Monday, January 29, 2007

Beberapa Helai Sajak,
Beberapa Bait Rambut


                                                    : Yana

BILA rambutmulah bait-bait sajak, maka aku mengambil pena
lalu kusalin sajak-sajak itu, dan kuhapalkan untuk memujamu.

BILA rambutmulah bait-bait sajak, maka aku mencari kata-kata
lalu kupersiapkan sajak-sajak indah, bagi tumbuh anak rambutmu.

BILA rambutmulah bait-bait sajak, maka aku akan mengajak angin,
matahari dan dedaunan, membaca makna dan kemilau cahaya.

BILA rambutmulah bait-bait sajak, maka bolehkah aku berkhayal
bahwa akulah penyair, penggubah keindahan itu helai demi helai?







 

[Tadarus Puisi # 020] Nisan: Mengukur Ketinggian Takhta Sang Maha Duka

Nisan
Sajak Chairil Anwar
                                         untuk nenekanda


Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Oktober 1942

INI sajak pertama Chairil Anwar yang bisa kita baca di terbitan-terbitan resmi. Saya yakin Chairil ada menulis sajak lain sebelum "Nisan",  yang mungkin dianggapnya belum mencapai taraf sajak yang ia inginkan, sehingga ia musnahkan saja. Dua tahun setelah sajak ini pun Chairil masih saja meragukan sajak-sajaknya. Ia memang menamakannya sajak, tapi "itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa "tingkat percobaan" musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya," tulis Chairil dalam kartu pos bertanggal 10 April 1944, kepada sahabatnya H.B Jassin.

Dalam pengucapan biasa sajak di atas bisa kita tulis ulang sebagai berikut: Nenekku, bukan kematianmu yang benar-benar menusuk kalbuku, tapi keridlaanmu menerima segala apa yang tiba padamu, yaitu kematianmu. Itulah yang benar-benar menusuk hatiku, Nenek. Aku tak tahu, ternyata hanya setinggi itulah nisan itu ditegakkan, hanya setinggi nisan itu, di atas tanah yang berdebu. Setinggi itu pula si tuan duka, si maha duka, si maha tuan duka bertakhta. Hanya setinggi itu.

Parafrase di atas bukanlah upaya yang mudah dan lancar. Dengan demikian, juga bukan penguraian ulang yang paling tepat. Banyak variasi yang dimungkinkan. Untunglah ini hanya sebuah sajak pendek, hanya empat baris. Baris pertama tidaklah terlalu sulit untuk diartikan. Chairil mengambil sudut pandang yang kreatif: percakapan dengan neneknya yang sebenarnya sudah meninggal. Percakapan yang hanya mungkin untuk kepentingan puisi, dan percakapan itu menjadi amat "puitis" karena ia memperbincangkan tentang si lawan bicara itu sendiri dan tentang kematian si lawan bicara itu.

Penyimpangan puitik mulai dimainkan Chairil pada baris kedua. Setelah baris pertama dimulai dengan kata "bukan", pada ucapan biasa, kita boleh bertanya, "kalau bukan itu, lalu apa?" Kita boleh berharap jika bukan itu, maka kita diberitahu soal lain. Wajar kita berharap baris berikutnya akan dimulai dengan kata "Tapi". Tapi, Chairil tidak memakai kata tapi. Dia langsung menyodorkan "Keridlaanmu menerima segala tiba". Sebagai kita seakan disuruh menyimpulkan tapi juga disuruh ragu-ragu, keridlaan itukah yang menusuk kalbu? Jangan minta jawaban pasti. Apa yang ragu-ragu memang tabiat puisi.

Belum tuntas kegamangan di baris kedua, penyair sudah menyodorkan hal lain yang seakan putus hubungan dengan dua baris pertama. Memperparah keraguan kita sebagai penafsir. "Tak kutahu setinggi itu atas debu//dan duka maha tuan bertakhta//. Penafsiran terbantu banyak setelah kita berpegang pada judul: Nisan. Imaji-imaji pun bermain, nisan adalah benda bisa dari batu, beton atau kayu, bertulisan nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian.

Nisan tak pernah dibangun tinggi, bukan? Hanya tinggi yang sekedarnya. Setinggi itulah mestinya kedukaan kita beri hak untuk bertakhta, duka si penguasa tunggal atas hati ketika menghadapi kematian. "Tak kutahu..." kata si penyair. Tapi, dengan kalimat itu, dia memberi tahu bahwa dia sejak itu jadi tahu. Dia juga memberi tahu sesuatu pada pembaca: sebuah kearifan menghadapi kematian. Dengan demikian makna sudah diberikan pada sebuah kematian, oleh seorang pemuda berusia 22 tahun yang bernama Chairil Anwar.

Sunday, January 28, 2007

Seorang Gadis Kecil dan Ibunya yang
Mengecupi Ujung Rambutnya Sendiri


                                                      : Shiela & Na


/1/
SEORANG gadis kecil mandi lama sekali
Ia mencuci rambutnya girang sekali

Katanya kepada mamanya:
"Nanti Ayah pulang, dia mau
mencium ubun-ubunku lagi..."

Mamanya tersenyum manis sekali
dan diam-diam mengecupi
ujung rambutnya sendiri.


/2/
DUNIA di rambut anak-anak
O, alangkah indah semarak

Buih-buih shampoo berjuta-juta
buih-buih yang oranye warnanya,

Pantulan wajah anak-anak menjelma
jadi senyuman O, alangkah manisnya.



 

Pertanyaan Tentang Rambut yang Tak Ingin Lagi Diajukan

KEPADA angin matahari berkata, "aku kini
sudah tidak bertanya lagi tentang rambut."

Angin menduga mungkin sebabnya karena
matahari memperhatikan, setiap pagi ada
perempuan yang suka mengeringkan rambutnya di
sebuah beranda sambil membaca entah buku apa.  

*

KEPADA pohon berbunga yang ia tak tahu namanya,
angin berkata, "seperti matahari tadinya aku pernah
ingin bertanya, apakah gunanya rambut bagi manusia."

Pohon berbunga itu menduga mungkin angin sudah
menemukan jawaban ketika setiap sore ia melintas
di sebuah beranda dan di sana seorang perempuan
mengangin-anginkan rambutnya. Pohon berbunga
itu tahu, angin suka memutar di tikungan jalan itu
dan melintas lagi berkali-kali di beranda yang sama.

*

KEPADA perempuan itu pohon berbunga ingin sekali
berbisik, tentang pertanyaan matahari dan angin,
tapi ia diam saja, ketika perempuan itu memetik bunganya
lalu menyelipkan bunga itu di atas telinga, di sela rambutnya.

.: Tuntutan dari Wilayah Pengetahuan Bersama

Esei Hasan Aspahani

/1/
KEPADUAN teks puisi, juga yang bukan puisi, bisa ditilik dari kohesi dan koherensi pada teks tersebut. Yang pertama melihat kepaduan unsur-unsur di dalam teks itu sendiri, yang kedua melihat hubungan antara teks dengan faktor di luar teks tersebut. Sebuah teks tidak koheren apabila tidak ada keberterimaan dalam teks tersebut. Keberterimaan itu ditentukan oleh pengetahuan bersama (shared-knowledge) di luar teks yang disebut konteks bersama (shared-context). Ketika mengutak-atik koherensi di dalam puisinya, penyair benar-benar diuji.


/2/
Jika koherensi ini menjadi pertimbangan ketika menulis puisi, maka penyair sebenarnya adalah orang yang sadar dan pandai mengukur seberapa banyakkah pengetahuannya dan pengetahuan orang yang kelak membaca puisinya berada dalam wilayah "bersama". Penyair boleh sesekali merendah, tapi tidak harus selalu merendah, apalagi sampai menganggap pembacanya berpengetahuan miskin alias tak sekaya pengetahuan yang ia miliki. Wilayah pengetahuan bersama itu abstrak. Di situlah asyiknya puisi, yaitu ketika penyair mengepas-ngepaskan di mana letak puisinya di wilayah "pengetahuan bersama" itu.

/3/
Penyair seringkali menantang pembaca puisinya untuk masuk ke wilayah pengetahuan bersama yang ia tawarkan. Ada pembaca yang menolak untuk masuk ke tawaran wilayah baru itu, ada pembaca yang sukarela melibatkan diri, ada pembaca ikhlas menerima, ada pembaca yang menciptakan wilayah sendiri yang bukan wilayah yang dimaksudkan oleh penyair. Pembaca adalah pencipta koherensi sendiri pada teks puisi yang ia hadapi. Bebas saja.

/4/
Tapi jangan terlalu asyik pada permainan koherensi itu saja. Ini permainan. Penyair boleh menciptakan sajak yang seakan-akan abai pada koherensi. Sesekali, ya sesekali, penyair boleh saja berakrobat kata-kata. Melompat keluar masuk dari wilayah "pengetahuan bersama". Sesekali, ya sesekali, apa salahnya berakrobat? Barangkali dari akrobat itu terpicu imajinasi yang lebih liar untuk sajak-sajaknya berikutnya. Tapi, jangan akrobat itu langsung disodorkan kepada pembaca, apalagi pembaca dipaksa untuk menerima itu sebagai sebuah keberhasilan atau penemuan pengucapan baru. Pada saat penyair menyodorkan hasil percobaan pengucapannya kepada pembaca dia mestinya sudah yakin bahwa memang ada sesuatu yang berharga untuk ditempatkan di wilayah bersama. Mungkin sesuatu yang baru itu makan waktu untuk diterima. Tak apa-apa.

