Friday, September 26, 2008

kalau ada sumur di ladang
boleh kita menumpang mandi
kalau syawal sudah menjelang
boleh ucap "selamat Idul Fitri"

sumur di ladang airnya dingin
badan basah dihembus angin
Ucapkan Minal Aidin Walfaizin
Maafkan Lahir, Maafkan Batin



Thursday, September 25, 2008

Pena Kencana (2): Bisakah Ini Memartabatkan Sastrawan?

Anugerah Pena Kencana tampaknya digagas juga untuk melengkapi, atau menutupi kelemahan Khatulistiwa Literary Award. Direktur Program Pena Kencana Triyanto Triwikromo menulis begini: Penghargaan tahunan cukup besar -terkini Rp 100 juta– memang diberikan oleh Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan puisi dan cerpen terbaik. Meskipun telah menulis 1000 puisi bagus, seorang sastrawan tidak berhak mendapatkan hadiah itu jika ia belum menulis buku. Dengan kata lain untuk mendapatkan penghargaan besar, sastrawan harus menunggu bertahun-tahun.


Saya punya pikiran berbeda. Kenapa panitia justru berpikir bahwa yang penting adalah 'sastrawan harus mendapatkan penghargaan besar'? Kenapa justru tidak memangkas waktu agar si penyair yang menulis 1.000 puisi bagus itu lekas menerbitkan buku? Saya kira itulah penghargaan terbesar bagi sastrawan, yakni ketika karyanya diperlekas untuk diterbitkan.

Penolakan Faisal Kamandobat atas keterlibatan sajaknya dalam kontes Pena Kencana 2008saya kira bisa jadi petanda awal bahwa niat panitia bisa tidak bertemu dengan maunya penyair. Faisal barangkali hanya kasus unik, tapi penyair lain yang diam saja belum tentu juga senang. Saya, terus terang saja, kecuali berterima kasih pada kerja panitia dan juri, tidak merayakan dua sajak saya yang masuk dalam deretan 100 puisi terbaik versi Pena Kencana ini.

Sesungguhnya niat panitia untuk memangkas waktu bagi penyair atau cerpenis yang hebat agar dapat penghargaan besar juga tidak sampai. Lihatlah betapa bertele-telenya proses perjalanan sebuah karya untuk sampai dinobatkan sebagai juara. Pertama penyair harus kirim ke surat kabar. Belum tentu dimuat. Ketika dimuat, maka karya harus bersaing lagi dengan karya lain dari surat kabar lain. Lantas ketika terpilih lalu dibukukan, dia harus menunggu lagi delapan bulan, dari Februari hingga Agustus. "Sayembara ini bertele-tele sekali," kata salah seorang pengunjung situs Pena Kencana.

Saya ingin menawarkan pilihan lain. Kenapa tidak meniru saja apa yang sudah berpuluh tahun dilakukan oleh Academy of American Poet? Tidap tahun ada sayembara untuk para penyair yang belum pernah menerbitkan buku. Yang disayembarakan tentu naskah buku si penyair. Pemenangnya selain dapat hadiah uang (jumlahnya ratusan juta bila dirupiahkan) yang paling menarik adalah karyanya dibukukan. Ini saya kira sangat menggairahkan. Anggap saja Pena Kencana setiap tahun menerbitkan lima buku karya lima pemenang, maka, setiap tahun kita bisa yakin akan bertemu lima karya yang relatif utuh dari penyair kita.

Akademi di Amerika tersebut juga bikin kontes untuk buku kedua, tentu yang ikut adalah merekagb yang sudah pernah menerbitkan satu buku, juga sejumlah penghargaan lain, termasuk karya terjemahan. Dengan banyak tawaran ini maka niat Panitia Pena Kencana untuk merangkul banyak pembaca, menjaring lebih banyak pendukung sastra Indonesia bisa tercapai.

Triyanto menulis: Anugerah Sastra Pena Kencana hadir untuk memangkas jalur yang terlalu lama dan ingin lebih memartabatkan sastrawan. Lihat kalimat penting itu: 'memangkas jalur terlalu lama', dan 'ingin memartabatkan sastrawan'.

Karena itu, tulis Triyanto, selain setahun sekali memberikan penghargaan tertinggi untuk satu puisi dan cerpen terbaik, juga meningkatkan jumlah hadiah. Untuk 2008, puisi dan cerpen terbaik, masing-masing Rp50 juta. "Nilai penghargaan itu diharapkan dari tahun ke tahun meningkat," katanya.

Tidak ada yang salah dengan niat untuk menaikkan hadiah dari tahun ke tahun itu. Masalahnya adalah kenapa penghargaan tertinggi itu diberikan berdasarkan jajak pendapat lewat SMS? Triyanto punya jawaban. "Selain hidup tanpa penghargaan yang memadai, sastra kita juga hidup dengan sedikit pembaca. Dengan melibatkan lebih banyak pembaca dalam menentukan sastra yang diinginkan, diharapkan sastra kita tidak terasing dari masyarakat. Selain itu melibatkan pembaca dalam penilaian dunia sastra kita akan kian mampu menjaring pendukung yang lebih luas," ujarnya.

Alih-alih mencapai tujuan itu, inilah justru kelemahan Pena Kencana. Banyak pertanyaan bisa diajukan: Cukupkah jumlah 3.172 SMS untuk mendukung kesimpulan bahwa cerpen model Seno dan puisi model Jimmy itulah yang diinginkan pembaca? Kalau memang sastra kita terasing dari masyarakat pembacanya, bisakah cara ini meruntuhkan keterasingan itu? Bukankah itu justru membuatnya tambah terasing? Sebab toh karya-karya itu sebelumnya sudah ketemu pembacanya lewat koran di mana masing-masing karya itu terbit? Saya ragu cara melibatkan pembaca a la Pena Kencana ini bukannya menjaring pendukung yang lebih luas, seperti yang dimaui penggagas.(bersambung)

Wednesday, September 24, 2008

Pena Kencana (1) Fairkah Kontes SMS Ini?

DAN Indonesia memilih: “Kidung Pohon” Jimmy Maruli Alfian sebagai Puisi Terbaik Indonesia Pilihan Pembaca 2008. Inilah kontes sastra se-Indonesia pertama yang pemenangnya ditentukan lewat SMS. Panitia menyebutkan ada 3.172 SMS yang masuk selama periode kuis (Februari-Agustus 2008). Saya tidak tahu berapa ribu SMS yang masuk untuk puisi, dan berapa ribu SMS yang memilih untuk cerpen. Mari kita cermati titik lemah kontes ini.


Saya harus lekas katakan bahwa saya membuat tulisan ini bukan karena puisi saya tidak menang. Sejak awal mendengar kabar bahwa dua puisi masuk dalam 100 Puisi Terbaik dan itu artinya puisi saya berhak ikut kontes, saya tidak merayakannya. Saya tidak mengumumkan di blog, apalagi membujuk orang-orang untuk mengirim SMS memilih puisi saya.

Ramon Damora, kawan penyair itu mungkin berseloroh ketika dia bilang, bikin pengumuman saja di koran. Suruh orang se-Batam mengirim SMS. Saya tidak melakukan itu, lagi pula untuk mengirim SMS harus mencantumkan nomor kode khusus yang dicantumkan di sampul belakang buku bagian dalam. Artinya, satu buku yang dibeli hanya bisa untuk satu SMS. Ini sistem yang bagus. Masalahnya, kalaupun saya mau menggerakkan orang-orang di Batam, saya harus cek dulu ke toko-toko buku di Batam berapa buku yang tersedia. Di Gramedia, saya lihat tak sampai 10 eksemplar! Itu pun datangnya amat terlambat.

Panitia mengumumkan urutan lima besar pemenang adalah sebagai berikut:

P044 - Jimmy Maruli Alfian, “Kidung Pohon” - total suara: 30.38%
P099 - Zaim Rofiqi, ”Ibu” - total suara: 13.35%
P038 - Inggit Putria Marga, “Di Pintu Gerbang” - total suara: 3.45%
P017 - Dahta Gautama, “Khimaci di Showa Kinen” - total suara: 5.31%
P004 - Acep Zamzam Noor, “Lembah Anai” - total suara: 1.22%


Saya kira posisi Dahta Gautama dan Inggit tertukar. Lihat angka persentasenya. Tapi, tak apa-apa toh yang diberi hadiah hanya yang meraih sura terbanyak. Yang amat dahsyat adalah perolehan persentase suara Jimmy Maruli Alfian.

Lima puisi terpilih ini memborong 53.71 persen dari total suara. Artinya, sisa persentase suara untuk 95 sajak lain (minus sajak Faisal Kamandobat yang ditarik sendiri oleh penyairnya), bahkan mungkin saja ada sajak yang tidak dipilih oleh siapapun. Atas nama transparansi saya kira panitia harus mengumumkan sajak-sajak mana saja yang dapat dukungan SMS. Plus, dari mana saja para pengirim SMS itu berada. Ini penting. Kenapa? Misalnya, amat tidak fair kalau ternyata para pemilih Jimmy adalah orang-orang Lampung - ingat sajak Jimmy terpilih setelah terbit di Lampung Post. Kenapa tidak fair? Kalau memang itu yang terjadi maka sajak Jimmy adalah sajak terbaik pilihan pembaca Se-Lampung saja bukan se-Indonesia.

Sekarang, anggaplah perolehan puisi untuk puisi dan cerpen itu sama rata, bagi dua saja. Maka, dengan begitu puisi Jimmy Maruli Alfian menang berkat dukungan SMS sebesar 3.172 dibagi dua kali 30,38 persen. Yaitu sekitar 488 SMS. Apakah persentase itu dihitung untuk semua SMS? Kalau begitu gampang, tinggal kalikan dua, maka sajak Jimmy didukung oleh 976. Tapi kemungkinan kedua rasanya tak mungkin, kalau itu yang dilakukan itu artinya persentase SMS untuk puisi dan cerpen digabungkan begitu saja.

488 SMS! Ini jumlah yang luar biasa. Kenapa? Begini, bila saya posisikan diri saya sebagai seorang pembaca dan penikmat puisi, lalu saya ambil buku 100 puisi itu, dan saya baca seluruhnya, maka rasanya sulit sekali bagi saya untuk memilih satu yang terbaik. Menilai puisi baik atau tidak saja sulitnya minta ampun, apalagi memilih satu puisi terbaik di antara seratus puisi dari satu buku. Entahlah, mungkin saya yang terlampau merendahkan kemampuan pembaca puisi Indonesia. Artinya, inilah kelemahan lain dari kontes ini. Mengandalkan pembaca untuk menentukan satu puisi dan menobatkannya sebagai puisi terpilih bukan sebuah langkah yang adil.

Sudah saya sebutkan, bahwa pengirim SMS dalam kontes ini tidak bisa sembarangan. Mereka harus beli buku dan mencantumkan nomor yang tertera di buku tersebut. Saya ragu apakah ketentuan ini banyak ditaati oleh pengirim SMS. Kenapa? Pertama, saya tidak tahu berapa eksemplar buku yang dicetak, dan berapa yang terjual. Lantas dari buku yang terjual saya pun ragu apakah semuanya kemudian mengirimkan SMS untuk ikut kontes ini?

Ketentuan ini bisa diakali. Misalnya, saya suruh teman-teman saya untuk ke toko buku lalu menyalin kode di buku itu tanpa membelinya, lalu mengirim SMS ke panitia. Kenapa bisa begitu? Baca pengumuman panitia ketika mengumumkan pengirim SMS yang menang: Para pemenang diwajibkan menunjukkan bukti kepemilikan buku yang mencantumkan kode buku yang persis dengan data milik panitia. Apabila pemenang di atas tidak memiliki buku dengan kode buku yang dimaksud, maka panitia berhak mengalihkan hadiah kepada pemenang lainnya. Nah, kan? Mari kita tunggu, apakah tiga pengirim SMS itu nanti bisa membuktikan bahwa dia memang memiliki buku dengan kode yang sama dengan data panitia.(bersambung)


Pemenang Anugerah Pena Kencana 2008

Ini dua pemenang masing-masing kategori:

CERPEN
Kode: C019
Seno Gumira Ajidarma - “Cinta di Atas Perahu Cadik”
Jumlah suara: 11.86%

PUISI
Kode: P044
Jimmy Maruli Alfian - “Kidung Pohon”
Jumlah suara: 30.38%



Pemenang mendapatkan Anugerah Sastra Pena Kencana dan hadiah uang sejumlah masing-masing Rp.50.000.000,-

Selamat kepada para pemenang!

