Wednesday, May 25, 2011

[Kolom] Humas dan Pesawat Retak

KONSULTAN humas sehebat apapun tak bisa menutupi pesawat yang retak. Tim humas secanggih apapun tak bisa menutupi kebobrokan dan tak akan bisa menyelamatkan nasib sebuah perusahaan penerbangan. Mari kita belajar pada kasus Adam Air, sebuah maskapai penerbangan agresif, tapi ceroboh, berumur pendek, dan akhirnya memang ditutup.

Kejadian I. Pada 1 Januari 2007, pesawat Boieng 737-400 yang dioperasikan oleh maskapai Adam Air dengan nomor penerbangan DHI 574 jatuh di perairan Majene. Tidak ada satupun dari 85 orang penumpang dewasa, 7 anak-anak, 5 balita, 4 awak kabin serta pilot dan kopilotnya yang ditemukan jenazahnya hingga sekarang.

Kejadian II. Pada 21 Februari 2007, pesawat Boieng 737-300 yang juga dioperasikan oleh Adam Air dengan nomor penerbangan KI-172 , yang mengangkut 148 penumpang retak di sayap bagian belakang.




Distrik Manajer Adam Air Surabaya Natalia Budiharjo pada hari kejadian membantah berita retaknya pesawat yang mengangkut 148 . "Kalau pesawat retak, pastinya tidak bisa diderek. Tapi nyatanya pesawat kita bisa diderek sampai ke hangar Merpati," katanya.

Ia juga membantah bahwa pesawat yang terbang dari Jakarta tersebut mendarat dengan baik. "Saya ingin tegaskan pada masyarakat bahwa pendaratan yang dilakukan Kapten Dita dilakukan secara normal. Namun karena ada gangguan angin saat mendarat, demi keselamatan semua penumpang, roda pesawat di-rem," ujarnya.

Pernyataan manajemen Adam Air itu bertabrakan dengan dengan pernyataan sumber informasi lain yang hari itu sudah banyak dikutip media. Wiryanto Airport Duty Manager Bandara Internasional Juanda pesawat tersebut retak di sayap bagian belakangnya . Kelak publik tahu manajemen Adam Air berbohong.

Adam Air berusaha melengkapi “kebohongan” dengan mengecat pesawat rusak tersebut. Seluruhnya jadi putih. Tak ada lagi warna jingga jeruk yang jadi ciri khas maskapai tersebut. Bagian tubuh pesawat yang retak ditutupi terpal putih. Beberapa hari setelah kecelakaan itu saya sempat melihat pesawat tersebut, membengkok, patah ditengah, dan putihnya bikin pesawat tampak seperti pocong.

Tindakan mengelabui publik itu sia-sia. Kenapa? Karena Gambar pesawat yang patah itu ini sudah tersebar. Di televisi dan intenet jutaan orang sudah melihat dengan jelas retakan di tubuh Adam Air. Bahkan saat pesawat itu dicat putih pun disiarkan.

Membantah fakta, dan menutupi fakta itu mungkin bagi Adam Air adalah tindakan kehumasan yang sigap. Setelah pesawat mereka jatuh setahun sebelumnya, citra Adam Air jancur dan harus dipulihkan jika perusahaan itu ingin bertahan. Pesawat yang retak jelas buruk sekali dampaknya bagi maskapai penerbangan yang modal utamanya adalah kepercayaan penumpang, dan jaminan keselamatan bagi mereka.

Tapi, Adam Air lalai dan gegabah. Mereka melanggar banyak kesalahan dengan tindakan itu. Banyak aturan yang mereka langgar dan itu akhirnya berujung pada pencabutan izin.

Kesalahan pertama: Adam Air ini telah melanggar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pasal 34 ayat 2: Siapa pun dilarang merusak, menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian-bagian pesawat atau barang lainnya yang tersisa akibat kecelakaan, sebelum dilakukan penelitian terhadap penyebab kecelakaan itu. Ancaman hukuman bagi pelanggarnya adalah enam bulan kurungan serta denda Rp 18 juta.

Ah,cuma enam bulan dan Cuma Rp18 juta. Mungkin manajeman Adam Air berpikir seperti itu. Jadi, ya tabrak saja.

Lalu, secara kehumasan, kebohongan Adam Air tentang retaknya pesawat mereka juga melanggar kode etik Perhumas, pasal III yang mengatur Perilaku Terhadap Masyarakat dan Media Massa, yang berbunyi: Butir c. tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan. Butir d. Senantiasa membantu menyebarluaskan informasi maupun pengumpulan pendapat untuk kepentingan Indonesia.

Jika tindakan Adam Air itu dilakukan lewat sebuah perusahaan kehumasan maka satu lagi pasal dalam kode etik dilanggar. Dalam kode etik Asosiasi Perusahaan Public Relation Indoensia Pasal 2 tentang Penyebarluasan Informasi disebutkan: Seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak sengaja dan tidak bertanggung jawab, informasi yang palsu atau menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi.

*

Kalangan humas Indonesia harus merasa bangga karena punya seperangkat kode etik profesi yang bagus sekali, sebagai mana dua pasal yang saya kutip dari dua kode etik di atas. Ada satu kata yang mempertemukan profesi humas dan wartawan: kepentingan masyarakat.

Keselamatan penumpang pesawat adalah sebuah kepentingan publik yang tak bisa ditawar. Untuk itulah wartawan berusaha keras mencari kebenaran apakah pesawat Adam Air retak? Jika kepentingan untuk publik itu disadari pihak humas Adam Air tak perlu berbohong dan itu artinya melanggar kode etik profesi dan perusahaan kehumasan.

*

Buat saya, seorang humas itu seperti nabi. Ia bekerja karena ada informasi penting yang benar dan harus disampaikan dengan cara yang benar, dan diterima dengan benar, Karena itu, seorang humas perlu merenungkan empat sifat nabi untuk diteladani.

SIDDIQ (BENAR) - Humas bekerja mengelola informasi yang benar. Ia pun berperilaku benar. Ia membawa pesan dari lembaga dimana ia bekerja sebagai humas. Ia juga bekerja, pada atau untuk lembaga yang benar, untuk tujuan-tujuan yang benar.

TABLIG (MENYAMPAIKAN) – Dengan kata lain: komunikatif. Ia punya kemampuan untuk berkomunikasi dengan sangat baik. Karena tanpa itu, informasi yang benar pun bisa diterima dengan salah.


AMANAH (TERPERCAYA) – Humas pada dasarnya tidak bisa memanipulasi fakta, menutupi sebuah fakta. Apalagi di zaman ketika sebuah berita bisa menyebar dengan lekas. Kepercayaan tidak dibangun dengan memanipulasi data, tapi dengan kejujuran.

FATHANAH (CERDAS) – Peran humas penting tidak hanya pada saat menghadapi krisis, tapi sepanjang sebuah lembaga atau institusi hidup, hadir, bergiat, tumbuh, dan berinteraksi dengan publik. Di saat apapun, terlebih di saat kritis, kederdasan seorang humas sepenuhnya diuji. []



:: Kolom ini disampaikan dalam Workshop Krisis Pemberitaan dan Manajemen Komunikasi Publik, diselenggarakan oleh Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, di Graha Pena, Batam, Kamis, 26 Mei 2011.

Monday, May 23, 2011

[Tadarus Puisi #041] Bagaimana Chairil Menerjemahkan?

KITA bisa belajar dari sajak yang ia terjemahan ini. Bila sajak aslinya menekankan pada citraan-citraan laut, sebagaimana tersirat di judulnya, Chairil memindahkan penekanan itu pada sosok dara dalam sajak itu.

Chairil pun ganti judulnya. Jika menerjemahkan adalah pengkhianatan, penggantian judul adalah pengkhianatan terbesar dan terindah yang dilakukan Chairil dalam sajak ini.

Dalam terjemahan ini, juga dalam terjemahan lain, Chairil berhasil meyakinkan kita, bahwa Bahasa Indonesia kita ini punya potensi estetis (ini dulu sempat amat diragukan, bahkan masih diidap oleh banyak pemakai bahasa Indoensia sampai saat ini) yang luar biasa. Mari kita nikmati.

Datang Dara, Hilang
Terjemahan Chairil Anwar

“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”

“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”

“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”

“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”

“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”

“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”

“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”

“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”

“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?

Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –


A Song of The Sea  
Hsu Chih Mo

I
“Girl, girl alone,
Why do you wander
The twilight shore?
Girl, go home, girl!”

“No, I won’t go!
Let the evening wind blow
On the sands, in the glow.
My hair is combed bay the winds,
As I wander to and fro.”

II
“Girl, with the hair uncombed,
Why do you stay
By the cold silent sea?
Girl, go home girl!”

“No, let me sing,
Let me sing, wild sea who sings to me
Under the starlight, in the cool winds
A girl’s voice singing free”

III
“Girl daring girl
Dark clouds are coming over the sea’s edge
Soon there will be fierce clouds
Girl, go home, go!”

“Look, I am dancing in the air,
I am a seagull dancing among waves,
In the ecening tide, in the sands,
Swiftly hovering, gracefully,
Back and forth, back and forth.”

IV
“Hark, the wild rages of the wild sea!
Girld, go home, go!
Look, the waves are fiarce beasts.
Girl, go home, girl!”

