Friday, May 25, 2007

Yang Tekun dan Yang Tabah



IA yang tekun, berbagi sisi sila dengan mufasir, di depan
sebuah kitab besar, sabar, menafsir lembar demi lembar.

IA yang tabah, menyejajarkan langkah di sebelah musafir,
menunjuk puncak paksi, menuju ke kehendak kedua kaki.


Thursday, May 24, 2007

[Telaah] Gambar Porno si Gadis Malam

Oleh Hasan Aspahani



* gambar sampul dicomot dari blog Jokpin

/1/
Penyair Joko Pinurbo, Jumat 25 Mei 2007, meluncurkan sebuah buku penting di Toko Buku Aksara, Jakarta. Tentu saja itu sebuah buku sajak. Judulnya "Celana Pacar Kecilku di bawah Kibaran Sarung". Ini memang sebuah buku yang merangkum tiga buku yang pernah terbit: "Celana" (1999), "Di bawah Kibaran Sarung" (2001), dan "Pacar Kecilku" (2002). Padahal Februari sebelumnya ia baru saja melahirkan kumpulan sajak terbarunya "Kepada Cium".
Penerbitan ulang ini menggembirakan, bahwa buku puisi ternyata bisa laku.


Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama pasti mempertimbangkan pasar. Konon, tiga buku sulung Joko ini semakin banyak dicari tapi semakin susah dicari. Konon pula, penerbit lama tidak punya daya untuk menerbitkan ulang, maka penerbit baru pun mengambil kesempatan. Sebenarnya buku puisi memang bisa laku, kok. Tengoklah buku-buku Rendra, dan Chairil Anwar. Cetaknya pun telah banyak berulang-ulang. Lantas kenapa banyak buku puisi tidak laku? Jangan-jangan memang puisinya yang kurang "nendang".

Adakah hal lain yang bisa ditinjau dari terbit ulang ini? Mungkin banyak. Saya hanya ingin meninjau dari satu jurusan: penyuntingan puisi. Ya, penyuntingan puisi. Karena belum melihat buku baru maka bahan saya adalah satu dari sembilan sajak Jokpin yang muncul dalam dua buku berturut-turut. Sajak itu adalah "Gambar Porno di Tembok Kota" yang muncul di buku "Celana" dan "Gadis Malam di Tembok Kota" dari buku "Di bawah Kibaran Sarung". Kedua sajak itu adalah sajak yang sama. Perubahan semata-mata karena sang penyair sengaja menyuntingnya. Itu dilakukan dengan sesadar-sadarnya, penuh pertimbangan dan mungkin juga sedikit keisengan.

Di pengantar buku "Di bawah Kibaran Sarung"  sang penyair menulis pengakuannya. Katanya, "Hampir semua puisi yang telah diterbitkan, yang kemudian saya rekrut ke dalam buku ini, telah mengalami revisi, re-kreasi, dengan kadar bervariasi. Entahlah, ketika membaca-ulang (sampai kesekian kali) puisi-puisi yang telah "selesai" saya tulis, saya kerap digoda oleh berbagai "salah cetak" dan "salah gubah", sehingga tangan yang oh tidak suci ini sering gatal juga".

/2/
Sekarang marilah kita tengok dua sajak eh satu sajak itu dan mari kita telurusi revisi, re-kreasi yang dihasilkan oleh kegatalan tangan penyair yang oh tidak suci ini. Supaya penelurusan kita mulus maka pada bait saya beri angka Romawi, dan pada baris saya terakan nomor.

Judul Buku: Celana
Judul Sajak: Gambar Porno di Tembok Kota


I
1. Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
2. Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
3. Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
4. Seperti *angin* memamerkan *kecantiakan*:
5. .... wajah ranum yang merahasiakan dunia
6. .... leher jenjang yang menyimpan beribu jeritan
7. .... dada montok yang mengentalkan darah dan nanah
8. .... dan lubang sunyi, di bawah pusar, yang
9. .... dirimbuni semak berduri.

II
10. Dan malam itu datang seorang pangeran dengan celana
11. komprang, baju kedodoran, rambut acak-acakan.
12. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran.

III.
13. "Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian,
14. yang tawanya ngakak membikin ranjang reyot bergoyang-
15. goyang, yang jalannya sedikit goyang tapi gagah juga.
16. Selamat malam Alwy."

IV.
17. "Selamat malam Kitty. Aku datang membawa puisi.
18. Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
19. yang penuh pekik dan basa-basi.

V.
20. Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar mencecar
21. bunga-bunga layu yang bersolek di bawah cahaya merkuri.
22. Dan bila situasi politik memingkinkan, tentu akan
23. semakin banyak yang gencar bercinta tanpa merasa
24. was-was akan ditahan dan diamankan.

VI.
25. "Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
26. Ledakkan puisimu di nyeri dadaku."

VII.
27. "Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty.
28. Aku tak pandai meradang, menerjang."

VIII.
29. Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda,
30. leher hangat dan bibir lezat yang terancam kelu.
31. Dan dengan cinta yang agak *berangsan* diterkamnya
32. dada beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
33. yang menyerahkan diri pada sembilu.

IX.
34. "Aku sayang Mas Alwy yang matanya *beringsat* tapi
35. ada teduhnya, yang cintanya ganas tapi ada lembutnya,
36. yang jidatnya licin dan luas tempat segala kelakar
37. dan kesakitan begadang semalaman."

X.
38. "Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, mesti
39. kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar di puncak risau.
40. Maaf, aku tak punya banyak waktu buat bercinta.
41. Aku mesti lebih jauh mengembara di papan-papan iklan.
42. Tragis bukan, jauh-jauh datang dari Amerika cuma untuk
43. jadi penghibur di negeri orang-orang kesepian?"

XI.
44. "Terima kasih, gadisku"
45. "Peduli amat, penyairku."

Judul Buku: Di bawah Kibaran Sarung
Judul Sajak: Gadis Malam di Tembok Kota


I.
3. Tapi enak saja ia /nampang/, mengangkang
4. Seperti /ingin/ memamerkan /kecantiakan/:
5. .... wajah ranum yang merahasiakan /derita/ dunia
6. .... leher /langsat/ yang menyimpan beribu jeritan/;/
7. .... dada /segar/ yang mengentalkan darah dan nanah
8. .... dan lubang sunyi, di bawah pusar, / /
9. .... /yang/ dirimbuni semak berduri.

VIII.
31. Dan dengan cinta yang agak /beringas/ diterkamnya
33. yang menyerahkan diri /ke/pada sembilu.

IX.
34. "Aku sayang Mas Alwy yang matanya /beringas/
35. /tapi/ teduh /juga/, yang cintanya ganas tapi lembut /juga/,

X.
38. "Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, / /
39. /mesti/ kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar / /
40. /di puncak risau./ Maaf, aku tak punya banyak waktu / /
41. /buat bercinta./ Aku mesti lebih jauh mengembara / /
42. /di /poster-poster/ iklan/.Tragis bukan, jauh-jauh datang / /
43. /dari Amerika cuma untuk/ jadi penghibur / /
44. /di negeri orang-orang kesepian?"/

/3/
Dan inilah hasilnya:
1. Sajak ini terdiri atas sebelas bait dan 45 baris di versi pertama tetapi menjadi 46 baris di versi kedua. Penambahan satu baris terjadi di bait ke-10 yang semua barisnya dipenggal ulang.

2. Ada empat salah cetak yang ditemukan dan kemudian dibenarcetakkan.
- di baris ke- 4: "angin" dan "kecantiakan" dibenarkan menjadi "ingin" dan "kecantikan"
- di baris ke-31: "berangsan" diluruskan menjadi "berangasan"
- di baris ke-34: "beringsat dikembalikan menjadi "beringas"

3. Sejumlah baris di-reshuffle kata-katanya.
- di baris ke-3: "nongkrong" diganti dengan "nampang"
- di baris ke-6: "jenjang" ditukar dengan "langsat"
- di baris ke-7: "montok" ditendang oleh kata "segar"
- di baris ke-33: "pada" disundul oleh kata "kepada"
- di baris ke-41: "papan-papan" ditimpa dengan "poster-poster"

4. Ada kata yang ditambahkan.
- di baris ke-5: ditambahkan kata "derita" di depan kata "dunia"

5. Ada pula frasa yang digubah ulang:
- baris ke-35:
"ada teduhnya" menjadi "tapi teduh juga",
"ada lembutnya" menjadi "tapi lembut juga",

6. Yang terakhir yang mestinya disebut sejak awal: judul sajak ini berubah dari "gambar porno" menjadi "gadis malam". Pilihan terakhir itu terasa lebih santun memang. Penyair kita tampaknya rikuh juga dengan judul pertama yang terasa lebih vulgar itu.

/4/
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari perubahan itu?
1. Mengubah puisi yang sudah dianggap selesai bukanlah dosa. Ia bisa menawarkan kerisauan dan (karena itu juga menjanjikan sebuah) keasyikan yang harus kita sambut tawarannya itu.

2. Perubahan-perubahan di atas menunjukkan bahwa diksi adalah salah satu hal pokok dalam puisi. Sebuah kata di dalam puisi bisa bergantin menempati tempat yang sama dengan kata lain dan pergantian itu menawarkan sebuah permainan yang asyik: permainan makna dan permainan bunyi, juga permainan rasa. Tengoklah rasa yang berubah ketika kata "nongkrong" menjadi "nampang", atau ketika "dada montok" menjadi "dada segar".

3. Frasa bisa dipolkan tarikan gasnya untuk memaksimalkan kualitas sajak. Tengoklah, hanya dengan menambahkan kata "derita" di depan "dunia" yang sudah nangkring lebih dahulu, lalu menjadi frasa "derita dunia", maka baris sajak menjadi lebih dahsyat efek maknanya.

4. Sajak, selain olah rasa, terutama adalah olah pikir. Mengutak-atik kalimat adalah permainan yang menuntut kemampuan pikiran yang tekun, teliti, usil, nakal, jeli, dan sekaligus jernih.

/5/
Akhirulkalam, sajak bisa dimasuki lewat banyak pintu. Pilihan pada sebuah pintu, tidak berarti menutup pintu lain. Silakan keluar masuk sajak, yang mana enak sajalah. Bahkan mungkin semua pintu masuk itu harus dicoba agar kita mendapat kenikmatan yang bermacam-macam pula, dan mendapat banyak pelajaran untuk membangun rumah sajak kita sendiri. Mau tidak mau, kita harus melengkapi kunci-kunci pintu rahasia itu agar bisa membukanya dan masuk ke dalam sajak.[]

Sebuah Sajak dan Selembar Surat Menjelang Darah Tumpah

Oleh Hasan Aspahani

/1/
Penyair itu bernama Mawie. Di Lampiran Kebudayaan Lentera, Bintang Timur, 21 Maret 1965, ada sebuah sajaknya terbit. Judulnya "Kunanti Bumi Memerah Darah". Enam bulan sebelum Gestapu 1965 alias G30S/PKI. Pada bait terakhir dari sajak itu tujuh bait itu terbaca:
malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walapun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya.

Sajak itu dimulai dengan baris: bulan arit di langit. Baris bumi memerah darah itu adalah pengulangan dari baris yang sama di bait kedua. Enam bulan sebelum bumi Indonesia benar-benar memerah darah.

Begitulah tema dan gaya umumnya sajak-sajak penyair Lekra/PKI dan LKM/PNI yang terbit di lembar kebudayaan surat kabar kelompok itu, Harian Rakjat dan Bintang Timur (Lampiran Kebudayaan Lentera). Tema yang memanglimakan politik. Tilik judul-judulnya: Kepalaku Marxis, Diriku Leninis (Sobron Aidit), Leningrad (Setiawan Hs), Kepada Konferensi (Hersat Sudijono), Gayang Malaysia, dan Peking (Nusananta), Penerbangan Malam ke Leningrad (Verga Belan). Sajak-sajak itu terbit dalam selang waktu 1962-1965.

Adapun Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat dibentuk pada 17 Agustus 1950 di Jakarta. Lembaga ini digagas oleh D.N. Aidit, M.S Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto. Anggota awalnya adalah para penggagas itu ditambah beberapa nama: Herman Arjuno, Henk Ngantung, dan Joebar Ajoeb. Pada awalnya Lekra punya lembaran kebudayaan tiap minggu di majalah Zaman Baru yang terbit di Surabaya. Lembaran itu dikelola oleh Iramani (alias Njoto), Klara Akustia (A.S. Dharta), dan M.S. Ashar. Setahun setelah berdiri, Lekra sudah punya cabang di 20 kota. Cepat dan sistematis sekali.