Berikut kami umumkan lima besar puisi dan cerpen pilihan pembaca yang kami peroleh dari SMS pembaca:

PUISI
P044 - Jimmy Maruli Alfian, “Kidung Pohon” - total suara: 30.38%
P099 - Zaim Rofiqi, ”Ibu” - total suara: 13.35%
P038 - Inggit Putria Marga, “Di Pintu Gerbang” - total suara: 3.45%
P017 - Dahta Gautama, “Khimaci di Showa Kinen” - total suara: 5.31%
P004 - Acep Zamzam Noor, “Lembah Anai” - total suara: 1.22%

CERPEN
C019 - Seno Gumira Ajidarma, “Cinta di Atas Perahu Cadik” - total suara: 11.86%
C017 - Puthut EA, “Di Sini Dingin sekali” - total suara: 5.31%
C001 - Agus Noor, “Tentang seorang Perempuang yang Mati Tadi Pagi” - total suara: 3.18%
C018 - Ratih Kumala, “Sepotong Tangan” - total suara: 2.13%
C009 - Gus tf Sakai, “Kami Lepas Anak Kami” - total suara: 2.10%

Tuesday, September 23, 2008

Soneta Pagi Idulftri Kami

PAGI Idulfitri kami adalah wangi sebungkus sabun mandi
bergambar ibu memelukkan handuk kepada anak-anaknya,
juga suara timba-timba kami berebut air di sumur bersama,
niat mandi hari raya, dan aroma kue sarapan pagi pertama.

Siapa menabuh beduk sejak subuh belum diazankan itu?
Seperti menaburi langit dengan kembang rampai tahmid,
Seperti menghamburi bumi dengan butir-butir takbir.

Pagi Idulfitri kami adalah sepasang sandal jepit baru, yang
segera tertukar atau hilang lagu usai sembahyang raya nanti,
juga sarung Samarinda yang masih juga dijaga labelnya,
sejak dibeli di pasar lama, setahun lalu, pun di bulan puasa.

Pagi Idulfitri kami adalah aku di antara iring-iringan jamaah
ke masjid desa, dengan songkok cap mangga, parfum surga,
dan baju sembahyang yang dijahit Ibu sejak Ramadan bermula.






Sunday, September 21, 2008

Sutardji (6): Mengambil Telur Tuhan

Saya kira kita beruntung punya Sutardji Calzoum Bachri (SCB) yang menulis sajak dalam rentang waktu yang panjang. Kita catat dulu, ia lahir tahun 1941. Tahun ini 67 umurnya. Nah, mari kita manfaatkan keberuntungan kita itu dengan membandingkan dua petikan sajak. Dua sajak berjarak 30 tahun! Sajak pertama dia tulis ketika dia berusia 35 tahun. Sajak kedua dia tulis pada usia 64 tahun.



Petikan I: sepasang burung darah / sepasang burung gairah / terbang / ke langit diri / membuat telur teduh / yang tenang / yang tuhan / dalam sarang / di langit diri // maka / seorang tarji / calzoum / bachri / terbang / mengambil / telur tuhan / mencoba / menetaskannya / diri // (Sarang, 1976)

Petikan sajak pertama ini terbit dalam buku Atau Ngit Cari Agar. Sajak itu ditulis pada periode Kapak, yaitu 25 sajak yang ia tulis dalam selang waktu 1976-1979.

Kenapa SCB tidak memasukkan sajak ini dalam kumpulan Kapak sehingga jadi 26? Apa salah sajak ini? Sebentar, masih ada lima sajak lain di buku Atau… yang juga bertahun dalam selang itu, tapi juga tidak di-kapak-kan.

Kenapa dia tidak menyusulkan saja sajak itu kemudian, bukankah buku kumpulan O Amuk Kapak dicetak pada tahun 1981? Lalu kenapa juga masih ada dua sajak bertahun 1975 yang juga tidak digabungkan ke kumpulan O (sajak-sajak 1973-1976).

Dugaan saya ini bukan karena SCB menganggap sajak itu buruk. Toh, akhirnya sajak itu tiga puluh tahun kemudian dibukukan juga. Saya menduga perkaranya adalah kesatuan tema. Dalam pengantar Kapak, SCB menulis: Tidak seperti sajak-sajak saya yang terdahulu yang banyak dengan pencarian ketuhanan, dalam sajak-sajak selanjutnya maut lebih mempesona saya. Nah, sajak yang kita petik tadi temanya adalah pencarian ketuhanan itu.

Saya kira dengan sajak-sajak itu dia hendak menyiapkan sesuatu, menyiapkan puncak lain, sehingga sajak-sajak itu ia simpan saja dahulu. Atau bisa jadi dia sudah sangat puas dengan O Amuk Kapak, kumpulan yang ia sebut sebagai tiga puncak kepenyairannya, lalu ia gamang bila lompatan berikutnya tidak mencapai puncak lain yang lebih tinggi dari tiga puncak itu, sehingga sajak-sajak itu akhirnya hanya tersimpan lama.

Sekarang mari kita simak petikan sajak kedua: retak / katakata tumbang / runtuh / porak poranda / koyak moyak kamus / makna hapus // dalam banyak tenda / para korban keruntuhan kata / menjerit tanpa kata // negara asing tak sanggup bantu / mustahil selamatkan korban / lewat asing kata / bahkan terjemahan / pun / tak // (Gempa Kata, 2005)

Apa yang terasa setelah menyanding dan membandingkan kedua sajak itu? Pertama saya setuju dengan sahabatnya Profesor Abdul Hadi WM – penyair yang ketika sama-sama mabuk sambil berangkulan menobatkan Sutardji sebagai Presiden Penyair Indonesia (Abdul Hadi sendiri pada saat yang sama mengangkat diri sebagai wakil Sutardji). Ia menilai kecenderungan sufistik pada Sutadji ada sejak sajak-sajak awalnya. Tetapi kecenderungan itu terhalang oleh skeptisisme dan nihilisme yang begitu kuat menggoda perasaan penyair.

Ya, ada usia 35 tahun, Tardji sepertinya masih berada dalam pencarian, ia merindukan Tuhan, ia menuju Tuhan, tetapi pada saat yang sama ia menolak cara-cara bertemu dan berhubungan dengan Tuhan yang telah diajarkan padanya. Ia ingin menemukan caranya sendiri. Ia sebut itu sebagai tindakan mengambil telur Tuhan dan menetaskannya sendiri. Menetaskan telur Tuhan baginya adalah menetaskan diri sendiri. Bila dirinya telah menetas, bila ia telah menemukan dirinya sendiri, dia berharap dari diri sendiri itu dia bertemu Tuhan yang ia rindukan.

Lihatlah, betapa Sutardji bahkan menghadirkan diri sendiri dalam sajak dengan menyebut lengkap namanya: Sutardji, Calzoum, Bachri. Tak banyak penyair yang melakukan itu, tidak pada Goenawan, tidak pada Sapardi, tidak pada Joko Pinurbo. Chairil Anwar melakukan itu – dengan modus penyebutan yang amat berbeda - pada sajak Mirat Muda, Chairil Muda. Empat kali dia sebut Chairil, antara lain dalam bait Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil. Rendra pun tak seberani itu, dalam satu sajak ia menyebut dirinya sebagai Willy, nama panggilannya. Penyair yang lebih kini yang melakukan hal itu sepembacaan saya adalah Sitok Srengenge.

Kita kembali ke Sutardji. Kondisi kejiwaan dan keruhanian yang sudah amat berbeda tampak pada periode setelah tahun 2000-an, seperti terwakili dengan petikan sajak kedua itu.

Ia sepertinya telah menuntaskan pencariannya. Ia yang sudah berumur 64 tahun mulai memalingkan perhatian pada kehidupan orang banyak, ia mulai prihatin pada nasib bangsa. Sepanjang usianya ia telah melihat, menghayati, menjadi saksi perjalanan sebuah bangsa, dan ia tidak bisa untuk tidak memberi komentar, nasihat, atau peringatan pada orang banyak atas kondisi itu.

Demikianlah, seorang penyair besar dengan karya-karyanya, terus berproses, menggali tema, memperluas perhatian, menuntaskan pencarian, bertahan pada intensitas yang tak tertandingi, dan itu adalah pelajaran penting bagi kita.

Makna sajak-sajaknya sendiri adalah karya yang amat pantas menjadi renungan. Tengoklah petikan kedua sajak yang kita bicarakan di sini. Ia sedang menghantam kehidupan kita kini yang semakin lama semakin mudah jatuh pada pemujaan pada yang permukaan, tanpa kedalaman.

Hidup kehilangan makna, tanpa tujuan. Ibarat kata-kata yang retak, tumbang, runtuh, porak-poranda. Kamus - barangkali itu bisa kita anggap sebagai metafora dari kitab rujukan moral - tak lagi diindahkan. Kita pun lantas hidup tanpa tujuan, hidup tak lagi bermakna. Siapa yang bisa menyelamatkan kita dari kehancuran ini? Bukan orang lain. Tapi kita sendiri, bahasa kita sendiri, bukan nilai-nilai orang lain yang asing, meskipun itu telah disuai-suaikan ke dalam bahasa kita sendiri. Negara asing tak sanggup bantu. Mustahil selamatkan korban lewat asing kata. ***


Friday, September 19, 2008

Tardji (5): Menukar Gelisah, Menukar Badan

BUAT saya, ketika berada di depan sebuah sajak, selalu menarik menebak apa yang ingin disampaikan penyair lewat sajak itu. Kenapa ia menyampaikannya dengan cara yang ada pada sajak itu. Tak ada cara lain kecuali menafsir. Saya percaya bahwa apa yang datang dari luar sajak itu sah dan boleh saja didatangkan untuk mendukung tafsiran.



Buat saya, sebagai penyair, memang kedua hal itulah pertanyaan pokok ketika menyajak. Mau menyampaikan apa. Lalu bagaimana cara menyampaikannya. Mau mengucapkan apa dan bagaimana cara mengucapkannya. Ada risau di sana sisi dan nikmat sini sisi dalam kedua hal itu. Dan nikmat dan risau itulah nafkah dan sekaligus upah yang diberikan dan diambil oleh sajak kepada dan dari penyair yang menjadikannya ada.

Lalu apa ya kira-kira yang ingin disampaikan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dalam sajak 32 baris “Lampu Antik” berikut ini? Kenapa pula dia menyampaikan dengan cara begini?


LAMPU ANTIK
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

lampu tua menunggu
di toko barang antik
lampu tua setia
menunggu nunggu orang
membelinya
lampu tua tembaga
yang berkilap di tangan tahun tahun
ah berapa lama kau pernah menyala
beberapa lama kau pernah menatap
senyum nyonya nyonya dan tuan tuan
lampu tua yang sopan
lampu tua bijak
betapa sering kau
menyipitkan matamu
sambil pura pura tak tahu
ketika mereka menukarkan
gelisah mereka dengan saling menukarkan badan
lampu tua yang sabar
lampu tua yang kuat
ah betapa bisanya kau menahan tangis
dalam matamu yang lebar dan terang
ketika kau lihat mereka sudah siap
untuk kembali sia sia
ketika kau lihat mereka
menggantungkan lap duka
di pinggir ranjang

lampu tua menunggu
di toko barang antik
dan seorang wanita
membelainya
ingin membawa tidur
malam ini

1977


Bisa jadi SCB memulakan sajak ini dari pengamatan dan ketertarikannya pada sebuah lampu tua di toko barang antik. Lantas ia membuat sajak naratif ini. Ia berkisah tentang lampu tua di sebuah toko barang antik itu. Tapi tentu sebuah sajak akan sia-sia kalau sekedar bercerita saja tentang sesuatu.