“The wave will not eat me,
I am like the tossing of the wild seal
In the tide’s song, in the wave’s light
I hurry amidst the sea-foam,
Tumbling, tumbling!”

V
“Girl, where are you girl?
Where is your song?
Where is your graceful body?
Where are you, daring one?”

The dark night eats up all the stars
There is no more light on the sea,
No more girl on the beach,
No more girl – no –

Pulang Dia, Pergi Dia

AKHIRNYA toh kita juga akan meninggalkan segalanya

Ibu buta yang mengajarimu berlagak pada mata kamera
Ayah tak terasa ada, tapi merasa memberi segalanya

Dan rumah, di mana sekolah ke situ hendak kau pindah

*
Akhirnya toh kita akan pulang, dan kehilangan rumah

Halaman tempat kita berkejar dengan kelinci angora,
Mawar bertangkai pendek, yang durinya minta kaupetik

Dan Nyonya Televisi, benda mati yang tak pernah mati

*
Akhirnya, kau mau satu kursi bebas, di universitas
Tempat kau duduk menjadi murid, belajar Psikologi

Kita memang sering lalai belajar pada diri sendiri

pada jendela, kaki ibu, bayang-bayang ayah, lalu kau
pergi, lari ke gerbang lembaga negara yang semestinya
melindungi anak-anak yang lebih malang darimu, Arumi

*
Akhirnya toh kita harus sendiri, menemui diri sendiri

Kafetaria, 1

DI kafetaria itu, 
ada meja 
berkursi satu  


Asbak batu, di situ

Dan rokok sebatang  
melintang 

Berasap bimbang 

Saturday, May 21, 2011

Dinamo Gola Gong

::  Catatan pendamping untuk buku Dunia Ikan - Belajarlah pada Alam - Gol A Gong, yang segera terbit. Penerbitan buku ini adalah bagian dari solidaritas penulis untuk membebaskan tanah Rumah Dunia seluas 1.873 meter persegi dengan harga Rp. 200.000,- per meter persegi. Kelak, di atas tanah itu akan dibangun gedung kesenian dan perpustakaan.
Kemungkinan inilah sampul bukunya.
 JIKA maksud Gola Gong mengutip sajak-sajak di awal kisah petualangan serial Balada Si Roy (BSR) di majalah HAI dulu adalah mendekatkan sastra kepada remaja, dia berhasil. Saya adalah orang yang siap jadi saksi di pengadilan mana pun jika ada yang menggugat keberhasilan itu. Dia dengan BSR telah sangat berhasil menarik saya ke dunia imajinasi yang mahaluas: Sastra, dan khususnya puisi.


Ya, Gola Gong adalah magnet yang dengan rendah hati menyadari benar bahwa ia adalah magnet. Karena kesadaran itulah kemudian, dia membuat kumparan besar di sekitar magnet dirinya. Maka terciptalah sebuah dinamo besar yang  tak lagi hanya menarik benda-benda mengandung logam minat pada sastra, tapi ia membangkitkan energi listrik. Ia mengalirkan energi itu kemana-mana, membuat lampu-lampu kecil menyala, menebarkan terang.

Dinamo itu bernama Rumah Dunia, sebuah komunitas yang ia bangun dengan perjuangan yang tidak hanya mempertaruhkan darah dan keringat, tapi harga dirinya juga. Dan listrik yang kini pelan-pelan mengalir ke seluruh pelosok negeri ini bernama Gempa Literasi - gerakan mendekatkan sastra hingga ke pelosok-pelosok terpencil di Indonesia. Dan dia nyaris bergerak sendiri.

Dan kumpulan sajak Dunia Ikan, Belajarlah Pada Alam ini adalah bagian dari perputaran dinamo besar itu. Saya menerima draf buku sajak ini pagi Sabtu, hari ketika saya hanya akan masuk kantor setengah hari. Dan jam-jam kerja saya hari itu, harus saya habiskan untuk menelurusi sajak per sajak. Maaf, kantorku, sesekali mengalahlah untuk urusan puisi. Dan kesan yang serta-merta: ini adalah sajak-sajak yang menggairahkan.

Berada di antara hamparan sajak-sajak Gola Gong, saya tiba-tiba terbelah jadi dua. Separo saya terlempar ke masa-masa dulu ketika saya di depan lembaran-lembaran majalah remaja itu membayangkan menjadi sosok remaja lelaki yang gelisah, berontak, dan tak betah dengan kungkungan rumah dan sekolah. Saya menemukan Gola Gong yang lama itu. Yang namanya adalah misteri. Dan sosoknya adalah mitos. Lalu lari ke alam, mereguk langsung nafas kehidupan dari jalanan. Itu terjadi misalnya ketika saya membaca sajak "Sungai dan Gunung".
Aku jadi membenci sungai,/ pabrik mengencinginya setiap saat,/ keindahannya bukan milikku lagi./ Aku tak berani lagi mandi di sungai,/ ikan-ikan menyuruhku pergi, / mereka malah minta dipindahkan, / ke akuarium; di Ancol atau di ruang tamu. //  Aku tak punya sahabat, / gunung sudah meninggalkanku. / Di puncaknya tak ada lagi hawa segar/ : berganti neon dan lenguh birahi / tak ada mata air/ bola golf menyumbatnya./ Sungai dan gunung,/ kini kuratapi dalam bingkai / foto atau lukisan.
Jika sajak ini dulu dikutip di awal salah satu serial BSR, pasti akan dicantumkan nama Herry H Harris, nama aslinya. Nama itu, kami kira adalah seorang penyair besar mana yang ia kutip, seperti nama-nama lain, Toto ST Radik, Rys Revolta, yang ternyata adalah sahabat-sahabat baiknya.

Jika seorang petualang membenci sungai, merasa ditinggalkan gunung sahabatnya, apakah lagi yang dipunyai olehnya? Inilah cara marah khas seorang petualang. Ketika alam rusak, itulah alasan kemarahan yang paling sahih. Itulah kemarahan yang sekaligus jadi peringatan. Dan semangat itulah yang bisa saya tarik dari seluruh sajak di buku ini. Judulnya sudah dengan tegas mengatakan itu: Belajarlah pada Alam. Ini adalah himbauan sederhana - mungkin bagi sebagian orang terasa membosankan - tetapi sampai kapanpun punya alasan kuat untuk diteriakkan. Gola Gong dengan sajak-sajaknya melakukan itu.

Sajak-sajak di buku ini, lalu juga menampar separo diri saya menyadari sepenuhnya sirkumstansi yang kini sedang dihadapi oleh siapa saja yang hidup di negeri ini. Saya menemukan Gola Gong yang lain, Gola Gong yang baru, yang sebenarnya ingin saya tolak. Tapi, tamparan itu menyadarkan saya bahwa saya tidak baik terus hidup dalam mitos. Gola Gong bukan lagi seorang pengarang yang hanya bisa saya hadirkan sosoknya dalam alam pikir saya yang mitologis tentangnya. Ia nyata. Ia seperti saya, menghadapi perkara rumit, dan persoalan ruwet. Ia, bersama saya, sama-sama hidup di sebuah  negeri besar, berpotensi besar, tapi centang perenang karena salah urus. 

Dan itu ditulis lewat perumpamaan ikan. Ini adalah modus pengucapan yang cerdik, dan menarik. Gola Gong tentu tak ingin sekadar berbeda. Ia memang akrab dengan dunia itu: nelayan, ikan, laut, dan tanpa keakraban, yakinlah tak akan lahir permenungan tentangnya, dan tak akan pernah ada sajak-sajak di buku itu.

Harus saya sebutkan, bahwa buku ini adalah magnet lain, adalah energi listrik lain, yang sebagaimana karya-karya Gola Gong yang lain, akan menyetrum banyak orang untuk mengikuti seruannya: belajar pada alam, merenungkannya, menyadari masalah-masalahnya, menuliskannya, dan terus menjalani hidup dengan daya kreatif yang tak pernah terpadamkan oleh kendala atau keterbatasan apapun. Harus saya katakan, Gola Gong - dia yang dulu atau yang sekarang - adalah dinamo pembangkit energi kreatif, dengan energi pemutar yang ia serap dari segala penjuru. []

Friday, May 20, 2011

Pada Kaing Anjing

MAKA, dia masuki ganggang gurun, malam, angin, embun 
Dia musafir sendiri, terpisah dari ragu, dari kafilah seregu

Tak ada aroma kedai, sekadar maklumat untuk singgah
Dia hanya akan tegakkan tenda, mengeringkan leleh lelah

Dia dilanda lindu: Terus menjauh dari yang merenda rindu  
Teriak jejak siapakah yang itu menanda, pada kaing anjing?

Dia meninggalkan seseorang, sepi dia sekarang. Seorang.

Wednesday, May 18, 2011

[Bukan Perkara Puisi] Situs-situs Belajar Kartun

:: Cartoon Drawing
:: Karmatoons

[Kolom] Janji Sebuah Kursi Roda untuk Ibu Kedua

SENJA, dalam perjalanan dari kantor ke rumah, disergap kenangan pada seseorang yang bagi kami adalah ibu kedua, serta teringat pada sebuah janji padanya – ini paduan yang membuat saya menangis dari balik setir.  Saya menangis.  Benar-benar menangis.