/2/
Iwan Simatupang, pengarang sejumlah novel dan kumpulan cerita pendek itu, ada menulis sejumlah surat politik sepanjang antara tahun 1964-1966. Akan kita kutip salah satunya yang sewaktu dengan sajak di bagian di atas. Surat itu ditulis 4 Februari 1965. Kurang lebih 7 bulan sebelum G30S/PKI.

Petikannya:
Larto,
        Suatu psikose menjalar kini di seluruh nusantara: bila persis PKI mau coup? Aidit boleh seribu kali membantah, rakyat dan AB kita makin teringat pada Madiun. Dan Aidit secara seratus prosen - Aidit sudah pula menggertak.
        Bila di tahun 1948 PKI dengan anggotanya yang cuma 100.000 orang bisa bikin korban begitu banyak sudah, maka bagaimana dengan PKI sekarang yang sudah punya anggota tiga juga (resmi)? Secara aljabar kelas 1 SMP: tentu seramnya bakal tiga puluh kali! Jadi, mayat yang bakal bergelimpangan akan berjumlah tiga puluh kali; darah kering di gedung-gedung pembantaian (yang mungkin juga nantinya bakal mereka sebut Marx House) tebalnya tiga puluh kali dari darah kering yang ditemukan di ubin Marx House di Madiun tempo hari.
        Semua gambaran seperti ini memang seram, Larto! dan memang, bukan tak punya alasan rakyat kita untuk mengenangkan kembali Madiun di tingkat pergolakan politik seperti kini ini di tanah air kita...

/3/
Apakah Marx House? Saya lupa atau mungkin tak pernah mendapatkannya dalam pelajaran sejarah di bangku sekolah. Marx House adalah rumah pembantaian di Madiun, di lantainya darah kering setebal 2,5 cm! Rumah itu ada juga, di Dungus, Walikukun, Tulung Agung, Pacitan, dan nama-nama kota lain-lain.

/4/
Surat itu dtulis tujuh bulan menjelang darah tumpah. Darah yang dinanti oleh sebuah sajak lain, enam bulan sebelum benar-benar tumpahlah darah. Surat Iwan yang tinggal di Bogor ditujukan kepada sahabatnya pengarang B. Sularto (Yogya). Surat-surat pribadi yang kala itu tidak dibaca umum. Ia kelak dibukukan jauh hari, dan baru kita bisa membacanya dengan bebas. Sementara sajak itu? Ia terbit di surat kabar, yang tentu dibaca orang banyak. Bayangkanlah, semuanya terjadi enam-tujuh bulan menjelang darah tumpah. Ada sajak yang merindukan tumpahnya darah itu, ia dalam sajak itu menanti sambil memetik kecapi dan nyanyi. Dan surat itu meramalkan dengan kengerian -- tapi si penulis surat tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya, selain menulis surat untuk sahabatnya.

/5/
Selembar surat. Sebuah sajak. Dari keduanya kini kita bisa melihat banyak hal: ada penguasa yang lupa, ada partai dengan sebuah ideologi yang laku dijual dan pemimpinnya yang taktis dan jenius yang amat efektif merangkum massa dan menggerakkannya, sebuah catatan sejarah yang begitu mudah dilupakan, dan ancaman pertumpahan darah yang eh justru ada yang "merindukan".

Darah kemudian memang tidak saja tumpah, tapi mengucur dan mengalir dan merebak kemana-mana. Termasuk darah-darah mereka yang merindukan itu, juga mereka yang tidak tahu apa-apa, dan mereka yang tidak pernah tahu sajak itu.

* Sumber bacaan: Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto, Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Mizan, Cetakan ke-4, 1995.





Wednesday, May 23, 2007

SBSB di Batam: Jembatan Masyarakat Literal

Di Auditorium Politeknik Batam. Taufiq Ismail berdiri di panggung berkarpet biru setinggi dua jenjang tangga itu. Di belakangnya duduk bersaf Jamal D Rahman, Agus R Sarjono, Hoesnizar Hood dua bangku kosong dan Putu Wijaya. Di panggung tepi sebuah podium. Panggung itu berhadap-hadapan dengan 400-an siswa SMU dari beberapa sekolah di Batam.  Di belakang panggung sebuah spanduk terbentang dengan tulisan merah Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).

"Di Rusia," kata Taufiq yang Rabu (23/5)  itu memakai batik putih bertabur hiasan merah dan bertopi hitam itu, "siswa SMA membaca 12 buku." Dan itulah kecemasannya. Di Indonesia, tidak ada peraturan yang mewajibkan pelajar membaca. Siswa SMA di Indonesia tidak dibiasakan membaca karya sastra. Itulah pula sebabnya SBSB digelar sejak 2000 oleh Horison. Penyair Taufiq adalah motor penggeraknya.  Tahun ini SBSB disinggahkan di 5 provinsi, dengan 13 sastrawan.

Taufik lantas menunjukkan buku novel "Perang dan Damai" karya Leo Tolstoy yang 1.400 halaman itu. Inilah salah satu dari 12   judul buku sastra yang jadi bacaan wajib di Rusia. Ia juga membawa buku Rusia lain yang masuk dalam daftar wajib baca itu.  Sebuah karya Mikhail Aleksandrovich Sholokhov, "Sungai Don Mengalir Tenang".  Sholokov adalah peraih nobel sastra tahun 1965. Agus R Sarjono membantu menating buku empat jilid itu. Masing-masing setebal 1.000 halaman.  20 buku karya sastra Indonesia masih kalah tebal dengan satu novel itu. 

"Dan 20 judul itu pun masih dalam angan-angan, " kata Taufiq. Itulah sebabnya SBSB digelar. Itulah sebabnya para sastrawan datang ke sekolah-sekolah.
 

"Pertama, kami para sastrawan ingin betul generasi muda suka membaca. Agar tercipta budaya literal. Gemar membaca. Kedua, kami para sastrawan berharap kalian suka menulis. Dan ketiga, mempertinggi apresiasi sastra," kata Taufiq. 

Kenapa budaya membaca harus dimulai dari sastra? "Sastra hanya jembatan. Setelah kalian gemar membaca kalian harus membaca buku-buku lain. Tidak semua yang hadir di sini harus jadi sastrawan. Dua saja yang jadi sastrawan hebat. Yang lain jadi orang yang gemar membaca," kata Taufiq. Jawaban Taufiq menutup acara tanya jawab. Jamal D Rahman memandu acara dengan baik. 27 siswa berbaris di depan dua mikofon bergilir bertanya.  

Citra, salah satu siswa mengajukan pertanyaanb begini. "Kami merasa sastra itu seram. Kami tidak suka. Sebenarnya sastra itu apa, Pak?" Tengok, mereka seram pada apa yang mereka tidak tahu. Dikeluhkan juga soal buku sastra mahal dan tak tersedia di sekolah.

"Kalian tidak harus beli.  Tugas pemerintah yang mengadakan buku itu di sekolah. Itu yang sedang kami usahakan," kata Taufiq.  Pertanyaan lain dijawab bergiliran pula. 

Bagaimana menjadi sastrawan? "Melihatlah dengan cara pribadi. Bukan dengan cara umum. Menulis karya sastra itu hanya permainan. Tapi dikerjakan dengan tidak main-main. Dan hasilnya menjadi bukan main," kata Agus R Sarjono.

Dan ini jawaban ringkas dan bagus dari Putu Wijaya. "Kenapa harus membaca sastra? Karena sastra itu mengembangkan jiwa masyarakat. Kenapa menulis? Karena saya ingin membagi pengalaman batin saya. Jangan takut menulis. Kalau malu mempublikasikannnya, biar saja. Nanti karya yang bagus itu akan memberontak dan minta dipublikasikan sendiri. Berlatihlah menulis, membacalah, dengarkan apa kata pembaca dan apa kata sastrawan lain."

"Saya produktif menulis karena bagi saya menulis adalah pekerjaan. Kalau tidak menulis saya tidak dapat uang. Karya sastra bagi saya adalah hasil kerja saya," katat Putu yang tampil khas berbaret putih, dan kaos hitam. 

Lantas apakah karya sastra yang baik itu? Ini jawaban Putu: Sastra yang baik selalu membagikan pengalaman batin setiap kali dibaca. Karena itu dia tidak membosankan dan selalu ingin dibaca berulang-ulang. Sebaliknya, karya sastra yang buruk, dibaca sekali habis, tidak ingin lagi kita membacanya.[hasan aspahani] 


Sunday, May 20, 2007

Ketika Chairil Membacakan "Aku"

Oleh Hasan Aspahani

     Sajak "Aku" terbit dalam buku "Deru Campur Debu". "Semangat" terbit dalam buku "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus". Keduanya adalah sajak yang sama.

***

     Tahun 1943. Pemerintah dan Balatentara Dai Nippon masih berkuasa di Indonesia. Pada tahun itu, 1 April tepatnya dibentuk Keimin Bunka Sidosho atau Pusat Kebudayaan. Bagi Jepang ini lembaga yang penting untuk mendukung kekuasaannya. Karena itu, maka pada 18 April lembaga itu diresmikan oleh kepala Pemerintah Balatentara Dai Nippon.
     Seniman Indonesia yang berperan aktif di lembaga ini adalah penyair Sanusi Pane. Lembaga punya lima bagian: 1. Kesusasteraan, 2. Kesenian, lukisan, dan ukiran, 3. Musik atau seni suara, 4. Sandiwara an tari, 5. Film.
     Bagian Kesusasteraan dipimpin oleh orang Jepang Rintaro Takeda, sebagaimana bagian lain pun dipimpin oleh orang Jepang. Armjn Pane, adik Sanusi Pane, pengarang novel "Belenggu" menjadi wakil kepala bagian itu. Di bagian ini bergiat pula pengarang novel "Andang Teruna" Sutomo Djauhar Arifin, Usmar Ismail, Inu Kertapati, dan Amal Hamzah.
     Secara teratur Bagian Kesusasteraan ini menggelar perbincangan dan diskusi. Rosihan Anwar adalah wartawan cum sastawan yang tidak menjadi pengurus Pusat Kebudayaan tapi sering hadir dalam diskusi itu.
     "Kami membentuk Sasterawan Angkatan Baru," tulis Rosihan dalam buku "H Rosihan Anwar, Wartawan dengan Aneka Citra", Penerbit Kompas, 1992. Kelompok ini kerap menggelar malam deklamasai sajak-sajak. Salah satu yang sering tampil adalah H.B Jassin. "Jassin adalah deklamator sajak yang baik," kata Rosihan.
     Pada suatu ketika dideklamasikan sajak penyair angkatan Pujangga Baru: Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane.  Sehabis pembacaan sajak-sajak itu, ada seseorang berdiri dan dengan tegas mengatakan sajak-sajak itu sudah usang. Ia lalu mengemukakan sajak yang mengandung daya hidup dan padangan baru.
    "Saudara-saudara mau contoh?" tanya tokoh itu. Maka ia pun membacakan sajaknya. Sajak itu adalah sajak yang hingga kini mungkin tetaplah menjadi sajak yang paling banyak diketahui dan dibaca di Indonesia. Sajak itu berjudul ketika itu berjudul "Semangat". Dan kita kini mengenalnya sebagai "Aku".
    Dan penyair itu adalah Chairil Anwar.

***

     Sajak "Aku" terbit dalam buku "Deru Campur Debu". "Semangat" terbit dalam buku "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus". Keduanya adalah sajak yang sama.


***

     Ada cerita lain ihwal sajak itu. Ini kita petikkan dari buku skenario "Aku" Sjuman Djaya, Pustaka Utama Grafiti, 1987. Bila difilmkan ini adalah film tentang sang penyair itu: Chairil Anwar.

     Adegan ke-42:

     "Kita sedang ditugaskan mencari.
     Bagaimana sesungguhnya sastra di jaman perang seperti ini?"
     "Semangat! Dari tadi saya bilang semangat, 'kan?"
     "Baik, lantas bagaimana itu misalnya?"

     Dialog ini terjadi di sebuah ruang pertemuan Keimin Bunka Shidosho. Percakapan tadi melibatkan Armjn (Pane) dan Asmara. Di antara mereka ada perempuan muda. Namanya? Sri atau Nur, atau bisa juga nama lain.
     Sri lantas tampil ke depan ruang, setelah Bung Asmara mengisyaratinya. Sri segera membacakan sebuah sajak kepahlawanan yang sangat romantis dengan suaranya dan gayanya yang lembut. Ketika sajak selesai dibacakan, sebuah tawa yang sangat khas terdengar dari arah pintu masuk.
     Semua yang hadir, tanpa kecuali, menoleh ke sana. Yang berdiri di sana ternyata Qodrat, tapi di sebelahnya adalah lelaki bermata merah itu. Qodrat ini yang lantas berkata:

     "Kawan-kawan, saya perkenalkan: Chairil Anwar!"

