul Hadi WM, Tergantung Pada Angin, Budaya Jaya, 1977)



a. Mari kita bagi sajak sepuluh larik ini pada dua bagian. Larik satu hingga enam kita sebut saja sebagai pemanasan. Larik genap adalah satu bagian dengan larik ganjil sebelumnya yang dipisahkan dengan pemenggalan. Pemenggalan sepertinya tidak terlalu dipertimbangkan oleh penyair sehingga tidak banyak menambah kekuatan puisi. Lihatlah posisi kata hingga di awal larik ke-2 dan di akhir larik ke-5, dan di tengah larik pada bagian lain. Fungsi kata sambung itu sama penting. Tetapi dimana letaknya di dalam larik tampaknya tak terlalu dipentingkan oleh penyair.

b. Empat larik terakhir adalah bagian terpanas dari puisi ini. Ada ledakan pada larik "Kaulah airmata ini", dan ledakan itu adalah klimaks yang memang dihendaki dan dipersiapkan dalam puisi. Larik-larik pemanasan tadi adalah Dan diredam lagi ledakan kemudian dengan larik sekata "Amin". Strategi pengaturan emosi pada sajak ini boleh dikatakan berhasil. Sebagai pembaca saya bisa ikut hanyut pada pasang naik dan turun geloranya.

c. Ada lima kata kunci: perut, nasi, tangan, lapar, kenyang. Lima kata-kata itu lalu dimain-mainkan, maka terciptalah:
       - tangan mengulurkan kenyang dari perut nasi hingga enyah lapar
       - kenyang yang meliputi nasi hingga bergerak tangan membukanya
       - nasi yang menghidupkan jiwa lapar hingga bangkit kekuatan tangan
       - lapar yang bergerak merebut nasi untuk sekedar kenyang
Kalimat-kalimat itu sudah dipindahkan oleh penyair dari keseharian kedalam alam puisi. Perut, nasi, tangan, lapar dan kenyang dalam puisi berhasil dilainkan dari kesehariannya. Inilah hakikat dari kerja menyair: memindahkan keseharian kata-kata sekaligus membuat alasan perpindahan itu agar di alamnya yang baru dia (posisi kata-kata, hubungan-hubungan sesama kata) terasa wajar dengan ketidakwajarannya. Lalu dari kerja "melainkan" muncullah kemungkinan pemaknaan yang bermacam-macam.

d. Lalu apa makna dari sajak ini? Penyair sudah menyebutnya sebagai doa. Aku dalam puisi, menyadari bahwa Engkaulah yang memberi kenyang, engkaulah yang memberi rasa lapar sehingga si aku bergerak untuk mencari kenyang, engkaulah si pemberi rezeki sehingga aku harus bekerja agar engkau membagikan nasi yang halal. Tetapi si aku tidak ingin jadi orang lapar yang hanya memburu kenyang. Jika itu yang terjadi maka si aku berharap agar Engkau mengingatkannya. Si aku menyesali sekali jika itu terjadi. Sesal itu cukup dilambangkan dengan airmata. Begitulah kira-kira.

Sunday, September 3, 2006

Kisah Kota Ular

/1/
SEMAKIN ramai saja bis di terminal antarkota.

Dia duduk di kursi dekat jendela: walaupun tahu
tak akan ada yang melambai untuk kepergiannya.

Kota telah menjadi seekor ular raksasa: menelan
hidup yang lengah, lalu menguyah perlahan-perlahan.

Hanya akan ada selumur, sisa-sisa nama kuburan.

/2/
SEMAKIN ramai saja bis di terminal antarkota.

Dia nanti ingin turun di tengah perjalanan. Lalu
menyelilir hutan, sampai jejak kisah itu ia temukan.

"Dulu ada sekelompok pemburu singgah di desa
itu. Mengajari anak lelaki meruncingkan mata panah
Dan memikat hati gadis dengan tubuh bergetah."

Seorang lelaki pemburu terpisah dari kelompoknya.