*

Kami – para kemenakannya – memanggilnya Angah. Namanya Siti Fatimah. Ia dipanggil begitu karena ia anak kedua dari kakek-nenek kami.  Paman atau bibi tertua kami panggil julak. Lalu setelah  angah, berturut-turut paman dan bibi kami – saudara orang tua kami – dipanggil acil atau antin bila perempuan, nanang bila ia laki-laki, dan dan busu untuk si bungsu. Begitulah tata-krama menghormati orang-orang tua, mengagungkan perkerabatan dan pertalian darah, dengan cara memanggil mereka dalam bahasa kami, Bahasa Banjar. 



Angah meninggal. Abah yang menyampaikan kabar itu padaku. Saya terkejut, meski sudah lama tahu, bahwa Angah tak lagi sehat. Kira-kira sebulan sebelumnya, Angah minta saya menelepon dia. Ia jarang minta saya menelepon, bahkan nyaris tak pernah.  

Saya bicara padanya, sesekali, lewat telepon, sekalian saja kalau saya menelepon ibu atau ayah saya.  Atas permintaannya kala itu, saya menelepon Angah lewat ponsel Busu, yang tinggal bersamanya. Ia bertanya kapan saya pulang lagi ke kampung – tentu saya jawab nanti kalau ambil cuti dan anak-anak libur.  Saya bertanya soal kesehatannya, dia menceritakan soal nafasnya yang sesak. Saya bisa pastikan itu dari suaranya yang berat.

Beberapa bulan sebelumnya, saya sekeluarga pulang kampung, dan kami bertemu. Rumah Angah tepat di sebelah rumah orangtua saya.

“Kalau kamu pulang kampung lagi nanti, mungkin Angah sudah tidak ada,” katanya. Seakan mengabarkan firasat bahwa umurnya tak akan panjang lagi.
  
*

Ya, bagi kami – para kemenakannya – Angah adalah ibu kedua. Ia sendiri tak punya anak kandung. Sampai ajal menjemputnya, ia tak pernah menikah.  Uang hasil kebun kelapanya, warisan dari kakek kami, ia dermakan untuk biaya sekolah kami, para kemenakannya.

Saya ingat, waktu kanak-kanak di sekolah dasar, saya berjualan es blok. Ini sejenis es yang dicetak di tuangan alumunium dan disekat-sekat. Sekatan-sekatan itu membentuk potongan es seperti balok-balok kecil.  Di sekolah banyak juga anak-anak lain yang berjualan.  Persaingan lumayan ketat. Saya punya siasat dagang juga.  Siapa yang membeli es saya, saya beri bonus gambar – kemampuan menggambar saya sejak kecil memang sudah bisa diandalkan. Ya, maksudnya, saya akan gambarkan sesuatu di buku gambar kawan-kawan yang membeli es saya. 

Jika es dagangan saya tak habis, saya harus menjualnya lagi di kampung sepulang sekolah. Jika hingga petang tak habis juga, Angah suka memborong habis semua es yang tersisa.  Satu termos panjang, berisi 40 potong es blok. Satu blok harganya waktu itu Rp25. Tiap sepotong es yang terjual saya dapat upah Rp5.  Itu artinya, jika habis satu termos saya dapat menabung Rp200, plus bonus dua potong es, yang bisa saya makan atau jika saya jual saya dapat tambahan penghasilan Rp50.

Saya kira, dengan begitu – dengan sesekali membeli habis sisa es dagangan saya – Angah mengajarkan bagaimana dia menghargai arti pekerjaan dan bekerja.  Dan pelajaran amat berharga itu ia ajarkan dengan cara lain. Angah kami seorang yang hidup dengan keterbatasan.  Sewaktu kanak-kanak dia sudah menunjukkan kecerdasannya.  Ia lekas tamat mengaji Alquran. Tapi ia tak sampai tamat Sekolah Rakyat. Sakit polio membuat kedua kakinya tidak tumbuh normal, mengecil dan lemah. Seperti sebatang bamban.  Ia sempat memaksakan juga sekolah, meskipun dalam perjalanan ke sekolah – melewati jalan desa yang becek dan bersemak - ia harus puluhan kali tersandung dan jatuh.

Kakinya makin lama makin rapuh. Ia tak lagi bisa berdiri, dan akhirnya hanya bisa bergerak dengan berkisut mengandalkan dua tangan.  Punggungnya tak lagi lurus, tetapi berundak seperti tangga satu tingkat.  Ia suka kalau kami – ketika masih kanak-kanak dulu - duduk  bermain di situ, di punggungnya yang datar itu.

Begitulah, Angah tidak pernah meratapi cacatnya.  Dengan separoh badan normal dan tangan yang kuat dan cekatan, ia tak pernah diam. Ia mencuci pakaian orang serumah – cuciannya sangat bersih, karena ia sikat dan kucek lama sekali – tanpa pernah minta bayaran.  Ia juga pandai menganyam ketupat, dan ia menjadi guru mengaji bagi kami para kemenakannya.

Sejak kakinya lumpuh, sampai ajal menjemput, Angah tak pernah ke mana-mana. Ia hanya bergerak di dalam rumah.  Ia membereskan tempat tidur sendiri, mencuci pakaian di pagi hari, mandi dan berkemas badan setelah itu, tidur siang, sembahyang, mengaji, makan, dan bercakap-cakap dengan siapa saja yang datang mengunjunginya. 

Angah pendengar yang baik.  Jika kami berkumpul saat libur sekolah atau kuliah, ia suka bertanya bagaimana kabar sekolah kami dan ia dengan penuh rasa ingin tahu mendengarkan cerita kami.  Ia selalu terharu gembira ketika kami pulang libur, dan melepas kami pergi lagi dengan linang air mata.

Saya membayangkan betapa membosankannya hidup Angah. Sehingga, dulu, mungkin ketika saya SMA, atau mungkin sudah kuliah di tahun pertama, saya pernah berjanji padanya. Nanti saya akan belikan kursi roda untuk Angah. Saya akan membawanya dengan kursi roda itu keliling kampung, dan kelak kalau saya punya mobil, saya akan bawa Angah ke kota.  Angah tertawa senang mendengar apa yang saya janjikan itu. Ia mungkin mengira saya main-main saja untuk menghibur dia.

*

Angah meninggal dengan tenang. Setelah adik bungsunya meninggal beberapa tahun lalu, Angah dirawat – termasuk disuapi makan - oleh sepupu kami, kemenakan yang tinggal serumah dengan Angah. Tiga hari menjelang ajal menjemput, ia tak mau makan banyak.  Dan pagi itu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. 

Ayu, sepupu kami yang di hari-hari terakhir menyuapi Angah makan, dengan mata berurai tangis berlari ke rumah sebelah, rumah masa kecil saya. Ayah saya segera memeriksa Angah. “Angah sudah tidak ada lagi,” kata Ayah saya. Ia segera menelepon saya.  “Angahmu meninggal, baru saja.”   Ya, semuanya berasal dari Allah, dan kepada-Nya, segalanya kembali.  Tak lama berselang, adik-adik saya juga mengabarkan berita duka itu kepada saya. “Ya, saya sudah dengar dari Abah,” kata saya.

*

Senja, dalam perjalanan dari kantor ke rumah, disergap kenangan pada Angah, serta teringat pada janji membelikan dia kursi roda dan mengajaknya jalan-jalan ke kota – janji yang tak mungkin bisa saya tunaikan lagi - membuat saya menangis dari balik setir.  Janji yang tak terpenuhi itu, jauh lebih menyesakkan dada, daripada rasa sesal lain sebab saya bahkan tak sempat menghadiri pemakamannya. Saya tak ikut berdiri menyembahyangkan jenazahnya.  Saya menangis.  Benar-benar menangis.  []

Monday, May 16, 2011

Biografiti

DIA dilahirkan pagi, Ibu sabar dan tak cemar
Hangat mata matahari dia peluk seakan tembuni

Dia menyusu dari pori keringat dan kulit susu

*
Bila demam merayapi, ibu lekas melapainya dengan
serendam pucuk lembut lalambai, daun rajabangun

*
Pada usia lima, itu pertama kali dia berkelahi

Bukan karena berani, tapi karena terlalu sedikit
yang dia punya: wayang katak dan kura-kura biru

Dan itu harus dia pertahankan dengan kepalan
dua tangan, dan dengan genggaman dua nyali


*
Pada usia enam, dia belajar menunggang sepeda
Dengan rantai dan roda memperpanjang dua kaki

*
Karena tembuninya matahari, dia lahir sebagai
bayi petani: selamanya menjadi jaga putik labu,
menjadi gembala bagi ternak kambing dan lembu

*
Di takungan tangannya pernah menetas sebutir
telur ayam hutan, setelah eraman tak tuntas
induk yang mati dibunuh musang, di hari ke-21.

*
Umpama umpan daging kelomang, dia sentak
terkail sembilang. Begitulah mulut laut menjadi
guru, mengajarkan ilmu menghalau hulu-bimbang.