Harus ada yang tersampaikan dari sajak itu. Nah, inilah nikmat dan risau menyair itu. Maka, SCB pun saya bayangkan mengutak-atik kalimat dan saya kira itulah yang akhirnya tersimpan sebagai makna dalam sajak ini: betapa sia-sianya hubungan antara kalian wahai tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Kalian mungkin punya alasan untuk saling menukarkan badan, kalian bilang itu untuk saling menukarkan gelisah kalian, tapi toh akhirnya itu berujung pada sia-sia bak menggantung lap duka di pinggir ranjang.

Kisah dalam sajak ini diakhiri dengan sebuah peristiwa yang sebenarnya juga tidak mengisyaratkan sebuah akhir. Lampu tua itu menunggu di toko barang antik itu. Dan seorang wanita – entah apakah dia itu salah satu nyonya yang disaksikan oleh lampu itu saat bertukar gelisah dan bertukar badan dengan seorang tuan – membelai lampu itu. Wanita itu menginginkan si lampu, membawanya tidur malam itu.

Akhirnya, begitulah tafsir saya atas sajak ini, yang sia-sia akan pergi dan dengan kesadaran atas kesia-siaan itu, kita harus kembali pada apa yang hakiki. Di sajak ini yang hakikat itu dihadirkan dengan metafora lampu tua: sesuatu yang dulu pernah menerangi kita, tapi tak kita sadari terangnya, karena kita sibuk dengan gelisah badaniah kita, yang setia menunggu kita kembali padanya untuk kembali menyalakannya tentu dengan kesadaran akan keberadaan terang lampu itu.

Ataukah proses itu sebaliknya? SCB menetapkan dulu pesan dalam sajaknya ini, lalu mencari cara mengucapkan? Lalu dia menemukan metafora lampu tu aitu? Bisa jadi. Mungkin saja. Tapi saya tak yakin begitu. Ah, tapi saya tak yakin pada ke-takyakinbegitu-an saya juga.

Begitulah. Dalam sebuah sajak baik-baik yang digubah dengan sungguh-sungguh, selalu ada makna yang bisa saya petik. Ada pula pelajaran menyajak dari situ: begitulah seharusnya sebuah makna diniatkan, dan dimuatkan ke dalam sebuah sajak.




Buku Orgasmaya Masuk Longlist KLA 2008

PENGUMUMAN resmi dari Panitia Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008. Buku Orgasmaya saya masuk dalam longlist nominasi pemenang KLA 2008. Malam Penganugerahan akan diadakan pada tanggal 13 November 2008 di Atrium Plaza Senayan.

Otobiografi - Saut Situmorang
Sic, November 2007

Pandora - Oka Rusmini
Grasindo, Mei 2008

Teman-Temanku Dari Atap Bahasa
- Afrizal Malna
Lafadl, Februari 2008


Atau Ngit Cari Agar - Sutardji Calzoum Bachri
Yayasan Panggung Melayu, Juni 2008

Aku Hendak Pindah Rumah - M. Aan Mansyur
Nala Cipta Litera, Februari 2008

Demonstran Sexy - Binhad Nurrohmat
Penerbit Koekoesan, Mei 2008

Jantung Lebah Ratu - Nirwan Dewanto
Gramedia Pustaka Utama, April 2008

Orgasmaya - Hasan Aspahani
Yayasan Sagang, Desember 2007


Sajak-Sajak Menjelang Tidur
- Wendoko
Banana, Mei 2008

Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan - Maulana Achmad, Inez Dikara, Dedy T. Riyadi
Carangbook, Mei 2008

Catatan: kebanggaan lain saya adalah saya terlibat dalam dua buku dalam longlist tersebut. Saya menjadi editor dan memberi pengantar untuk buku Aan Mansyur, dan saya juga memberi pengantar untuk buku tiga orang sahabat dari Jakarta itu Maulana Achmad, Inez Dikara, Dedy T. Riyadi.



Wednesday, September 17, 2008

Pesan Istri kepada Penyair (Suaminya)

KALAU engkau sedang tak bergairah menulis puisi
tulis saja kata-kata sambung, seperti: sebab,
karena, walaupun, sehingga, tetapi, bahkan, atau,
dan, meskipun, lalu, serta kata lain sejenis mereka.

Lalu bayangkan ada seorang yang akan membaca
apa yang kau tulis itu sebagai sajak, dan mereka
dengan keajaiban imajinasia - semacam lisensia
juga bagi pembaca - akan membuat frasa sebelum
dan sesudah kata-kata sambungmu itu. Bayangkan!

Kalau engkau sedang tak bergairah menulis puisi
tulis saja namaku dan namamu, lalu tebarkan sejuta
titik di antaranya. Biarkan aku membacanya dan
dengan sedikit fantasia - akan kutambahkan kalimat
apa saja di antara dua nama itu, nama kita itu.




Sunday, September 14, 2008

Bocoran Buku "Menapak ke Puncak Sajak II"

II. Lima Pasal Afrizal
11. Selain Sutardji, menurutmu adakah penyair lain yang kredo atau sikapnya terhadap kepenyairan dan bahasa bisa kita teladani?

Ya, Afrizal Malna. Ia bahkan hadir dengan konsep yang amat berbeda. Lebih menukik ke relung kata, ke jantungnya.



12. Sajak-sajaknya khas sekali. Sekali baca sajaknya tanpa melihat namanya kita bisa tahu bahwa itu sajak Afrizal. Saya juga menemukan banyak bau-bau Afrizal pada sajak penyair lain.

Afrizal menemukan bahasa sajaknya. Yang lain mengekorinya. Ah kita berbaik sangka saja, barangkali penyair lain itu masih dalam upaya mencari sebelum menemukan bahasa sajaknya sendiri. Sebenarnya yang penting adalah sikap terhadap bahasa itu, bukan bagaimana sajak yang dihasilkan dari penyair yang bersikap demikian.

13. Saya belum pernah melihat Afrizal mengumumkan kredonya.

Memang dia tidak pernah menyebut dengan jelas, tapi bagi saya sikapnya amat jelas.
Di buku "Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing" terbitan Bentang Budaya, Cetakan I, 2002, Afrizal Malna mengumumkan semacam kredo, semacam sikap dan pandangannya terhadap kata dan puisi. Saya kira ini salah satu kredo terbaik dalam khazanah perpuisian Indonesia. Kredo itu berjudul "Rumah Kata".

14. Wah, ini pasti sangat menarik. Saya baca buku itu, saya baca bagian “Rumah Kata”. Tapi, apa betul itu kredonya Afrizal?

Saya sarikan saja sikap Afrizal itu kedalam lima pasal berikut ini, sambil saya tambahkan penjelasan yang merupakan upaya saya menafsirkan dengan daya tafsir saya yang terbatas ini. Saya mungkin salah menafsir. Mungkin penyair kita ini bermaksud lain, tapi bagi saya cara menafsir seperti ini bermanfaat, setidaknya buat saya sendiri.

Pasal 1. Kata seperti sebuah rumah, memiliki ruang luar dan ruang dalam, ruang depan dan ruang belakang. Kata adalah representasi eksistensi ruang dalam pemahaman manusia di bidang bahasa.


Mari kita tangkap perumpamaan itu dengan cara begini: ruang dalam adalah ruang pribadi, ruang luar adalah ruang publik. Ruang dalam dibangun sendiri dengan pengertian yang bebas. Ruang luar terbangun bersama sehingga di ruang itu pengertian kata dipahami oleh semua orang yang bersama-sama berada ruang luar itu, tanpa merusak ruang dalam yang terbangun di dalam diri masing-masing.

15. Hmmm, pasal berikutnya.

Pasal 2. Ruang luar kata adalah konvensi komunikasi yang berlangsung dalam wilayah publik. Berbagai pernik-pernik komunikasi saling berhubungan dalam ruang ini.


Nah, mulai jelas kan apa maunya? Bila disebut kata "rumah", maka di ruang luar kata itu yang terlihat adalah rumah dalam pengertian umum. Rumah yang dimengerti bersama oleh orang-orang yang berada di ruang luar kata yang sama. Padahal orang-orang itu menyimpan pengertian kata rumah yang berbeda yang mereka bangun di ruang dalam masing-masing itu.

16. Makin jelas atau makin rumit ya?

Ah, kamu macam tak tahu Afrizal saja. Lanjut dulu ya.

Pasal 3. Ruang dalam kata seperti rumah kita yang terlindungi dari dunia luar. Sebuah kebebasan yang bekerja dan bertindak dalam ruang terbatas.


Mungkin ini akan mudah kita pahami dengan uraian begini: Rumah bagi A, bisa jadi adalah rumah sederhana yang pernah ia tempati, yang harus ia tinggalkan karena ada trauma yang mengusirnya jauh dari rumah itu. Rumah bagi B, adalah rumah yang berat ia tinggalkan karena rumah itu selalu membuatnya nyaman. Rumah bagi A dan B yang berbeda itu tersimpan di dalam ruang dalam kata itu yang mereka bangun sendiri.

17. Sepertinya penjelasanmu itu deh yang rumit…

Tunggu sampai kita tiba di bagian berikutnya. Ini bagian penting.

Pasal 4. Puisi sebenarnya produk dari ruang dalam kata, lalu mencoba keluar menemui publik tapi ia tidak mau tunduk pada konvensi hubungan-hubungan publik di ruang luar itu.


18. Ya, ya. Sebentar saya hayati dulu….

Sudah?

19. Bantu saya memahami dengan sedikit penjelasan.

Itu artinya puisi itu personal sekali. Orang yang merasa nyaman berada di ruang luar alias ruang bersama punya dua pilihan. Ketika melongok ke puisi - jendela yang membuka ruang dalam itu: Pertama, orang bisa tidak betah karena aneh melihat ruang kata yang berbeda dari ruang luar tempat ia biasa berada dan berbeda pula dengan ruang dalam kata yang ada dalam dirinya; Kedua, orang menjadi sangat tertarik karena ruang dalam yang ia longok di jendela puisi itu ternyata banyak serupanya dengan ruang dalam yang ia simpan yang diam-diam ia rahasiakan.

20. Aha, saya tangkap poinmu.

Bukan saya. Itu poinnya Afrizal, Bung! Dan ini bagian terakhir.

Pasal 5. Puisi sesungguhnya mencoba merajut kembali hubungan antara ruang luar dan ruang dalam sebagai representasi pembagian kerja kebudayaan dan peradaban.


Nah, kan? Ada ketegangan antara ruang luar dan ruang dalam kata. Ada yang tidak tersambung dan itu harus dirajut kembali. Ruang luar kata bisa jatuh menjadi membosankan. Ruang dalam kata sesekali harus dibuka dan diajak keluar agar ketegangan itu mencair, keakraban terajut, dan ruang luar kata disegarkan kembali oleh kehadiran ruang dalam.

Saya betul-betul sangat terbantu dengan lima poin itu ketika membaca sajak-sajak Afrizal. Ia tidak sekadar beraneh-aneh. Keanehan – atau kamu pernah bilang itu hanya kegenitan bahasa, atau sekadar kesengajaan untuk merumit-rumitkan - itu adalah wujud dari sikapnya terhadap bahasa, puisi dan kepenyairan itu sendiri. Lima poin dari risalah pendek “Rumah Kata” itu.

21. Saya bilang genit atau gaya-gayaan karena saya belum tahu, Bung. Sekarang saya sudah punya alasan untuk mengubah sikap dan saya kira saya juga akan sangat terbantu memamahi sajak-sajaknya dengan uraianmu ini.

Hmm, kamu mau kirim SMS minta maaf sama dia? Saya punya nomor ponselnya.

22. Ada? Berapa?

He he he. Saya minta izin dia dulu ya. Tapi, kamu tahu, kredo itu juga mengilhami saya untuk menulis sajak untuknya.

23. Oh ya? Mana?

Silakan simak:

Rumah Kata & Tuan Rumah Kata

: Afrizal Malna

AKU kehabisan ruang di rumah kata. Ruang luar dan ruang dalam kata sudah ditempati tamu dari jauh. Tamu itu kawan-kawanku sendiri. Mereka tidur, makan dan ngobrol. Aku ketuk-ketuk pintu ruang kata itu. Mereka tak mendengarku. Rumah kata tak lagi dikawal penjaga. Siapa saja bisa masuk. Tapi apa artinya berada di dalam ruang kata?