"Dialah lelaki yang memberi benih di rahimku, dan
engkaulah anak yang membuatnya semakin tak
menyesal menggantikan busur dengan tugal dan
garu," kata ibunya bercerita, kisah yang selalu ia
pinta. Tapi ibu tak pernah ingat wajah dan nama.
Ibunya lalu berkisah tentang seekor ular raksasa.

/3/
SEMAKIN ramai saja bis di terminal antarkota.

Gerbang selamat datang: semakin mirip rahang.
Dari bangku paling belakang, ada yang terbayang.

Dulu hutan itu mengenali bau tubuhnya. Seperti
ia petakan setapak jalan di telapak kakinya.
"Ada ular raksasa membuka jalan untuk kita,"
katanya kepada teman-teman sepermainannya.

Lalu akar api menunjang, lalu daun api melebat
lalu cabang api memanjang, lalu sulur api memanjat.

Ah, sempatkah hirup hembus nafas bertukar?
Bau daging hangus terbakar. Akhir kisah ular?

"Ibu, yakinkan aku. Di kuburkobarapi, bermakam
ular raksasa ataukah dia, lelaki tempatku berbapa?

Friday, September 1, 2006

Hendragunawan Sardjan Thayf
Kegembiraan Seorang Pengrajin

       Penyair Hasan memiliki karakteristik tersendiri diantara sekian banyak penyair yang berkreasi di 90-an dan 00-an. Telaten dalam mengumpulkan pengetahuan dan disiplin dalam mempelajari dan mempraktekkannya, khususnya tentang gaya dan bentuk pengucapan puitik. Ketika ia menulis sajak-sajak yang mirip Sapardi, Sutardji, Jokpin, atau entah siapa lagi, saya percaya dia tidak sedang sekedar “ngidam” apalagi epigon. Dia menikmati tantangan untuk menulis sajak dalam gaya yang pernah dipakai oleh penyair-penyair terdahulu semata karena ketertarikan seorang tukang untuk menaklukkan suatu rancangan baru—sesungguhnya dia sendiri telah memiliki karakter pengucapan yang khas. Kegembiraannya adalah kegembiraan seorang pengrajin. Selain itu, dia juga mampu secara efektif memanfaatkan teknologi jaringan internet untuk mencari inspirasi dari berbagai kahazanah sastra dunia dan membagi kenikmatan membaca sajak-sajak yang dituliskannya. Sastrawan siber dalam spiritnya yang hakiki…
Semacam Pengantar:
Saya tidak sedang berkampanye jadi Menteri Perpuisian dan Kepenyairan. Jadi siapa yang ingin menertawakan RUU ini ya silakan. Mau merevisi ya silakan. Mau membaca dengan serius ya silakan. Ini cuma hasil kerajinan tangan pencinta puisi yang lagi kurang kerjaan. Ini edisi revisi. HAH

Rancangan Undang-undang
Perpuisian dan Kepenyairan

(Edisi Revisi Pertama)

Menimbang:
a. BAHWA di seluruh dunia tidak ada bangsa atau suku bangsa yang tidak mempunyai tradisi puisi, apapun bentuk dan kekhasannya. Puisi adalah lumbung kekayaan rohani umat manusia.
b. BAHWA di seluruh dunia dari zaman purba, manusia menciptakan puisi dengan fungsi dan tujuan yang bermacam-macam: keagaman, sosial, dan atau individual.
c. BAHWA puisi tentang apa saja, sampai kapan saja akan terus dituliskan, dinyanyikan, dibaca, untuk memukau, menghibur, memperkaya rasa dan hati, mengajak bercanda, merenung atau menyadari siapa sesungguhnya diri manusia.

Mengingat:
a. PUISI yang baik bisa mendekatkan manusia kepada Tuhan pencipta alam dan sesama manusia.
b. PUISI yang baik bisa membantu manusia menjalani hidupnya dengan lebih baik.
c. PUISI yang baik adalah pembuka jalan ke masa depan bahasa-bahasa.