*
Dia punya luka yang hingga kini masih tak sembuh

Luka tak terkeringkan oleh serbuk satin penisilin
Luka yang menandai bilakah mana dia mulai mengaji

Luka yang bertambah setiap hari, karena mata duri
jeruju cemburu di ruas jalan kasar ke sekolah dasar

*
Karena mencintai rumah, dia amat gemar berkemah,
Membangun tenda dari karung semen dan turus kopi

Dan tidur di situ setelah mengatur karikatur mimpi

*
Dia sudah bisa berenang, diajari oleh gelombang
Ketika pertama kali harus memakai celana panjang

Bukan untuk sekadar menutup, dua lutut telanjang

*
Dia sudah tahu waktu, saat Ayah memberi jam tangan
Ada jam besar di Masjid desa, beralarm suara azan.

*
Hujan tak menggigilkan dia, hujan adalah
kawan bermain, dia menunggu datang musimnya.

Petir tak menggentarkan dia, petir adalah
retak langit bagi ulur tangan yang akan
menjemput dia ke negeri yang menunggu dia.

*
Ketika memasukkan kaki ke jins pertamanya, dia
seperti  memasuki lorong tambang, atau seperti
menaiki sebuah tangga besi, ke sebuah kapal api.

Dia menggali mineralnya sendiri, yang tak ada
dalam tabel berkala, dia memikul dari kolong dengan
bahu yang mulai mengeras tulang. Dia memulai
pelayarannya sendiri. Yang jauh, berbadai gamang.


*
Pada hari dia terbang sendiri, di pesawat yang
harga tiketnya dia tabung dari upah menggambar, dia
amat percaya bawa sayap tidak tumbuh di punggung,
tapi itu telah lama ada, membentang di dalam kepala.


*
Senja dia pengaku dosa-dosa yang paling kotor
Malam dia penyair meragi jawab tak pernah ada

Fajar dia pengemis pemalu yang enggan meminta
Siang dia pewarta yang meragu pada peristiwa

*
Dia cuma pekebun sukun, bukan tuan sehutan jati

Dia cuma penanam dan penjaga kelapa sehalaman,
bukan pemilik luas lahan sawit berhektar ribuan

*
Dia imam sembahyang, berjamaah saf bayang-bayang.

[Tadarus Puisi #040] Perihal Dedy

:: Nanti kita lanjutkan.....


Sunday, May 15, 2011

Sampul Buku Edisi Pertama Kumpulan Kolom Kamisan

[Kutipan] Yang Kita Peroleh dari Terjemahan

DI dunia ini ada satu hal klise yang paling tua yaitu pernyataan "ada yang hilang dalam terjemahan", tapi Anda jarang menandai apa yang cemerlang yang kita peroleh dari terjemahan, dan jawabannya adalah segala hal. Bahasa kita adalah ikhtisar dari banyak terjemahan - Sam Hamill.

Tolok Ukur Puisi Dangkal

CHAIRIL Anwar pernah mengemukan sebuah pernyataan keras. Penyair, katanya, harus terus-menerus berjuang untuk mencapai teknik yang baik. Ia juga harus terus-menerus berjuang untuk mencari makna dari kehidupan ini.

"Penyair juga harus melawan godaan-godaan dalam kehidupannya yang tak terhitung banyaknya, yang mencoba menariknya dari kehidupan itu sendiri," kata Chairil, sebagaimana dikutip Drs M.S. Hutagalung dalam buku "Memahami dan Menikmati Puisi" (Penerbit Buku Kristen; Jakarta; 1971).


Godaan-godaan itu akan menyeret penyair ke arah pemikiran dangkal, yang hanya akan menghasilkan karya puisi yang dangkal. Apakah puisi yang dangkal? Berikut ini saya sarikan butir-butirnya dari buku tersebut:

1.  Puisi dangkal adalah puisi yang hanya berisi kesan-kesan sepintas, kesan-kesan saat melihat suatu kejadian, yang hanya sampai pada tingkat kesan-kesan pribadi yang tidak menarik pada orang lain.

2. Puisi dangkal adalah sajak yang cengeng, yang hanya berisi rengekan dan tangisan yang tidak wajar.

3.  Puisi dangkal adalah yang mencoba kontemplatif, merenungkan persoalan tetapi belum sampai keluar dari persoalan itu, belum dapat mengambil makna dan hakekat dari persoalan tersebut.

4. Puisi dangkal adalah puisi yang tak memancarkan pesona, yang tak mengandung hal-hal yang cukup berarti.

5. Puisi dangkal adalah puisi yang tidak mengandung falsafah hidup di dalamnya, sehingga hanya tampil berupa permainan kata atau frase kosong.[]

Jalan Kelahiran Puisi Hebat

"RUPANYA mengutarakan amanat dan tema secara implisit memengaruhi juga pesona puisi," kata Drs. M.S. Hutagalung dalam buku "Memahami dan Menikmati Puisi" (Badan Penerbit Kristen; Jakarta; 1971).

Puisi yang hebat lahir dari serangkaian proses saat ia dituliskan. Sikap penyair terhadap dirinya sendiri dan pembacanya, juga menentukan puisi seperti apa yang akan ia hasilkan. Saya menyarikan uraian di buku itu menjadi tujuh butir sebagai berikut:

1. Penyair harus jujur kepada dunia, ia juga harus jujur kepada dirinya sendiri artinya hanya mengemukakan apa yang diketahuinya benar-benar dan apa yang diyakininya sungguh-sungguh.

2. Ciptaan yang agung selalu ditandai kepribadian, keorisinilan. Jadi tak mungkin kita temui suatu ciptaan yang berpribadi dari manusia yang tak berpribadi, yang tak mempunyai konsep-konsep tersendiri dalam kehidupan ini.

3. Tak mungkin kita menerima suatu pendapat atau konsep merupakan kebenaran yang eksistan bila penyairnya sendiri  tidak yakin akan konsep-konsep yang dikemukakannya.

4. Kadar intelektualitas yang dikandung dalam sebuah karya sastra ikut juga menentukan nilai karya sastra itu.

5. Tentu saja kecekatan penyair dalam menjinakkan segala unsur-unsur ciptaannya memegang peranan yang menentukan.

6. Penyair harus dapat menjalin segala unsur-unsur itu dengan lenturnya hingga tercipta suatu kebulatan yang harmonis, wajar dan seimbang, baik berupa ia unsur lahiriah maupun batiniah. 

7. Kerendahhatian penyair dalam menuliskan sajaknya atau mengemukakan amanatnya akan terasa simpatik bagi pembaca.

8. Sekalipun penyair ingin memberi suatu kebijakan kepada pembaca janganlah terasa bahwa ia hendak menggurui mereka. []

Kaidah Karya Besar

KENAPA sebuah karya sastra memikat pembaca? Kenapa daya pikat itu bertahan lama? Kenapa sebuah karya dengan daya pikat yang lama itu menjadi karya besar, sementara karya lain tenggelam terlupakan?

Ketajaman pandangan, kedalaman penglihatan sampai mendasar, kekayaan imaji, kecendekiaan dan kekayaan emosi menandai ciptaan-ciptaan abadi.  "Semuanya itu mengarah untuk menemukan hakekat manusia, menemukan hakekat kehidupan," kata  Drs M.S. Hutagalung dalam buku "Memahami dan Menikmati Puisi", (Badan Penerbit Kristen; Jakarta; 1971.


Pertanyaan di atas menjadi pokok perhatian kalangan sastra dan peneliti sejak dahulu.  Berikut ini ada lima butir yang dipetik dari buku tersebut.  Butir-butir yang menurut penulisnya ditarik dari patokan-patokan yang sudah diberikan oleh peneliti dan filsuf-filsuf terdahulu. Meskipun demikian, kata penulis, kita tak perlu berhenti merumuskan dan merumuskannya lagi. Berikut inilah, butir-butir itu:


1. Ciptaan-ciptaan besar selalu ditandai oleh kesungguhan dari pengarangnya.

2. Pengarang sungguh-sungguh menganalisa dan merenungkan persoalan-persoalan dalam kehidupan manusia, sehingga mereka dapat mengungkapkan kebijaksanaan yang dapat dipakai oleh manusia sebagai jawaban persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan ini.

3. Pandangannya mendasar sehingga dapat menggambarkan dengan tersendiri bukan hanya fakta-fakta tapi juga apa yang tersembunyi di balik faktisitas itu.

4. Yang mereka gambarkan adalah esensi kehidupan itu sehingga kesedihan yang mereka gambarkan adalah sekelumit dari derita manusia pada umumnya, sedang sukacita tokoh-tokoh adalah merupakan suka cita manusia sejagat pada umumnya.

5. Dengan demikian orang-orang membacanya beranggapan bahwa derita yang dibaca adalah deritanya sendiri, pengalaman-pengalaman yang dibacanya adalah pengalamannya sendiri, atau pengalaman yang demikian itu akan dialaminya pada situasi tertentu.[]

Wednesday, May 11, 2011

Lemur

MUNGKIN kami memang sekawanan hantu,
seperti nama yang pada kami kalian namakan  

Mungkin kami adalah hantu dari para arwah 
yang berbahagia, yang masih amat penasaran
pada gelisah dunia: hutan tropis, gersang padang,
seperti pada sebuah pulau yang kami petualangi 

Kalau kalian tersasar di malam Madagaskar, 
tatap mata kami, tangkap ada sinar memancar

[Kolom] Aku & Balada Si Roy, 22 Tahun Kemudian (2)

:: Bagian 1 baca di sini.