    Maka tanpa kecuali lagi, semua menjadi terperangah memandang kepadanya. Armjn yang lantas mendatanginya dan memberinya salam:

    "Bung barusan mendengarnya?"

     Chairil jadi tertawa lagi, khas seperti tadi. Sambil disapunya dengan pandang seluruh ruang dengan matanya yang merah. Sesudah itu dia maju ke depan sambil bicara terus terang:

     "Manis, sajakmu barusan cukup romantis! Tapi bukan itu semangat! Kalau mau semangat...ini!"

     Chairil mengambil kapur tulis dan mulai menulis di papan tulis yang memang tersedia di tengah ruang itu. Ternyata juga sebuah tuisan dari sebuah jiwa yang gelisah. Cepat, keras, tapi juga pasti. Sambil menulis, mulutnya ikut berbunyi:

     "Aku!
      Kalau sampai waktuku
      Kumau tak seorang kan merayu
      Tidak juga kau
      Tak perlu sedu sedan itu
      Aku ini binatang jalang
      Dari kumpulannya terbuang
      Biar peluru menembus kulitku
      Aku tetap meradang menerjang
      Luka dan bisa kubawa berlari
      berlari
      Hingga hilang pedih peri
      Dan aku akan lebih tidak peduli
      Aku mau hidup seribu tahun lagi."

------
Sumber bacaan:
1. Tribuana Said (Penyunting), "H. Rosihan Anwar, Wartawam dengan Aneka Citra", Penerbit Kompas, 1992. Tulisan tentang Keimin Bunka Sidosho dipetik dari "Seniman Merdeka" tulisan Rosihan Anwar di buku itu.
2. Sjuman Djaya, "Aku", Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1987, cetakan pertama. Cetakan berikutnya diterbitkan oleh Metafor Publishing, 2003.
3. Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan kedelapan, 2000.


Saturday, May 19, 2007

ensiklopedi: Batu

batu: aku tidak menenggelami danau ini, aku memang
       ada di dasar ini; aku tidak cemburu pada angin,
       akulah yang susah-payah mengajarinya berdiam;
       aku bukannya tidak ingin mengikuti ajakan ikan, aku
       justru memberi contoh bagaimana merahasiakan
       sirip-sirip; aku bukannya bersembunyi di lumpur ini,
       kami malah lama saling bertanya, sebenarnya kenapa
       kau membedakan kami: aku dan lumpur ini?

[Ruang Renung # 207] Sejumlah Catatan dari Hasif

A. Tantangan Puisi atas Bahasa Biasa

Berhadapan dengan puisi kita menjadi pembaca yang terusik untuk mempertanyakan atau mempedulikan makna, makna puisi dan dengan demikian juga pada makna bahasa itu sendiri. Inilah, kata Hasif Amini, tantangan paling ganjil yang diajukan puisi terhadap kebiasaan berbahasa kita sehari-hari. Hasif, redaktur puisi di Kompas itu, menulis sebuah pengantar yang amat bernas untuk sejumlah puisi dalam buku "Puisi Tak Pernah Pergi", Penerbit Buku Kompas, 2003.

1. Membaca sebuah sajak yang baik adalah menghirup setiap partikel atau gelombang yang tersusun dalam sebangun komposisi kata-kata: segenap bunyi, irama, barik dan sunyi juga.

2. Dalam dunia puisi segenap anasir renik-pelik bahasa justru kerap hadir mencolok sebagai pokok yang menyokong kembangnya kesedapan sebuah karya.

3. Tindak apresiasi adalah proses bergelut atau bermain menggerai pelbagai citra atau lambang yang terangkai dalam suatu sajak.

4. Pada puisi, terutama persoalan makna - sesuatu yang seakan terang tapi tak pernah gampang - sering, dengan atau tanpa sadar, terusik secara mendasar.

5. Bahasa puisi hadir sebagai suatu gejala yang nyaris pejal: sebangun artifak: sebentuk gubahan yang terdiri dari kata-kata (dan tanda baca, dan jeda dan ruang kosong di sekitarnya), yang menyosok bagaikan suatu zat yang telah disuling atau dipadatkan, atau bahkan sewujud organisme yang berdenyut dan berwatak.

6. Makna tak selalu merupakan pokok yang utama dalam tubuh teks, melainkan terserap bersama unsur-unsur lain. Kadang makna bahkan menjadi semacam akibat akisdental dari komposisi bunyi-kata tertentu, misalnya kombinasi pilihan kata yang berirama.



B. Puisi, Kembimbangan Antara Bunyi dan Arti

Ada bunyi dan ada arti. Antara keduanyalah puisi menjadi punya alasan untuk dinikmati. Di antara keduanya - dengan kesadaran penuh atau setengah sadar - penyair mempertaruhkan harkat sajaknya. Ini serangkum kedua butir-butir yang bisa saya himpun dari tulisan Hasif Amini dari buku yang sama. Puisi, kata Hasif, dengan majas dan musiknya, bekerja mengirimkan mimpi sekaligus mengusik tidur panjang kita dalam kebiasaan sehari-hari.

1. Puisi tak jarang tampak sebagai bimbang yang berlarut antara bunyi dan arti. Ada tarik menarik yang bisa tak putus-putus antara arah-arah yang berlainan itu.

2. Makna muncul dari teks, atau dari pertemuan antara pembaca dan teks - bukan sesuatu yang ada lebih dahulu yang lalu coba ditangkap, disingkap, diungkap oleh tanda-tanda yang terjalin dalam teks.

3. Makna dan bunyi - di tengahnya bekerja asosiasi yang merupakan proses silang-seluk antara keduanya.

4. Kekayaan resonansi bunyi dan makna kata-kata dalam puisi mengundang pembaca untuk menghubungkan pelbagai wilayah pengalaman yang mungkin tersembunyi di tengah hingar-bingar keseharian, dan dari pertemuan (atau penemuan) itu terkuak atau terbangunlah sebidang dunia yang tak terduga.



C. Berkah dan Petaka Sajak Bebas

Puisi Indonesia tidak dibangun atas dasar disiplin yang kokoh. Ini bisa jadi berkah, bisa jadi sumber petaka. Sajak bebas menjadi pilihan utama, dan pegangan satu-satunya adalah licentia poetica. Berikut rangkuman ketika berisi sembilan butir yang saya petik dari Hasif Amini dalam tulisan dan buku yang sama.

1. Perjalanan perpuisian Indonesia sejak abad ke-20, sejak ia mencoba lepas dari tradisi lisan, sesungguhnya tak pernah benar-benar bergerak sebagai sebuah disiplin yang membina dasar-dasarnya sendiri secara kukuh.

2. Hukum tertinggi yang dipeluk erat-erat dan tak dapat diganggu-gugat adalah licentia poetica: hak mutlak penyair untuk menggunakan bahasa sebebas-bebasnya, termasuk menyimpang dari tata pembentukan kata atau kalimat yang lazim bila perlu.

3. Bergantung pada gairah dan bakat (maupun kenaifan) masing-masing penyair, puisi menjadi semacam lahan bebas (bahkan liar) yang tak menyediakan perangkat khusus yang jelas dan memadai menyangkut penciptaannya.

4. Puisi Indonesia berjalan hampir tanpa mengenal prosodi, misalnya disiplin yang mendalami anatomi puisi menurut metrum, ritme, rima itu.

5. Ketiadaan pendalaman atas anatomi puisi, bisa dilihat sebagai hikmah yang mungkin menyelamatkan penyair dari kesibukan berlebih terhadap tetek-bengek yang terlalu teknis dalam merangkai karya.

6. Semenjak sajak bebas muncul pada abad ke-19, metrum menjadi sesuatu yang tampak kian mengekang dan merepotkan dan karenanya disingkiri jauh-jauh.

7. Tanpa metrum, sajak bebas seharusnya melahirkan musiknya sendiri-sendiri. Sajak-sajak bebas yang unggul telah membuktikan hal itu.

8. Tapi tanpa metrum, sajak bebas juga kemungkinan bisa celaka akibat miskinnya latar pemahaman dan penguasaan akan kompleksitas puisi, dan yang lahir adalah sajak yang tak mempertimbangkan kekuatan setiap unsurnya sebagai pembangun sebuah komposisi yang mantap.

9. Puisi yang tak memiliki kesadaran bentuk yang memadai, dan hanya meluncur ringan tanpa beban (selain beban pesan), tapi juga tanpa kekokohan, hanya gairah yang menggebu-gebu tapi bisa tanpa arah.

Demikianlah. Tentu, cara terbaik untuk memahami catatan pendapat Hasif adalah membaca apa yang dia tulis di buku itu. Saya merangkum, menghimpun dengan sebuah risiko, yaitu hilanglah detil-detil penjelasan Hasif dalam tulisannya itu.

Atau bila ada kesempatan bertanyalah langsung padanya. Atau Anda pun tentu boleh mengamati sendiri perjalanan puisi Indonesia dan membuat kesimpulan lain yang memberi gambaran yang lain.

* Bacaan: "Puisi tak Pernah Pergi, Sajak-sajak Bentara 2003", Penerbit Buku Kompas, 2003.

Hantumu dan Waktuku

/1/
Dari pintu otomatis ke lift yang mekanis,
kudengarkan keretuk sepatu sendiri
bertumbukan dengan keras keramik.

Aku tidak menyanyi, aku hanya bergegas.
Seakan hantumu berjaga. Di mesin absensi.

Aku tidak menyanyi, aku hanya bergegas.

/2/
DASAR gelas, sisa sepersekian belas,
kopi tanpa ampas. Ah, betapa lekas.

Hantumu dan waktuku beradu bergegas.

Friday, May 18, 2007

Aku Belum Berani

AKU belum berani menghadapimu, Sajakku. 

Kenapa? Karena aku belum bisa menyajakkan
diriku sendiri dengan jujur dan benar-benar.




Thursday, May 17, 2007

[Ruang Renung # 206] Membaca Syair

Syahdan, jika sahabat hendak bermain-main satu waktu, coba panggil
seorang orang Melayu yang pandai bersyair, suruh baca dengan lagunya yaitu
seperti nyanyi, maka lebih terang lagi maknanya. Demikianlah adanya.

[Surat Raja Ali Haji kepada Von De Wall, 6 Juli 1858/14 Zulkaidah 1274]

Syair dituliskan oleh penyair. Ia bisa dibaca langsung dari teks tertulisnya oleh orang lain. Ia juga boleh dibacakan oleh orang lain untuk orang lain. Ada cara membaca syair itu. "Yaitu seperti nyanyi," kata Raja Ali Haji kepada sahabatnya Von De Wall. Maka apa? "Maka lebih terang lagi maknanya," kata Raja Ali Haji.

Raja Ali Haji mengirimkan syair yang ia tulis setelah menerima tempat dawat perak dari gubernemen - demikian menyebut pemerintah Belanda di Tanjungpinang kala itu. Bagi seorang penulis, itu adalah hadiah yang amat menggembirakan. Tersebab kegembiraan itu ia menyusun syair yang ia beri nama Syair Ikat-ikatan yang terdiri atas dua puluh empat bait dan dua belas puji. Syair itu berguna sebagai, "Peringatan kepada ahli-ahli kita di belakang hari," kata Raja Ali Haji.

Demikianlah pula agaknya puisi buat kita sekarang. Ada puisi yang bisa dibacakan entah dengan lagu seperti nyanyi atau dengan gaya membaca yang khas lainnya agar jelas maknanya. Dan ia dituliskan agar ada yang menjadi peringatan orang tentang kita, atau tentang apa yang kita tuliskan itu kelak bagi orang yang hidup setelah kita.

Demikianlah.[]

[Ruang Renung # 207] Terima Kasih, Terima Kasih

SAYA ingin berterima kasih kepada Terima Kasih. Ya, terima kasih, Terima Kasih. Saya ucapkan saja begitu. Kenapa saya harus berterima kasih padanya? Karena berkat dialah, maka saya bisa berterima kasih kepada siapa saja yang berhak saya berikan Terima Kasih. Coba bayangkan kalau tidak ada Terima Kasih, bagaimana kita bisa berterima kasih? Memang, kita bisa berterima kasih dengan cara membalas kebaikan orang yang menolong kita. Namanya berterima kasih dengan perbuatan.

Memang, bisa saja begitu. Tapi, lihatlah, tetap saja itu namanya: berterima kasih. Tetap saja kita harus berterima kasih kepada kata itu, bukan?

Coba ingat-ingat lagi, berapa kali kita berhutang budi pada kata Terima Kasih. Berapa kali sudah sepanjang hidup kita ini kita mengucapkan terima kasih kepada orang yang menolong kita, orang yang menyelematkan kita, orang yang mengingatkan kita, orang yang menyiapkan baju dan sepatu kita, orang yang mencintai kita? Tapi pernah kita kita berterima kasih kepada Terima Kasih? Mungkin tidak pernah, dan mungkin terpikir pun tidak. Karena itulah saya ingin berterima kasih kepadanya.