Memutuskan:
Menetapkan: Undang-undang Perpuisian dan Kepenyairan


Bab 1. Ketentuan Umum
Pasal 1
Puisi dan Penyair

1. PUISI atau sajak adalah apa yang digubah dan diniatkan oleh penyairnya sebagai sajak. Kemudian niat sajak penyair itu bersesuaian dengan niat sajak bahasa dan niat sajak pembaca.

2. PUISI terutama hadir dengan kehadiran kata, tapi keadaan absen kata pun bisa menghadirkan puisi. Apa yang puisi bisa hadir atau dirasakan pada bahasa cahaya, bahasa bunyi, bahasa benda, bahasa rasa, dan bahkan bahasa aroma.

3. PENYAIR adalah orang-orang yang menggunakan sebagian waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menghadirkan puisi, menyiarkannya di berbagai jenis media dan atau kadang-kadang melisankannya di hadapan khalayak ramai.

4. PUISI terbaik adalah puisi yang bahasa yang membangunnya dan makna yang dikandungnya tidak pernah menjadi bagian dari masa lampau, ia selalu bisa dikaitkan dengan masa kini dan ia bahkan menjadi isyarat masa depan. Puisi yang demikian hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat dan kederdasan yang tinggi.

5. PUISI adalah dunia rekaan, dunia fiksi, peristiwa yang dialami atau yang dibayangkan oleh penyair dihadirkan dalam kata-kata dan bahasa yang bukan kata, dan tidak lagi berada di dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu puisi tidak bisa ditakar dengan ukuran yang biasa dikenakan untuk kehidupan sehari-hari.

6. PUISI adalah hasil dari kerja penyair mengamati dan menghayati alam dan meneliti peristiwa yang dialami manusia, lalu dengan menaati, mempermainkan, memberdayakan bahasa, bahan itu oleh penyair diolah, dengan demikian maka rujukan pertama dan terutama bagi puisi dan penyair adalah kehidupan dan tata bahasa.

7. PROSES penulisan puisi berakhir apabila dalam kata-kata dan bahasa lainnya yang dipermainkannya telah tersusun pesan yang hendak disampaikan olehnya dan atau telah tersusun peristiwa yang dirasa-rasakan pernah dialaminya dan ia merasa peristiwa dan pesan itu telah mengandung makna, berarti dan atau bermanfaat.

8. PUISI menjadikan hal yang sederhana menjadi aneh, yang mudah dipahami dirumuskan berliku-liku, sehingga ia memberi kejutan, malahan bahkan bisa mengelirukan. Tetapi keanehan itulah yang menjadikan puisi mengesankan, sukar dilupakan, terpatri dalam ingatan.

Pasal 2
Bentuk, Ruh, dan Falsafah Puisi

1. TAK ada batasan tentang seberapa panjang atau seberapa pendek sebuah puisi boleh dituliskan. Panjang pendek sajak tidak berhubungan dan tidak menentukan mutu puisi.


2. PENYAIR bebas memilih bentuk puisi. Penyair bebas memilih apakah ia ingin terikat pada sajak berbentuk tetap atau bebas dengan bentuk sajak bebas. Penyair bebas merusak bentuk-bentuk tetap, juga bebas membuat sebuah bentuk tetap yang baru.


3. ADA ruh dalam setiap puisi yang baik. Penampakan ruh itu timbul tenggelam antara kerumitan dan keutuhan puisi. Ruh puisi samar bahkan hancur pada sajak yang menawarkan kerumitan tetapi tidak bisa meraih keutuhan. Ruh puisi pucat, pudar bahkan hilang pada sajak yang utuh tapi sama sekali tidak asyik karena tidak menawarkan tantangan pemaknaan dengan kerumitan yang memadai.


4. TIAP penyair pasti akan dan harus menemukan dan atau memiliki kredo atau falsafah perpuisian dan kepenyairannya sendiri. Falsafah itu bukan cetakan yang tetap, tetapi ia menjadi tangan gaib yang membimbing penyair bertemu puisi-puisinya. Falsafah itu kemudian menjadi pintu masuk bagi pembaca untuk melancong ke dalam puisi-puisi itu. Tentu saja pembaca boleh menemukan atau menciptakan pintu lain untuk menemukan kenikmatan lain.