/5/
Selain pengetahuan bersama, ada hal lain di luar bahasan linguistik yang khas pada puisi, yaitu wilayah perasaan yang sama. Tepatnya: serupa tapi tak sama, sebab tidak pernah ada perasaan yang persis sama. Penyair dalam sajak-sajaknya berusaha menggenerikkan perasaaannya yang khas. Bila upaya itu berhasil, maka pembaca kemudian bisa dan ikhlas mengidentikkan perasaannya yang juga khas kepada apa yang sudah digenerikkan oleh penyair itu.

/6/
Ketika menulis sajak "Pada Album Miguel De Covarobias" dan sajak "Untuk Frida Kahlo", saya kira penyair Goenawan Mohamad tidak mempertimbangkan apakah pembacanya tahu siapakah tokoh yang namanya ia jadikan judul itu sajak. Dia pasti tidak peduli apakah pengetahuannya itu berada di wilayah bersama dengan pengetahuan pembaca sajak-sajaknya. Saya sendiri yakin si penyair punya pengetahuan banyak tentang nama yang ia tulis. Pasti ada yang memukau dari nama itu sehingga ia sajakkan. Covarobias adalah seorang traveler Meksiko yang menulis tentang buku Bali dan kemudian membuat Bali masyhur dalam khazanah pelancongan dunia. Kahlo adalah pelukis wanita beraliran surealis yang juga berasal dari Meksiko. Bergunakah pengetahuan itu ketika membaca sajak tersebut? Dengan mengambil contoh dua sajak diatas, jawabannya bisa ya, bisa tidak. Bisa digunakan, bisa tidak. Dia bisa menjadi konteks yang mengikat, dia bisa juga dilepaskan untuk dicarikan konteks lain.

/7/
Ada pembaca yang rajin berburu konteks pada teks-teks puisi-puisi penyair yang mereka baca. Jika mereka tak menemukan konteks yang mereka butuhkan - dengan kata lain pembaca itu tidak bisa memberi makna yang memadai, dan tidak bisa mengambil manfaat dari sajak itu - maka mereka menjatuhkan vonis mati kepada sajak yang mereka baca, atau bahkan pada penyair yang menulis sajak itu. Itu risiko menyair. Hadapi saja. Ketika dibunuh oleh sekelompok pembaca, bukankah penyair dan sajak-sajaknya mungkin diberi tempat yang nyaman oleh sekelompok pembaca lain? Penyair bahkan disebut-sebut telah mati di hadapan sajaknya sendiri, setelah ia selesai melahirkan sajak itu, bukan? Mati di hadapan sebuah sajak, penyair tetap hidup untuk melahirkan sajak berikutnya.

/8/
Soal manfaat sajak - dan karya sastra umumnya - sudah lama menjadi bahan kajian dan debat. Horatio menulis buku "Ars Poetica" pada tahun 14 SM. Ia mengatakan tolok ukur sastra ialah "dulce" atau nikmat, dan "utile" alias bermanfaat. Mana yang lebih penting antara keduanya? Itu menarik untuk dipermainkan. Kedua hal itu bisa pula ditarik ke ranah yang lebih luas. "Utile" berlanjut pada debat yang moralis, "dulce" bisa diseret ke ranah estetis. Sedang apakah manfaat dan apakah indah sendiri sudah bisa memancing sebuah debat panjang dan tak habis-habis. Saya kira penyair tak perlu terlalu pusing. Ia lebih baik menyibukkan diri dengan menerjemahkan apakah yang "dulce" dan "utile" itu dengan sajak-sajaknya.

/9/
Penyair Subagio Sastrowardoyo ada menulis sajak yang amat bagus tentang peran penyair dan tuntutan "utile" pada sajak-sajaknya. Sajak "Mata Penyair" itu dibuka dengan bait: //Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kota. "Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu," kata penyair, "kecuali nyawaku ini yang teraniaya."// Penyair memang sering mengambil peran sebagai orang yang ambil risau. Ia risau bahkan risau pada peran dan posisinya sendiri. Ia risa pada tuntutan-tuntutan pihak luar yang dialamatkan padanya.

/10/
Sajak "Mata Penyair" Subagio Sastrowardoyo menggambarkan adegan rakyat miskin yang merangsak kemuka. Kami ingin matamu, kata rakyat miskin itu kepada penyair. "Kami ingin matamu, yang bisa merobah butur pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!" Tuntutan yang mencemaskan. Wajar jika penyair dalam sajak itu mencamtumkan pembelaan bahwa tanpa mata penyair menjadi buta. Tapi rakyat yang putus asa tak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya. "Dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya..." Tapi tak terjadi perubahan. Pasir tetap pasir bukan emas. Rakyat miskin kecewa dan merebut kedua bola mata itu dan melahapnya. Setelah itu? Juga tidak terjadi apa-apa.

/11/
Dari wilayah pengetahuan bersama, dari daerah kerisauan bersama, penyair memberangkatkan teks sajak-sajaknya. Dari wilayah itu pula datang tuntutan kepada penyair. Tak usah mengelak, tak perlu pula sok hebat melayani tuntutan itu seakan pasti kita bisa memenuhinya. Sebaiknya berperanlah sebagai penyair buta sebagaimana digambarkan Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya "Mata Penyair" tadi. Penyair telah menyerahkan matanya, memenuhi tuntutan "rakyat miskin". Tak terjadi apa-apa. Dan sajak itu lalu menggambarkan: "Penyair yang buta duduk di jendela dan tertawa menghadap kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!"


Bacaan:
1. Mohamad, Goenawan. "Misalkan Kita di Sarajevo". Cetakan Pertama, 1998. Jakarta: Penerbit Kalam.
2. Yuwono, Untung. "Wacana" dalam Kushartanti, Untung Yuwono, Multamania RMT Lauder (Editor). 2005. "Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik". Hal. 100-101. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3. Pradotokusumo, Partini Sardjono, Prof. Dr. Dra. "Pengkajian Sastra". Hal. 78. 2005. Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
4. Sastrowardoyo, Subagio. "Dan Kematian Makin Akrab". Halaman 133. 1995. Jakarta: PT Grasindo.

Friday, January 26, 2007

Sebaris Rambut yang Bertanya: Kau Berbahagia, Salma?

JIKA hanya di sajak ini saja, apakah
kau berkenan bila kubayangkan akulah
sebaris rambut di tepi pelipismu itu?

Akulah sehelai rambut yang ingin perlahan
saja bertanya, apakah kau berbahagia, Salma?
Kau tahu, rambut-rambutmu yang indah itu
menuding aku lancang. "Tentu saja Salma
berbahagia," kata mereka padaku. Maafkan aku.

Aku bukan meragukan itu, Salma, bukan pula
terlalu ingin menerima jawabanmu. Aku hanya
ingin memastikan bahwa memang engkaulah Salma,
engkaulah sang pemilik rambut-rambut yang begitu
kau cintai dan mencintamu, dan aku berbahagia
bisa membayangkan cinta itu juga untukku.

***

JIKA hanya di sajak ini saja, apakah
kau berkenan bila kubayangkan akulah
sebaris rambut di tepi pelipismu itu?

Di Rambutmu Aku Meniti Khayal

BILA telah semua helai telah tertelusuri,
lalu kemana khayal mesti menuju meniti?

Bila semua yang remang telah terpegang,
kemanakah khayal mencari ke selain ruang?

Bila kau menjalang sebab jarang dijelang,
aku memulai khayal di sembarang seberang.

Wednesday, January 24, 2007

.: Jurus-jurus Teks, Bersilat Wacana

Esei Hasan Aspahani

/1/
Mengaku sajalah, kita paling sering mendengar kata wacana, bukan? Bukan hanya mendengar, kita mungkin sering pula ikut memakai kata itu. Sebenarnya apakah wacana itu? Linguistik mendefinisikan wacana (discourse) sebagai "kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangunan bahasa". Sebagai kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Menurut fungsi bahasa, wacana dibedakan atas: wacana eskpresif, wacana fatis, wacana informasial, wacana estetik, dan wacana direktif. Puisi tergolong wacana estetik, yaitu wacana dengan muatan pesan dan penekanan pada keindahan wacana tersebut. Keindahan ini tentu relatif dan bisa panjang lebar diperdebatkan.

/2/
Mengaku lagilah, kita juga sering mendengar wacana dihubung-hubungkan dengan teks (text) bukan? Apakah hubungan wacana dengan teks? Wacana itu wujud konkretnya adalah teks. Teks itu adalah wujud reprentasi atau keberadaan dari wacana. Jika yang jadi wacana adalah sistem pernapasan manusia, maka salah satu teksnya adalah paru-paru. Jika wacananya adalah sajak, maka teksnya adalah rangkain judul, baris-baris dalam bait-bait, dan tanda baca dalam sajak itu.