Sebenarnya siapakah yang pertama kali mengucapkan terima kasih itu? Saya pun tak tahulah. Saya ada menemukan kata itu dengan cara mengucapkan yang berbeda dengan cara kita mengucapkannya kini. Saya menemukan itu dalam beberapa surat Raja Ali Haji ibni Raja Ahmad Riau kepada sahabatnya Von de Wall, yang nama selengkapnya adalah Herman Theodor Friedrich Karl Emil Wilhem August Casimir von de Wall.

Misalnya surat bertanggal 9 Januari 1858. Raja Ali Haji menulis kepada sahabatnya itu: Bahwa sesungguhnya kita menerima kasihlah kepada sahabat kita dengan beberapa banyak serta beberapa kali. Kita menyusahkan sahabat kita dengan beberapa kali hajat, padahal sahabat kita sabar serta disampaikan hajat kita.

Juga pada surat yang lain di tahun yang sama, di bulan November/Desember: Kemudian kita menerima kasihlah yang amat banyak kepada sahabat kita yang sebenarnya tolan kita, yang boleh menerangkan kebenaran kita, serta lepaslah keaiban kita dan kemaluan kita.

Raja Ali Haji tidak menuliskan pernyataan telah menerima kasih dari sahabatnya itu di semua suratnya. Dia hanya mengucapkan itu apabila ia ada menerima sesuatu yang bisa ia padankan dengan kasih yang ia terima dari si pemberi. Dan pernyataan itu selalunya diucapkan di awal surat. Sejak kapan pernyataan menerima kasih itu berubah menjadi ucapan Terima Kasih? Kapan waktu akan saya telusurilah jejaknya. Saat ini saya hanya ingin berterima kasih kepada Terima Kasih, karena darinya saya telah menerima kasih yang tak tergantikan. Terima kasih, Terima Kasih.

* Bacaan: Dalam Berkekalan Persahabatan, Surat-surat Raja Ali Haji kepada Von De Wall, oleh Jan van der Putten dan Al Azhar, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007.

[Kutipan] Membaca Sastra = Menelan Raksasa

Sebuah karya kesusasteraan, seperti pernah diibaratkan orang, ialah seorang Raksasa ajaib yang tak akan selesai-selesainya dicincang. Ia hanya bisa kita tangkap apabila kita sanggup menelannya, hingga kita pun menjadi besar secara ajaib karena mengepam Raksasa tadi dalam seluruh diri kita.

* Dipetik dari "Tentang Tema dan Machiavelisme Kesusastraan" oleh Goenawan Mohamad dalam buku "Kesusastraan dan Kekuasaan", Pustaka Firdaus, 1993.

Wednesday, May 16, 2007

[Telaah] Kenapa Jokpin Harus Memelorotkan Celananya?



Oleh Hasan Aspahani



/1/
Penyair Joko Pinurbo di awal tahun 2007 menerbitkan buku kumpulan puisi ke-8 "Kepada Cium". Saya kira buku ini penting walaupun pasti bukan bagian terpenting dari perjalanan menyair pria yang kini berusia 45 tahun itu. Bukan bagian terpenting, karena Jokpin - demikian julukan kerennya - sudah melampaui tahap pembuktian mutu sajak-sajaknya. Ia sudah selesai dengan tugas membuktikan bahwa sajak-sajaknya bermutu. Ia - dengan delapan buku - sudah membuktikan pula produktivitas kerja menyairnya.

Buku ini tipis dibandingkan dengan buku-buku sebelumnya. Isinya 33 sajak. Buku debutnya "Celana" berisi 44 sajak. Sebenarnya buku "Telepon Genggam" (2003) pun hanya berisi 32 sajak, tetapi buku ini jauh lebih gemuk karena sajak-sajaknya sebagian lebih panjang-panjang. Buru-buru harus saya sebutkan, bahwa panjang pendek sajak tidak menentukan mutu sajak itu. Dan pendek panjang sajak juga tidak menentukan stamina menyajak penyairnya.

/2/
Saya sendiri ingin melihat buku ini sebagai jurus-jurus latihan atau pemanasan seorang petinju Jokpin sebelum pertandingan sesungguhnya. Dia adalah sang juara bertahan yang hendak mempertahankan gelarnya. Ini sesungguhnya adalah pertandingan melawan diri sendiri. Dari menonton latihan itu saya bisa membayangkan bagaimana gaya bertarungnya nanti di atas ring. Saya adalah penggemar sang petinju ini. Saya mengagumi jurus-jurusnya dan trik-triknya mengandaskan lawan.

Tantangan bagi petinju sehebat dia bukan lagi bagaimana menjatuhkan lawan tetapi bagaimana menjatuhkan lawan sambil memikat penonton dengan mempertontonkan jurus-jurus dan trik baru di atas ring.

/3/
Sekali lagi bagi saya buku "Kepada Cium" adalah latihan yang sedap ditonton. Dari tontonan itu saya kemudian menebak-nebak kecenderungan jurus dan trik apa yang hendak ditampilkannya kelak. Maka saya mencatat beberapa jurus yang kerap ia pakai. Saya tak tahu ini metode telaah model apa. Saya menandai delapan kata yang bolehlah dianggap sebagai penanda bahasa sajaknya Jokpin. Boleh juga dianggap delapan kata itu adalah kata-kata kedoyanannya. Lalu saya menghitung berapa kali kata-kata itu muncul dalam 33 sajak dalam buku itu. Inilah hasilnya:
1. "Kamar mandi" muncul dalam 1 sajak.
2. "Telepon genggam" nongol dalam 2 sajak.
3. "Ranjang" menampakkan diri dalam 4 sajak.
4. "Tubuh" hadir dalam 9 sajak.
5. "Bulan" datang dalam 5 sajak.
6. "Celana" dipakai dalam 8 sajak.
7. "Mata" terlihat dalam 6 sajak.
8. "Kuburan" ada dalam 5 sajak.

Yang perlu saya sampaikan juga setelah urusan hitung menghitung itu adalah ternyata ada delapan sajak yang tidak mengandung delapan kata itu. Ada sebuah sajak yang mengandung enam dari delapan kata itu. sekalian saja kita kutip di sini, sajak itu berjudul "Pasien":
Seperti pasien keluar masuk rumah sakit jiwa,
kau rajin keluar masuk telepon genggam,
melacak jejak suara tak dikenal yang mengajakmu
kencan di kuburan pada malam purnama:
Aku pakai celana merah. Lekas datang ya.
kutengok ranjangmu: tubuhmu sedang membeku.
menjadi telepon genggam raksasa.

Ada sedikit kecurangan statistik di sini. Kata "purnama" kita hitung saja sebagai "bulan". Ayo hitung lagi, temukan enam kata itu: telepon genggam, kuburan, bulan eh purnama, celana, ranjang, tubuh. Enam kan? Nah, bagaimana rasanya? saya sendiri membayangkan diri sebagai lawan latihnya di ring itu. Dengan jurus-jurus yang sudah saya hapalkan sebelumnya, mestinya saya bisa menghindar dari jotosannya. Tapi, ups, jduk, bhuk, owf, awh, ugh, saya masih kena tumbuk juga. Bertubi-tubi pula.

/4/
Jokpin telanjur dicap sebagai petinju eh penyair dengan jurus "Celana". Cap itu ada benarnya. Soalnya, buku pertamanya berjudul itu. Dan jurus itulah yang agaknya paling melekat di benak penikmat sajak-sajaknya. Padahal di buku pertama itu kata yang paling merisaukan si penyair adalah "ranjang". Bayangkan saja dia harus naik turun ranjang sebanyak 12 kali di buku itu. Celana hanya sampai pada seri ketiga. Tetapi, memang pada banyak sajak celana-celana berbagai macam model kerap muncul tiba-tiba, baik sebagai peran utama ataupun hanya sekadar cameo. Baiklah Jokpin memang tidak terlalu salah kalau dilekatkan pada "celana". Ini mungkin sebentuk keterkejutan kita, pada kejeliannya mengangkat harkat "celana" ke tingkat kemungkinan kreativitas untuk disajakkan yang luar biasa. "Celana" di tangan Jokpin menjadi lentur untuk mengucapkan banyak hal yang oleh penyair lain bahkan tak terbayangkan bisa dipadankan. Tetapi sesungguhnya, Jokpin tidak hanya memakai jurus itu. Tengoklah hitung-hitungan di atas!

/5/
Jokpin juga piawai menaklukkan sajak dengan sejumlah jurus yang tak kalah telak. "Celana" malah kalah sering dengan "tubuh". Dan jurus lain pun hanya berselisih sedikit. "Mata", "bulan", "kuburan" dan "ranjang" pun perlu dinikmati kemunculannya, dan masih dengan telak menjotos kita. Bisakah hitung-hitungan tadi meramalkan bagaimana aksi Jokpin di ring sesungguhnya? Kecenderungannya iya, dengan sejumlah asumsi tentu saja.

Pertama, kata-kata eh jurus-jurus tadi muncul naluriah dalam sajak. Jokpin misalnya, tidak dengan sadar mengurangi jurus "celana" supaya tidak terus-menerus dicap sebagai penyair celana. Dia juga tidak dengan sadar mengurangi jurus lain supaya penampilannya tidak membosankan. Sekali lagi, jurus-jurus itu muncul spontan dalam rangka menaklukkan lawan.

Kedua, sebagai petinju eh penyair yang baik dan benar, dan punya peminat yang luas, dia tentu harus kita tuntut agar menyajikan penampilan yang segar, dan mempertontonkan jurus-jurus baru. Kalau tidak, tentu dia harus rela bersiap menggantung sarung sajaknya. Saya kira Jokpin masih punya stamina bertarung yang luar biasa dan itu modal besar untuk mempertahankan gelar juara puisi dalam kurun waktu yang masih akan lama.

Ketiga, jangan-jangan kitalah yang memenjarakan Jokpin di dalam celana. Dia sendiri enak-enak saja keluyuran kesana kemari dalam dari sajak ke sajak tanpa celana.

/6/
Sekarang tiba giliran pada pertanyaan penting yang kerap diajukan peminat dan pengamat Jokpin: "Apalagi setelah celana, Jokpin?" Dalam bahasa saya, "apakah sudah saatnya Jokpin harus memelorotkan celananya?" Jawabnya, tengok asumsi ketiga di bagian /5/. Pertanyaan serupa ini sesungguhnya adalah pertanyaan yang wajib diajukan sendiri oleh penyair mana pun kepada dirinya sendiri, dengan catatan dia sudah harus menemukan "celana" sendiri, seperti Jokpin. Bila belum, maka pertanyaannya adalah "celana macam apa yang harus saya kenakan dalam sajak-sajak saya?".

/7/
Setelah buku "Kepada Cium" itu terbit, Jokpin tampil sekali di Kompas. Dan sementara ini dia pun pasti banyak menyiapkan sajak-sajak baru, dan sangat mungkin dengan jurus-jurus baru pula. Bila kemunculan sekali itu dianggap cukup untuk sebagai ronde pertandingan sesungguhnya, maka sebenarnya Jokpin sudah menjawab sendiri pertanyaan di bagian /6/. Ada beberapa jurus baru yang -- ah maaf dengan mata saya yang kadang rabun kadang bermasalah akomodasinya -- saya belum bisa memastikan apa namanya. Biarlah jurus-jurus itu naluriah semakin sering ia jotoskan.

Akhirulkalam, satu catatan penting perlu disebutkan di tulisan ini. Ada karakter dasar yang tak bisa diubah dari seorang petinju: seorang boxer tidak bisa serta-merta diubah menjadi seorang fighter. Begitu pun penyair, ada pola jurus dan gaya menyair yang tak serta merta bisa diubah begitu saja. Semoga banyak bagian dari tulisan ini yang meragukan dan karena itu ianya perlu didebat. Saya sendiri mau berlatih bikin jurus saya sendiri. Siapa tahu saya mendapat kehormatan bisa menantang Jokpin bertinju. Sekian.[]

Tuesday, May 15, 2007

Jerat Jarak Dekat

Sajak Shania Saphana


/1/
"Ada yang menjemputku di Bandara. Ada."

Dia merasa bagai tawanan pindah penjara.

Dia tinggal meja yang bergegas, ke kantor
yang keras. "Tak ada hiasan di dindingnya."
Kecuali ruang rapat dengan setumpuk agenda.


/2/
"Ada yang menjemputku di Bandara. Ada?"

Para lelaki dengan kemeja. Rapi dan resmi.
Kaku dan baku. Segumpal gel melumuri kepala.