BALADA Si Roy adalah panggung. Panggung itu berdiri kokoh, bukan hanya bagi Gola Gong, pengarangnya, tapi, juga bagi ratusan ribu – ah, bisa mungkin jutaan – pembaca yang menggemarinya. Mereka, para pembaca itu, mengidentikkan diri dengan si Roy dan semua lakon yang terbentang di atas panggung itu. Mereka melihat kisah mereka sendiri di situ.

Sebuah panggung, adalah sebuah tempat bagi kita untuk tampil.  Sebuah tempat untuk mengabarkan kepada orang lain tentang siapa diri kita. Sebuah tempat aktualisasi, agar kita tidak terkubur oleh zaman yang lekas berlalu dan kejam.  


Kisah Balada Si Roy adalah sebuah panggung yang tidak mewah, tidak megah, tidak juga tinggi,  tapi ia kokoh, kuat dan terbentang sangat luas. “Saya mempersiapkan cerita Si Roy enam tahun,”  kata Gola Gong, malam itu, di dataran Anjung Cahaya, Tanjungpinang. Sebuah persiapan yang lama, matang,  menguji daya cipta, menantang, dan saya kira pasti menggelisahkan.

Angin laut bersaing dengan hingar-bingar pengeras suara dan cemerlang tata cahaya. Kami berdiri saja di sisi kiri panggung pembukaan Temu Sastra Indonesia.  Mendengarkan nama-nama sastrawan disebutkan: termasuk nama kami. Gubernur Kepri dan Walikota Tanjungpinang bergantian berpidato.  Kami tidak duduk. Berdiri saja di tempat yang tak tersorot cahaya. Saya mengkonfirmasi banyak hal tentang Balada Si Roy, padanya, ya, pada pengarangnya sendiri, Gola Gong, yang malam itu berdiri di kiri saya!

“Kalau pakai skala sepuluh, dalam sosok Si Roy itu saya empat bagian, selebihnya gabungan dari beberapa kisah dan karakter lain,” kata lelaki yang kini sudah berusia 47 tahun itu.   Joe, si anjing herder itu fiktif. Ia sengaja menghadirkan hewan setia itu, yang dalam kisah Roy digambarkan sebagai warisan dari ayahnya yang bandel,  tewas karena  mencari jalur pendakian lain di sebuah gunung. Joe, yang tewas dalam sebuah perkelahian di pantai, berhasil mengajarkan bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang dicintai dan amat berharga buat kita.

Gola Gong sangat tahu apa arti kehilangan. Sejak kanak-kanak tangan kiri Gola Gong diamputasi sebatas siku. Ia pernah bertanya pada mamanya, apakah tangannya itu akan tumbuh lagi. Mamanya mengiyakan, tapi sedikit demi sedikit memberi pengertian bahwa dia tak akan pernah punya tangan yang utuh lagi.

Satu hal terkonfirmasi: sebagai pengarang, Gola Gong adalah perekam kehidupan. Ia menyerap tragedi manusia yang ia alami sendiri, atau pengalaman orang lain yang ia dengar, ia saksikan, lalu dengan imajinasinya sebagai pengarang, kisah-kisah itu ia ramu. Dengan begitu kisahnya, jadi kaya, unik, tapi sekaligus juga jadi bisa dimiliki oleh banyak orang. Saya kira, itu sebabnya kisah itu punya banyak penggemar. Balada Si Roy, telah menjadi panggung bagi banyak orang.

Enam tahun persiapan bukanlah waktu yang singkat. Gola Gong memulai persiapan kisah itu saat kuliah di Fakultas Sastra Unpad Bandung. Kuliah itu tidak dia selesaikan. “Dari kuliah saya, ilmu yang saya dapat, cukuplah untuk dapat sarjana muda,” kata Gola Gong, sama sekali tanpa penyesalan. 

Tapi, dia tahu pasti – dan itu jauh lebih penting - bagaimana sastra bisa mempengaruhi dan membentuk karakter.  Jika semua serial Si Roy dimulai dengan petikan puisi, Gola Gong memang punya misi khusus.

“Saya ingin Si Roy menjadi sastra perantara. Sastra yang mengantar pembacanya untuk mencintai sastra yang lebih serius. Ya, lewat petikan-petikan puisi itu,” katanya. Dan saya kira, dia sangat berhasil. Saya, termasuk orang yang terantarkan oleh pengantar itu.  

“Saya ingat almarhum bapak. Tahun 1974, tangan saya diamputasi.  Bapak mengajak saya ke pasar Senen beli buku. Ke Sarinah naik lift dan eskalator. Kata bapak, buku akan membuatmu lupa bahwa tanganmu buntung. Juga hal-hal baru seperti lift dan eskalator itu akan membuatmu percaya diri. Setelah dewasa saya memahami inilah bagian dari pendidikan karakter,” kata Gola Gong.

Balada Si Roy dimulai dari buku pertama “Joe” hingga buku ke-10 “Epilog”. Setelah itu, Gola Gong memutuskan untuk menghentikannya.   Tak ada lagi lanjutan kisah petualang bandel itu. “Banyak yang protes, ibu-ibu kirim surat ke saya. Anak-anaknya jadi bandel, gak nurut karena meniru Si Roy,” katanya.

Ini jadi beban buat dia. Ini jadi satu alasannya untuk menghentikan Si Roy. “Padahal kalau saya simpulkan sekarang, pembaca si Roy itu ada dua kelompok. Pertama yang meniru bandelnya. Cuma meniru bolos sekolahnya saja. Yang kedua yang seperti kamu (dia menunjuk saya dengan pandangannya).  Kamu mengambil sisi beraninya, mengambil semangat kreatifnya,” kata Gola Gong.   Ya, dan saya kira saya tidak sendiri. Saya yakin banyak pembaca yang terberanikan dan tercerahkan, terarahkan hidupnya oleh kisah-kisah Balada Si Roy. 

Saya termasuk orang yang merasa dapat tempat dan bisa ikut berdiri di atas panggung yang dibentangkan oleh Gola Gong. Si Roy mengajari saya, dengan caranya sendiri, bahwa saya bisa meraih mimpi-mimpi saya sendiri, dengan tangan saya sendiri.

***

Panggung, di Rumah Dunia, bukan lagi cuma makna  konotatif.  Rumah Dunia, adalah sebuah tempat  dan  sebuah komunitas yang dibangun Gola Gong di kediamannya, di kampung Ciloang, Serang, Banten.  Di sanalah, Gola Gong kini menghabiskan waktu-waktunya bersama istri dan empat anak-anaknya, setelah ia memutuskan berhenti bekerja dari sebuah stasiun televise swasta. “Anak saya dua paket, dua pasang perempuan-laki-kali,” katanya.

Abi, anak lelaki keduanya,  waktu berumur 9 tahun, jadi saksi bagaimana ayahnya memetik buah manis dari kegiatan tulis-menulis. Gola Gong menceritakan kisah itu. Suatu hari mereka mengunjungi kota Bandung.  Di kota itu ada penggemar kisah Si Roy yang menjamu seluruh kepentingan Gola Gong dan keluarga.

“Papah terkenal ya?” kata Abi.

Gola Gong hanya tertawa.

“Papah bukan terkenal. Tapi, banyak teman,” katanya.  Nah, lihatlah, betapa luasnya bentangan panggung itu, kawan.

Maka, di Rumah Dunia, Gola Gong pun mendirikan sebuah panggung. Suatu hari , ada petugas dari Departemen Pendidikan Nasional,  bertandang ke Rumah Dunia.  Si Petugas bertanya perihal panggung yang ada di kawasan yang semula berdiri di tanah seluas seribu meter persegi itu.

“Itu buat apa?” tanya si pegawai.

“Untuk pendidikan karakter,” kata Gola Gong.

 “Siapa saja yang boleh naik panggung?” 

 “Siapa saja boleh.  Yang penting dia harus berani dan hebat. Hanya orang-orang yang luar biasa saja yang boleh naik ke panggung,”  kata Gola Gong.

Begitulah. Gola Gong amat menyadari bahwa siapa saja berhak dan bisa menjadi hebat asal dia berani meluarbiasakan diri. Saat pertama kali anak-anak kecil di Kampung Ciloang datang ke Rumah Dunia, panggung sudah didirkan.  “Saya perkenalkan ke pada mereka. Anak-anak saya kumpulkan, saya katakan hanya anak yang berani dan hebat yang boleh naik panggung. Anak-anak itu dengan polos bertanya maksudnya, saya jelaskan, bahwa anak yang berani dan hebat adalah yang mau menceritakan siapa dirinya. Lalu satu per satu  mereka naik panggung walau malu-malu, menceritakan tentang diri mereka. Saya jadi tahu siapa  mereka dan keluarga mereka,” kata Gola Gong.