/3/
Teks bisa berupa lisan (spoken text) juga teks tertulis. Dalam praktik ilmu sastra wacana dibatasi sebagai teks tertulis saja. Puisi atau karya sastra lain adalah wacana yang teksnya bisa diutak-atik pisau analisa untuk didapatkan sebuah pemahaman darinya. Para ahli Linguistik mungkin setelah berkomplot dengan ahli Kesusasteraan menyusun Teori Analisis Wacana sebagai salah satu metode menganalisa karya sastra. Penyair boleh memanfaatkan teori itu untuk membuat karya sajaknya menjadi menantang dan menarik untuk dianalisa. Ibarat memikat hati calon mertua, penyair adalah calon menantu. Dengan mengetahui teori teori wacana, penyair tahu apa maunya sang calon mertua. Tentu saja penyair terlebih dahulu harus menjamin bahwa anak gadis si calon mertua itu telah cinta mati padanya.

/4/
Agar bisa menampilkan makna utuh, wacana terikat pada konteks. Kalimat "Kenakan Kondom, Atau Kena!" adalah kalimat biasa. Ia menjadi sebuah wacana yang utuh bila dipakai pada konteks yang tepat. Maka gunakanlah kalimat itu pada tempat, waktu dan pembaca yang tepat. Tentu saja kalimat itu bukan sebuah wacana yang utuh bila ditempatkan di tempat wudhu, atau di kantin sekolah. Teks puisi yang baik memungkinkan semungkin-mungkinnya untuk dimaknai atau diberi konteks oleh pembaca sendiri.

/5/
Sajak "Aku" Chairil Anwar yang ditulis pada tahun 1943, oleh pembaca pada tahun-tahun itu ia bisa dimaknai sebagai pembakar semangat melawan penjajah, meneguhkan keinginan untuk merdeka. Pembaca sekarang bisa pula memberi makna yang berbeda sesuai konteks keadaan saat ini. Chairil Anwar sendiri konon menulis sajak itu sebagai pernyataan "melawan" ayahnya. Ada juga yang menafsirkan sajak itu adalah keinginannya untuk bebas dari seorang wanita. Apa sajalah. Sajak yang baik tidak lagi terikat pada konteks yang menyebabkan ia ada sebagai sajak. Ia bebas terbang tak terkurung. Ia girang hinggap atau dihinggapkan dari konteks ke konteks, menelurkan makna demi makna.

/6/
Di dalam sebuah teks kalimat-kalimatnya berkaitan satu sama lain. Kalimat-kalimat dalam sebuah teks saling merujuk dan berkaitan secara semantis menciptatakan suatu wacana. Menciptakan keutuhan. Tuntutan akan keutuhan itu terlebih harus dituntut pada sebuah teks puisi. Penyair harus bermain-main dengan keutuhan itu. Menarik mengulur, pokoknya dia harus sadar, salah satu "tugas"-nya saat menyusun teks puisinya adalah membangun keutuhan. Kadar keutuhannya tentu pertama-tama penyair itu sendiri yang harus menentukan.

/7/
Keadaan unsur-unsur bahasa bahasa yang saling merujuk dan berkaitan secara semantis itu disebut "kohesi". Dengan kohesi sebuah wacana menjadi kompak, setiap bagian pendukungnya dan pembentuknya berikatan dengan bagian lain dengan "wajar". Kata wajar sengaja diberi tanda petik. Sebab kewajaran, meskipun dia amat relatif, jauh lebih mudah ditetapkan ketentuannya pada wacana yang bukan wacana estetis seperti puisi. "Kewajaran" perpaduan hubungan antar bagian dalam sebuah teks puisi sepenuhnya ditentukan oleh penyair.

/8/
Penyair tentu boleh mengikuti kewajaran umum, ia juga sangat boleh mengajak pembaca awam untuk mencoba batas kewajaran baru. Hubungan antar frasa-frasa dan kalimat-kalimat dalam teks puisi Afrizal Malna misalnya bisa menyesatkan atau membingungkan pembaca yang terbiasa dengan kalimat-kalimat biasa. Afrizal menawarkan kewajaran baru yang bisa jadi pada awalnya dianggap tidak wajar. Atau bahkan selamanya akan dianggap tidak wajar. Atau dia hanya akan diwajarkan alias dianggap wajar dalam konteks puisi-puisinya sendiri. Cobalah raba-raba keutuhan apa yang hendak dibangun dalam sajak Afrizal berikut: //Taman itu tidak menyimpan bangkai kereta, tempat engkau mengenang sebuah tempat. Tidak ada lemari es yang dipecahkan di situ. Kita bergembira, seperti menemukan kucing mati di selokan. Anak-anak sering datang juga, untuk bertemu dengan angsa, gajah, harimau dan putri dalam patung-patung batu di taman itu//(Taman Umum dan Patung-patung Batu).

/9/
Ada kohesi gramatikal, ada pula kohesi leksikal. Kohesi gramatikal adalah hubungan semantis antarunsur yang dimarkahi alat gramatikal - yaitu alat bahasa yang digunakan dalam kaitannya dengan tata bahasa. Kohesi jenis ini dapat berwujud referensi atau pengacuan; substitusi atau penyulihan; elipsis atau pelepasan; dan konjungsi atau penghubungan. Contoh sederhana bagaimana penyair Sapardi Djoko Damono mengutuhkan sajaknya dengan referensi atau pengacuan: //aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan// (Berjalan ke Batar Waktu Pagi Hari). Kata "kami" tentu mengacu pada "aku dan bayang-bayang".

/10/
Kohesi leksikal adalah hubungan semantis antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur kata atau leksikal. Jurusnya dua: "Reitrasi" dan "Kolokasi". Ini jurus yang harus sangat dikuasai oleh penyair. Sebab jurusya memang ampuh dan asyik untuk latihan berciat-ciat atau dalam pertarungan sungguhan.

Reitrasi menawarkan lima kembangan jurus: 1. Jurus "repetisi" yaitu mengulang-ulang kata yang sama; 2. Jurus "sinonimi" yaitu memakai kata-kata yang berbeda tetapi memiliki arti yang sama; 3. Jurus "hiponimi" yaitu memberdayakan rangkaian kata-kata yang bermakna khusus dan kata lain yang lebih generik; 4. Jurus "Metonimi" yaitu memakai nama atau benda yang lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya; 5. Jurus "Antonimi" yaitu memakai kata yang maknanya saling berlawanan.

/11/
Jurus "Kolokasi" adalah pemakaian kata yang berada pada bidang atau lingkungan yang sama. Jurus-jurus tadi selain harus dikuasai oleh penyair agar mahir digunakan juga harus dibayangkan kemungkinan menyelewengkannya. Coba kita simak sajak Joko Pinurbo berikut ini:

Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.

(Mampir, dalam Pacar Senja)


Ada beberapa jurus reitrasi di sajak pendek ini. Dan ada kolokasi (pintu, jendela). Ada repitisi (tubuhmu, tidak berani, aku), ada hiponimi (tubuhmu, lambungmu). Ada jurus "soninimi", yang diselewengkan atau dipaksakan dengan sadar dan bisa kita terima dengan wajar (tubuhmu = rumah), meski kata "rumah" tak muncul dalam sajak itu. Kata "rumah" hanya diisyaratkan dengan kata "mampir". Bukankah kita memang mampir ke rumah? Lalu kewajaran itu lebih ikhlas lagi kita terima karena penyair bisa mengutuhkan sajaknya dengan kata-kata dan frasa-frasa berikutnya. Begitulah, teks sajak pendek itu tampil secara teramat utuh sebagai sebuah wacana estetis. Silakan maknakan!

Bacaan:
1. Yuwono, Untung. "Wacana" dalam dalam Kushartanti, Untung Yuwono, Multamania RMT Lauder (Editor). 2005. "Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik". Hal. 92-103. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

2. Malna, Afrizal. "Arsitektur Hujan". Hal 33. Cetakan Pertama. 1995. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

3. Damono, Sapardi Djoko. "Mata Pisau". Hal. 32. Cetakan ke-6. 2000. Jakarta: Balai Pustaka.

4. Pinurbo, Joko. "Pacar Senja". Hal 38. Cetakan Pertama. Jakarta: Grasindo.

2. Pradotokusumo, Partini Sardjono, Prof. Dr. Dra. "Pengkajian Sastra". Hal. 34. 2005. Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tuesday, January 23, 2007

Kisah Bulan & Rambut Mulan

/1/
MALAM itu mestinya bulan ada di langit
Tapi bulan tidak ada. Kemanakah bulan?

"Bulan sedang sembunyi di rambutku," kata Mulan.

Bulan senang sembunyi di benang rambut Mulan
Di rambut Mulan bulan selalu bisa purnama
Cahaya bulan menyembunyikan sisi gelap Mulan.

Bulan mengira senyuman Mulan adalah sinarnya juga
Sinar yang mengurung murung di wajah Mulan.