/3/
"Ada yang menjemputku di bandara. Siapa?"

Sedang kau yang dulu menulis puisi untukku
memilih jalan yang kutahu itu tidak menujuku.


/4/
"Ada yang menjemputku di bandara. Tapi buat apa?"

Tapi, buat apa? Perjalanan memang tak sia-sia.
Tapi aku tak jua terbebas dari jerat jarak dekat.

Amboi! Habislah Seribu Subuh

Sajak Shania Saphana

Dia menunjuk arah dadaku: bukit yang menjauh
sisa kabut dan lelah membuat kita tak bersentuh

Amboi! Lumpurkah  mengucur di tengah tubuh?
Kita saling tuduh, sehingga habislah seribu subuh

Monday, May 14, 2007

[Ruang Renung # 205] Perebutan Bahasa

Ini petikan dari Asrul Sani dalam "Charil Anwar", dalam buku "Surat-surat Kepercayaan", Pustaka Jaya, Cet. 2, 2000. Tulisan itu sebelum dibukukan terbit di "Siasat", 2 Mei 1954:
Kita baru dapat memastikan bahwa ia adalah "pengubah" besar dalam soal bahasa. Dengan dirinya sempurnalah perebutan bahasa dari tangan guru-guru, dan mulai saat itu bahasa Indonesia kembali ke tangan penyair. Mulai saat itu puisi bukan lagi hasil percobaan tata bahasa yang telah ditetapkan hukum-hukumnya, tapi pengucapan perasaan dan pikiran.
Saya lantas ditumbuk oleh sejumlah pertanyaan:
1. Seberapa hebatkah perebutan bahasa itu dulu dari antara guru-guru dan penyair? Adakah kajin soal ini? Dan bagaimana jadinya bahasa dan puisi Indonesia saat ini jika perebutan itu tidak pernah ada?
2. Bila Chairil berhasil memenangkan penyair dalam perebutan itu, lantas apa tanggung jawab penyair sekarang untuk mengisi kemenangan itu? Masihkah ada artinya kemenangan itu?
3. Puisi saat ini memang tak pernah dilihat sebagai percobaan tata-bahasa yang telah ditetapkan hukum-hukumnya. Saat ini kita bahkan tak tahu bahwa cara memandang puisi yang seperti itu pernah ada dulu. Tapi sungguh tidak adakah semacam hukum-hukum dasar puisi yang bisa diajarkan di luar urusan pengucapan perasaan dan pikiran? Banyak sekali pertanyaan mendasar yang berulang diajukan oleh orang yang baru menggelut puisi yang mestinya tidak perlu diajukan lagi apabila tersedia semacam hukum dasar itu. 
4. Lalu sekarang dikeluhkanlah minimnya porsi pengajaran sastra di sekolah-sekolah dan terbatasnya minat guru-guru bahasa untuk mengajarkan sastra. Saya berpikir, apakah ini semacam balas dendam guru-guru itu kepada penyair yang dulu merebut bahasa dari tangan mereka?


Sisa Kecup di Bibirku

Sajak Shania Saphana


Aku susunkan sepiku di dalam dadamu
kita pernah bertumpu di bibir pagar

Di mata kukembarkan langit dan laut
langit yang fajar, laut yang segar

Aku menjilati sisa kecup di bibirku,
Kukira hujan mata bisa bikin hambar.

Sunday, May 13, 2007




* Salvador Dali, Honey is Sweeter than Blood, 1941


* Salvador Dali, The Birth of Liquid Desires, 1932

Menemukan Ke-Chairilannya Chairil

Pada Jumat siang, 18 April 1949, ketika Chairil Anwar dikebumikan di pekuburan Karet, Affandi tengah meradang dan menerjang di hadapan sosok Si Binatang Jalang yang belum rampung tergurat di sepotong terpal becak yang meranggas di bekas sebuah garasi di kompleks Taman Siswa, Jalan Garuda 25, Jakarta. Itu sebabnya, pelukis itu absen di pemakaman penyair yang meninggal pada usia 27 tahun itu.

Kata dia kepada Nasjah Djamin—yang di kemudian hari mengutip perkataan ini dalam bukunya, Hari-hari Akhir Si Penyair (Pustaka Jaya, 1982: 52): "Saya tidak ikut tadi mengantarnya ke Karet, Dik! Dari CBZ (Centraal Burgerlijk Ziekenhuis—sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta) saya terus pulang. Untuk menyiapkan tarikan terakhir pada lukisan Chairil, sebab saya takut besok lusa saya tak menemukan lagi ke-Chairilannya Chairil."

Selanjutnya baca: Si Binatang Jalang dan Sang Maestro, Wahyudin, Kompas, Minggu 13 Mei 2007

Friday, May 11, 2007




* Salvador Dali, Soft Watch at the Moment of First Explosion, 1954

[Ruang Renung # 204] Pintu Puisi dan Kebingungan Itu

PUISI, bisa juga dilihat sebagai serangkaian kebingungan. Bingung, berarti di hadapan puisi kita tak tahu hendak berbuat apa, tak tahu hendak menyimpulkan apa. Sebenarnya kita tak perlu berbuat apa-apa, tidak perlu menyimpulkan apa-apa. Tapi, itulah celakanya, di hadapan puisi --- puisi yang baik -- kita justru digoda untuk berbuat dan menyimpulkan sesuatu. Dan karena itu kita memerlukan kebingungan itu, untuk merangsang rasa dan pikir kita, menumbuk dinding rutinitas yang membeku.

Berpuisi bisa dianggap sebagai upaya mengelola kebingungan. Puisi adalah sebuah kebingungan yang terkelola, yang tertata. Penataan dan pengelolaan itu tidak membuat kebingungan mati. Kebingungan itu tetaplah kebingungan. Puisi membawa kita yang bingung ke sejumlah pintu, dan kita tahu di balik pintu-pintu itu ada lorong-lorong yang banyak kelok dan banyak selok. Ada lorong yang remang, ada lorong yang terang, ada lorong yang gelap, ada lorong yang becek, ada lorong yang panas, ada lorong yang lantainya begoyang-goyang ketika dipijak.

Pembaca adalah orang yang dengan sadar memilih memasuki sebuah pintu dan menebak-nebak di mana kelak berakhir lorong yang ia pilih itu. Sepanjang perjalanan di dinding dia melihat ada foto-foto terpajang. Foto wajah, atau benda-benda yang seakan-akan pernah dia lihat. Mungkin ada juga fotonya sendiri, atau foto yang ia jepret pada suatu ketika di suatu tempat.

Pintu puisi adalah pintu yang sedikit kuak, ada remang cahaya lolos ke luar dari balik pintu itu. Bukan pintu yang terbuka sepenuhnya atau terkunci rapat dan membayangkan ruang gelap di sebaliknya. Pintu puisi adalah pintu yang seperti mambayangkan sepasang tangan melambai di sebaliknya mengajak seseorang pembaca singgah, menyeleweng dari tujuan semula ketika ia melintas di depan pintu itu.[]

Pada Umur ke-45

                                                    : Joko Pinurbo

PADA umur ke-45 dia mencopot kalender
tua yang terpaku di dinding tubuhnya.

"Terima kasih, Anda sudah sangat berhasil
menakut-nakuti saya selama ini," katanya.

Dari bekas tempat kalender, menganga lubang.
"Halo? Apakah ada orang?" ujarnya melolong.

Kalender itu lalu dipisahkan sebulan-sebulan.
Januari, Februari, Maret... Desember, wah kok
ada selembar tanggalan yang tak dikenalnya?

"Halo? Boleh saya berkenalan dengan Anda?"
katanya menyorongkan tangan, ngajak salaman.

Tanggalan tak bernama itu malah memeluknya.

Daripada sedih, akhirnya dia tempelkan lembar
tanggalan di bekas kalender lama di tubuhnya,
tanggalan yang angka tanggalnya ajaib semua.

Lalu matanya menangkap tatap mata lamanya pada
pasfoto di lembar itu. "Lho? Kamu kan ijazahku?"

"Ha ha. Saya kira kamu sudah lupa," kata ijazahnya.
Lalu mereka pun terpingkal, saling menertawakan.









Wednesday, May 9, 2007

Ketika Presiden Mengumumkan
Nama-nama Menteri Baru



IA berpandangan dengan wajah tersenyum
dalam pasfoto di ijazah itu. Ijazahnya itu.

"Maafkan aku," katanya. Sambil mengenang
dari mana dulu senyum itu datang. Senyum
yang dibawa sejak melangkah keluar ruang
ujian akhir hingga ia duduk di studio foto.

"Ini pasfoto istimewa," katanya bergumam.
Sendiri. Dan ia tak terkejut dikilati
cahaya dari kamera, dan ia tak silau
disorot lampu studio. Ia berkaca memastikan
senyum tadi masih ada. Masih sempurna.

"Maafkan aku," katanya kepada pasfoto di ijazah
yang sudah seribu kali difotokopi. Lalu dia
masukkan ijazah itu ke ransel. Dia buang
guntingan surat kabar berisi iklan lowongan.

Ia belum bisa mengulanglagi senyum seperti
senyum pada wajah dalam pasfoto di ijazah itu.

 

[Ruang Renung # 202] Tantangan dan Kenyataan Penyair Indonesia

 Penyair Indonesia menulis dalam Bahasa Indonesia. Ia berpikir dengan Bahasa Indonesia. Ia menulis --- meski tidak selalu, dan tidak selalu langsung --- tentang masalah-masalah kehidupan manusia di Indonesia. Di manakah posisi penyair Indonesia dalam sebuah lingkungan bernama Indonesia itu? Apakah bahasa Indonesia cukup untuk melayani daya mencipta penyair Indonesia?

Saya menyarikan lima kenyataan dan sekaligus tantangan bagi penyair Indonesia. Saya menyarikan dari dua tulisan Goenawan Mohamad. Saya menyebutnya kenyataan, karena lima butir itu memang terasa ada benarnya. Kita sulit untuk berkata tidak pada kenyataan-kenyataan itu. Kita merasakan bahwa itulah kenyataan yang dihadapi penyair Indonesia.
Saya juga menyebutnya tantangan, sebab kenyataan itu bisa dianggap pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya, bisa dianggap jalan putus yang harus dirintis jalan baru untuk melanjutkannya. Tidak ada jawaban yang pasti dan tunggal, tidak ada peta yang menunjukkan ke arah mana jalan baru itu harus ditujukan.

Menyair pada keadaan itu bisa jadi jalan untuk menyelamatkan Bahasa Indonesia dari ancaman pemiskinan. Seperti apa yang dikatakan oleh Salman Rushdie. Kerja seorang penyair, katanya, adalah memberi nama kepada yang takternamakan, memberi tanda pada yang lancung tak semestinya, menampakkan sisi-sisi lain, mengajukan kilah, menata dunia, dan menggugah ia yang mulai terlelap. Dengan kata lain, memperkaya bahasa itu. Tidak persis seperti itu memang, silakan membuat peta masalah sendiri, silakan menemukan kenyataan-kenyataan lain, lalu mengambil sikap atas masalah dan kenyataan itu.

Berikut ini lima hal yang tersarikan dari "Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang", dan "Kesusastraan, Pasemon", dalam buku "Kesusastraan & Kekuasaan", Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993:

  • 1. Seorang penyair Indonesia pada hakikatnya telah berjalan jauh sekali dari sekitarnya, ketika ia sampai pada posisi yang sadar, bahwa ia adalah seorang penyair.

  • 2. Di Indonesia, di mana pedusunan terbendang seperti laut dan kota-kota hanya pulau yang berserak-serak --- titik-titik merah yang ganjil pada peta --- penyair justru tidak datang ke desa-desa dan desa-desa tidak datang kepada penyair. Kepenyairan hanyalah posisi yang tak jelas dari orang-orang kota.

  • 3. Penyair Indonesia menulis di dalam lingkungan bahasa yang telah ambruk. Bahasa ibunya dibikin gagap oleh sejarah, dan ia menulis dalam satu-satunya bahasa yang mungkin jadi pilihan yaitu Bahasa Indonesia.

  • 4. Bahasa Indonesia terus-menerus berada dalam ancaman pemiskinan. Ia membatasi kemungkinan lahirnya keragaman dari permainan yang ramai antara pelbagai bahasa, ia lebih sering bergerak di lingkungan resmi.

  • 5. Bahasa Indonesia tidak bisa dengan meyakinkan mempertontonkan "narsisme linguistik", yaitu menunjukkan bahwa bahasa mengandung makna yang berlimpah-limpah. Bahasa Indonesia adalah dusun datar yang baru dibuka, ia bukan sebuah kota yang ramai. []


Tuesday, May 8, 2007

Kepak yang Tersasar

selain lepas hujan dan keras kemarau
ada musim kupu-kupu: ramai yang memukau

dalam larik puisi, kau bayangkan, samar,
ada kepak yang tersasar, ke dalam kamar


* [untuk Anggoro dan Empat Kupu-kupu-nya]

Sunday, May 6, 2007

Sungai yang Mengaliri Negeri Kami

/1/
INILAH sungai yang mengaliri negeri kami.