Saya kira, kini, Rumah Dunia, adalah petualangan Gola Gong yang lain. Di situ dia menemukan banyak hal baru. Melahirkan nama-nama baru, dan ribuan kisah orang yang tercerahkan karenanya. Ada perhelatan Ode Kampung yang digelar di sana, setiap tahun. Sudah tiga kali hajatan itu terselenggara.  Saya pasti akan singgah ke sana, Kang, tak harus menunggu 22 tahun lagi! []

Gurita

PINJAMI dua jarimu, agar cukup sepuluh kami membilang,
Tapi kami tak berhitung dengan jari, tak ada kanan atau kiri 

Kami pesulap tanpa trik, tanpa penonton, tanpa panggung,  
Kami letak kepala di lengan (atau kaki), tanpa simsalabim

Kami mahir bersembunyi, menyaru pada lain cangkang, tapi 
kami paling bisa hilang, menghilang ke dalam diri kami sendiri

[kolom] Paspor Pertama bagi Seorang Ibu yang Menyusui Bayinya

Paspor Walt Disney
SAAT-SAAT agak dramatis ketika kita datang ke suatu negeri asing adalah saat berdiri di depan petugas di loket imigrasi.  Mestinya ini hanya menjadi peristiwa administrasi kependudukan biasa, tapi di loket pengecopan paspor itu,  kita tidak lagi berdiri hanya sebagai diri kita  sendiri. Di situ kita seakan membawa beban segala persoalan bangsa.

Saya pernah ditahan petugas Imigrasi di pintu masuk Woodland, Singapura, setelah melancong berombongan dari Thailand dan Malaysia. Pada tahun-tahun itu Bom Bali seakan masih mengepulkan asap. Slamet Kastari belum ditangkap.  Dengan kumis dan janggut, serta nama dari bahasa Arab, dan kemudian saya juga menyebut diri sebagai wartawan, maka saya rasanya saat itu memang layak ditahan.

Begitulah, nyaris satu jam lamanya, saya duduk di ruang tunggu, tak ditanya apa-apa. Petugas Imigrasi Singapura dengan mata penuh selidik, berkali-kali melirik saya dan seakan mencocokan dengan sesuatu di layar monitor komputer kerjanya. Mungkin foto. Mungkin juga entah data apa  tentang seseorang di situ.  Begitu saja, lalu nama saya dipanggil dan dipersilakan melanjutkan perjalanan.

Saat ini, memegang paspor bergambar burung Garuda memang bukan hal yang enak. Di pintu-pintu imigrasi di berbagai Negara, radar keawasan petugas jadi berlebih. Ini dialami beberapa kawan yang kerap bepergian ke luar negeri.  Beberapa orang bahkan harus membatalkan kunjungan karena ditolak dengan alasan keamanan. Sangat tidak nyaman.


Apa boleh bikin. Paspor memang lahir dari kecemasan dan perlunya rasa aman.  Bentuk awal paspor bermula di Inggris, meskipun ada penemuan sejarah atau disebut dalam salah satu kitab suatu agama, raja Persia mengeluarkan semacam surat jaminan bagi seseorang yang hendak bepergian, sebagaimana prinsip dan guna paspor saat ini.  Ya, enam abad lalu, tepatnya tahun 1414, Raja Henry ke-5 mengeluarkan semacam surat jalan bagi siapa saja yang bepergian memintasi batas-batas negeri lain. Surat ini semacam jaminan keamanan, bahwa si pemegang surat tidak akan bikin perkara di negeri yang ia kunjungi.  

Sampai tahun 1772, paspor diterbitkan dalam bahasa Inggris.  Dan ini bermasalah. Soalnya pada masa itu, bahasa Inggris yang kini mengglobal adalah bahasa kelas dua. Jauh kalah gengsinya dengan bahasa Prancis.  Rupanya, yang meminta paspor kepada raja Inggris kala itu, tidak hanya orang Inggris, tapi juga penduduk dari negara-negara tetangganya.  Kenapa? Mungkin karena saat itu belum banyak yang merasa perlu paspor dan raja-raja Eropa itu rata-rata masih bersepupu.  Karena itulah, pada tahun 1772 mulailah diterbitkan paspor dengan bahasa Prancis, meskipun tetap saja yang mengeluarkan dan teken raja Inggris.   Kata paspor sendiri berakar dari kata dalam bahasa Prancis “passeport”, yang sekarang lazim diartikan artinya surat izin keluar atau masuk di atau dari sebuah pelabuhan. Meskipun sebenarnya kata “port” itu berakar dari kata “porte” yang berarti gerbang. Pada masa itu, perjalanan memasuki sebuah negeri di Eropa itu biasanya melewati gerbang-gerbang  penjagaan.

Karena terus dikembangkan dan disempurnakan, antara lain lewat maraknya penulisan-penulisan sastra bermutu, bahasa Inggris menjadi bahasa yang mengungguli bahasa-bahasa Eropa lainnya. Juga seiring dengan merebaknya nasionalisme, pada 1858, paspor oleh kerajaan Inggris hanya dikeluarkan untuk warga negaranya sendiri. Paspor pun kembali diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Dan sejak pecah perang Dunia Pertama, 1914, banyak negara, masing-masing mulai menerbitkan paspornya sendiri, untuk membedakan dengan – tidak semua negara lain, tapi hanya yang “diangap” asing.  Inggris yang sudah lebih dahulu mengembangkan jenis dokumen ini sudah lebih dahulu maju selangkah, karena sejak tahun 1914 itu di negeri itu paspor menggunakan foto diri si pemegang paspor.

 Sebelumnya, tanpa foto, urusan memastikan bahwa yang bepergian itu adalah benar-benar si pemegang paspor sedikit repot. Di paspor hanya disebutkan cirri-ciri kuping, dahi, hidung, mulut, bentuk wajah, rambut, tinggi badan dan lain-lain, sampai-sampai demi kepentingan itu para ahli ilmu sosial membuka cabangnya sendiri.  Bayangkan, betapa membosankannya bagi seorang petugas imigrasi kala itu, ketika ia mengecek paspor, karena itu seperti membaca novel yang tengah menguraikan ciri-ciri salah seorang tokoh ceritanya.  Bayangkan juga seandainya kita hidup pada masa itu. Bagaimanakah kira-kira wajah kita dideskripsikan?

*

Kapan dan siapakah orang di Indonesia yang punya paspor Indonesia?  Tahun 1948, tepatnya 8 September. Siapa pemilik paspor itu? Seorang ibu yang bersama bayi perempuannya yang diminta suaminya menyusul ke Amerika.  Sebelumnya setiap orang yang bepergian dari negeri ini, meskipun sudah memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, harus membawa paspor yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang menguasai negeri yang masih bernama Hindia Belanda.

Paspor pertama itu lahir berkat kecerdikan diplomasi Perdana Menteri Sjahrir.  Dengan adanya seseorang yang memiliki paspor yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, semakin tegas pernyataan kemerdekaan Indonesia yang pada tahun-tahun itu terus diperkecil artinya oleh Belanda.

Saat itu Soedarpo Sastrosatomo, diplomat kelahiran Langkat, Sumatera Utara, 30 Juni 1920 itu, secara mendadak harus berangkat ke New York, Amerika,  ikuti  sidang Dewan Keamanan PBB untuk menggugat agresi militer Belanda. Soedarpo pegang peran penting, karena ia ditugasi menangani urusan dengan pers asing.  Masalahnya ia harus meninggalkan istinya Minarsih Wiranatakoesoemah, dan anaknya yang masih menyusu.

Sjahrir memerintahkan agar Minarsih menyusul tapi dengan catatan, ia harus menggunakan paspor Indonesia. Inilah kecerdikan Sjahrir. Ia sudah memperjuangkan hal itu lewat jalur diplomasi sejak Perjanjian Linggarjati, 25 Maret 1947.  Maka berangkatlah Minarsih dengan paspor biru  – bukan hijau seperti paspor kita saat ini, tebalnya 48 halaman, berlakunya tiga tahun, dan diteken oleh Sekjen Kementerian Luar Negeri Soerjotjondro. Ia naik pesawat milik maskapai Belanda, KLM,  singgah di Bangkok, Karachi, dan Kairo. Ini memang diatur oleh Sjahrir.  Minarsih yang saat itu juga masih memegang  paspor Hindia Belanda, baru mengeluarkan paspor keduanya itu saat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda.  Dari situ ia lalu menuju New York menyusul suaminya.

Majalah Tempo yang melaporkan kisah paspor pertama itu pada edisi 9 Maret 2009, menuliskan, di Amerika  petugas imigrasi bingung membaca nama Indonesia dan akhirnya memberi keterangan  pada lembar visa dengan kalimat ini - tentu dalam bahasa inggris:  Istri dan anak perempuan petugas Pemerintah Asing yang tidak diakui oleh pemerintah Amerika Serikat.

Tak diakui, tapi itu adalah sebuah bentuk pengakuan. Apapun, hal kecil itu, bukanlah perkara sepele.  Sebuah paspor, telah berhasil menegaskan kemerdekaan sebuah negara bernama Indonesia. Dan perjuangan diplomasi kita pada saat itu berhasil gemilang.

*          
Paspor saya sekarang adalah paspor yang kedua. Maksud saya bukan saya punya dua paspor, tapi ini paspor kedua setelah yang pertama habis bukan karena saya terlalu sering bepergian ke luar negeri, tapi karena habis lima tahun masa berlakunya.