/2/
MALAM itu bulan ingin kembali ke langitnya
Bintang-bintang memanggil-manggil nama bulan.

Bulan takut Mulan murung kalau ia tinggalkan.

"Kembalilah, Bulan," kata Mulan, "Tanpamu
di rambutku, saya akan belajar mencintai malam,
mencintai langit, dan mencinta Engkau, Bulan..."

Bulan kembali, tapi diam-diam juga ditinggalkan
sedikit sinarnya di beberapa helai rambut Mulan.

Monday, January 22, 2007





* Salvador Dali, Swans Reflecting Elephant


Rambut Petani

: Pakcik Ahmad


SIAPA membasuh
rambut petani?

Padi-padi menunduk
Seperti gerak rukuk
Di lereng gunung yang tak jauh
angin sebentar duduk
Ia tidak lelah
Hanya ingin memandangi sawah
mengintai burung tanah
Menyelesaikan doa tahiyah.

Ada kecipak di air
seekor kadal tergelincir

Katak mencemplung
gagal memikat capung

Gerimis tak tertahan caping
petani mengibas rambut agar sedikit kering

"Nah, ini saatnya aku mesti mendekatinya,"
kata angin yang sejak tadi duduk saja.
Ia mengajak matahari

Matahari sibuk mengagumi pelangi

Matahari mengira
pelangi itu adalah warna-warni
yang mengurai dari basah rambut petani.

Pagi Itu Rambutnya Indah Sekali

/1/
WAKTU dia tidur, rerambutnya berkaca di cermin hias,
kepada sisir mereka minta disentuh: dirapikan.

Setelah banyak keinginan dicoba, rerambutnya belum
juga merasa menemukan model yang paling sempurna.

"Sebaiknya kita kembali saja. Menjadi rambut yang
berombak dan menurut padanya. Toh, dia juga tak
pernah ingin kita mencoba berbagai warna dan gaya."

/2/
WAKTU bangun tidur, dia berkaca di cermin hiasnya.
Dia sentuh rerambutnya dengan sisir kesayangan. Pagi
itu dia merasa rambutnya indah sekali. "Ya, ya. memang
indah sekali," kata sisir mengangguk, mengiyakannya.

 

Sunday, January 21, 2007

Rambut Luna, Rambut Maya

KAU mengulur ujung-ujung rambutmu ke sisiku
Aku menjerat tujuh helai dalam seikat. "Menitilah..."

KAU memberi seperti tanda, dengan tiga kedip mata.

AKU ragu pada langkah pertama. Ketika aku bertanya
"kemana?", maka makin maya, makin lunak luna,

meleleh seperti lunau, mendangkal di dasar danau.

Saturday, January 20, 2007

Seorang Tukang Cukur dan Rambut Tiga Lelaki

: 1 Muharram 1428

SEHABIS subuh yang cemerlang, di kota Yatsrib,
tiga lelaki berjalan ke kedai seorang tukang cukur.

Lelaki Pertama, menyimpan terang rambut di balik
surbannya. Si tukang cukur bahkan mengira itu
memang tumbuh seperti benang-benang cahaya.

"Ya, masih ada benang jaring laba-laba di rambutmu,"
kata Lelaki Pertama itu, kepada sahabatnya, Lelaki Kedua,
ketika ia sentuh sarang serangga itu, pada rambut
si Lelaki Kedua pun memancar sinar. Berpendar-pendar.

Si tukang cukur mendengar kabar, mereka sembunyi
di Bukit Tsuur, di sebuah guha, empat hari lamanya.

Lalu menempuh pantai Laut Merah. 14 hari lamanya.
Ke utara. Meninggalkan si lelaki muda. Lelaki Ketiga.

Dia lelaki yang tidur tenang di rumah Lelaki Pertama,
ketika di luar sebarisan pemuda Kota itu mengepung,
pemuda dengan segenggam pasir di rambut mereka.

Dia lelaki ketiga: rambutnya juga bersinar, bersentuh
bantal batu ketika ia tidur di rumah Lelaki Pertama.

Si tukang cukur pun merasa rambutnya kotor sekali.
Kepada Tiga Lelaki ia minta diajari cara mencuci kaki,
tangan, wajah, dan kepala. Ia ingin membersihkan diri.

Wednesday, January 17, 2007

Sehelai Rambut yang Ikal

BULAN memegang sehelai rambut yang melengkung ikal.

"Rambut siapakah yang seperti benang sari bunga itu?"
tanya kelelawar. "Aku tak tahu. Tadi kupungut rambut
ini di sebuah bangku, di sebuah taman," kata bulan.

BULAN memegang sehelai rambut yang hitam kemilau.

"Rambut siapakah yang seperti padatan cahaya itu?
tanya kunang-kunang. "Aku tak tahu. Tadi kujumput ia
sebab pantulan sinarnya amat memikatku," kata bulan.

BULAN memegang sehelai rambut yang berhawa wangi.

"Rambut siapakah yang harumnya seperti harum rambutku
itu?" tanya seorang gadis yang suka duduk di taman dan
suka memantul-mantulkan sinar bulan di rambutnya.
Bulan bungkam saja. Dan diam-diam menyulap rambut yang
ia pegang tadi dan meluruhkannya sebagai butir-butir embun.

Rambutnya Panjang dan Hitam

"RAMBUTKU panjang dan hitam," kata seseorang gadis
kepada matahari. Gadis yang meningkap di jendela.
Hatinya ia buka. Terang sekali. Matahari yang silau
menutup matanya. Diam-diam matahari menyentuhkan
juga sedikit sinarnya yang nakal ke ujung rambut
gadis itu. Si gadis tersenyum, menutup matanya juga,
silau sebab kilau ujung-ujung rambutnya sendiri.

MATAHARI ingin sekali bisa masuk juga ke dalam hati
gadis berambut panjang dan hitam itu. Matahari ingin
sekali tahu cahaya apa yang memancar di hati gadis itu.

Tuesday, January 16, 2007

Rambut Hujan, Hujan Rambut

KITA bertengkar tentang permainan hujan dan rambut.

"Ini permainan rambut hujan," katamu. "Bukan, itu
namanya hujan rambut," kataku. Rambut kita telah basah
dipermainkan oleh hujan kita. Kuyup dan lebat.

Hujan turun karena ia mengira di hitam rambut kita
ada yang mengotorkan. "Ia ingin mencuci hingga rambut
kita sebening warnanya. Itu sebabnya aku menyebutnya
ini permainan rambut hujan," katamu memberi alasan.

"Bukan, hujan turun karena ia ingin menyelinap juga
di antara rambut-rambut di kulit kepala kita. Ia
ingin menjadi hitam dan menjadi rambut yang tak
lagi bergantung pada awan. Itulah sebabnya aku
menyebutnya ini permainan hujan rambut," kataku
menjelaskan. Hujan kita pun semakin rapat, semakin
rajin menyelinap di antara rambutmu dan rambutku.

KITA belum berhenti bertengkar, ketika hujan kita
reda dan tinggal jejaknya di rambutmu dan rambutku.

Monday, January 15, 2007

[Tadarus Puisi # 019] Melabuh Puisi di Pelabuhan Sebelum Pasang

Pelabuhan Sebelum Pasang
Sajak Taufiq Ismail

Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabku
Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku
Pelayaran panjang yang mengantarkan kita
Dalam gelombang benua

Di kuala perairan, ketika malam sangat muda
Lentera tiang palka, di ruang makan dan buritan
Gemetaran dalam garis putus-putus di pelabuhan
Anak arus yang naik dan turun pelahan

Menjelang pelayaran bila badai berbadai
Bercurahan bintang di langit bersemu biru
Gemulung mendung yang menyarankan napas gelombang
Guruh lagumu, wahai pelayaran yang panjang!

Karena kau bertanya, tiga peluit di tiap pelabuhan
Setiap kita bertolak kembali mengemas jangkar tali-temali
Adalah jurang-jurang lautan dengan kandil bintang selatan
Bertetaplah ngembara untuk pelayaran panjang sekali.

1964

(Dari Sajak Ladang Jagung, Budaya Djaya, Jakarta, 1973)
Pelabuhan, kapal, dan laut adalah inspirasi abadi. Banyak penyair menggubah ketiga hal itu menjadi sajak. Chairil Anwar menulis "Senja di Pelabuhan Kecil". Juga penyair Taufiq Ismail dengan sajak ini: "Pelabuhan Sebelum Pasang".

Kenikmatan pertama saya ketika membaca sajak di atas adalah pertemuan kembali dengan tiga kata yang sebenarnya amat saya kenal tapi jarang saya jumpai dalam percakapan sehari-hari. Kata-kata itu adalah "kuala", "palka", dan "kandil". "Kuala" bersinonim dengan "muara", "palka" adalah ruang pada kapal, "kandil" adalah kata lain untuk "lampu" atau "pelita". Bahasa ternyata menyediakan banyak pilihan, bukan? Maka, berdayakanlah apa yang disediakan bahasa itu. Memilih kata tentu bukan untuk sekadar merumit-rumitkan sajak. Memilih kata harus dilakukan untuk memaksimalkan fungsi semua anggota tubuh dan fungsi batin puisi.