Arusnya berlapis tiga: di permukaan ada pedih kenyataan,
di tengahnya harapan yang kadang-kadang beku, lebih kerap buntu,
dan di dasarnya darah yang masih deras dari hulu: luka lama itu.

Di sinilah kami mandi, saling memperhatikan tubuh dan
menyimpulkan satu hal sama, "luka kita memang belum sembuh,
luka baru alangkah subur, semakin berumur, semakin tumbuh."


/2/
INILAH sungai yang mengalir ke petak-petak sawah tua,
mengentalkan lumpur, yang berabad-abad lekat di kaki kami.

                   Sawah tua!
                                        Sawah tua!
Kami telah membagi-bagi di mana kelak anak-cucu memakamkan kami.

                    Sawah tua!
                                        Sawah tua!
Kami telah belajar menggali bersama lubang selebar liang kubur
di tanah yang tiap hari kami taburi dengan abu: bangkai harapan
yang kami kremasi di apimata, tanpa upacara tanpa doa.

Ya, kami memang telah lama lupa cara berdoa. Memang,
ke rumah-rumah ibadah kami masih rajin datang, lalu bertegur
sapa dengan kesepian mimbar: kosong dan hambar.

/3/
INILAH sungai yang tiap liuknya menumbuk hati kami yang rindu.

Ada yang menumpahkan racun di hulu, dia yang dulu lahir dari
rahim kami, yang kami mandikan dengan hujan yang kami tampung
di takungan dua tangan, setelah kemarau yang kami kira abadi.


/4/
INILAH sungai yang kerap meluap, membawa jenazah, hanyut tengadah.
Di pelantar-pelantar kami berdiri, mencari wajah sendiri, seperti berkaca.

Kutukan itu memang terbukti kini. Dulu ada orang tua bisu dan buta yang
kami bunuh bersama karena kematiannya konon menolak seribu bala.

Sejak itu kami pun terbelah jadi dua. Sebagian lari dan bermukim di hulu.
Dan yang tertinggal, menunggu alir takdir, tergelincir dalam sesal berlendir.


/5/
INILAH sungai. Inilah kami. Inilah negeri kami.

Ada suatu kali arus sungai betapa heningnya. Alangkah tenangnya.
Lalu tangan-tangan putus hanyut. Mengetuk-ngetuk lambung perahu.

Kau tahu itu tangan siapa? Itulah tangan orang-orang yang dulu kami
antar memasuki istana di hulu, dengan seribu perahu, dengan dayung
kepingan papan yang kami lepas dari dinding rumah kami sendiri.

Hah, tanpa tangan mereka kini bisa apa?
                                               Tapi, dengan tangan apakah ada bedanya?

Lalu perahu-perahu itu bertambat tali di kaki-kaki kami.
             Kami lupa cara mendayung. Lagi pula kemana hendak berkayuh?

Karena inilah sungai yang kini mengaliri negeri kami.

Arusnya berlapis tiga: di permukaan ada perih kenyataan,
di tengahnya harapan yang terkadang hanya hanyut batu-batu,
dan di dasarnya darah yang masih panas dari hulu: duka lama itu.


/6/
INILAH sungai tempat kami mencuci kain kafan hitam, setiap hari,
lalu mengeringkannya di bawah kaki matahari. Dulu, kain-kain
itu kami tenun sendiri sebagai layar kapal yang dijanjikan
setelah kayu-kayu yang kami pilih di hutan kami serahkan
untuk tiang-tiang istana.

Dan kami tak pernah bisa berkunjung kesana.
Dan kami tak pernah bisa berbangga pada mereka, anak-anak kami sendiri:
                       Anak-anak yang bermain memandikan kerbau tua dan buta
                       Anak-anak yang menyelam memunguti batu dan membayangkan
                                                        bisa mengalungan permata di leher ibunya
                       Anak-anak yang menggali anaksungai sendiri lalu mengalirkan ke
                                                   halaman sekolah yang ditinggalkan guru-gurunya.
                       Anak-anak yang menolak diseragamkan isi otaknya.

/7/
DAN inilah sungai tua yang tabah mengalirkan sampah-sampah:
pesawat televisi yang mengapung dengan siaran 24 jam tak sudah-sudah
menyiarkan pidato bohong,
                          lagu-lagu angkatan nongkrong,
                                         cerita hantu pocong,
                                                     kisah cabul dan komedi kosong,
                                                                dan iklan yang bikin otak & hati bolong!

Dan kami cuma penonton tolol, yang tertawa, digelitik khayalan konyol
            tak tahu ada tangan yang jauh merogoh, ke dalam mata, mencuri cahaya.


/8/
INILAH sungai tempat kami dimandikan ketika bayi.
Inilah sungai yang semakin deras mengalir di negeri kami.
Inilah sungai yang perlahan menelan perahu-perahu kami.

 

[Tadarus Puisi # 028] Waktu: Burung dan Pawang Tua

Waktu
Sajak W.S. Rendra

Waktu seperti burung tanpa hinggapan
melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan
sayap-sayap mu'jizat terkebar dengan cekatan

Waktu seperti butir-butir air
dengan nyanyi dan tangis angin silir
berpejam mata dan pelesir tanpa akhir.
Dan waktu juga seperti pawang tua
menunjuk arah cinta dan arah keranda.

SIMILE, perumpamaan, analogi, peribaratan, adalah peralatan dan metode puisi yang bisa dimanfaatkan penyair. Tapi, tentu saja ia tidak boleh dianggap sebagai satu-satunya alat untuk menghasilkan puisi yang baik. Ia juga harus dipakai dengan hati-hati.

Sajak "Waktu" karya W.S. Rendra yang kita kaji kali ini dimulai dengan memakai alat itu. Waktu disepertikan oleh Rendra dengan burung tanpa hinggapan. Kita pun menerima tanpa keinginan untuk berdebat. Burung tanpa hinggapan adalah burung yang terus-menerus terbang. Bukankah memang demikianlah waktu itu? Ia terus saja berlalu tak pernah sedetikpun jeda. Burung tanpa hinggapan itu terbang melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan. Gambar yang tercipta di benak kita pun makin jelas. Ada waktu, ada hari. Dan untuk melengkapi gambar burung tadi dengan cerdik dihadirkan sayap di baris ketiga. Bukan sembarang sayap. Ini juga saya yang sudah dimandikan dengan pengibaratan. Ini sayap ajaib yang cekatan mengepak. Ini sayap waktu yang terbang abadi itu.

Waktu yang tadi diibaratkan burung terbang tak berhenti kini juga diumpamakan sebagai butir-butir air. Ia menetes dan kita menampungnya. Itulah waktu, itulah yang kita dapat dari waktu. Air itu kita terima dengan nyanyi riang atau tangisan, senang dan duka. Kita berpejam mata, menahan perih mungkin, tapi waktu itu terus saja berpelesir, tanpa akhir.

Tapi kepada kita waktu mengajarkan kearifan. Ia seperti pawang tua, yang tahu bagaimana berlaku menahan bala, menunjuk kepada cinta. Ia hanya menunjuk. Ia hanya menawarkan arah untuk dipilih. Ia juga menunjuk ke arah keranda, mengingatkan bahwa pada akhirnya ada yang tak tertolak oleh kita: kematian itu.[]

[Ruang Renung # 201] Delapan Jurus Citraan Sapardi

 Citraan atau imagery adalah salah satu pembangun struktur fisik puisi bersama diksi, majas atau gaya bahasa dan persajakan bunyi. Bagaimanakah seharusnya citraan itu dibangun oleh penyair? Apakah peran dari pencitraan itu bagi puisi? Sapardi Djoko Damono ada menulis telaah atas sajak Acep Zamzam Noor. Judul telaah yang dirangkum dalam buku "Sihir Rendra: Permainan Makna" itu adalah "Pedusunan Acep". Saya menyarikan sejumlah butir dari telaah itu, yang relevan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas.
  • 1. Citraan (imagery) adalah alat utama penyair dalam mengungkapkan pengalaman batinnya, alat itu tidak bisa dipisahkan dari dunia yang sangat dikenalnya.
  • 2. Penyair harus menjaga kejujurannya ketika mengungkapkan pengalamannya dan bagaimana cara dia mengungkapkan pengalaman itu.

  • 3 .Sebagai tukang yang berurusan dengan kata, penyair harus menguasai sepenuhnya seluk-beluk penggunaan alatnya.

  • 4. Yang harus diperhatikan oleh penyair adalah penguasaan alat, bukan kecenderungan umum yang mungkin sedang berlaku di dunia pertukangan itu.

  • 5. Jika penyair memaksakan penggunaan alat yang tidak dikuasainya dengan baik, cara pengungkatapn dalam puisinya pasti terasa dibuat-buat dan dengan demikian pengalaman yang diungkapkannya juga terasa dangkal.

  • 6. Setiap sajak, tentu saja, adalah percobaan; penyair bisa saja membuat percobaan dengan menggunakan alat yang sama dengan intensitas yang semakin meningkat.

  • 7. Ia juga bisa mencoba alat lain dalam percobaannya itu, dengan konsekuensi harus mampu menguasai alatnya yang baru itu dengan baik.

  • 8. Perjuangan menguasa alat itu bisa merupakan perjuangan yang mungkin saja menghabiskan umur seseorang sebelum kelihatan hasilnya, sebab dalam hal ini penguasaan alat sama sekali tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan hidup seseorang.[]

* Disarikan dari "Pedususan Acep" dalam buku "Sihir Rendra: Permainan Makna", Pustaka Firdaus, 1999.

[Ruang Renung # 202] Enambelas Jurus Taufiq: Puisi Narasi Berkabar

 Taufiq Ismail (lahir 1935) adalah salah seorang penyair yang kuat karakter puisinya, serta tegas dan jelas sikapnya terhadap puisi itu sendiri. Ia berhasil menyapukan warna lain yang memperindah dan memperkaya khazanah perpuisian Indonesia. Ia adalah sosok teramat penting dalam jagad puisi Indonesia. Tiliklah enambelas butir berikut yang saya sarikan --- dan saya nomori berurutan agar lebih mudah diikuti --- dari kata penutup buku puisinya "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia".

  • 1. Demikianlah saya ingin berkabar. Saya mau menyampaikan berita, mendalang dan berkisah lewat puisi saya, kepada pendengar dan pembaca saya. Ketika menuliskan buram pertama puisi saya, sudah terbayang oleh pendengar saya acara baca puisi yang akan berbagi nikmat. Puisi saya terbanyak ditulis dengan kesadaran seperti itu.

  • 2. Saya menyokong pendapat bahwa puisi akan memperoleh seperangkat tubuh lengkap bila ditambahkan kepadanya suatu unsur lagi, yaitu suara lewat pembacaannya.

  • 3. Saya menolak atau lebih tepat tidak menerima penuh bahwa puisi mesti padat, harus sedikit kata-kata. Daripada dia memenuhi syarat padat dan minimum kata tapi tak indah serta gagap berkomunikasi, saya memilih puisi banyak kata tapi cantik, menyentuh perasaan, laju menghilir dan komunikatif.

  • 4. Puisi saya wajib musikal. Kata-kata harus sedap didengar. Tentu saja kata-kata itu mengalami ketatnya seleksi.

  • 5. Puisi saya adalah puisi berkabar. Dalam merebut komunikasi, puisi saya harus ada substansinya sebagai kabar, mesti cerdas dan musikal sedap didengar.

  • 6. Substansi puisi saya adalah angan-angan, kenyataan, kepekaan, kepekakan, kekenyangan, kelaparan, nyeri, seri, cinta, keasyikan, penindasan, penyesalan, kecongkakan, kebebalan, tekad, ketidakpastikan, kelahiran, maut, kefanaan, ke-Yang Gaiban ---- semua berbaur di balik lensa luarbiasa lebar tempat kita bersama membaca panorama kehidupan masa kini dan sejarah masa lalu lewat sudut pandang berbeda.

  • 7. Karena pembaca saya cerdas, puisi saya tak layak bebal agar tiada mubazir sia-sia.

  • 8. Eufoni senantiasa dicari dan diraih, yaitu kesedapan bunyi kata-kata yang mengalir lancar, mudah dilafaskan dan enak diterima telinga. Dia pintuk musikalitas ----- bermakna, di sini penyair dites kemampuannya mengorganisasi bunyi.