5. PENYAIR boleh kapan saja meninggalkan kredo atau falsafah puisi yang pernah ia temukan, karena penyairlah yang menemukan kredo itu, bukan kredo yang menemukan penyair.

Bab 2. Hak Puisi dan Tanggung Jawab Pembaca
Pasal 3

PUISI memerlukan dan berhak untuk dicurahi daya upaya yang total dari pihak pembaca yang bertanggung jawab sebagai pemberi makna pada sajak itu, karena puisi merupakan bangunan bahasa yang menyeluruh dan otonom, hasil ciptaan seorang manusia penyair dengan segala pengalaman dan suka-dukanya.

Bab 3. Kebulatan dan Keutuhan Puisi
Pasal 4

SEBUAH puisi yang baik merupakan sebuah kebulatan dan kepaduan makna di mana segala unsur berkaitan satu dengan yang lain, di mana setiap bagian atau aspek menyumbang pada keseluruhan makna. Aspek sajak tersebut terdiri atas aspek makna, aspek tata bahasa, aspek struktur sajak, aspek bunyi sajak.

Bab 4. Peran dan Tantangan Penyair
Pasal 5

1. PENYAIR menjalani peran kepenyairannya antara permainan kata ala anak-anak dan penyampaian makna bak seorang nabi. Penyair bermain kata-kata sampai di dalamnya tersusun atau tersampaikan makna. Anak-anak hanya asyik pada permainan kata-kata tak peduli apakah bermakna atau hanya sia-sia. Nabi tidak bermain kata tetapi ia menyampaikan kata-kata yang bermakna yang ia terima sebagai wahyu dari Tuhan untuk dikabarkan kepada manusia, umatnya.


2. PENYAIR harus tetap mempertahankan kesadaran kritis agar ia tetap bisa mempertahankan kepenyairannya dan memberi kesaksian lewat sajak-sajaknya.


3. TANTANGAN penyair adalah terus-menerus mencari dan mengembangkan tema sajak-sajaknya dan menciptakan cara pengungkapan baru, bahasa yang baru, yang berbeda dari yang dipergunakan oleh para penyair sebelum dia.


4. PENYAIR berhadapan dengan sejumlah kode tetap dan konvensi. Tetapi, kode dan konvensi itu bukan merupakan sistem yang tetap dan ketat: dalam kegiatan penciptaannya si penyair berhak dan bertugas untuk menerapkan sistem itu secara individual, menyesuaikan menurut keperluannya sebagai seniman, malahan memperkosa dan melanggarnya seperlunya. Pemerkosaan dan pelanggaran konvensi adalah sifat puisi yang khas, malahan pada masa-masa tertentu hasil dan nilai sebuah karya puisi sebagai besar ditentukan oleh berjaya-tidaknya dalam usahanya mendobrak dan merombak konvensi itu.


5. TETAPI dalam pelanggaran itu si penyair mau tidak mau terikat pada konvensi itu, agar tercipta ruang apresiasi yang layak untuk pembaca. Tidak pernah ada kebebasan mutlak atau kemungkinan untuk penyimpangan total; sebab perombakan total akan berarti bahwa bagi pembaca tidak ada kemungkinan lagi untuk memahami karya itu.


Bab 5. Penyair dan Kehidupan
Pasal 6

1. PENYAIR yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan dengan lingkaran dunia yang lebih besar. Perhatian pada dunia luar itu mengandung pengertian menaruh atau memberi hati, perbuatan yang dekat persinggungannya dengan mencintai.


2. TEMA cinta abadi dalam sajak karena timbul dari dorongan pertama penyair hendak menulis sajak. Cinta itu dapat berhenti pada “perhatian dan menaruh hati” itu saja, tetapi dapat pula meluap sebagai nafsu dan rindu yang ingin meluluhkan diri dengan subyek cintanya: bunga, langit, anak, kekasih, keindahan atau kebenaran yang didamba.