Sajak ini adalah rangkaian kwatrin yang tidak tertib menjaga rima - dan dengan pandang sekilas hanya tampak kewajaran dan kesederhanaannya. Tapi menurut saya sajak ini menarik dan unik. Keunikannya ada pada penempatan dua baris pertama di bait pertama yang saya nilai sebagai intisari dari semua yang paparkan dalam bait-bait berikutnya.

Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabku
Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku
Dua baris ini saja bisa berdiri sendiri sebagai sebuah puisi pendek yang kuat. Baris-baris ini juga bisa menjadi aforisma yang amat merangsang pemaknaan. Laut adalah jawaban atas tanya kesepian, topan adalah ucapan atas sapa kesedihan. Ada kebenaran yang tidak memaksa, tetapi menyaran saja lalu dengan ikhlas kita menerimanya, meresapi seperti sebuah hasil penghayatan kita sendiri atas pengalaman hidup kita sendiri. Begitulah memang mestinya puisi yang baik datang kepada kita.

Sajak ini menunjukkan kematangan penyair membuat pencitraan-pencitraan. Gambar-gambar tanpa percakapan seperti direkam dengan kamera oleh seorang juru kamera sekaligus sutradara yang handal. Kita diajak melihat permukaan air muara, malam yang baru saja malam, lalu beralih ke nyala lampu yang mungkin baru saja dinyalakan, ruang makan, buritan, garis-garis putus pelabuhan yang gemetaran seperti posisi kamera bergoyang karena ombak menggoyang kapal. Bergoyang karena arus yang turun dan naik perlahan.

Lalu langit dan bintang yang biru samar, semu. Lalu gambar mendung yang bergulung, yang menyarankan napas gelombang. Tak ada percakapan hanya tiga kali peluit melengking. Isyarat keberangkatan. Dan tali-temali jangkar yang harus dikemas yang mengingatkan jurang-jurang lautan. Gambar-gambar itu amat berkhasiat mengaduk-aduk perasaan: muncullah cemas, was-was, gentar, takut, ragu. Tapi, hei bukankah semua itu kewajaran hidup? Sajak pun ditutup untuk meyakinkan dan menjawab semua was-was itu. Kita kan memang selalu bertetap mengembara untuk pelayaran panjang sekali. Penutup yang sudah disebut di bait pertama, "pelayaran panjang yang mengantarkan kita dalam gelombang benua". Puisi pun berlabuh dan berangkat di lautan pemaknaan.

Begitulah, makna sajak secara tidak langsung diberikan penyair lewat sajak, bukan ia sembunyikan. Demikianlah kearifan ditawarkan kepada pembaca oleh penyair, bukan dipaksakan.

Bocah Berambut Basah


DIA berhadapan dengan cermin, memainkan sisir.
Diakrabinya lagi wajah itu: bocah berambut basah itu.

Di luar, dia saksikan matahari, juga asyik berkaca
di permukaan sumur tempat ia baru saja mandi.

Ia menating sisir ke arah langit, lalu berbisik sendiri:
"Siapa ya yang merawat rambut cahaya matahari?"

Lalu dia dengar langkah ibunya, suara air ditimba.

Lekas ia olesi rambutnya dengan minyak kelapa,
dan di cermin itu, rambut si bocah kini bercahaya.








 

Sisir kepada Rambut

TUGASKU tidak hanya untuk merapikanmu.

                                                            Bukan?

ENGKAU yang tersangkut padaku, yang terlupa
dari kulit kepala itu, memang telah tiba saatnya
untuk memastikan apa yang fana dan yang baka,
apa yang sementara dan yang senantiasa.

                                                            Bukan?




* Salvador Dali, Official Paranoiac Portrait of Pablo Picasso, 1947.


* Frida Kahlo, Roots.




* Frida Kahlo, The Love Embrace of TheUniverse, 1949.

Sunday, January 14, 2007

[Tadarus Puisi # 018] Di Tangan Penyair, Di Tangan Anak-anak

DI TANGAN ANAK-ANAK
Sajak Sapardi Djoko Damono

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.

"Tuan, jangan kauganggu permainanku ini."

(Dari buku "Perahu Kertas", Balai Pustaka, Jakarta, cetakan kedua, 1991)



ADAKAH jerit burung yang membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan? Ini adalah "penemuan" penyair. Penemuan setelah penyair menjelajah rimba imajinasinya, dan ia abadikan untuk memberi nilai pada puisinya. Dalam logika di luar logika puisi, tak akan pernah ada jerit burung yang membukakan kelopak bunga, di hutan atau di manapun. Pertanyaan serupa bisa diajukan untuk frasa-frasa lain dalam sajak ini, juga untuk sajak-sajak Sapardi lainnya. Juga kepada sajak-sajak lain karya penyair lainnya.

Buku "Perahu Kertas" pernah dibahas oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam kertas kerja yang ia hamparkan dalam "Temu Kritikus dan Sastrawan" 1984, kerjasama Ditjen Kebudayaan Depdikbud dengan Dewan Kesenian Jakarta. Buku Sapardi itu pertama kali dicetak pada 1983.
"Memasuki dunia sajak-sajak Sapardi serasa memasuki suatu dunia yang aneh, suatu hal yang sebenarnya lumrah kalau memasuki dunia sebuah sajak," tulis Sutardji, "karena sebuah sajak menampilkan suatu dunia yang unik."

Tapi, kata Sutardji, tentu saja sebuah sajak tidak hanya sekadar aneh ataupun unik saja. Sebuah sajak harus bisa memberikan arti bagi pembacanya agar tidak sia-sia. Arti dalam upaya pemahaman akan hidup, dari upaya mendapatkan makna. "Menulis sajak bukanlah sekadar mengkonkritkan pengalaman puitik. Tapi kehadiran konkrit dari pengalaman itu memberikan kesempatan, menghimbau, bahkan mendorong pembacanya untuk mencari pemahaman akan hidup, pemahaman akan kebenaran," tulisnya.

Bagi Sutardji, sajak "Di Tangan Anak-anak", adalah pernyataan tentang bahasa sajaknya. Atau boleh kita sebut kredo sajak-sajaknya. Kredo tentu boleh juga dinyatakan dalam puisi. "Permainan bahasa anak-anak yang dimaksudkan Sapardi sebenarnya permainan imaji-imaji, pertentangan-pertentangan ataupun nuansa-nuansa antar imaji-imaji yang dipertentangkan, sisip-menyisip antara imaji-imaji itu dan lain-lain dan semacamnya. Suatu permainan imaji yang sering muncul dengan segar pada anak-anak," tulis Sutardji.

Tetapi, permainan itu selalu berada di bawah tekanan. Di bawah ancaman. Ingatkah kita, ketika asyik bermain, tiba-tiba ayah atau ibu memanggil untuk pulang? Atau mengingatkan untuk segera mandi? Mengerjakan PR? Itulah ancaman. Dalam hal sajak, ancamannya adalah keraguan dalam diri penyair soal apakah sajaknya cukup berarti, atau kelak mungkin penyair takut sajaknya kelak disalahmaknai oleh pembaca. Sebab itu agaknya, Sapardi menutup sajaknya dengan bait: "Tuan, jangan kauganggu permainanku ini." Saya kira, bait itu bukan ingin menolak ancaman atau gangguan, tapi menegaskan bahwa potensi gangguan itu ada dan harus disadari oleh penyair.

Setidaknya bagi saya, bait itu sebagai permohoan atau ajakan untuk menjaga otoritas penyair di dunia permainannya di dunia sajaknya. Tetapi, ancaman toh tidak harus diberantas hingga habis. Sebab dengan adanya ancaman dari luar diri penyair maka si penyair bisa terus menerus sadar bahwa yang sedang ia lakoni hanyal sebuah "permainan". Permainan yang menjanjikan penemuan-penemuan imaji, permainan yang mengkonkritkan pengalaman yang seperti tafsiran Sutardji "...memberikan kesempatan, menghimbau, bahkan mendorong pembacanya untuk mencari pemahaman akan hidup, pemahaman akan kebenaran."

Begitulah! Bermainlah!

[Tadarus Puisi # 017] Belajar Membaca "Belajar Membaca"

BELAJAR MEMBACA
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku

(O, Amuk, Kapak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981)



Sajak "Belajar Membaca" bukan kebetulan ditempatkan di urutan terakhir dari penggal "Amuk" artinya dia juga sajak terakhir dari seluruh buku "O, Amuk, Kapak". Setelah membaca seluruh sajak Sutardji dalam buku itu, kita memang seperti harus belajar membaca lagi. Tak boleh berhenti belajar membaca. Sajak-sajak Sutardji memungkinkan kita untuk melakukan berbagai ragam pembacaan yang kreatif, dan tentu juga pemaknaan yang variatif.