  • 9. Disonansi, lawan sejati eufoni, terdapat terutama ada sajak gelap. Ada sajak gelap yang jujur tapi egois, ada sajak gelap yang culas memperdaya pembaca dan keduanya sama gagunya, serupa gagap komunikasinya. Sajak gelap yang cenderung diskordan itu wajar tak perduli eufoni.

  • 10. Eufoni tak hanya hasil dari pilihan bunyi, tapi juga dari cara penyusunan bunyi. Repetisi bunyi yang sama atau mirip, penting sekali. Saya menggunakannya secara sadar, dengan teknik tapi juga bersumberkan intuisi, baik dalam anafora aalagi dalam amplifikasi.

  • 11. Perasaan, pikiran dan pengalaman, diraup dari lanskap kehidupan, disimpan-simpan dalam fail ingatan, terperanjat oleh suatu rangsangan, dan kemudian dituliskan. Tensi tinggi menulis puisi, selalu saya rasakan seperti ketegangan adegan menangkap capung di sela rerumputan liar ketika masa kanak dulu.

  • 12. Kenikmatan rohani besar terasa selepas sebuah puisi dituliskan, kenikmatan jasmani besar terasa selepas sebuah acara baca puisi dipentaskan.

  • 13. Agar pembaca yakin, maka asasi sekali membangun suasana narasi. Suasana itu dibangun dari luar (faktor dan detil eksternal) dan juga dari dalam (pengembangan karakter serta peristiwa). Satu per satu batu itu disusun, seperempat jalan diruntuhkan, diatur lagi, setengah jalan dibongkar pula di sana-sini, diintai dengan pas-air dan benang tegaklurus lalu disusun terus sampai selesai.

  • 14. Ritma dan rima, aliterasi dan asonansi bukan lagi keterampilan pertukangan, tapi sudah jiwa dan eufoni kadangkala seperti bisa dipanggil dengan jentikan jari.

  • 15. Dalam rentang waktu yang sama diharapkan ruh dari esensi masalah itu bertumbuh meyakinkan dan bila dibaca ulang ada rasa musikalitasnya. Saya selalu tes lebih dahulu apakah sebagai pembaca paling pertama saya tidak merasa dibodohi puisi saya sendiri.

  • 16. Puisi saya puisi berkabar. Sebagai narasi dia menyerap dering crek-crek, gesekan rebab dan dengung salung di dalamnya sebagai musikalitas kata tersendiri, dengan sentuhan jenaka di sana-sini.
*  Disalin dari 'Kata Penutup, Akhir Kalam" (Oktober 1998) oleh Taufiq Ismail dalam seratus puisi m hbbvhbvb"Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia", Yayasan Indonesia, Jakarta, 2004.

Friday, May 4, 2007

[Ruang Renung # 200] Sembilan Saran Sapardi: Sajak Liris



Sapardi Djoko Damono (foto dari ubudwritersfestival)

BUTIR-BUTIR berikut ini disarikan dari tulisan berjudul "Keremang-remangan Suatu Gaya", yaitu sebuah ulasan Sapardi Djoko Damono atas sajak Abdul Hadi WM. Saya kira tulisan itu adalah sebuah petunjuk yang sangat jelas dan bagus bagi penyair yang hendak menulis sajak-sajak lirik yang baik. Saya tak menambahkan penjelasan, karena menurut saya apa yang dipaparkan beliau sudah amat jelasnya.

1. Sebuah sajak yang buruk biasanya berusaha "meyakinkan" pembacanya dan dengan demikian memaksanya saja untuk mendengar dengan pasif.

2. Perasaan yang paling khas dalam arti: yang paling banyak melibatkan manusia dari zaman ke zaman, adalah bahan terbaik untuk sajak lirik.

3. Penyair harus menjelmakan perasaan yang klise itu sebagai bahan sajaknya --- misalnya cinta --- dengan segar, menjadi sajak yang segar dengan ungkapan yang tidak klise, tetapi harus unik dan personal.

4. Untuk menuliskan sajak lirik yang baik, penyair harus cermat mengamati dan mencatat perasaan-perasaan sendiri dan peristiwa-peristiwa di alam sekitarnya.

5. Dua elemen penting dalam sajak lirik adalah menyatakan perasaan yang samar-samar dan dengan cara yang sederhana menyatukannya dengan alam sekitar.

6. Kesamar-samaran itu unik, dan dia akan menjadi tidak unik lagi, dan berhenti sebagai puisi - kalau ia digamblangkan.

7. Penyair harus sadar bahwa sebenarnya perasaan yang samar-samar itu tidak komunikatif, dan penyair harus mengkomunikasikannya, dengan bahasa, alat komunikasi.

8. Ujian bagi penyair lirik: ia mungkin tergelincir ke dalam sajak-sajak gelap, sajak-sajak yang sama sekali kehilangan kontak dengan pembaca atau ia menghasilkan sajak yang habis sekali baca bahkan tidak jarang sudah habis sebelum dibaca sampai terakhir.

9. Penyair harus meletakkan sajak liriknya tepat pada garis yang memisahkan kedua kemungkinan tersebut di atas. Itulah garis yang harus dicari, ditemukan dan dicapai oleh penyair lirik yang baik.

* Disarikan dari buku "Sihir Rendra: Permainan Makna", terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999.

Wednesday, May 2, 2007

[Ruang Renung # 198] Enam Aksioma Aoh

Sastrawan Aoh K Hadimadja (1911-1973) menulis buku "Seni Mengarang". Ada sejumlah aksioma - pernyataan yang kebenarannya umum diterima - yang bisa dipetik dari buku itu. Aoh menulis buku yang tidak khusus tentang menulis puisi. Buku ini memaparkan kepengarangan secara luas.

Pasal 1. Pekerjaan mengarang adalah kontinyuitas dalam berpikir dan bekerja, yang tidak boleh diputus-putus.
Penjelasan: Ini nasihat yang berat. Tapi mutak dijalani kalau ingin menghasilkan karangan-karangan yang hebat. Banyak pengarang yang sampai pada suatu waktu berhenti mengarang. Berhenti mengarang memang bukan dosa. Tetapi hasil puncak yang tak terduga-duga mungkin akan bisa tercapai bila si pengarang itu terus-menerus menghasikan karangan. Kontinyuitas yang tak terputus-putus bisa diartikan sendiri oleh pengarang paruh waktu - yang masih bekerja di bidang lain sebagai penopang nafkah - atau pengarang yang sepenuh waktunya dicurahkan untuk mengarang.


Pasal 2. Pengarang itu jiwanya pencari, yang terus-menerus mencari jawab atas rupa-rupa pertanyaan, baik yang bersangkutan dengan jiwa manusia, maupun dengan masyarakat dan ketuhanan.
Penjelasan: Pertanyaan adalah pelumas dari kepengarangan. Pertanyaan adalah pendorong ke pencarian. Pencarian pengarang mungkin tidak selalu sampai pada jawaban yang sesungguhnya dari pertanyaan itu. Tetapi pertanyaannya yang baik, yang mewakili pertanyaan dan kerisauan orang banyak, bisa mendorong orang banyak bersama-sama atau bersendirian, mencari jawaban masing-masing.


Pasal 3. Pengarang dianjurkan untuk sering melakukan perjalanan, mengamati apa yang ia lihat dalam perjalanan dan membuat catatan dari hasil pengamatannya itu.
Penjelasan: Perjalanan tidak harus dilakukan oleh jasmani pengarang saja. Perjalanan batin pun bisa menggerakkan pengarang ke wilayah-wilayah kreatif yang tak terduga. Perjalanan jasmani yang tak diikuti oleh batin yang siap mengembara pun akan sia-sia. Batin yang tidak siap akan luput mengamati pernik-pernik penting dan menarik sepanjang perjalanan itu.


Pasal 4. Pengarang sebaiknya membiasakan diri menulis buku harian. Buku harian bisa menjadi bahan karangan dan bisa juga dianggap sebagai latihan menulis yang sangat baik.
Penjelasan: Yang hakiki pada kebiasaan menulis buku harian adalah membiasakan kebiasaan menulis itu sendiri. Buku harian memaksa pengarang untuk memegang pena dan membuka buku, menghidupkan komputer atau laptop. Dalam hidup yang dilewati sehari pasti banyak hal terjadi, di buku harian apa yang banyak itu dipilih yang paling menarik untuk dicatat.


Pasal 5. Pengarang harus membaca dengan teliti dan disiplin. Buatlah catatan selama membaca dan buatlah tinjauan cerita setelah selesai membaca.
Penjelasan: Membaca dengan teliti dan disiplin, bukan membaca yang asal lewat. Membaca adalah sebuah pekerjaan kreatif yang aktif, bukan pasif. Apa yang ditemukan selama membaca sebuah karangan adalah sah milik si pembaca. Maka ia sebaiknya mencatat penemuannya itu. Tinjauan cerita bisa berisi sikap, penilaian pembaca atas apa yang ia baca. Pembaca harus mengambil pelajaran dari apa yang ia baca.


Pasal 6. Pengarang disarankan untuk banyak menerjemahkan karya-karya sastra yang baik. Menerjemahkan karya sastra adalah sebuah latihan yang sangat baik.
Penjelasan: Membaca karya dalam bahasa asing, kemudian menerjemahkannya, mendorong pengarang untuk menggauli karya asing yang ia baca itu lebih intim. Tabir perbedaan bahasa yang dikuak selembar-selembar, sekata demi sekata menawarkan ketegangan dan pengalaman yang mengasah kepekaan si pengarang. Kelak, si pengarang akan terlaltih memilih kata untuk menerjemahkan ide yang ada di kepalanya. []


ensiklopuisi: Hujan

hujan : ke negeri hujan datanglah seorang
        utusan dari negeri kemarau. "Maukah
        engkau membagi hujanmu ke negeri kami?"
        tanya sang utusan itu kepada sungai
        yang sibuk mengalirkan air hujan ke
        muaranya.

       "Bertanyalah pada pepohonan," kata sungai.
       "Maukah?" tanya sang utusan kepada pohon.
       "Memohonlah pada gunung," kata pohon.
       "Bolehkah?" tanya sang utusan pada gunung.
       "Berharaplah pada awan," kata gunung.
       "Adakah harapan itu?" tanya sang utusan
       kepada awan.
       "Teserah pada angin," kata awan.
       "Kuminta kebijakanmu," kata sang utusan
       kepada angin.
       "Mintalah izin pada laut," kata angin.
       "Berilah izin itu," kata sang utusan
       kepada laut.
       "Saya harus bertanya pada sungai," kata laut.

      sang utusan pun pulang, dengan sebuah
      keyakinan bahwa hujan akan kembali
      di negeri mereka tanpa diminta, asalkan
      mereka mau mengembalikan sungai ke pohon,
      mengembalikan pohon ke gunung, mengembalikan
      gunung ke awan, mengembalikan awan ke angin,
      mengembalikan angin ke laut, mengembalikan
      laut ke sungai.

      penduduk negeri kemarau marah dan mengusir
      sang utusan karena ia pulang tak membawa
      hujan.

     sang utusan pun dijemput oleh hujan dan
     ia meminta dijadikan pelangi yang melengkungi
     hujan, sungai, pohon, gunung, angin, lautan.

ensiklopuisi : Sepatu

sepatu : ketika pengembara itu tertidur di sebuah
      persinggahan, ia lepaskan mereka dan ia
      letakkan di ujung kakinya; Mereka lalu berbincang
      tentang kerikil, batu, lumpur, duri, kembang rumput,
      panas jalanan dan dingin percik hujan; Mereka sesekali
      menebak-nebak juga mimpi yang ada dalam tidur
      si pengembara; Sepasang kaki yang letih dan tak juga
      bisa memejamkan mata ikut menyimak percakapan itu;

      "Apa yang mereka pikirkan tentang aku?" tanya kaki
      menduga sepatu yang tak juga berhenti berbincang itu.

[Ruang Renung # 199] Lima Fatsal Afrizal



Afrizal Malna

DI buku "Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing" (Bentang Budaya, Cetakan I, 2002) Afrizal Malna mengumumkan semacam kredo, semacam sikap dan pandangannya terhadap kata dan puisi. Saya kira ini salah satu kredo terbaik dalam khazanah perpuisian Indonesia. Kredo itu berjudul "Rumah Kata". Saya sarikan sikap Afrizal itu kedalam lima pasal berikut ini, sambil saya tambahkan penjelasan yang merupakan upaya saya menafsirkan dengan daya tafsir saya yang terbatas ini.