Engkau bilang siapa saja memang bisa masuk ke dalam ruang kata. Tapi tidak semua orang bisa bertemu tuan rumah kata. Engkau bilang kita tak harus masuk ke dalam ruang kata agar bisa bertemu tuan rumah kata. Kita juga tak harus menunggu di pintu atau bikin tenda di halaman rumah kata.

Aku bertemu engkau di yogyakata. Engkau tanya aku apakah aku pernah ditolak kata? Engkau tanya aku apakah aku pernah ditalak kata? Engkau tanya apakah aku pernah merobek KTP-ku sendiri? KTP yang penuh kata. Dusta.

Engkau bilang engkau tidak tahu alamat rumah katamu di kota katamu. Tapi engkau membuatku tahu ada ruang di dalam dan di luar rumah kata.

Engkau suka mengajak kata yang ada di ruang dalam kata menjenguk ke luarkata. Di ruang luar kata mereka menjadi kata yang kuat. Mereka punya kaki dan mereka ingin berjalan sendiri. Mencari rumah dan kota lain.

Engkau tak mau membopong kata yang sudah punya kaki sendiri itu. Engkau tak juga melarang kata itu mengikutimu dari kota ke kota. Hei, aku tahu sekarang di mana rumah kata dan siapa tuan rumah kata tempat aku datang sebagai tamu. Tamu yang tak pernah diundang. Tamu yang tak pernah pulang.

24. Wah!

Silakan diselami, dan dimaknai…. (Syukurlah, kamu jadi lupa sama nomor ponsel itu).

25. Nomor ponselnya berapa ya?

………


Sajak dan Hal Ihwal yang Tak Tertebak

       KENAPA seseorang tertarik pada puisi?
Kenapa seseorang menulis puisi dan tak menolak
disebut sebagai penyair?
       Kenapa orang membaca sajak? Kenapa
orang tersentuh perasaannya oleh bait-bait sajak?
       Hadiri sebuah imajinasi seminar penting
yang digagas dengan gagah seakan-akan hendak
menjawab perihal sajak dan hal ihwal yang tak
tertebak itu.

      Hari: Suatu hari antara
             Sabtu dan Minggu.
       Tanggal: Suatu tanggal antara tanggal
             terakhir bulan ini dan tanggal
             pertama bulan depan.
       Tema: Sajak dan Hal Ihwal yang tak
             Tertebak.

      Pembicara: Chairil Anwar (dalam konfirmasi).
      Moderator: Mikael Johani (bersedia
             hanya dan hanya jika Chairil
             bersedia jadi pembicara).
       Tempat: Di mana saja, asal tak
       di kuburan-kuburan kita.


       Datang, tak datang, sama saja, Anda
hanya harus menyiapkan hati. Bukankah di
situ ya di hati kita itu segala yang tak tertebak
itu kembali, dan di situ ya di hati kita itu ia tak
berhenti.




Friday, September 12, 2008

Tardji, Tuyul dan Guru Ngaji Hudan

Oleh Hudan Hidayat

Mungkin puisi Tardji yang belum pernah dibaca orang, adalah puisi yang pada suatu sore dilisankannya padaku dengan gerak jiwa dan raganya. Jadi begini ceritanya.


Pada suatu siang antak-antak 4 atau 3 tahun yang lalu, sang penyair ini selalu kehilangan duit dalam tumpukan honor atau apalah di meja kamar atasnya.

Tapi dia yakin tak seorangpun yang mengambilnya. Maka dia berkesimpulan yang mengambilnya adalah tuyul. Dengan setarikan napas dia bercerita dengan suara serak dan dengan alunan irama puisi lisan.

"Jadi hudan," katanya, "aku yakin tuyullah yang ngambil uangku itu. tak mungkin orang."

"Aku penasaran," katanya. "Macam macam tehnik sudah digunakannya. Konon tuyul takut ngambil uang kalau di dalam dompet kita taruh kaca kecil," katanya. "Lalu kutaruhlah kaca kecil dalam dompetku." Sambil bercerita tardji terkekeh sendiri. Bahkan terkikik kikik lucu. Tubuhnya berguncang-guncang dan aku kira memanglah lucu: menaruh kaca di dompet itu.

Tapi ilmu kaca tak mempan dan duit Tardji tetap hilang.

"Pukimak tuyul ini," kata tardji sambil terkekeh lagi. "Aku pikir-pikir," katanya, "lalu tanpa berpikir kuambil tongkat kayu dan kuintip dari pintu kamarku yang kubuka sedikit. Siapa tahu tuyul itu berjalan ngambil duitku.

Sekarang aku yang terkikik geli sendiri dan Tardji pun ikut terkikik bersamaku. Kubayangkan sang penyair berkaos oblong putih sampai ke gulu dengan celana pendek modis sedang memegang tongkat kayu - biasanya kan megang pena mencatat-catat puisinya. Apa lagi kalau mau naik panggung, sibuk dia membolak balik catatan catatan puisinya dengan tulisan tangan khas tulisan tangan orang dulu. Tulisan tangan model halus kasar. Tapi tulisan tangan tardji guratannya besar besar dan tegas tegas.

Pernah kuambil kertas kertas yang mau dibacanya dari map sebesar nampan itu. Kubolak-balik berisi puisi pendek dan puisi panjang.

Tanah Air Mata, begitulah puisi legendaris itu. Lalu di tepiannya seolah ada coretan entahlah apa fungsinya aku kurang mengerti. Tak pula kutanyakan pada dirinya. Kalau pun kutanyakan pastilah jawabnya: alah kau ini. sudah baca baca ajalah. (hehe apa kabar bang? aku kangen deh).

Kembali ke soal tuyul tadi ya. Lama Tardji menunggu tuyul itu dengan tongkat di tangannya. tumpukan duit ditaruhnya di atas mejanya. Di sekeliling kamarnya terbentang foto foto hitam putih sang penyair lagi telentang mabuk, melompat bringas dengan mata merah, banyaklah lagi. Tapi kalau cerita ini benar maka di situlah settingnya. habis di mana lagi? Tak mungkin kan di bawah di ruang ruang keluarganya cerita semacam ini terjadi. Pastilah di kamar atas itu.

Nah, lama Tardji nunggu tapi dasar tuyul iya tak datanglah hehe. "Pukimak tuyul itu tak datang," kata tardji. "Kalau dia datang pastilah kugebuk dengan tongkat kayuku ini."

Lama nian aku terkikik mendengar cerita yang disampaikannya itu. Oh iya, ini cerita benaran lo bukan fiksi. Setidaknya benaran yang kudengar dari mulut Tardji. Kukira memang benar hehe

Masih ada kelanjutannya cerita ini soalnya. Setelah dia bercerita dia berpikir pikir sendiri. "Gampanglah soal tuyul ini sebenarnya," katanya. Kalaulah ada orang pintar macam kiyai selesailah.

Aku bilang aku ada bang orang pintar. Guru ngajiku orang NU tapi asyik. Langsunglah kupromosikan karena khawatir kalau kalau belum apa apa dia merasa akan diceramahi.

"Guru ngajiku ini keren bang," kataku. Aku malah banyak bicara di depannya bukannya dia. Padahal waktu ketemu pertama kali aku kena marah sama guru ngajiku itu. Gara-garanya aku ngajak dia berdebat dan lama-lama berputar putar tak ada ujung pangkal. Marahlah dia. Kamu ini kesini mau apa? mau belajar agama atau mau berantem dengan saya. Aku berkata, "oh tidak, pak, aku kesini pastilah mau belajar agama."

"Ya sudah kalau mau belajar agama diam jangan bicara lagi. dengarkan aku ini."

Aku berkata, "iya, Pak, aku diam dan aku dengarkan. Tapi sejak itu aku malah jadi dekat dengan guru itu dan guru itu sayang sekali dengan aku.

Sebenarnya tak kudengarkan amat. Cuma kan gak enak bertengkar pula di rumah orang. Tamu lagi, masa bertengkar.

Nah pergilah aku dan Tardji ke guru ngajiku itu. Naik taksi. Lalu naik becak dan sampai ke tempat guru itu. Di sepanjang jalan Tardji bingung melihat aku. Aku gelisah karena kok sepertinya tak sampai sampai juga becak yang kami naiki. Jangan jangan salah alamat dan berulang ulang tukang becak itu kutanyakan. Akhirnya tukang becak itu kesal dan mungkin sekali kami dibawanya berputar putar, sehingga terasa lama amat.

Tapi waktu kan pasti ada ujungnya dan kami pun sampai. Tardji pakai anting dengan rambut dikepang kecil kecil mirip penyanyi rege dan dengan jaket khasnya. Baru saja kami datang guruku langsung senyum senyum melihat Tardi. setelah berbasa basi langsunglah kebiasaan Tardji bekerja: ngomong dengan setarikan napas itu, seolah kata kata berhamburan saja keluar dari mulutnya tanpa berpikir.

"Jadi pastilah tuyul kan, Pak, yang ngambil duit itu," katanya kalau aku gak salah ingat. Sungguh aku sudah gak ingat lagi apa apa pokok cerita soal tuyul di depan guru ngajiku itu. Daripada ceritaku ini bergerak ke arah fiksi lebih baik aku berhentikan saja sampai di sini ya, tuan dan puan para pembaca. sekelumit kisah aneh bin ajaib dari para pengarang indonesia ini.

Sampai jumpa. da da.

Sumber: milis Apresiasi-Sastra, ditampilkan seizin penulis Hudan Hidayat.


[Sutardji (4): Ditebas Pedang Taubat

BILA sajak "Berdarah" adalah sajak Sutardji yang paling tepat bicara soal kesetiakawanan sosial - saya amat satu kata dengan Joko Pinurbo dalam hal ini, maka sajak "Idulfitri" adalah sajak tentang pertobatan dan pengakuan kesalahan di masa lalu, yang paling jujur.

Ketika ada berita Sutardji yang tak pernah mabuk lagi, membaca sajak di Pekanbaru dan seperti biasa dia tampil dengan totalitas dan karena itu ia selalu memukau, ada seorang berkomentar, "apa betul dia tak minum dulu?" Saya kira orang itu tak pernah membaca sajak "Idulfitri".

Dalam beberapa kali bertemu Sutardji saya tahu persis dia memang tak minum bir lagi. Dia ucapkan itu berkali-kali. Saya melihat perilaku, Sutardji persis seperti sajak "Idulfitri"-nya ini:



IDULFITRI
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

lihat
pedang taubat ini menebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia-sia
telah kulaksanakan puasa Ramadhanku
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntai wirid tiap malam dan siang
telah kuhamparkan sajadahku
yang tak hanya menuju Ka'bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah

dan di malam Qadar aku pun menunggu
namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

maka aku girang-girangkan hatiku
aku bilang
tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
namun si bandel tardji ini sekali merindu
takkan pernah melupa
takkan kulupa janjiNya
bagi yang merindu insyaAllah kan ada mustajab cinta

maka walau tak jumpa denganNya
shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
semakin mendekatkan aku padaNya
dan semakin dekat
semakin terasa kesiasiaan pada usia lama yang lalau berlupa

O lihat Tuhan kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
kini biarkan aku menenggak marak cahayaMu
di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan
yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan lagi aku di trotoar
tempat dulu aku menenggak arak di warung dunia

maka pagi ini
kukenakan zirah la ilaha illallah
aku pakai sepau siratul mustaqiem
akupun lurus menuju lapangan tempat shalat ied
aku bawa masjid dalam diriku
kuhamparkan di lapangan
kutegakkan shalat
dan kurayakan kelahiran kembali
di sana

1987


Ini adalah sajak yang total, jujur, dan saya ingin sekali melihat dia membacakan sajaknya ini. Saya membaca sajak ini dengan mata berkabut. Haru. Betapa beruntungnya Sutardji, diberi kesempatan untuk menyadari perilaku salah dan berani pula dia mengakui itu dan betapa kuat tekadnya untuk menjadi benar. Saya ingin sekali kelak menulis sajak seperti ini. Saya ingin sekali bisa merasa seperti dia "merayakan kembali kelahiran".