Dalam satu acara dialog sastra di Batam, Sutardji pernah menjadikan sajak ini sebagai contoh pembacaan dan pemaknaan. Dia membaca sajak "Belajar Membaca" dengan gaya persis seperti anak yang tak lancar membaca. Seperti mengeja membunyikan bacaan setelah susah payah menggabungkan konsonan dan vokal supaya dapat bunyi. "...ka... ki... ku... lu...ka... lu... ka... ka .. ki... ku...." dan seterusnya. Datar saja pembacaannya. Datar juga ekpresinya. Tapi amat menarik. Peserta dialog yang kebanyakan murid SMA bertepuk tangan spontan, sehabis dia membaca.

Lalu Sutardji menjelaskan bagaimana sajak itu bisa diberi makna. Sajak ini tersusun atas sejumlah pernyataan dan pertanyaan: "kalau kakikau luka / lukakukah kakikau (?) // kakiku luka // lukakaukah kakiku (?) // kalau lukaku lukakau // kakiku kakikaukah (?) // kakikaukah kakiku (?)// Selang-seling antara pernyataan dan pertanyaan itulah yang menimbulkan rangsang pikir, kemudian bangkitlah makna.

Dalam bahasa sehari-hari pesan yang disampaikan dalam sajak di atas mungkin bisa kita uraikan begini: aku luka, kamu luka jugakah? Aku sakit, kamu merasakan juga sakitku? Kalau kakiku sakit karena luka, apakah kakiku ini kakimu juga? "Ini sajak bicara tentang solidaritas. Tentang kesetiakawanan," kata Sutardji kala itu, kurang lebih. Bagi muslim bukankah muslim lain seperti satu tubuh? Itu pesan dalam hadis Rasul. "Kalau satu orang muslim luka, maka seperti bagian tubuh, maka bagian tubuh lain, atau muslim yang lain harus merasakan sakitnya juga," kata Sutardji.

Bahasa puisi memang takdirnya berbeda dengan bahasa sehari-hari. Kenikmatan puisi justru ketika makna yang ingin disampaikan diantar dengan ucapan kreatif. Bila pesan dalam bahasa percakapan sehari umumnya disampaikan langsung, puisi menunda. Penudaan itulah yang mestinya mengundang kenikmatan bagi pembaca. Ketidaklangsungan makna yang hendak dicerna pembaca, menurut Riffatere disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pemindahan tempat arti (displacing); Kedua, penyimpangan arti (distorting); Ketiga, penciptaan arti baru (creating). Penyair adalah orang yang mahir memainkan ketika permainan makna itu.

Menyimpang, memindah, dan mencipta makna baru. Ayolah, inilah kenikmatan kita menyair. Inilah aturan main kita dalam bersyair. Tentu permainan itu ada batasnya. Tapi jangan takut, bermainlah. Ada pembaca sajak yang tidak betah dengan permainan-permaian ala penyair ini, biar saja. Ada yang tidak tahu betapa nikmatnya permainan ini, biar saja. Ada yang bilang permainan ini sia-sia saja, biar saja.

Friday, January 12, 2007

[Ruang Renung # 173] Melompat Lebih Liar

PERJALANAN dari kata ke kata dalam sebuah kalimat adalah perjalanan meniti kepingan-kepingan logika. Ketika perjalanan itu tuntas di ujung kalimat, logika pun seharusnya tergenapkan. Ada makna yang didapat dari susunan kata-kata itu, makna yang bukan lagi makna masing-masing kata. Tapi makna hasil gabungan dari makna-makna masing-masing kata.

SEORANG penggubah sajak harus menyadari itu, sesadar-sadarnya. Kesadaran itu kemudian harus dimainkan secara maksimal, agar tersusun sebuah sajak yang menantang untuk dimaknai. Kepingan-kepingan logika dalam sebuah sajak harus dimainkan dengan "nakal". Dia boleh melompat-lompat dari kepingan satu ke kepingan lain. Dia boleh menari-nari. Dia boleh mengawang tak berpijak pada kepingan manapun. Semua harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan keriangan bermain-main. Lalu, hasilnya ada kekosongan logika yang harus diisi sendiri oleh pembaca.

Thursday, January 11, 2007

Saya menerima surat ini dari penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta, 4 Januari 2007

No. : 005/NM/DN/I/2007
Hal : Penerimaan Naskah
Lamp: -

Kepada Yth,
Bapak Hasan Aspahani
Tiban Indah Permai
Blok C2 No 2
Batam

Dengan hormat,

Naskah Anda berjudul:
1. MENAPAK KE PUNCAK SAJAK
2. BIBIRKU BERSUJUD DI BIBIRMU
3. MONOGRAFI MITOLOGI DAN RISALAH DONGENG
4. KARIKAKUR ORANG KEDINGINAN: SEPERTI MANDI YANG TERAKHIR KALI
5. SKENARIO PERSETUBUHAN PERTAMA DI DUNIA & SEJUMLAH TAFSIR LAIN ATAS CINTA
6. KITAB KOMIK, KAMUS EMPAT KATA DAN MALAIKAT PENJAGA GAWANG
telah kami terima.

Tim Penerbit kami akan mempertimbangkan kemungkinan penerbitannya selama 2-3 bulan dari tanggal terima penerimaan naskah.

Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian dan tawaran kerja sama Anda.

Hormat kami,

TTD

Yudith Andhika R.H
--------------------
Sekretaris Redaksi NF


Anda yang tak sabar menantikan buku-buku itu terbit, boleh "mendesak" GPU. Meyakinkan mereka bahwa memang buku-buku itu layak terbit, dan Anda menunggunya. Kirim email Anda ke saya (hasanaspahani@yahoo.com) dan sekaligus ke email GPU (fiksi@gramedia.com) Anda yang belum membaca draf bukunya silakan mengirim email dulu ke saya, saya akan kirim softcopy-nya.

Hormat saya,
Hasan Aspahani

Wednesday, January 10, 2007

Rahasia Laut, Rahasia Angin

/1/
"LAYANGAN besarku putus, Bapak."

"Dia ingin sampai mencapai tempat yang tak
tergapai hingga habis uluran benangmu, Nak."

"Layanganku mungkin jatuh masuk ke laut, Bapak."

"Kalau dia rindu pulang, dia tahu di mana perahu kita
singgah, di mana kita membentang jaring, Nak."

"Besok aku ikut ke laut ya, Pak?"

"Ya..." --- Ada rahasia laut dan angin, Nak, yang
harus engkau temukan sendiri pertanyaannya
dan mesti engkau cari sendiri jawabannya.

/2/
RAHASIA laut, rahasia angin.

Bertahun-tahun menyebut diri sebagai nelayan
yang kulayari ternyata cuma sesudut hati sendiri.

Rahasia takut, rahasia ingin.

Bertahun-tahun belajar bernafas bersama lautan
yang terhirup-terembus hanya sesak nafas sendiri.

/3/
RAHASIA jugakah itu yang minta diungkapkan?
Rahasia yang disembunyikan gumpalan besar awan.

Ada hujan huruf setelah ledakan bisu sebuah pesawat
dia tak sempat baca: nama-nama yang jatuh ke laut.

Ada sepotong ekor pesawat tersangkut di jaringnya
Dia mengingat apa yang ia tulis di layangan anaknya.

Tuesday, January 9, 2007

Belajar Memungkinkan Kreativitas

* Membaca lagi Kredo Sutardji Calzoum Bachri

TAK banyak penyair Indonesia yang menurut saya sudah punya rumah dengan alamat yang pasti di negeri puisi Indonesia. Di antara yang tak banyak itu adalah Sutardji Calzoum Bachri. Ketika kritikus Dami N Toda berkata Chairil adalah ibarat mata Anda yang kanan, maka Sutardji adalah Anda yang kiri, maka menurut saya, dia telah memberi isyarat yang gampang ditangkap: dimanakah rumah dan alamat Sutardji.

Tapi bagi sebagian penghuni negeri puisi Indonesia, Sutardji tampaknya tidak boleh duduk betah di rumahnya. Sebagian dari kita mungkin menganggap dia tak pantas diberi rumah yang pantas. Sebagian dari kita mungkin menganggap rumah itu tidak ada, atau kalau pun ada rumah itu adalah rumah hantu. Menurut saya, kenyataannya adalah rumah itu terletak di sebuah bukit yang tinggi. Banyak penjelajah dan pendatang baru di negeri puisi Indonesia yang tak kuat niat sajak dan lemah daya tahan menyairnya menganggap bukit itu terlalu tinggi. Tak akan tercapai, dan akhirnya menganggap singgah ke rumah itu tak ada gunanya.

Sekedar singgah, sekedar berkunjung pun tak berguna? Saya sendiri mewajibkan diri saya untuk singgah. Bertemu dan berbincang dengan si tuan rumah dan minta satu dua nasihat sebelum melanjutkan perjalanan. Sutardji memang bukan bukan orang yang suka memberi nasihat. Ia memberi tantangan. Ia adalah buku besar yang halaman-halamannya bertuliskan naskah penting dengan huruf-huruf berukuran besar. Mudah dibaca, tapi kita yang terbiasa dengan buku picisan mungkin akan gentar bahkan untuk menyentuh tepinya saja, bahkan untuk meraba sampulnya saja.