Pasal 1. Kata seperti sebuah rumah, memiliki ruang luar dan ruang dalam, ruang depan dan ruang belakang. Kata adalah representasi eksistensi ruang dalam pemahaman manusia di bidang bahasa.
Penjelasan: Ruang dalam adalah ruang pribadi, ruang luar adalah ruang publik. Ruang dalam dibangun sendiri dengan pengertian yang bebas. Ruang luar terbangun bersama sehingga di ruang itu pengertian kata dipahami oleh semua orang yang bersama-sama berada ruang luar itu, tanpa merusak ruang dalam yang terbangun di dalam diri masing-masing.


Pasal 2. Ruang luar kata adalah konvensi komunikasi yang berlangsung dalam wilayah publik. Berbagai pernik-pernik komunikasi saling berhubungan dalam ruang ini.
Penjelasan: Bila disebut kata "rumah", maka di ruang luar kata itu yang terlihat adalah rumah dalam pengertian umum. Rumah yang dimengerti bersama oleh orang-orang yang berada di ruang luar kata yang sama. Padahal orang-orang itu menyimpan pengertian kata rumah yang berbeda yang mereka bangun di ruang dalam masing-masing itu.


Pasal 3. Ruang dalam kata seperti rumah kita yang terlindungi dari dunia luar. Sebuah kebebasan yang bekerja dan bertindak dalam ruang terbatas.
Penjelasan: Rumah bagi A, bisa jadi adalah rumah sederhana yang pernah ia tempati, yang harus ia tinggalkan karena ada trauma yang mengusirnya jauh dari rumah itu. Rumah bagi B, adalah rumah yang berat ia tinggalkan karena rumah itu selalu membuatnya nyaman. Rumah bagi A dan B yang berbeda itu tersimpan di dalam ruang dalam kata itu yang mereka bangun sendiri.


Pasal 4. Puisi sebenarnya produk dari ruang dalam kata, lalu mencoba keluar menemui publik tapi ia tidak mau tunduk pada konvensi hubungan-hubungan publik di ruang luar itu.
Penjelasan: Karena itulah puisi itu personal sekali. Orang yang merasa nyaman berada di ruang luar alias ruang bersama punya dua pilihan. Ketika melongok ke puisi - jendela yang membuka ruang dalam itu: Pertama, orang bisa tidak betah karena aneh melihat ruang kata yang berbeda dari ruang luar tempat ia biasa berada dan berbeda pula dengan ruang dalam kata yang ada dalam dirinya; Kedua, orang menjadi sangat tertarik karena ruang dalam yang ia longok di jendela puisi itu ternyata banyak serupanya dengan ruang dalam yang ia simpan yang diam-diam ia rahasiakan.


Pasal 5. Puisi sesungguhnya mencoba merajut kembali hubungan antara ruang luar dan ruang dalam sebagai representasi pembagian kerja kebudayaan dan peradaban.
Penjelasan: Ada ketegangan antara ruang luar dan ruang dalam kata. Ruang luar kata bisa jatuh menjadi membosankan. Ruang dalam kata sesekali harus dibuka dan diajak keluar agar ketegangan itu mencair dan ruang luar kata disegarkan kembali oleh kehadiran ruang dalam.


Tuesday, May 1, 2007

ensiklopuisi: Mimpi

mimpi : I. ada sebuah dunia serupa dunia kita ini,
       entah di bagian mana di keluasan jagat raya.
       Ada engkau dan aku juga di sana, kita yang
       bukan kita. Diam-diam, kita yang ada dunia entah
       di mana itu, mengirim kabar tentang engkau dan aku,
        ketika kita tidur, ketika kita seperti tidak berada di
       dunia kita ini. Diam-diam kita pun mengirim kabar
       ke kita yang bukan kita di sana.

       "Kita menyebut dunia yang disana itu sebagai mimpi,
       sebagai mana mereka menyebut dunia kita yang
       di sini ini juga sebagai mimpi."


       II. ada sebuah panggung, dan kau berada di panggung
       itu melakonkan dirimu sendiri, kau juga duduk di kursi
       penonton, menyaksikan dirimu sendiri. Ketika terbangun
       kau tak tahu pasti, "aku ini adalah aku yang tadi berlakon,
       ataukah aku yang duduk sebagai penonton?"



[Ruang Renung # 197] Lima Fatwa Sutardji



Sutardji Calzoum Bachri

Sikap terhadap kata, ikhtiar pencarian, dan kreativitas yang dimungkinkan dari sikap itu adalah pelajaran penting dari "Kredo" Sutardji Calzoum Bachri yang termasyhur itu. Orang banyak yang hanya terpesona pada isi kredo itu, baik si pemuja maupun si pembantah atas kredo itu. Lima pasal berikut dirumuskan dari "Kredo" dan "Pengantar Kapak"-nya. Saya hanya memberi penjelasan sebisanya.

Pasal 1. Penyair harus berupaya mengolah kata-kata atau merumuskan sikapnya terhadap kata agar kreativitas dimungkinkan.

Penjelasan: Inilah yang disebut kredo. Kredo dirumuskan bukan untuk sekadar menunjukkan beda gaya atau sekadar ingin menunjukkan bahwa si penyair adalah orang yang paling tahu sajak-sajaknya. Kredo dirumuskan dengan dua tujuan: kedalam agar si penyair memungkinkan menyajak dengan kreatif dan keluar agar terbuka gerbang pemahaman atas karya-karyanya.


Pasal 2. Menyair adalah suatu pekerjaan yang serius, namun penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja.

Penjelasan: Ini adalah sikap tegas. Daripada kita tidak bisa menyair dengan serius, atau bertekad mempertahankan sebutan penyair sampai mati padahal tak bisa menghasilkan karya yang bagus lagi, lebih baik kita tinggalkan saja kepenyairan kita.


Pasal 3. Ketika menulis sajak, penyair harus dengan sunguh-sungguh mencari agar menemukan bahasanya sendiri.

Penjelasan: Inilah keseriusan itu. Bukan penemuan bahasa yang utama tapi usaha untuk mencari dan menemukan bahasa itulah yang terpenting. Tiap pencarian tidak akan sia-sia. Bila tidak menemkan, kita pasti akan bisa menciptakan bahasa sendiri.


Pasal 4. Penyair harus terus berusaha mencapai puncak kepenyairan baru, setelah ia mencapai satu puncak kepenyairan.

Penjelasan: Inilah hakikat pencarian itu. Apakah yang sudah kita temukan harus kita anggap selesai sampai di situ. Kita harus mencari lagi hal-hal baru lainnya. Tak pernah berhenti.

Pasal 5. Yang tidak menemukan bahasa tak akan pernah disebut penyair.

Penjelasan: Tapi pentingkah mendengar orang menyebut kita sebagai penyair? Sekali lagi yang penting adalah pencarian yang terus-menerus, dan penemuan yang tidak memenjarakan kita untuk terus melakukan pencarian baru.


* Disarikan dari "Kredo" dan "Pengantar Kapak" dalam buku "O Amuk Kapak" Sutardji Calzoum Bachri, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan Pertama, 1981.

[Ruang Renung # 196] Tujuh Petuah Rendra


 
PADA seni ada bentuk dan isi. Keduanya sering dipertentangkan justru karena pertimbangan-pertimbangan di luar kesenian. Ada sekelompok seniman yang karena aliran politiknya memuja isi dan tak peduli pada bentuk. Ada sekelompok seniman lain yang sibuk mengejar bentuk, mendewakan percobaan-percobaan seni untuk mendapatkan bentuk yang unik. Bagaimana baiknya? Enam pasal berikut ini disarikan dari kertas kerja Rendra dalam Temu Sastra 1982, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, lantas dimuat pula di Kompas. Penjelasannya sepenuhnya adalah tafsiran saya. Anda tentu berhak punya penafsiran sendiri.

Pasal 1. Bentuk seni tak pernah terlepas dari kaitannya dengan isi seni, tetapi ia tidak mutlak dan dogmatis, melainkan selalu dinamis dan berkembang.

Penjelasan: Isi seni yang belum diberi bentuk adalah gagasan di kepala seniman yang belum dituliskan. Bentuk seni yang tak diberi isi hanyalah latihan menulis, atau karya iseng. Dulu, di zaman neoklasik Eropa, gagasan besar selalu dituliskan dalam bentuk puisi, saat itu bentuk itulah yang dianggap paling baik dan tepat. Sama halnya dulu di nusantara nasihat sebagai "isi seni" selalu disampaikan dalam "bentuk" syair atau pantun, pada masa itu itulah bentuk yang paling disukai. "Bentuk seni" berkembang, dan dikembangkan oleh seniman. Seniman ditantang untuk menawarkan, menciptakan, dan menemukan bentuk-bentuk seni baru, selain memakai dengan baik bentuk-bentuk yang, atau menghidupkan lagi bentuk yang sudah dianggap mati.


Pasal 2. Seniman harus mempunyai pengalaman melakoni dan menghayati perkembangan "bentuk seni" yang beragam.

Penjelasan: W.S. Rendra adalah contoh nyata dari apa yang ia petuahkan ini. Ia menulis naskah drama, ia menyutradarai, ia menjadi pelakon, ia menulis cerita pendek, ia menulis kritik, dia menulis puisi, dia membacakan puisi. Semua ia lakoni dengan sungguh-sungguh. Keberagaman penghayatan bentuk-bentuk seni itu meluaskan pandangan dan wawasan si seniman.


Pasal 3. Seniman harus punya disiplin untuk tidak mengabdi pada "bentuk seni" tertentu, melainkan harus menguasai daya kekuatan seni yang beragam yang mampu melayani kebutuhan dinamisme isi rohani dan pikiran.

Penjelasan: Dari bentuk-bentuk seni yang dikuasai seniman harus ia dapatkan inti kekuatan seni itu. Bila inti kekuatan seni itu sudah ia dapatkan, maka baginya tidak ada msalah ke dalam "bentuk" apapun "isi seni" yang hendak ia ciptakan, hasilnya adalah karya yang bertenaga. Seniman yang rohani dan pikirannya dinamis tidak akan pernah bisa menghambakan dirinya pada satu bentuk seni saja.


Pasal 4. Kekuatan "bentuk seni"-lah yang bisa menjadi jembatan antara seniman dan publiknya. Tetapi setelah publik menyeberangi jembatan itu, kekuatan yang bisa memuaskan publik dalam hal mutu adalah "isi seni" itu.

Penjelasan: Dengan kata lain, seniman tidak memaksakan "isi seni"-nya kepada publik penikmat karyanya. Seniman harus bisa membuat penikmat karyanya benar-benar menikmati karyanya, mula-mula tentu ia harus memikat dengan bentuk seni, karena bentuk itulah yang pertama kali ditengok oleh publik. Bentuk yang memikat tetapi isinya buruk, akan mengecewakan publik. Bentuk yang buruk meskipun isinya hebat, juga tidak akan maksimal dinikmati, atau bahkan tidak akan pernah bisa dinikmati oleh publik.


Pasal 5. Dalam hal "bentuk seni" khalayak ramai mengagumi "bentuk seni" yang otentik-unik, bukan yang eksentrik-unik.

Penjelasan: Setiap karya harus unik, berbeda dari karya seniman lain, bahkan berbeda dari karya lain dari seniman sendiri. Peniruan atas nama kesengajaan atau kebetulan adalah haram. Pengulangan harus dihindari. Keunikan karya akan bertambah nilainya bila ia otentik bukan sekedar eksentrik. Eksentrik berbeda dengan otentik, karena pada yang otentik terkandung keaslian, sedangkan pada yang ekstentrik hanya mengejar keanehan.


Pasal 6. "Bentuk seni" yang lemah atau tidak otentik timbul bukan dari penghayatan terhadap kehidupan, tetapi timbul dari prasangka-prasangka yang eksentrik dan dari tingkah genit yang dibikin-bikin.

Penjelasan: Otentisitas memang berasal dari penghayatan atas kehidupan, bukan dugaan-dugaan atau prasangka-prasangka dangkal atas kehidupan. Penghayatan atas kehidupan dilakukan terus-menerus seperti kehidupan itu sendiri terus berlangsung sampai dihentikan oleh kematian.


Pasal 7. Seniman yang "sok seni" hanya sampai pada "tipu seni" dan bukan "daya seni".

Penjelasan: Seniman harus sampai pada kearifan "daya seni". Seniman yang kurang penghayatan atas kehidupan, memang gampang putus asa dan membelokkan karya-karyanya pada "tipu seni". "Daya seni" yang terkandung pada karya seorang seniman dengan kuat memukau publik seni, dan senimannya sendiri diberi penghormatan yang memang pantas ia terima. Seniman yang hanya mengandalkan "tipu seni" akan ditinggalkan publik dan akhirnya dia sendiri akan terjauhkan dari seni yang sok ia geluti itu.


* Disarikan dari "Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair" W.S. Rendra dalam buku "Mempertimbangkan Tradisi", PT Gramedia, Cetakan kedua, 1984.