Saya kira ini adalah sajak yang menandai babak baru kepenyairan Sutardji. Di buku "Atau Ngit Cari Agar" ada tahun-tahun Sutardji kosong menyajak. Sajak terakhirnya dari era setelah "O, Amuk, Kapak" bertahun 1979. Lalu sajaknya muncul lagi baru pada tahun 1987. Ada dua sajak yang ditulisnya pada tahun itu yaitu "Para Penyair" dan "Idulfitri". Saya tak tahu manakah yang lebih dahulu ditulis, tapi keduanya bernada sama, beraroma penemuan spiritual dan lahir sama dari seorang Sutardji yang kini telah berbeda. "Sajak yang ditulis dalam keadaan berwudhu," kata Taufik Ismail.

"Semua sajakku dari dulu sudah religius," kata Sutardji pada suatu ketika. Tapi religiusitasnya berbeda. Religiusitas sajak di era "O, Amuk, Kapak" kental dengan aroma pencarian, keraguan, pendakwaan, dan perlawanan. Maka sajak-sajak setelah 1987itu adalah sajak dengan warna teduh, ia telah sampai, ia telah menemukan, ia sudah berpegang kuat.

Thursday, September 11, 2008

Sutardji (3): Peringatan Dini Sutardji

TAMAN
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

Lewat pupuk-pupuk hutang gedung mekar di mana-mana.
Mereka bilang kami berada di taman pembangunan. Dan
aku diundang ke gedung gagah dengan sound system yang
lantang. Tapi yang kuteriakkan cuma lengang.

Meski listrik sampai desa di pedalaman hati tak ada cahaya.
mereka yang masih disentuh cahaya hanya bisa diam.
Bahkan penyair tak sanggup mengucap.

Kalimat pucat, darah tak mampu melafazkan sengsara. Kita
agaknya memang betah derita. Sementara kata-kata lari
pada issue pada isyarat sekarat dan pada sandi usang.
Bagaimanapun aku warganegara kata. Tanahairku bahasa.
Tapi kata-kata sudah mengungsi. Dan aku kehilangan negara.


1990-1994



Tahun penulisan sajak bisa membantu banyak untuk memetik makna sajak. Sajak ini misalnya. Sutardji mencatat rentang waktu 1990-1994. Empat tahun untuk sebuah sajak. Ini bukan rentang waktu yang paling panjang bagi penyair yang kini berumur 67 tahun. Ada sajak lain yang tahun penulisannya lebih panjang, yakni sajak Malam di Batam yang bertahun 2000-2008. Saya ingat itu sebenarnya adalah sajak yang diterbitkan di halaman Bentara Kompas, sajak yang mengantar beberapa sajak yang ia editori di lembaran itu.

Dalam rentang waktu penulisan itu, bukan berarti dia dipelototi setiap hari sepanjang hari selama empat atau delapan tahun. Pencantuman tahun, bisa dianggap sebagai sebuah pertanggungjawaban atau pemberitahuan atau penanda bahwa sajak itu pada tahun terakhir diubah lagi, ditambahi, disempurnakan, dan perubahan itu menurut penyair penting. Pembaca yang jeli atau penelaah yang cermat yang punya arsip yang baik tentu bisa melacak, apa saja perubahan yang dibuat oleh penyair pada sajaknya.

Kita kembali ke sajak "Taman". Perhatian saya tersita pada tahun penulisan sajak ini, setelah saya selesai membaca sajaknya. Ini sebuah sajak berisi kritik sosial yang keras. Lihat, ada kata 'pembangunan', ada frasa yang menyaran pada 'listik masuk desa'. Itulah dua kata yang menjadi mantera sakti rejim orde baru. Kata yang bahkan bagi sebagian orang di negeri ini sampai hari ini menjadi penanda keabsahan sang penguasa. Sutardji mengritiknya bahkan sejak larik pertama: Lewat pupuk-pupuk hutang gedung mekar di mana-mana! Pesannya sederhana: pembangunan dengan fonfdasi yang rapuh membuat kira kehilangan kedaulatan negara. Betapa benarnya kritik itu, dan sekian tahun kemudian hal itu terbukti. Ekonomi Indonesia ambruk!

Rasanya, pada tahun-tahun itu jika sajak ini dibacakan oleh penyairnya di sebuah pertunjukan di mana pun, cukup alasan bagi intel untuk bikin laporan darurat dan kemudian aparat datang menjemput dan menginterogasi seharian semalaman, lalu pulang dengan wajah babak belur dan tubuh remuk redam. Nyatanya, selama Orde Baru Sutardji sebagai penyait tidak pernah dicekal. "Cuma pernah penyelenggara baca puisi diimbau sajak yang ini yang itu sebaiknya jangan dibacakan," kata Sutardji pada saya.

Tahun penulisan sajak ini menjadi penanda yang amat penting. Sajak itu agak berkurang kedalaman maknanya, jika ditulis pada tahun 1998 atau sesudahnya atau pada tahun-tahun ini. Sutardji Calzoum Bachri menulis sajak ini, seakan ia menulis sebuah ramalan. Semacam peringatan dini. Ia mengamati dengan cermat kondisi Indonesia pada tahun-tahun itu, dia geram, dia marah, dan karena dia penyair dia lantas merumuskan pengamatan, kegeraman, dan kemarahannya dalam sebuah sajak. Disini pula hebatnya Sutardji - ah, apa masih perlu pujian seperti ini. Dia tidak terseret oleh kegeraman dan kemarahan itu, dia lantas menyusun sebuah pengucapan khas dia tanpa harus menjadi penulis sajak pamflet.

Kecenderungan Sutardji pada tema-tema sosial, dengan muatan kritik yang lugas, dalam buku "Atau Ngit Cari Agar" sudah dimulai pada sajak "David Copperfield" (1990), "Jembatan" (1993), lalu dilanjutkan pada sajak Kami Tahu Asal Jadi Kau" (1998), berpuncak pada "Tanah Air Mata" (di buku ini tanpa tahun), dan akhirnya sajak "Cari" (1998). (bersambung)

Wednesday, September 10, 2008

Sutardji (2): Sapardi Ingin, Sutardji Tak Ingin!

Sajak “Aku Ingin” bertahun 1988. Sajak itu terbukukan bersama sajak lain dalam “Hujan Bulan Juni” (1994). Sajak itu muncul ke hadapan umum di tahun 1990, lewat majalah Horison. Inilah sajak pendek yang amat terkenal, lebih terkenal daripada penyairnya. “Pembawa acara gosip di televisi bilang itu sajak Kahlil Gibran,” kata Sapardi. Inilah pula sajak penyair tanah air yang saya kira paling banyak diutak-atik oleh penyair lain, diplesetkan, diparodikan, dan dipermainkan. Apapunlah, perlakuan apapun dari penyair lain terhadap sajak itu tidak akan mengurangi kebesaran sajak kecil itu.



Begitu juga dengan yang dilakukan Sutardji pada sajak itu, bila memang benar ia membuat sajak “Tak Ingin” dengan beranjak dari sajak “Aku Ingin”. Saya kira Sutardji juga bertemu dan memparodikan sajak itu dari majalah yang sama. Mari kita baca sajak itu.

TAK INGIN

aku tak ingin bebas
tak ingin lepas
karena ingin sudah kulepas
pergi aku kedalam diriku

tak ingin mawar
tak ingin aku melati
karena taman itulah aku
segala bunga ada padaku

tak ingin aku bergegas
karena sampai ada padaku
begitu aku mau
sampai aku pada yang kutuju

aku tak ingin langit
di bumi tak resah aku
langit ada dalam diriku
dari tanah asalnya aku!

aku tak ingin bercinta
tak pula tertusuk rindu
karena cinta sudah diriku
dan akulah muasal rindu

siapa ingin main ke taman
siapa mau menyambung sayang
siapa siap resiko rindu
coba dekap dan petiklah aku!

1991

Sebagai parodi, sajak ini adalah sebuah parodi yang cerdas. Lihat saja bait pertamanya: aku tak ingin bebas / tak ingin lepas / karena ingin sudah kulepas / pergi aku kedalam diriku. Bila Sapardi memulai dengan “aku ingin” Sutardji langsung membalikkannya dengan “aku tak ingin”. Ini seperti olok-olok antara dua bocah yang sedang bermain-main. Lumayan, sedikit mengundang kelucuan. Bila Sapardi mengambil perumpamaan dari luar dirinya (kepada kayu, api, abu, hujan, langit dan awan) - dan itu tentu saja tidak salah – maka Sutardji pergi ke dalam dirinya sendiri. Bila Sapardi membebaskan, Sutadji tidak ingin bebas tak mau lepas. Bila Sapardi mengatakan cinta dan langit, maka Sutardji menyebut “aku tak ingin bercinta”, “aku tak ingin langit”. Sebuah peragaan kenakalan, keusilan (sekaligus menunjukkan sebuah pencarian dan penemuan) yang jenius, sebab Sutardji memberi alas pada ketidakinginannya itu.

Sutardji pun tidak berhenti pada sajak dua bait yang pendek. Dia terus menghamparkan kuatrinnya hingga enam bait. Sajak Sutardji akhirnya menjadi sebuah sajak yang mengucapkan sesuatu yang berbeda dengan Sapardi. Bila yang satu hendak mengucapkan rasa cinta yang tulus, ikhlas, tak mengharap balas, maka yang lain menawarkan petunjuk bahwa cinta harus sampai pada penyatuan – jauh lebih daripada sekedar pemberian yang tulus. Karena cinta sudah diriku / dan akulah muasal rindu. Dan kuncinya – selalu demikian – ada pada bait akhir:

siapa ingin main ke taman
siapa mau menyambung sayang
siapa siap resiko rindu
coba dekap dan petiklah aku!


Lagi-lagi ini sebuah bait menantang khas Sutardji. Siapa siap resiko rindu. Coba dekap dan petiklah aku! Makna sajak Sutardji telah melampaui, memperluas, menambah tanpa merendahkan sajak yang diparodikannya. Saya kira begitulah seharusnya parodi yang cerdas dan dengan demikianlah, atmosfer kreatif dalam dunia persajakan kita tetap terjaga, tetap sehat, supaya bisa terus jalan-jalan dan makan-makan. Tetap maknyus!



Sutardji (1): "Taklukkan Kelembahanmu!"

PARA PENYAIR
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

para penyair
     jangan biarkan dirimu
         berlamalama
             di lembahlembah

jangan lama terperangah
     pada keanekaragaman tanah

lembah dan lereng
     memang disiapkan
         agar kalian
             mengingat puncak
                 menantang
                     meraih
                         atas

para penyair
     jangan biarkan
         batinmu
             tercengang pulas
                 tenggelam
                     di kelembahan badan

ayo
     mendaki
         taklukkan kelembahanmu
             walau pedih tebing-tebing
                 harus kau atasi kepedihan
                     meski luka di lembahlembah
                         atas kedukaan
                             jangan tenggelam
                                 ingat!
                     Ibrahim tak suka barang tenggelam

ayo
    mengatas
        meninggi
            sampai tanah menyatu
                 mengatasi keanekaragaman tanah
                     sampai langit
                         tanah
                             menyatu
                                 mengucap
                                     hakikat

ayo
     para mawar
         tanggalkan kelopak pongahmu
             mendakilah

di puncak
     tanah menyibak langit
         langit menyibak tanah
             tanah mendekap langit
                 langit memeluk tanah
                     saling membuka
                         saling menutup berpelukan

di puncak
     segalanya terbuka
         dan tersimpan

1987



SETELAH "O, Amuk, Kapak" (1981), penyair Sutardji Calzoum Bachri menerbitkan buku kumpulan sajaknya, tahun ini. Ada jarak waktu 27 tahun, dari buku puisi yang menggabungkan tiga kumpulan puisi, tiga puncak kepenyairannya itu, dengan buku terbarunya "Atau Ngit Cari Agar" (2008).

Banyak yang menunggu sajak-sajak Sutardji setelah bukunya yang pertama itu. Banyak yang bertanya seperti apa Sutardji setelah bukunya yang pertama itu. Bahkan ada yang memvonis, "Tardji sudah habis! Dia tidak bisa berkarya lagi!"

Maka, buku barunya itu adalah jawaban dari semua tanya, semua sangsi dan pembelaan atas semua vonis tanpa pengadilan itu. Buku ini membungkam para mulut besar yang sebenarnya hanya tak sabar menunggu untuk ditenggelamkan lagi oleh kedalaman sajak-sajak penyair yang tahun ini meraih penghargaan Bintang Mahaputera dari Pemerintah RI, sekaligus tahun ini juga ia diberi Penghargaan Achmad Bakrie oleh Freedom Institute.