Salah satu dari naskah penting itu adalah "Kredo Puisi" yang ditulis 30 Maret 1973. Naskah itu menjadi pengantar kumpulan sajak "O" yang merangkum sajak-sajaknya yang ia tulis sepanjang 1966-1973. Banyak pembaca kredo itu yang "terpesona" dengan bagian ini: "Kata-kata harus bebas dari pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri." Bagian ini memang memukau. Dan saya setuju bahwa ini adalah salah satu bagian penting dari kredo sembilan paragraf itu.

Mari kita tilik tanggal-tanggal itu. 30 Maret 1973. Dan tahun 1966-1973. Artinya dia merumuskan kredonya setelah ia menuliskan sajak-sajaknya. Saya rasanya pernah mendengar ia berkata suatu kali bahwa kredo itu harus ia buat untuk membantu orang lain masuk ke alam sajak-sajaknya, menikmati sajak-sajaknya, memahami sajak-sajaknya. Risiko seorang pendobrak adalah disalahpahami. Itu pula yang terjadi pada si mata kanan Chairil. Pada masa hidupnya, ia dan sajak-sajaknya juga pernah disalahpahami. Itu pula yang terjadi pada Shakespeare.

Kenapa Sutardji menulis "Kredo"? Dalam buku "Hijau Kelon dan Puisi 2002" ada satu tulisannya berjudul "Ihwal Personal". Di situ ia jelaskan karena ia yakin dan sadar tidak ada kritikus yang berwibawa sekalipun pada waktu itu, mampu berapresiasi dan memahami kumpulan sajak "O" pada pertama kali terbit, maka ia menuliskan kredo itu. "Penyair tidak perlu mematikan diri jika karyanya selesai ditulis atau diterbitkan, ia harus hidup dengan komentar, visi tentang karyanya untuk menolong para kritikus agar tidak mati atau pingsan dengan kemunculan karyanya," katanya.

Saya kira "Kredo Puisi" sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Membaca sajak-sajak Sutardji dalam "O" (28 sajak) dan kemudian "Amuk" (sajak-sajak tahun 1973-1976, 15 sajak) dengan bekal pemahaman yang cukup atas kredo itu sungguh mengundang kenikmatan. Sutardji dalam sajak-sajak itu - seperti ia rumuskan dalam kredo itu - memang telah berhasil membiarkan kata-kata bebas. Dan dengan penuh gairah karena menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tidak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas.

Tapi, jangan terpesona pada kredo yang gagah itu saja. Sutardji sendiri suatu ketika saya dengar berkata bahwa bukan kredo yang menentukan nasib penyair, tapi penyairlah yang menentukan kredo puisi-puisinya. Kredo boleh ditinggalkan kapan saja. Dan itulah yang dilakukan oleh Sutardji. Bahkan untuk kumpulan sajak "Kapak" (sajak-sajak tahun 1976-1979), Sutardji memberi pengantar lain "Pengantar Kapak" (ditulis pada 17 Mei 1979).

Apa katanya dalam pengantar itu? Saya suka pada bagian ini: "Menyair adalah suatu pekerjaan yang serius. Namun penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja. Tapi bila kau sedang menulis sajak, kau harus melakukan secara sungguh-sungguh. Seintens mungkin, semaksimal mungkin."

Jadi menurut saya, orang - apalagi pendatang baru di negeri puisi Indonesia - yang masih mempertanyakan kelayakan Sutardji mendiami "rumah mewah" di puncak yang telah ia daki sendiri adalah orang yang tak paham bahwa dia telah salah paham membaca Sutardji. Sekali lagi Sutardji adalah naskah penting yang telah membuat negeri puisi Indonesia menjadi sangat bergairah. Puisi-puisinya menggalakkan debat dan mengundang tafsir yang meriah. Resital atas sajak-sajaknya oleh dia sendiri selalu seperti hendak meledakkan panggung. Saya sedikitnya empat kali melihat dia tampil di panggung dan selalu dengan aksi panggung yang berbeda.

Menurut saya, nasihat penting yang perlu dipatuhi dari "Kredo Puisi" Sutardji adalah ini: "Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan." Tertantangkah kita membebaskan kata untuk puisi kita? Membebaskan dengan cara kita sendiri tentu saja, bukan dengan cara Sutardji. Baiklah, kalau pun ada sebagian dari kita yang menganggap kata itu tidak pernah sepenuhnya bebas, dan dengan demikian setiap upaya untuk membebaskannya adalah sia-sia, maka temukanlah cara, tentukanlah sikap dan rumuskanlah kredo sendiri untuk satu hal yang amat penting yang kita kutip dari kredo itu yaitu "memungkinkan kreativitas". Menimbulkan hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.

Ada tantangan abadi dari Sutardji kepada para penyair. Ia sampaikan itu pada "Pengantar Kapak". Katanya, "Kau harus melakukan pencarian-pencarian, kau harus mencari dan menemukan bahasa. Yang tak menemukan bahasa tak kan pernah disebut penyair. Saya menyair dan karena itu saya menemukan bahasa saya".

Kita tidak akan bisa menemukan apa-apa bila tidak kreatif. Jadi menurut saya, mumpung masih di hulu, mumpung masih jauh dari muara maka kata kunci yang harus segera disebut-sebut berulang-ulang adalah "bagaimana kita membuat kreativitas kita menyajak membuka sebanyak-banyaknya kemungkinan-kemungkinan yang kreatif".

Jokpin: Puisi Itu Menghentikan Waktu

SOSOKNYA kecil saja. Hitam pada rambutnya sudah diserbu pasukan putih. Dia merokok. Dia setia pada satu merek rokok. "Sudah 25 tahun saya merokok merek ini," katanya. Di lobi sebuah hotel di Tanjungpinang, kami berempat. Saya, Johannes Sugianto - sahabat penyair dari Jakarta dan dua seniman dari Yogyakarta itu.

Perhatianku terpusat pada dua sosok itu: Butet Kertaredjasa dan Joko Pinurbo. Di Yogyakarta, tempat kedua orang itu bermukim, mereka malah jarang bertemu. Ini pengakuan Butet. Penyair itu, kata Butet pada saya ketika saya menjemputnya di Bandara Hang Nadim sore harinya "tidak gaul". Jarang ikut kumpul-kumpul. Itu diiyakan oleh Jokpin - sapaan akrab Joko Pinurbo, malam itu. Kami memesan kopi. Jokpin dan Butet ternyata menggemari merek rokok yang sama. Jadilah perbincangan di lobi hotel itu penuh asap dengan aroma khas rokok yang diproduksi pabrik di Kudus itu.

Hari sudah berganti. Pukul 00.00 sudah lewat, 29 sudah menggeser 28 pada kalender bulan Desember, 2006. Kopi mulai sejuk, tapi pembicaraan kami masih hangat. Butet malam itu baru saja tampil membawakan monolog. Nano Riantiarno yang juga tampil membawakan orasi budayanya malam itu sudah tidur. Jokpin akan tampil besok malam. Paginya, akan ada dialog dengan pelajar SMA. Butet harus bangun pagi karena pesawatnya ke Yogya besok berangkat pagi. Tapi pertemuan dengan Jokpin membuatnya betah begadang hingga pukul 3 subuh. Pembicaraan tanpa arah. Kesana kemari. Itulah asyiknya. Butet ternyata tidak ada menyimpan buku kumpulan puisi Jokpin "Kekasihku". Buku itu penting buat Butet karena di sana ada sajak yang ditulis Jokpin untuk Butet dan Jadug. Jokpin berjanji akan mencarikan buku itu. Dengan buku itu pula, Jokpin akhirnya mendapatkan Hadiah Sastra Khatulistiwa pada tahun 2005. Setelah tiga tahun berturut-turut masuk nominasi.

"Hadiahnya 75 juta, potong pajak," kata Jokpin. Hadiah yang besar. Butet lalu bertanya tentang honor dari sebuah perusahaan properti mewah yang serial promosinya di sebuah surat kabar nasional menampilkan sajak-sajak sejumlah penyair. Jokpin menampilkan delapan sajak. Suatu ketika perusahaan properti itu mengundang para penyair untuk tampil baca sajak. Ketika menerima kuitansi honor Jokpin sempat tidak percaya dengan jumlah angka nol yang tertera. Kepada Sapardi Djoko Damono yang juga tampil Jokpin sempat bertanya apa benar angka itu. "Terima saja. Syukurlah kalau dihargai sebesar itu," kata Sapardi yang juga menerima honor dengan jumlah yang sama.

Jokpin tidak merisaukan sajak pesanan? Baginya proses penciptaannya sama saja. Intensitas permenungan dan kerisauan menuliskan sajak pesanan itu sama saja. "Toh ketika dibukukan orang tidak tahu mana sajak pesanan mana yang bukan," kata Jokpin. Jokpin malah risau ketika seorang rekan sastrawan memintanya menulis sajak sebagai hadiah perkawinan. Dia pun ikhlas saja ketika diminta tampil untuk membaca sajak itu pada saat acara persandingan. Yang membuat dia risau dan sempat protes adalah setelah itu dia dibayar! "Saya itu ikhlas, dan sama sekali tak minta bayaran," katanya. Butet senyum-senyum saja. "Sampai sekarang saya tidak enak kalau bertemu kawan itu," kata Jokpin. Kerisauannya agak reda ketika si kawan bilang biar saja, ini pembelajaran. Supaya masyarakat menghargai puisi dan penyair.