Di dokumen itu saya sedikit tersenyum. Saya tidak tahu persis kenapa itu diperbolehkan. Seharusnya kita di situ tak boleh berekspresi apa-apa, datar-datar saja. Di Amerika peraturan itu hanya dikecualikan untuk Walt Disney, karena dia dianggap berjasa membuat jutaan orang di Amerika bahkan di dunia tersenyum karena cerita dari tokoh kartun-kartun yang ia ciptakan. []

Luwak

TANAMKAN untukku petak kebun pohon kopimu
Nanti bersama malam kupanjati dahan-dahannya

Matangkan untukku buah merah-manis perdumu
Nanti kusebarkan benih seperti hidup di hutanku

Beri aku udara sepi di lubang hangat pokok kayu
Nanti kukirim mimpi ke pekat seduhan di gelasmu

Tuesday, May 10, 2011

Platipus

KARENA hamil menyakitkan, maka bertelurlah aku
Karena kasih pada anak-anak, maka mereka kususui

Karena pipih pada paruh dan selaput renang pada kaki
Darwin yang jenaka mengira padaku dua Tuhan bekerja

Sunday, May 8, 2011

Meng-KO Kemiskinan


SAYA percaya pertarungan terbesar dalam hidup saya bukan di ring tinju. Pertarungan terbesar dalam hidup saya adalah bagaimana mengakhiri kemiskinan di negeri saya.

Manny Pacquiao sebelum bertarung dengan Shane Mosley.  Mosley (39) tidak pernah kalah KO sepanjang karir bertinju profesionalnya. Paquiao akhirnya menang angka mutlak.

Wednesday, May 4, 2011

Segera Terbit Buku Kolom Kamisan


Saya Menulis Kolom Supaya
Punya Alasan untuk Marah

Oleh Hasan Aspahani

SAYA menyebut kolom-kolom saya di buku ini sebagai kolom 1.000 kata. Karena, setiap kolom panjangnya kurang-lebih seribu kata. Tidak terlalu panjang, tak juga terlalu pendek.

Artikel kolom sepanjang itu cukup untuk menampung gagasan yang seminggu sekali ingin saya bagikan kepada pembaca Batam Pos, surat kabar yang sejak 2008 lalu, setiap kamis menerbitkan kolom saya ini. Dan yang paling penting, tak sampai membosankan.




Meskipun tulisan saya tidak selalu mewakili sikap koran saya terhadap suatu isu yang sedang hangat, saya tetap menulis dengan mempertimbangkan posisi koran saya Batam Pos.

Kenapa namanya Kolom Kamisan? Karena, kolomnya terbit setiap hari kamis, dan saya tak punya tema tetap. Kolom saya bisa bicara soal kepemimpinan, politik, bisnis, pendidikan, agama, sastra - khususnya puisi, obrolan dengan kawan, serba bacaan, reportase dengan sudut pandang sangat personal, dan lebih sering bicara soal hal-hal ringan yang sedikit saja akan jatuh ke wilayah omong kosong.

Begitu luaskah pengetahuan saya sehingga bisa menulis tema dengan rentang seluas itu? O, tidak! Saya hanya sejak lama menjalankan nasihat Arswendo Atmowiloto. Katanya, wartawan itu orang yang tahu serba sedikit tentang banyak hal.

*

Suatu malam, dalam rapat para pemimpin perusahaan Jawa Pos Grup - di Pekanbaru, CEO Rida K Liamsi  mengabarkan - entah seperti apa bermula arus pembicarannya, saya lupa - kepada Chairman Dahlan Iskan bahwa saya ada menulis kolom mingguan di surat kabar yang mereka percayakan untuk saya pimpin. Pak Dahlan tertarik dan minta contoh. Pagi harinya, kami sarapan bersama dan inilah perbincangan kami:

"Kamu banyak membaca, ya?"

"Ya, Pak. Lumayan."

"Kalau kamu tak banyak membaca, pasti kamu tidak bisa menulis kolom sekaya dan sebagus kolommu itu."

"Terima kasih, Pak."

"Kalau saya kurang membaca. Tulisan saya kan, kalau kamu perhatikan, hanya reportase biasa."

"Tapi, itu kekuatannya, Pak. Reportase biasa yang luar biasa, karena sudut penulisannya tak mungkin dilihat oleh orang lain. Serial tulisan ganti hati itu misalnya."

"Terus menulis, ya.."

"Oke, Pak."

Kolom saya terbit di halaman opini. Di luar hari Kamis, halaman itu diisi oleh pembaca Batam Pos. Saya bisa saja menerbitkan kolom saya itu di halaman lain, tapi, itulah alasan lain saya menulis: mengurangi anggaran bayar kolom kepada penulis luar, soalnya saya sendiri tentu tak akan minta bayaran.

Saya menulis juga supaya saya punya alasan untuk marah. Saya bisa bilang ke wartawan saya yang malas - malas menulis dan membaca - bahwa saya  juga masih sempat menulis seminggu sekali.

Sejak perbincangan dengan Pak Dahlan itu, saya jadi lumayan percaya diri bahwa kolom mingguan saya itu ada juga nilainya. Selama ini, beberapa pembaca secara langsung atau lewat SMS juga sering berkomentar dan mengungkapkan kesukaannya. Dengan percaya diri itu pula, saya berani mengumpulkan sebagian kolom-kolom itu, dan menerbitkannya di buku ini - yang semoga akan diiringi jilid-jilid berikutnya.[]   


Inilah daftar isi buku Kolom Kamisan
 
ETOS
Dari Kolong Tangga Kampus 
Kekuatan Pikiran
Kaidah Lebah Terbang 
Inspirasi dari Kennedy
The Hunter: Setelah 20 Tahun
Si Adik Besar

DEDIKASI
Bahasa Merepotkan Bangsa
Bersebati dengan Bumi, Berserah pada Sejarah
Mengambil Telur Tuhan
Semangat Rendra
Bersama CA, SDD, SCB dan GM
Gelman, Macarena, dan Cervantes
Puisi yang Ditakuti Perdana Menteri
Jangan ”Habisi” Sapardi

MILITANSI
Dari Adinegoro, Pulitzer, Rida, hingga Presiden SBY
Pelajaran dari Tempo
Dari "Preman" ke "Lampu Merah"
Farid Gaban Singgah di Batam
Penjahat New York dan Teori ”Jendela Pecah”

EMPATI
Bersama Gibran ke Batuaji
''Hapuskan Israel dari Muka Bumi!'' Kata Orang Yahudi
Thor & Mjolnir
Ganti Gigi
Waktu Menguasai Kita, Kita Mengatur Waktu

SIKAP
The Sense of  Kepepet
Ha ha ha ha ha
Kéré ”Paman Tyo” Kêmplu
Tentang Tiga Orang

Sekian Cara Memahami dan Menerjemahkan Mimpi ke dalam Panel-panel Komik

1. MIMPI adalah ruang kosong di antara
panel-panel komik - saat-saat-sadarmu.

2. Ada yang putus dan hilang, di antara
dua panel komik. Ruang kosong mimpi,
menyambung apa yang putus itu, mengisi
apa yang hilang itu, dengan cara yang
tak kau sadari, seperti saat kau tergugah
oleh lelucon sestrip komik, hari-ini-mu.

3. Berapa lamakah waktu ada dalam ruang
kosong komik, ruang-mimpimu itu? Tak ada
waktu di situ, tak ada esok dan kemarin,
karena di hari-ini-mimpimu, ada hari-esokmu
dan juga ada hari-kemarinmu.


4. Engkau adalah tokoh utama, dalam komik
hidupmu. Engkau tak selalu harus hadir, ada
di panel-panel komikmu itu. Sesekali engkau
perlu menghilang ke ruang kosong mimpimu,
menemukan bagian tersembunyi dirimu di situ. 

5. Engkau adalah penggambar komik-hidupmu.
Engkau adalah penulis cerita hidup-komikmu.

6. Engkau adalah pembaca pertama komikmu,
tertawa, termenung, menangis dan bermimpilah
bersama cerita dan gambar hidupmu itu.



Tuesday, May 3, 2011

[blog] Toko Kecil dengan Sepatu yang Kian Antik

SAYA kira, sejak awal toko sepatu itu tak membayangkan toko jadi besar. Kecil saja cukup, dan saya setuju. Lama tak berkunjung ke sana, baru sebentar tadi saya singgah dan saya gembira. Selalu ada sepatu baru terpajang di sana, dan saya suka. Berkunjunglah kesana, saya kira Anda juga akan menyukai banyak sepatu baru di sana. Jika boleh memberi saran, saya kira, si empunya toko bolehlah sedikit mendandani interior toko kecil, dengan sepatu yang kian antik itu. Ah, apapun, saya akan tetap sering belanja ide di sana.

Tiga Cara Membuat Sajak dengan Dingin yang Kejam dan Hujan yang Parah

 1. JANGAN pernah menyatukan dia, dingin yang kejam itu dengan aku, hujan yang parah ini, dalam satu bait, kecuali kalau kau hanya membuat sajak satu bait. Memang, sulitlah memisahkan kami berdua, tapi itulah tantangan menyajakkan kami.

2. Jangan pernah menyebut dia, dingin yang kejam dan aku, hujan yang parah itu dengan jelas. Samarkan kami berdua dengan sejumlah kata lain. Semakin samar, semakin baik, karena semakin mengancam kami: dingin dan hujan ini. 


3. Sajak adalah panggung kosong, yang riuh lakon sampiran. Kami, dingin yang kejam dan hujan yang parah adalah pelakon utama yang hanya muncul pada puncak adegan yang tak pernah ada. Mendakilah terus dari bait ke bait. Kami akan menggelincirkan engkau! 
 