Mari kita bicarakan sajak-sajak dalam bukunya itu. Saya mulai pembicaraan ini dengan sajak "Para Penyair". Tak banyak, atau bahkan tak ada penyair yang kukuh memposisikan diri seperti Sutardji. Di sajak ini dia mengajak, "ayo (para penyair, mendakilah, taklukkan kelembahanmu..." Orang yang mengajak orang lain untuk menaklukkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, maka bila tidak ingin ditertawakan maka orang itu harus sudah melakukan dan menaklukkan apa yang dia ajakkan itu. Sutardji saya kira sudah sangat menyadari bahwa dia sudah menjalani pendakian-pendakian sendiri, dia sudah taklukkan kelembahannya sendiri. Dia mengajak, karena dia sudah tahu bahwa, "di puncak segalanya terbuka dan tersimpan".

Sutardji juga menyindir - dengan cara halus - para penyair yang berwangi-wangi dengan sajak wangi, "ayo para mawar, tanggalkan kelopak pongahmu, mendakilah!"

Sajak ini masih sanggup memperlihatkan kepiawaian Sutardji menyusun pengucapan yang khas, dan tak terlawankan itu. Ia tawarkan frasa "keanekaragaman tanah", "di kelembahan badan", "tanah menyibak langit", "tangah mendekap langit", "langit memeluk tanah". Frasa-frasa ajaib tapi tidak sekedar kegenitan fesyen bahasa itu saya kira hanya bisa muncul dari penyair yang pernah punya kredo membebaskan kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya. Sutardji memetik apa yang dimungkinkan oleh pembebasannya itu: KREATIVITAS!

Terhadap Sutardji tentu kita bebas pula bersikap. Dia tidak hendak menyumpal telinga kita dengan teriakan-teriakannya. Dia pasti juga tidak hendak mendoktrin kita untuk patuh pada seruan-seruannya. Tapi, ah bagi saya, betapa benarnya ia. Siapapun kita, tak hanya bila kita penyair, kita memang tak harus membiarkan batin kita tercengang pulas tenggelam di kelembahan badan. (bersambung)

Berikutnya: Sutardji bisa nakal, dan genit. Ia membuat sajak yang bagi saya adalah parodi dan antitesis yang cerdas dari sajak "Aku Ingin" Sapardi Djoko Damono. Sajak populer itu memang banyak dimain-mainkan oleh penyair lain.

Tuesday, September 9, 2008

Pemenang Kuis # 02

Pertanyaan: Seandainya kepada Anda Tuhan bilang, “hei, kamu, Aku mau pergi sebentar, tolong kamu jaga kantorku satu hari saja. Selama satu hari itu terserah kamu mau ngapain. Oke ya?” Nah, Anda tidak bisa menolak, karena itu kan perintah Tuhan. Saya mau tahu, apa yang akan Anda lakukan?


Dan pemenangnya adalah:

1. Jimpe: Saya akan jadi manusia pertama yang akan marah pada Tuhan,"kenapa meninggalkan meja kerja di waktu yang sempit seperti ini!"
habis marah, saya minta Dia kembali ke mejanya untuk menemani saya. rasanya ragu-ragu berbuat apapun tanpa Dia.

2. Hehe: Saya akan mencoba bagaimana rasanya mendengar doa manusia.


Seorang Janin: dari Pantai Telanjang ke Rahim Lautan

Catatan: Sajak berikut ini diolah dengan kata-kata kunci PERINGATAN, PEMERINTAH, MEROKOK, DAPAT, MENYEBABKAN, SERANGAN, JANTUNG, IMPOTENSI, DAN, GANGGUAN, KEHAMILAN, DAN, JANIN. Itu kata-kata kalimat yang mungkin paling banyak dicetak di Indonesia. Di setiap bungkus rokok kita menemukannya.



DI pantai itu ada PERINGATAN:
Dilarang Bersenang!
Dia kira itu larangan berenang.
Laut sedang surut, dan
kalau pun air sedang pasang
ia bertanya buat apa pantai?
Buat apa peringatan?
Buat apa dia datang ke sana?
Tak ada pelabuhan di situ.
Tak ada perahu.
Tak ada kedai.
Tak ada gadis yang menunggu kekasihnya pulang.
Tak ada angin.
Tak ada pohon cemara dan pohon kelapa.
Tak ada bocah menatap bintang-bintang.
Dia pun ingin sekali percaya
bahwa sebenarnya dia pun tak ada di sana.

DIA merogoh saku jaket
dan tangannya menyentuh dompet.
Ah, dia ingat, di situ pasti ada Kartu Tanda Penduduk.
Dia bisa baca nama dan alamatnya. Dia bisa
lihat tanggal lahirnya.
Dia bisa tahu statusnya.
Dia bisa bertatapan dengan foto dirinya.
Dia bisa ketemu tanda tangan camat
atas nama walikota atas nama PEMERINTAH
atas nama negara yang membuat dia
seakan-akan ada.
Meskipun dia ingin sekali percaya bahwa
sebenarnya dia tak pernah ada, negara itu tak pernah
ada dan pemerintah itu tak pernah ada.

Hei siapa yang MEROKOK di pantai ini?
Ada ia temukan filter dan tembakau.
Abu.
Dan bau kretek.
Tapi tak ada jejak di pasir itu.
Siapa ya yang merokok tadi?
Ia tidak kenal aroma rokok itu.
Rokok apa ya itu?
Seperti bau kemenyan? Bukan.
Kelembak? Bukan.
Ia dekati rokok itu.
Tak ada bekas basah di ujung filter itu.
Tak ada bekas gigitan.
Rokok itu seperti terbakar sendiri,
Bara di ujungnya merambati rajangan tembakau dan
cengkeh satu per satu sendiri.
Seperti tak ada yang menghisapnya.
Ah, dia ingin sekali merokok, dia ingin
pungut batang rokok itu.
Dia pikir: Apakah ada yang
ingin aku temani merokok?
Apakah dia mengajak aku
merokok bersamanya?

Dia tiba-tiba ingat dengan kata DAPAT.
Kenapa tiba-tiba?
Kenapa kata itu?
Karena dia ingin mengucapkan beberapa
kalimat dengan kata itu.
Misalnya: Saya dapat menemukan diri saya sendiri.
Atau: Saya dapat mendapatkan diri saya sendiri.
Atau: Saya terdapat dalam diri saya sendiri.
Atau: Dapat tak dapat, saya harus dapat.
Atau: Hore saya dapat hadiah berupa diri saya sendiri. Berulang-ulang ia ucapkan kata itu.
Tapi ia belum juga
merasa menyatu dengan kata itu
ia belum dapatkan dapat.
Dia belum dapatkan dirinya dalam dirinya
dan dalam kata dapat itu.
Dia ingin sekali percaya bahwa tidak
ada dirinya dan tidak ada dapat, dan
tidak yang dapat mendapatkan dirinya.

Lalu apa yang MENYEBABKAN dia ada di sini?
Di pantai ini?
Di pantai dengan larangan bersenang
yang dia kira larangan berenang ini?
Dia lalu berjalan. Dia toleh ada bekas kakinya.
Dia bilang, kakiku telah menyebabkan
ada jejak tertinggal di pasir itu.
Kakinya bilang, tidak bukan aku,
tapi karena engkau berjalanlah
maka ada jejakku di pasir itu.
Pasir itu bilang, aku tidak kenal bekas
jejak itu, jejakmu atau jejak kakimu,
terlalu banyak jejak yang
harus kuingat kalau aku harus
mengenali jejak-jejak itu.
Dia terus saja berjalan
tanpa peduli apa yang menyebabkan
ia berjalan.
Ia ingin sekali meyakini bahwa tak ada yang
menyebabkan ia ada dan kelak tak ada.

Dia sudah jauh berjalan.
Dia tak lagi peduli pada jejaknya
di pasir sepanjang pantai itu.
Tapi, kenapa dia tiba-tiba
ingat pada peringatan.
Benarkah tadi dia membaca
peringatan itu? Dilarang berenang,
betulkah begitu kalimat peringatan itu?
Apakah dia tidak salah baca?
Kenapa seperti ada semacam KANKER ingatan ganas
yang tak bisa ia kendalikan dalam otaknya,
kanker yang menumpang dalam ingatannya
tentang banyak hal?
Ia mengalami banyak hal,
ia mengingat banyak hal,
ia melupakan banyak hal.
Kenapa sesuatu tetap dalam
ingatan dan yang lain terlupakan?
Dia ingin berenang,
tapi kenapa ada peringatan itu?
Ia senang berenang, tapi,
kenapa orang dilarang bersenang di pantai ini?

Dia sekarang berdiri menatap laut.
Seperti benteng menghadang SERANGAN
dari sepasukan kapal.
Dia melihat ada ombak.
Apakah ombak?
Itukan cuma permukaan laut yang bergerak.
Dia ingin bilang, bahwa dia
itu seperti ombak.
Pikirannya itu seperti ombak.
Dia dan pikirannya ada kalau ia
dan pikirannya bergerak.
Ombak ada karena angin ada.
Angin yang menyebabkan permukaan laut bergerak.
Lalu apakah angin yang menyebabkan
dirinya dan pikirannya bergerak?
Dia bilang dia tak perlu angin.
Dia hanya perlu membayangkan sebuah
serangan datang padanya
dan pada otaknya.
Nah, sekarang dia bertanya kenapa
tadi dia ingin sekali meyakini bahwa
dirinya tidak ada?

Dia sekarang merasakan detak JANTUNG
di dalam tubuhnya.
Dia tidak pernah memperhatikan detak itu
seperti perhataiannya saat ini.
Dia tiba-tiba ingin tahu
bagaimana dulu jantungnya mulai berdetak.
Bagaimana jantungnya mempertahankan detak itu.
Kenapa detak itu ada pada dalam tubuhnya?
Pada jantungnya?
Kalau detak itu berhenti,
kenapa dia harus ikut berhenti ada?
Ia tahu jantungnya bisa tiba-tiba
berhenti karena serangan berbagai hal.
Ia tak tahu bagaimana menahan atau
mengelak dari serangan itu.
Ia ingat rokok menyala yang tadi di bait ketiga.
Dia ingat keinginannya untuk
meyakini bahwa dia sebenarnya
tidak ada di bait-bait sebelum bait ini.
Tapi, kini dia sangat memperhatikan
detak jantungnya.

Sekarang dia meraba pada kelaminnya.
Ada sesuatu di otaknya yang bisa memuat
kelaminnya ada.
Dia kadang lupa pada kelaminnya,
seperti dia lupa pada bagian-bagian
tubuhnya yang lain. Misalnya, pada
jantung dan paru-paru.
Dia tahu kadang terjadi sesuatu pada
kelaminnya dan itu membuat jantungnya
berdetak lebih cepat.
Dia tiba-tiba saja telanjang dan
dia tidak merasakan apa-apa.
Dia merasa sejak lama dia telanjang.
Dia merasa tak pernah punya pakaian.
Pakaian kan cuma pakaian.
Cuma sesuatu yang dipakai.
Dengan pakaian sebaik apapun
dia toh tetap saja telanjang.
Di balik pakaian seindah apapun yang
ada hanya ketelanjangan.
Dia ingin berenang.
Dia melangkah ke laut yang telanjang.
Pantai yang telanjang.
Langit yang telanjang.
Udara yang telanjang.
Dia ingin bersetubuhan
dengan semuanya yang telanjang itu.
Semua yang tak peduli
dia mengidap IMPOTENSI atau tidak.
Sekarang dia merasa tak sia-sia ada.
Seperti ada yang menunggunya dengan asbak,
sekotak rokok, DAN korek api.

Tapi angin datang.
Kini ombak ada. Laut menggeliat-
geliatkan permukaannya. Angin menyentuhkan
dingin dan tiba-tiba dia
merasakan ketelanjangan tubuhnya.
Ini semacam GANGGUAN pada ketiadaan.
Hanya dingin anginkah yang meyakinkan bahwa dia ada?