Di antara kepul asap rokok dan suara seruput kopi dan denting gelas, Butet bercerita soal rencana penerbitan buku 1.000 hari kematian Bagong Kussudiardjo, ayahnya. "Jok, bikin puisi buat bapak ya..." kata Butet kepada Jokpin. Jokpin bertanya kapan buku itu terbit. "Februari," kata Butet. Setelah merenung-renung, mengingat-ingat pekerjaan yang harus dia selesaikan sepanjang Januari, Jokpin bilang tidak sanggup. "Saya tidak bisa asal tulis. Puisi pesanan pun harus ditulis serius," katanya besok pagi, tidak di depan Butet. Artinya, tidak semua pesanan ia layani.

Malam itu Butet punya ide lain. Sajak-sajak tentang rokok. Kalau ada dua belas sajak bisa untuk kalender. Butet melihat peluang sponsor dari perusahaan rokok yang mereka gandrungi. "Saya belum punya sajak tentang rokok. Tapi bisa digarap itu. Cuma saya tak mau menjelek-jelekkan industri rokok. Menyerang kapitalis..." Saya menunggu saja, seperti apa kelak sajak-sajak rokok itu. "Saya sering dapat tawaran dari biro iklan untuk membuat puisi. Cuma saya belum bisa ikut irama kerjanya. Belum cocok. Saya tak bisa buru-buru," kata Jokpin.

Jokpin adalah pemerhati puisi yang cermat. Sepanjang pembicaraan selama menemani dia di Tanjungpinang, bersempena Bintan Art Festival 2006, dia menyebut nama-nama Subagio Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, dan tentu saja Sapardi Djoko Damono, hingga Inggit Putria Marga, penyair muda dari Lampung itu. Dia lancar membacakan kutipan-kutipan sajak dari penyair-penyair itu dan memberi ulasan dimana keunggulan sajak-sajak dan penyair-penyair itu. Sajak "Berdarah" ia nilai sebagai esensi dari seluruh sajak-sajak Sutardji. "Hiroshima Cintaku" disebutnya sebagai sajak Goenawan yang indah. Dan sajak "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari" adalah sajak yang lahir dari "kegilaan" Sapardi.

Jokpin adalah salah satu pendiri majalah perbukuan "Matabaca". Dia yang memberi nama majalah itu. "Matabaca" diterbitkan oleh grup media besar yang salah satu divisinya adalah penerbitan buku-buku sastra. "Kepada editornya, saya selalu memberikan nama-nama sastrawan yang harus diperhatikan untuk diterbitkan karya-karyanya," kata Jokpin. Saya tidak bertanya, siapa-siapa saja yang saat ini ia bisikkan. Begitulah caranya membantu sastrawan-sastrawan baru. Meski tanpa diminta, dan tanpa setahu si empunya nama. "Saya tidak bisa berjanji atau menjamin buku orang itu terbit, tapi selalu memberi pertimbangan kalau editornya bertanya kepada saya," kata Jokpin.

Jokpin mencemaskah beberapa nama penyair muda yang sepengamatan dia merosot mutu karyanya. Ada yang dia bilang sajak-sajaknya "terlalu rimbun" - perlu berlatih agar mahir memangkas imaji, ada yang dia bilang "stagnan" tak menawarkan "kebaruan" lagi, dan beberapa daerah yang punya tradisi sastra yang panjang sekarang menurutnya saat ini malah tidak menghasilkan nama penyair yang menonjol karyanya.

Suatu ketika pembicaraan sampai ke soal alterego. Saya bilang The Beatles justru menghasilkan album terbaik sepanjang karir grup legendaris ini ketika mereka bosan menjadi The Beatles. Mereka bikin album Sgt. Pepper's Lonely Heart Club Band. Di album itu The Beatles berperan sebagai band yang bukan The Beatles. Jokpin menyambar pancingan saya itu. "Saya sudah memikirkan itu, Hasan. Saya berpikir akan menulis sajak-sajak yang tidak seperti sajak-sajak saya yang dikenal orang sekarang. Dan saya akan terbitkan dengan nama lain. Penyair yang bukan saya. Alterego saya," katanya. Ini pekerjaan gila dan berat, diakuinya begitu. Tapi menantang sekali.

Akhirnya, saya simpulkan, Jokpin itu selalu berpikir tentang puisi, atau jangan-jangan dia berpikir pun dengan bahasa puisi. Di dalam mobil saat menjemputnya di Batam, rangkaian pembicaraannya tiba-tiba sampai pada sebuah aforisma: membaca prosa itu menghabiskan waktu, membaca puisi itu menghentikan waktu. "Kata siapa itu, Mas?" tanya saya. "Kata, saya. Ya barusan itu kata saya..." saya tertawa. Jokpin jarang tidak. Ia jarang sekali tertawa.

Kepada anak SMA peserta dialog pagi itu, di Gedung Aisyah Sulaiman, dia memberi tips bagaimana mengelola ide puisi. Jokpin mengaku selalu membawa buku kecil untuk mencatat ide yang tiba-tiba terlintas bila melihat sesuatu. Saya yang memandu dialog itu bertanya, "apa yang terbaru yang Anda catat di buku itu?" "Puisi telah memilihku..." kata Jokpin. Frasa itu, katanya kelak akan diolahnya menjadi puisi. ***

Sunday, January 7, 2007

Nyanyian Nelayan

/1/
JARING yang tua senantiasa dijawab koyaknya
Perahu yang renta senantiasa disimpan bocornya
Layar yang rapuh senantiasa dipejam robeknya

MUSIM belum juga bisa ditebak sedang mengandung apa.

ITU sebabnya, aku yang nelayan ini bersiul saja, mengadu
mana yang lebih bisa diduga: berapa tabahkah laut?
Atau setinggi apa ombak bergantung di langit hatinya?


/2/
SEBAB laut masih setia menyingkapkan subuhnya
ke hangat tubuhku, nelayan yang tak takluk dibujuk sejuk.

EMBUN menggelayuti udara. Yang terlepas pegang,
menyentuh ombak dan segera memercik lagi ditepis
sirip sayap ikan pari. Burung laut memekik, menukik:
di cakarnya, seekor sembilang tercekik. Lumayan,
untuk makan pagi ini, bekal berburu sepanjang hari.

WALAU musim belum juga bisa disebut, bernama apa.

/3/
BERUMAH di sepanjang tepi handil, berdermaga di muara,
akulah nelayan yang menyimpan tembuni di tubuh lautan:

"Sejak bayi, kau telah kurendam di dalam asin garam."
Di seludang ombak, aku simak napas udang dan belanak.

BERUMAH di sepanjang damai pesisir, bertambat di pasir,
tapi akulah nelayan yang berulang menguji tabah kayuh,
akulah nelayan yang rindu pulang ke ketat peluk laut jauh.

MESKI musim yang dekat belum juga bisa dimengerti
hendak mempersembahkan apa.

/4/
KENAPA setiap subuh perahumu bertolak, lekas melepas
nyenyak? Karena aku nelayan, karena aku pemetik ombak.

DI pantai, kembang gelombang ketemu maut, lepas tangkai laut.

KAU tahu betapa segar ombak yang pertama kali mekar?
Kau tahu betapa wangi percik serbuk sari: seribu cumi-cumi?

/5/
DAN musim belum juga bisa ditebak, akan melahirkan siapa.
Atau menjemput siapa?

Tiba-tiba dia rindu sekali bertemu dengan angin yang dulu
menggendongnya ke langit layang-layangnya.

Monday, January 1, 2007

Di Hutan Kalender

AKU tersesat lagi. Di hutan kalender.

Angka-angka tanggal dan nama hari tak
terasa ada di jatuhan serasah. Hujan dan
kemarau sudah dijinakkan. Yang tumbang dan
yang menjulang: bersilang, saling sagang.

Ada kupu-kupu hinggap di tanggal kosong.

Di sayapnya terbaca: seperti angka. Tanggal
yang belum diberi tanda, tapi aku tak sempat
mengingat, tak sempat mencatat. Seperti ada
hujan abu, serbuk sayap seribu kupu-kupu.

Rumus Umum Sajak-Sajak Saya

kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata

kata kata kata kata kata kata kata

kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata

kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata

kata kata kata kata kata kata kata
kata kata kata kata kata kata kata

Doa di Akhir dan Awal Tahun

AKU menulis beberapa baris puisi saja.

BELAJAR mengenali huruf rahasiaMu
Agar bisa membacakan nama-nama yang
sering kali terlupa, nama-nama yang
harus kusebut di sepanjang malam Doaku.


Hasan, masalahmu sekarang cuma satu, kamu harus menerbitkan buku - Joko Pinurbo