3. PUISI harus berada di pihak manusia korban, manusia yang lemah, yang tertekan, yang terasing atau diasingkan dari kenyataan kekuasan, dari komunikasi kemanusiaan.


4. DALAM puisi yang memerlukan kesaksian bukanlah kenyataan, bukan fakta dan kekuasaan, melainkan yang mungkin, yang rapuh, yang kelak retak, yang sia-sia.


Bab. 6 Sumber Ilham
Pasal 7

1. MASA kecil, istimewa atau biasa-biasa saja, bisa menjadi ilham puisi. Masa kecil harus dicurigai menyimpan sesuatu di bawah hal-hal yang berlangsung begitu-begitu saja.


2. PENYAIR harus sabar menjelajahi dan meneliti sudut-sudut yang luput dari teriak dan siul masa kecil agar hidup kembali atau tertangkap dalam kata-kata puisi.


3. SEGALA hal dalam masa kecil penyair diam-diam kemungkinan telah menjelma menjadi lambang-lambang; atau mungkin juga di masa kecil, lambang-lambang telah menjelma dalam hidup sehari-hari sebagai yang nyata. Karena itu masa kecil benar-benar mengasyikan: kita tinggal dalam dunia yang tersusun dari lambang-lambang dan karenanya sangat kaya makna.


4. PENGALAMAN-pengalaman yang sulit diingat karena amat sepelenya dan cenderung mudah dilupakan saja, harus diundang, dikenang, dirawat, ditumbuhkan lagi karena ia berharga untuk dicipta kembali dalam sajak-sajak.


5. PENYAIR harus mengamati, mengalami dan menghayati banyak hal. Kemudian perlahan ikhlas mendamaikan segalanya dalam ingatan. Ketika hal-hal itu datang serempak atau satu per satu, karena rangsang hal lain dan imajinasinya telah mengajaknya bermain, maka itulah saatnya ia menuliskannya sebagai puisi.

Bab 7. Pembaca, dan Memaknai Sajak

Pasal 8
Penyair dan Pembaca Sajak

1. TUGAS penyair adalah mengejutkan pembaca, dengan melakukan penyimpangan dari pemaknaan bahasa yang sudah terbiasa, sudah familiar, usang dan luntur. Tetapi kemungkinan, kelonggaran penyimpangan, selalu ada batasnya, yakni batas kemungkinan komunikasi.


2. Penyair harus mengupayakan agar sajaknya sampai kepada pembaca dan susunan kata-katanya tidak menghalangi pembaca untuk menyusun sendiri citra-citra atau imaji yang menggambarkan peristiwa tertentu. Tetapi juga tidak terlalu mudah sehingga tidak menawarkan imaji apa-apa bagi pembacanya.


3. Penyair tidak boleh menghalangi, juga sebaliknya tidak bisa memaksa pembacanya untuk ikut, atau akrab atau bahkan memiliki peristiwa dalam sajak yang ia ciptakan.


4. Pembaca-pembaca sebuah sajak bebas menangkap imaji yang mendukung sebuah sajak, tetapi bermakna tidaknya peristiwa itu baginya tergantung pada pengalaman, kecederdasan, dan kemauannya untuk membuka diri.


5. Modal pembaca untuk mendekati karya puisi terutama terdiri atas sistem konvensi yang ada, yang dikuasainya; kalau sistem itu sama sekali tidak dapat dipakai lagi untuk memahami karya seni maka dia bingung, apresiasi tidak mungkin lagi baginya.

Pasal 9
Membaca dan Memaknai Sajak

1. Tak Tergantikan. Penafsiran sajak tidak pernah dapat menggantikan sajak itu sendiri. Sebab sajak yang baik adalah ekspresi yang ideal dari kebenaran yang direbut oleh penyair dari kehidupan. Penjelasan dan penafsiran hanya dapat berfungsi sebagai pengantar kembali pada sajak itu sendiri.


2. Merebut Makna. Membaca puisi berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna sajak yang disajikan oleh sang penyair.