Ia berjalan ke laut. Laut yang telanjang.
Ia melihat seperti ada rahim yang mengembang,
membuka, meminta dia datang. Ia ingat itu
seperti saat-saat ia dalam KEHAMILAN dalam
sebuah rahim yang tidak amat kenal.
Ia berjalan ke laut seperti perjalanan pulang
setelah singkat sebuah masa berpetualang.
Kakinya dipegangi gelombang.
Ia mencium bau laut. Seperti bau rahim
di mana di sana dulu ia belajar menendang,
menunggu tumbuh jantung, mata, paru-paru
DAN jari untuk ia jilati sendiri.

Lihat, ia lihat dirinya berenang senang
di rahim lautan. Tak ada larangan apa-apa.
Ia seperti JANIN yang tak akan pernah dilahirkan.
Ia berenang bersama tembuni lautan.
Ia berenang dalam ketuban lautan.
Ia berenang pada hangat gelombang.

Menunggu Waktu Berbuka

demi sesuaplapar dan seteguk haus saja,
Tuhan, sampai bila Engkau terus puasa?


Tak Akan Panjang

gemetar, sebentar, dua larik ini tak akan panjang
"gelepar, lapar...," hanya itu yang aku mau bilang


Sunday, September 7, 2008

Salah Apa KLA?

Ini pengumuman tidak enak dari panitia Khatulistiwa Literary Award di blognya:

DENGAN SANGAT MENYESAL KAMI HARUS MENGUMUMKAN BAHWA SAMPAI PADA TANGGAL 31 MEI 2008, KAMI TIDAK MENERIMA NOMINASI DARI INDIVIDU MAUPUN KOMUNITAS MANAPUN. NAMUN, KLA AKAN TETAP BERJALAN SESUAI PROSEDUR YANG ADA & MASUK PADA TAHAP SELANJUTNYA, YAITU PENGUMPULAN JUDUL. SALAM, PANITIA KLA 2008


Ini pengumuman berikutnya:

Panitia KLA 2008 mengundang rekan-rekan penulis dan penerbit untuk mengirimkan daftar judul yang memenuhi kriteria Kategori Prosa, Puisi dan Penulis Muda Berbakat (jika memenuhi syarat, sebuah judul boleh diikutsertakan dalam kategori Prosa dan Penulis Muda Berbakat sekaligus) ke alamat yang tercantum di akhir pesan ini. Daftar diharapkan diterima panitia selambat-lambatnya 30 Juni 2008.


Lihat tanggal itu. 30 Juni 2008. Lantas tak ada lagi pengumuman berikutnya. Apakah juga tidak ada yang mengirimkan usulan judul? Saya tak tahu. Saya sendiri lewat e-mail sudah mengirimkan judul buku saya "Orgasmaya" untuk dikompetisikan.


Kabar dari Pena Kencana

Panitia Anugerah Sastra Pena Kencana saat ini sedang melakukan tabulasi untuk menentukan pemenang Cerpen Terbaik dan Puisi Terbaik Pilihan Pembaca, serta Undian Pengirim SMS.

Penghitungan dan undian akan dilaksanakan pertengahan bulan September 2008 ini, dan hasilnya akan segera diumumkan akhir bulan, di situs ini.

Sementara itu, juri untuk tahap kedua terdiri dari Sapardi Djoko Damono (ketua), Sitok Srengenge, Joko Pinurbo, Budi Darma, Linda Christanty, Putu Wijaya dan Sutardji Calzoum Bachrie, sudah melakukan rapat juri kedua.

Koran, Koran! Sastra Koran! Siapa Mau Sastra Koran?!

Selalu saja ada yang bicara soal sastra koran. Dan selalu saja nadanya miring. Kenapa sih? Ada apa dengan sastra koran? Ini postingan tentang diskusi di milis Apresiasi Sastra. Ada pemancing, ada penanggap, ada pengomentar sambil lalu. Saya pun ikutan, dan komentar saya yang teramat sambil lalu saya tampilkan di sini. Selebihnya, Anda bisa ikut milis tersebut, ada Hudan, Saut, Ramon, Akmal, TS Pinang dll di sana.



--> ada yang lucu pada pusat sastra koran yang terjadi saat ini. koran menjadi kiblat oleh para sastrawan. bahkan ada mitos yang mengatakan: penyair kalo puisinya belum dimuat di kompas maka belum layak disebut penyair. apa yang terjadi?

HAH: Bung, ini sama sekali tidak lucu. Betulkah koran menjadi kiblat? Buat saya tidak. Saya menulis sajak, sesekali cerpen, tidak untuk dikorankan. Semua sajak saya, saya tampilkan di blog saya. Sudah tahu kan blog saya? (hari ini statcounter mencatat visitor 509 orang, dan pageload 696, ini rekor tertinggi sejak 2003, eh sejak counter itu dipasang :-)

Sebagian sajak saya saya kirim ke koran-koran itu. Ada yang dimuat, ada yang tidak. Ada koran yang bahkan sampai hari ini belum pernah memuat sajak saya. Soal mitos itu, ah namanya juga mitos, apa benar ada, kalau pun ada mitos kok dipercaya. Jangan percaya, Bung. Lalu apa yang lucu?


--> kok maumaunya para penyair tunduk pada hegemoni koran ya? padahal karya mereka cuma dihargai dengan jumlah uang yang gak seberapa. habis itu karyanya hanya layak dibuat bungkus gorengan. gak ada yang membaca. bahkan menurut surfe 90% pembaca koran tidak membaca kolom satra, mereka meminta kolom itu ditiadakan dan diganti gosip selebritis.

HAH: Tunduk pada hegemoni koran? Hegemoni apa? Koran menghargai puisi dengan jumlah uang yang gak seberapa? Anda tahu berapa? Kompas membayar 700 ribu bila puisi kita dimuat satu halaman. Kalau bersama-sama 400 ribu. Koran Tempo 350 ribu. Media Indonesia? Saya gak tahu, pernah dimuat tapi tak pernah dibayar. Pikiran Rakyat? Saya juga gak tahu, karena pernah dimuat dan juga tak pernah dibayar. Horison (ini bukan koran) membayar kata teman saya Rp75 ribu per sajak. Berapakah jumlah uang yang "gak seberapa" itu, bung? Berapakah harga yang lebih pantas itu, bung? Saya mau bilang, saya tidak mencari uang lewat puisi. Saya bekerja sebagai wartawan untuk menafkahi keluarga, saya Pemimpin Redaksi Batam Pos. Perusahaan yang berlaba dan tiap tahun membagi dividen pada karyawannya. Sifat media - surat kabar- memang begitu, bung. Namanya juga koran harian. Habis dibaca besok jadi koran bekas. Lalu didaur ulang. Atau dipakai untuk keperluan yang bukan sebagai koran lagi. Bisa jadi kertas bungkus, bisa jadi alas penampung tahi burung perkutut, bisa jadi lap tangan montir di bengkel, tak perduli apa yang tercetak di situ, berita gagal panenkah, iklan bariskah, atau puisi. lantas kenapa penyair mesti kecil hati? Anda tahu hasil survei itu dari mana? saya yang orang koran belum pernah mendengar. tiap rubrik ada penggemarnya. ada pembaca masing-masing. jadi tidak semua pembeli koran minggu membaca puisi. ada yang mau lihat kartun, atau kolom parodi (ini ada di kompas). Dan anda tahu kolom apa yang berada di urutan nomor satu sebagai alasan orang beli koran? LOWONGAN KERJA!


--> padahal dalam persaingan memperebutkan hati redaksi koran para sastrawan sampai menyesuaikan dengan keinginan redaktur. idiologi benar-benar ditinggalkan. itupun karyanya belu pasti dimuat.


HAH: Mengirim sajak bukan untuk merebut hati redakturnya. Saya malah tidak tahu apa maunya redaktur koran-koran itu. saya tidak tahu isi hatinya, saya tidak tahu isi kepalanya persisnya seperti apa. Ideologi apa? Ideologi saya adalah menulis sajak sebaik-baiknya. Menulis sajak dengan pengucapan yang baru, tidak mengulang-ulang, dengan demikian secara umum sajak kita akan jadi sehat walafiat. Tidak semua sajak saya dimuat di koran itu. saya tidak lantas membuat sajak seperti sajak orang lain yang dimuat atau seperti sajak saya yang pernah dimuat. Anda betul, belum tentu dimuat.


---> kenapa koran? kenapa gak buletin2 sastra yang memang khusus memberikan perhatiannya pada sastra.

HAH: adakah buletin itu, bung? siapa pengelolanya? ada alamat e-mailnya? biar saya kirim juga ke sana. jurnal Puisi megap-megap lalu mati suri. Kalam entah kenapa tak terbit lagi. Horison? sebesar apa juga perhatiannya pada puisi? Buletin apa, bung? Lantas apa salahnya koran? kesempatan untuk publikasi ada tiap minggu di sana.

---> karya sastrawan akan lebih dihargai oleh pembaca yang segmennya jelas, yaitu pecinta sastra.

HAH: apakah para pencinta sastra itu tidak membeli koran minggu? apakah membaca dan mengapresiasi puisi itu berbeda jika puisi itu tampil di koran atau di buletin, atau di blog, atau di buku? apa bedanya?


---> kenapa para sastrawan mau menjual karyanya pada koran hanya untuk beberapa jumlah uang namun akhirnya hasil karya yang diciptakan melalui proses yang berdarah-darah tidak dibaca (oleh pembaca koran) dan hanya dijadikan bungkus makanan atau dibuang ditempat sampah.

HAH: menjual karya? ah, bahasa anda berlebihan. sajak saya tidak pernah terjual. sajak saya akan tetap menajdi milik saya, selamanya, dimanapun ia dimuat. Jika sebuah karya tidak dibaca itu bukan kesalahan sastrawannya. kemungkinan dibaca tentu lebih besaaaar ketika sajak itu dimuat di koran beroplah besar daripada hanya disimpan di laci, bukan.


---> menyedihkan. hargailah karya sastra dengan menghargai karya kita. jangan jual karya kita kalau tak "dihargai" dengan selayaknya. kirim aja di buletin yang mempunyia perhatian khusus kepada sastra, mungkin disana karya lebih berharga.

HAH: kita masih bisa diskusi panjang soal menghargai karya sastra dengan layak. Sekali lagi, buletin apa? Saya kuper nih. Suer!

---> koran? kolom sastranya aja semakin berkurang. masak kita tunduk pada hegemoni yang tak memperhatikan kita??

HAH: setahu saya Media Indonesia menghilangkan satu halaman sastranya sejak beberapa waktu lalu. Kompas? Dulu puisi sebulan sekali, lalu seminggu sekali (bertambah, dong), yang lain? tetap saja, rata-rata satu halaman. dengan kerelaan menyisihkan satu atau beberapa halaman koran untuk sastra setiap minggu, maka apakah itu bukan sebuah penghargaan, bung?

Saya mengirim karya ke koran bukan karena ingin dihargai oleh koran. Tapi, dibaca dan diapresiasi oleh pembaca, dan itu saya dapatkan.

Friday, September 5, 2008

Sajak dengan Sepuluh Kata dari TS Pinang

Dari blog Dedy Tri Riyadi saya intip ada sepuluh kata dari TS Pinang . Kata itu adalah suvenir, printer, setrika, kotak perhiasan, kerupuk, magic jar, kalender, tikar, kapas, spidol, dan kamera. Dedy sudah membuat sepuluh kata itu menjadi sebuah sajak. Aku menjajal juga. Silakan menilai!



Pernahkah Kita Menangis Seperti Itu Lagi?
Sajak Hasan Aspahani

AKU tidak pernah menulis surat cinta untukmu dengan program pengolah kata. Aku tak suka getar suara kertas A4 ditimpa pita printer dotmatrix di kantor penerbitan kecil tempat aku pertama bekerja dulu. Seperti suara mulut Hulk mengunyah kerupuk.

AKU percaya pada tulisan tanganku yang meskipun buruk - seperti ujung-ujung tikar tua yang mulai terlepas anyamannya, seperti kemeja kuliah satu-satunya yang tak pernah kusetrika - tetapi hurufnya bercahaya, karena gemetar tanganku menuliskan kalimat-kalimat yang begitu takutnya aku bila engkau tak mempercayainya: kalimat yang kubilang padamu sebagai suvenir dari malaikat pembisikku, ia datang dari surga.