[kolom] Pasien dan Penonton di Teater Dokter Cheng

Dr. Michael Cheng 
KENAPA ruang operasi di Mahkota Medical Center, Malaka, ini disebut teater? Tepatnya operating theater?  Dalam bahasa Melayu, di dinding sepanjang lorong ke ruang itu, saya temukan padanannya: bilik bedah. Teater itu, bukankah selama ini saya pahami sebagai ruang tempat pertunjukan sandiwara atau film?

Nah, ini mungkin bisa menjelaskan, di kamus Merriem-Webster ada enam lema untuk kata theater. Salah satunya, teater itu berarti tempat atau ruang menyelenggarakan peristiwa penting.

Di kamus lain, saya temukan penjelasan bahwa teater operasi itu adalah istilah untuk tempat operasi di mana mahasiswa kedokteran dan penonton lain – yang berkepentingan untuk belajar ilmu bedah - bisa menyaksikan berlangsungnya pembedahan. Tanpa penonton, kata itu bersinonim dengan operating room atau operating suite.


Saya kira  pemakaian kata teater untuk meja bedah masuk akal juga dan keren. Dan di teater itulah saya terbaring, dengan separo badan terbius, Jumat pekan lalu, sebagai pasien dan sekaligus penonton. Ini peristiwa penting, dramatis, dan teatrikal juga. Ada batu berdiameter enam milimeter di ureter kanan saya. Ini saluran yang menghubungkan ginjal dengan kantung kemih. 

Batu itu menyumbat air yang disaring ginjal yang seharusnya lekas sampai di kantung kemih untuk segera dibuang. Ini yang membuat sebagian ginjal itu membesar dan sebagian ureter saya bengkak, seprti balon panjang yang ditiup. Jika rasa pegal di pinggang kanan adalah akibat dari penyumbatan itu, maka saya bisa pastikan bahwa penyumbatan itu sudah terjadi lama, soalnya, sudah sejak lama saya merasakan itu.

Tadinya, saya kira itu pegal biasa. Aktivitas kerja saya mencari data, mengetik, mengikuti perkembangan berita – termasuk menulis kolom kamisan ini - sebagian besar dilakukan dengan duduk di depan komputer, di rumah atau di kantor. Ditambah lagi, saya agak kurang minum air putih.

Sampai pada suatu pagi, saya diserang sakit perut gawat, disertai demam, sampai berkali-kali badan saya berkeringat. Persis seperti sakit perut dulu ketika saya tahu ada masalah di usus buntu saya, dan saya waktu itu harus operasi besar memotong dan membuang usus buntu itu.

Pagi itu, saya tetap mengira ini sakit perut biasa, soalnya, tidak mungkin ini akibat ulah si usus buntu lagi. Saya minum pil dan puyer sakit perut biasa. Biasanya itu manjur. Tapi, pagi itu perut saya tetap terasa melilit dan dicakar-cakar. Saya menyerah. Istri saya membawa saya ke UGD. Di situ baru diketahui ada silika di air kencing saya, dan ada darah.

Dokter jaga  di UGD tersebut menyimpulkan: ada batu ginjal (diduga dari kandungan silika) dan batu itu bikin luka (dipastikan dari darah yang tercampur dengan air kemih). “Belum ada kuman, berarti lukanya masih baru,” kata si dokter. Ini lumayan menenangkan, tapi cemas saya tak berkurang. 

*

Rangkaian peristiwa itu, lewat serangkaian pertimbangan, dan keputusan-keputusan itulah yang kemudian membawa saya terbaring ke teater bedah di RS Mahkota Medical Center, Malaka. Semula, saya dan istri saya hanya ingin mendapatkan pendapat lain dari keberadaan batu ginjal tersebut, dan ingin dapat gambaran tindakan apa yang paling ringan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah itu. Tapi, setelah tahu betapa gawat kondisinya, dan akal sehat saya bisa menerima pentingnya tindakan yang harus segera diambil saya menyetujui operasi.

“Jangan bimbang,” kata Dr Michael Cheng Kok Hong.  Dia dokter spesialis yang cekatan dan sangat ramah. Nanti setelah saya masih di ruang operasi menunggu pemulihan setelah operasi, dia menemui langsung istri saya di ruang rawat inap, mengabarkan bahwa operasi sudah selesai. Dia meraih dokter spesialis urologi dengan gelar Bachelor of Medicine and Surgery dari Queen’s University, Inggris,  Fellow of the Royal College of Surgeons di Edinburgh dan Fellow of the Royal College of Surgeons di Irlandia.

Inilah “sutradara” dari pertunjukan di teater ke-3, saya menyebutnya dengan nomor urutan begitu, di mana saya terbaring sebagai pasien dan ikut menonton.  Soalnya dari ranjang beroda yang membawa saya dari ruang rawat inap ke ruang operasi  – dengan pakaian pasien bedah, sebelum operasi -  saya perhatian ada lima ruang operasi, saya dioperasi di ruang paling tengah.

Di atas setiap pintu itu ada kotak neon bertulisan “THEATER IN USE”. Lampunya akan menyala jika sedang ada pembedahan di ruang itu. Dari situlah saya bertanya, kenapa ruang bedah diberi sebutan theatre. 

Batu ginjal ada tersangkut di saluran ureter saya. Itu dipastikan setelah Dr Cheng mengamati hasil foto sinar-X dari alat pendiagnosa bernama CT-Scan atau CAT-Scan (Computer Axial Tomography). Inilah alat yang membawa dua penemunya, yaitu  seorang insinyur Sir Godfrey Hounsfield dan Dr. Alan Cormack mendapat hadiah Nobel Kedokteran pada tahun 1979.

Alat ini persis seperti donat besar, yang diletakkan tegak, bentuknya bulat, dan berlubang di tengah. Di lubang itulah, saya sebagai pasien dilewatkan, setelah mengikuti aba-aba dalam bahasa Melayu untuk menarik nafas, menahan nafas dan kemudian bernafas biasa. Saya mendengar suara entah alat apa berdesing berputar di dalam donat itu. Prinsip kerja CT-Scan itu begini. Tubuh kita seperti roti bantal yang dipotong-potong melintang. Pisau potongnya sinar-X. Hasilnya ya gambar potongan melintang tubuh persis seperti lembaran-lembaran roti tawar.

Dari hasil foto ronsen, tidak diketahui di mana gerangan batu itu berada. “Ronsen hanya bisa ketahui 90 persen, ada 10 persen kemungkinan yang tak terdeteksi. CT-Scan boleh mendeteksi itu,” kata Dr Cheng.

“Saya buat rancangan seperti ini,”  kata Dr Cheng. Ia lantas menayangkan satu video di komputernya, adegan kamera kecil menelusuri ureter sampai ketemu batu ginjal, lalu batu itu ditembak dan hancur. “Nanti kita buat seperti itu,” katanya.

Kami bertanya soal biaya, yang toh nanti akan saya bagi risiko tanggungannya dengan perusahaan asuransi, dan kapan operasi itu bisa dilakukan. “Bapak puasa sekarang, nanti petang kita bisa buat tindakan, sekarang saya siapkan,” kata Dr. Cheng.

Apa yang saya saksikan sendiri di teater 3 persis seperti yang sebelumnya saya saksikan di komputer Dr. Cheng. Setelah suntik bius di tulang belakang, saya dibaringkan dengan posisi seperti orang hendak melahirkan.

“Jangan bimbang, saya tengok apa yang bisa saya buat,” kata Dr. Cheng berkali-kali. Dia cemas, soalnya letak batu itu, agak di atas, lebih dekat ke ginjal daripada kantung kemih. Dia cemas, dan itu dia jelaskan pada saya, karena itu hak saya sebagai pasien, jika alatnya tak bisa bergerak terlalu jauh karena ureter bisa saja robek. “Tapi, saya sudah buat macam ini sudah seribu orang,” katanya.

Pada hari itu, saya adalah pasiennya yang keenam.  Saya menyaksikan semua proses operasi itu dari monitor di kiri saya. Saya melihat bagaimana kamera kecil bergerak menelusuri ureter sampai menemukan batu berwarna kuning, si biang kerok sakit  saya itu. Di bawah pengaruh obat bius, itu sama sekali tidak sakit. Tapi, tak kurang saya takjub dan gemetar juga, soalnya apa yang saksikan itu ada di dalam tubuh saya sendiri.

 “Itu batunya yang warna kuning. Sebentar saya tembak,” kata Dr. Cheng. Ibarat pertunjukan teater inilah adegan puncaknya. Saya mendengar suara sesuatu menghantam sesuatu dan melihat batu kuning itu hancur. Lalu mengalir air keruh  ke arah kamera.

“Mau di-record?” tanya Dr. Cheng.
“Boleh,” jawab saya.
“Tapi, sedikit mahal .”
“Tak apa,” kata saya. Ah, dokter, dalam keadaan begini masih tawar-menawar juga.

Kalau mau menyaksikan VCD rekaman operasi itu saya bisa pinjamkan. Saat saya menulis ini, di ureter saya masih ada selang sepanjang 24 sentimeter. Ini bagian dari penyembuhan pascaoperasi. Dua minggu atau tiga minggu paling lambat setelah operasi, selang itu harus dicabut. Tapi, untuk melepas selang itu saya tak harus berbaring di teater lagi. “Tak di ruang operasi lagi. Juga tak lama, satu menit saja,” kata Dr. Cheng. []