3. Tak Pernah Tuntas. Tidak pernah ada makna sajak yang final, tidak pernah ada pengetahuan yang definitif dalam sajak. Puisi tetap pasemon yang terus-menerus memerlukan interpretasi, atau lebih tepat penghayatan dalam arti rangkap: pembaca tidak saja memberi hayat pada sajak yang dihadapinya, dia juga menerima hayat daripadanya, dihidupi olehnya.


4. Kaidah Paradoks Kode. Dalam membaca sajak pembaca selalu menghadapi keadaan paradoksal. Pada satu pihak sebuah sajak merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan tafsirkan pada sendirinya; sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri. Tetapi pada pihak lain tidak ada puisi yang berfungsi dalam situasi kosong; setiap sajak merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, merupakan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu.


5. Permainan Kejar-mengejar. Membaca puisi adalah semacam permainan kejar-mengejar antara sajak dan pembaca; sajak mengelak, mengejut, menyesatkan, meragu-ragukan si pembaca, tetapi si pembaca tak henti-hentinya berusaha menangkap sajak, mengembalikannya pada suatu yang dikenalnya, dipahaminya, menjadikannya wajar, koheren dan bermakna.


6. Paradoks dan Ironi. Paradoks dan ironi adalah ciri khas, bahkan bisa jadi syarat mutlak sajak modern. Salah satu bentuk ironi yang bisa dilacak ketika membaca sebuah sajak adalah pertentangan antara bentuk dan makna, antara ungkapan dan fungsinya, dalam keseluruhan sajak.


7. Klimaks Sajak. Sajak seringkali membeberkan semacam klimaks, sehingga informasi yang hakiki yang menentukan makna keseluruhannya, seringkali didapatkan oleh pembaca dalam bagian akhir sajak yang padanya bisa kita temukan beberapa kata atau ungkapan kunci.

8. Defamiliarisasi. Pembaca puisi harus siap terkejut dengan usaha defamiliarisasi yang dibuat oleh penyair. Defamilirasisai atau usaha untuk menjadikan sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang tidak ramah, yang tidak akrab, atau dengan kata lain deotomisasi adalah ciri khas puisi.

9. Hubungan Antarsajak. Sajak bisa dibaca, dipahami dan ditafsirkan sendiri, atau dengan memanfaatkan bahan atau data luar. Kadang ada hubungan batin antara beberapa sajak dalam karya lengkap atau sebuah kumpulan sajak seorang penyair. Ada kalanya penyair itu sendiri memberi petunjuk tentang hubungan antara dua atau lebih banyak sajak.


Bab 8. Bahasa Sajak
Pasal 10

BAHASA, dengan segala tata dan tertibnya, tidak hanya bisa dipakai untuk menata dan menertibkan sajak. Penyair berkarya dengan memanfaatkan konvensi dan aturan tata bahasa, menggali potensi kreatif dan sensitif yang ada pada bahasa sepenuh-penuhnya menjadi kekuatan sajak.

Bab 9. Sajak Gagal
Pasal 11

PADA prinsipnya bahasa puisi memang harus dapat dikembalikan pada yang bermakna dan kalau itu tidak mungkin untuk pembaca yang cukup peka, maka puisi itu telah gagal.
DENGAN kata lain, sebelum memutuskan sebuah puisi telah gagal atau berhasil, maka pertama yang harus dipertanyakan oleh pembaca adalah sudah sampai pada tingkat apakah kepekaan rasa dan minda puitiknya.

Bab 10. Penutup
Pasal 12

6. UU Perpuisian dan Kepenyairan ini tidak mengikat siapapun, khalayak pembaca dan penyair yang sama-sama terus mencari jalan untuk menikmati puisi hanya ingin diketuk dan diberi rangsang pemahaman untuk kemudian dibebaskan mencari jalan sendiri.


7. UU Perpuisian dan Kepenyairan ini boleh ditaati dengan ikhlas, dijadikan panduan, dibantah, dilupakan atau dibuat tandingannya. Silakan saja.


Batam, September 2006


Dirumuskan oleh Hasan Aspahani dari naskah-naskah telaah puisi oleh A Teeuw, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Rainer Maria Rilke, dll.