AKU tahu di kotak perhiasanmu masih kau simpan kalender meja itu. Kalau mengalasinya dengan kapas, seakan ingin memastikan ia nyaman tersimpan di sana. Kita bersama-sama melingkarkan spidol bertinta emas pada tanggal ke-17 di bulan ke-5 tahun itu dengan garis yang gemetar juga. Lalu dengan sisa tinta kubuat kartu-kartu bertuliskan puisi yang aduhai pasti akan membuat Subagio tertawa, Sapardi tersenyum dan Sutardji terkekeh, karena itu aku tidak mengirimnya ke mana-mana. Kau, aku tahu, masih menyimpannya di kotak itu juga.

AKU tahu, karena satu hal waktu itu, kita menangis. Kita bahagia oleh tangisan itu. Aku berkata, mana yang lebih hangat, air mataku atau air matamu? Engkau berkata, aku mau mengabadikan hangat air mata ini. Aku berkata, simpan saja dalam magic jar, biar tanak ia bersama nasi, biar hangatnya lama terjaga. Engkau berkata bagaimana harus kuabadikan bening warna air mata kita ini? Aku diam saja. Dan kubiarkan engkau membantu menyapu air mata di pipiku. Ah, seandainya waktu itu ada kamera digital, cukup 2 megapixel saja, aku akan memotret adegan menangis itu hingga penuh memory card lalu kupasang di blog kita, agar seperti maumu air mata kita itu abadi beningnya.




Wednesday, September 3, 2008

Sengat Srengenge

Oleh Hasan Aspahani

Sitok Srengenge mengirim sajak terbarunya pada saya dan Ramon Damora. Beberapa waktu lalu, dia bertamu ke Bintan dan tentu singgah juga di Pulau Penyengat. Saya jadi pemandu dia di pulau penuh jejak-jejak sejarah itu. Kami bahkan sempat bertemu tim produksi film Raja Ali Haji. Salah satu kru produksi itu ternyata teman baik Sitok juga. Saya dan Sitok sempat berfoto bertiga di sana, ya bertiga dengan Raja Ali Haji yang terpaksa tak bisa menampakkan wajahnya di makam itu.



Sajak itu diantar dengan sebuah pantun:

Jika bukan karena bujuk si ular itu,
tak kan terpetik buah kuldi di Taman Firdaus
Jika Tuan nan bijak punya sejenak waktu,
patik harap Tuan sudi komentari sajak ini dengan tulus


Dan inilah sajaknya:

Penyengat
Sajak Sitok Srengenge

Kekal kukenang harum kenangamu
antara tubuh mengerut dan tuberkulosis yang mengakut

Kutinggalkan pendar bandar, demi hening kamar
di mana denting pedang dan desing perang,
pekau ombak dan pekik camar,
tak terdengar

Kubawa asma dan asmara,
kudamba rumah ketimbang rumrum dan jamah

Betapa jauh, namun tak juga jenuh
aku jaga kenangan wangi kenangamu
bagai aroma kata yang tertukas dengus nafas
ketika mala terbaring, malam menjalar dari tebing ke beting
mengubah yang lampau jadi lambang:
kau tiang
aku liang

Bila langit dan laut tampak tembaga
dan ombak mengelucak ke lelubuk karang,
biarkan yang kasat dan yang luput dari mata
pelahan lindap lalu larut ke perih garam
sebagian mengendap di sesela lirik lirih gurindam

Tetaplah berjarak dariku,
agar kau tegak dan aku nganga dalam rindu

Jika kau masuki aku,
aku penuh
aku punah

2008



Tuesday, September 2, 2008

An Anthology of Modern Literature from the Muslim World Background

Announcing the publication of and seeking submissions for:

Words Without Borders: An Anthology of Modern Literature from the Muslim World
Background





In 2009 Norton Publishers, in association with the literary journal “Words Without Borders” (WWB), will release Words Without Borders: An Anthology of Modern Literature from the Muslim World. This book will feature translations of important literary contributions of the twentieth century in Arabic, Persian, Turkish, Indonesian, Dari, and Urdu. This volume, with an estimated length of 400 pages, is intended to provide students and general readers with an accessible introduction to a rich and varied literary tradition that is all too unfamiliar to most Americans. The aim is to help move the American consciousness of the Muslim world away from the terrorists and fanatics, and thus open a window into the lives of that portion of the Muslim world. Organized by language/region, the book will present samples of the major literary writing forms that have come to dominate modern literature: short story, free verse lyrics, plays, novel excerpts, and memoirs.

WWB has invited Reza Aslan, author of No God But God: The Origins, Evolution, and Future of Islam, (Random House Trade, Jan 2006) to be guest editor of the anthology. He will be aided by a team of five sub-editors specializing in the literatures of specific languages and regions. I, John McGlynn, have been asked to serve as country editor for the section on Indonesia.

Opinion Survey
In the process of gathering together materials for the above publication, I would like to learn from Indonesian authors, literary critics, and other interested parties which authors they think would best represent Indonesia. If you fall into one of those categories and would like to weigh in on this matter, I hope you will take the time to fill in the questionnaire found below and return it to me.
In weighing your choice of authors, there are a number of things of which you should be aware:
1. Given the limited amount of space/pages that will be allotted for the Indonesia section—approximately 100—it is unlikely that more than 10-12 authors can be included, comprising, perhaps, 7 prose writers (with short stories, essays, or excerpts from novels of 10-12 pages each in length) and 3-5 poets, each with 3-5 poems. An excerpt from a play or two would also be considered.
2. Because the volume editor (Reza Aslan) is using the end of the Ottoman Empire as the starting date for works to be included in the volume, country editors will not be able to consider works that were written or published prior to 1950.
3. If possible, the country editor would like to include works spanning the last half of the 20th century period with samples of work from each decade. The country editor would also like to include both male and female authors.
4. Thus far, the volume editor has set no restriction on the religion of the authors—i.e., that they must be Muslim. Therefore, please do not use religion as a factor when making your choices.


Titles of works chosen for selection in the anthology may have been published in translation previously. Both authors and translators will be paid an honorarium of US$100 per 1000 words for up to 1500 words.

Questionnaire
1. What is your name, position, and mailing address?

2. What Indonesian authors of short fiction do you think should be represented in An Anthology of Modern Literature from the Muslim World? Please list up to ten authors and specific titles for each author.

3. What Indonesian poets do you think should be represented in An Anthology of Modern Literature from the Muslim World? Please list up to five poets. (You need not cite specific titles of poems.)

4. What other authors do you think should represent Indonesia in An Anthology of Modern Literature from the Muslim World? Name up to three. Your choice may include dramatists, essayists, and writers of memoirs.


After you have filled out this questionnaire, please return it to John McGlynn by email to john_mcglynn@lontar.org or by post to Jl. Danau Laut Tawar No. 53, Pejompongan, Jakarta 10210. All persons who complete the questionnaire and return it to John will receive a voucher for the purchase of books from the Lontar Foundation.

Announcement: Submissions Sought for: Young, Indonesian, and Female

The Lontar Foundation has scheduled for release, in 2009, two volumes of literary translations with the theme “Young, Indonesian and Female.” The first volume will be published, in association with Words Without Borders, as an issue of the on-line literary that goes by the same name. Volume editors are Dedi Feldman of WWB and John McGlynn of Lontar. The second volume will be released in print, both in Indonesia and abroad, as the eighth installment of Lontar’s Menagerie series. Volume editors are John McGlynn and Dorothea Herliany.



Both volumes will contain a mixture of literary genres: short stories, poetry, essays, and (possibly) drama. As is indicated by the theme, however, editors are primarily seeking works produced by younger Indonesian women writers. Their work may relate to the theme of the volumes, tackling issues of interest to younger women, but they may also be unrelated to the theme as well and be simply of pure literary merit. Male writers are also invited to contribute but their work must relate to the theme of the volumes in order to (possibly) counterpoint issues that the women writers raise.

.:. Other guidelines governing submissions include the following:
• The work must have been written in Indonesian;
• The work may have been previously published in Indonesian but must never before have been published in English;
• The work should not have been published before 1998;
• Copyright for translation of the work is held by the author;
• Prose works—short stories and essays—should be no longer than 3,500 words;
• Unless a poem is very long, submissions of single poems are not encouraged; poets are requested to submit between 5 and 10 works.
All written contributions should be submitted to Lontar in digital form, either via email or on CD via post. Please send them by post to Dewi Andahlia, Editorial Assistant, Jl. Danau Laut Tawar No. 53, Pejompongan, Jakarta 10210 or by email to dewi_andahlia@ lontar.org. Potential contributors are requested to submit their work before 30 September 2008.

As with previous volumes in the Menagerie series, Menagerie 8: Young, Female, and Indonesian, will also contain at least one photographic essay. Both male and female photographers are invited to submit photographic essays dealing with the theme of the volume—but only one essay per photographer. A photographic essay should contain approximately 15 to 20 black and white photographs along with a story or captions describing the action that is taking place in the photographs. Photographers should submit their work in the form of a CD containing medium-resolution jpeg files. If the essay is chosen for inclusion, editors will then request high resolution scans.

For the publication of prose works contributors will be paid Rp. 1,000,000 per thousand words, capped at Rp. 1,500,000; for poetry, the same, with a minimum of Rp. 150,000 per poem. Translators will be paid the same. Photographers will receive Rp. 150,000 per photograph with a cap of Rp. 2,500,000.


.:. About the Project Partners

Literature is one of the primary avenues for encounter with other cultures and both Words Without Borders and The Lontar Foundation were established to promote the translation of literary works into English.

Words Without Borders (WWB), a not-for-profit organization based in Chicago, does this primarily through the on-line publication of its literary journal by the same name. This online magazine registers 200,000 page views a month and has an emailing list of nearly 6,000 subscribers. More information about WWB can be found at www.wordswithoutbor ders.org.

The Lontar Foundation, established in 1987, has, since its founding published more than one hundred books pertaining to Indonesian literature and culture. In the coming year, the Foundation plans to establish an on-line magazine to further promote its goal of enhancing international knowledge of Indonesian literature and culture.

Monday, September 1, 2008

Aku dan Arswendo (2): Gramedia tanpa "G"

SAYA ingin bercerita tentang salah satu buku yang sangat mempengaruhi saya. Saya ingin memulai cerita dengan petikan dari buku itu. Begini:

      Mengarang itu gampang.
      Semua bisa mempelajari asal bisa baca dan tulis dan mempunyai minat terus-menerus yang tak mudah patah. Yang terakhir inilah yang dimaksudkan dengan bakat.
      Kenapa mengarang?
      Ruang lingkupnya mendasar. Rasanya tak ada kegiatan selama ini yang bisa dipisahkan dari baca-tulis. Tidak hanya untuk bisa mengarang dalam pengertian umum: cerita pendek, novel, drama atau puisi. Melainkan juga bisa jadi wartawan, korektor, penerbit, perancang teks iklan, penulis lirik lagu atau menulis surat lebih baik. Semua bersumber pada karang-mengarang. Dan itu gampang.




Begitulah Arswendo Atmowiloto - si pengarang - membuka prakata untuk bukunya "Mengarang Itu Gampang". Sebuah pengantar yang ringan tapi meyakinkan, seperti isi bukunya. Seperti seenaknya saja, tapi terbukti sangat memandu, seperti cara penyajiannya. Saya dan saya yakin juga ribuan anak muda saat itu tersihir oleh buku itu. Saya percaya bahwa mengarang itu gampang.

Saya membeli buku itu tanggal 13 Oktober 1988. 20 tahun yang lalu. Waktu itu saya kelas satu SMA Negeri 2 Balikpapan. Saya membelinya di toko Ramedia - ya, Ramedia bukan bagian dari jaringan toko Gramedia, dan toko itu sekarang tak menjual buku lagi, berganti melayani jasa mencetak foto.

Buku yang saya beli itu edisi cetak ulang ke-5 tahun 1987. Buku itu dicetak pertama kali tahun 1982. Lima tahun, lima kali cetak ulang. Ini memang buku laris. Di toko buku di Batam, belum lama ini, saya masih melihat buku itu ada di rak buku. Dengan sampul yang sedikit diubah.