Tuesday, June 24, 2003

Ketika Keluar Rumah,

Selepas Sebuah Senja




(dari Sajak As I Walked Out

One Evening oleh W. H. Auden)




Keluar rumah, selepas senja hari,

Di Bristol Street mengayun kaki,

Yang berkurumun di trotoar itu

adalah padang panenan gandum



Lalu, mengiring alir sungai

Kudengar sealun lagu kekasih

Di bawah tiang-tiang rel kereta:

'Kasih tak ada tuntasnya.



Sayang, akan selalu ada cintaku,

Sampai bersatu China dan Africa

Sampai sungai mendaki gunung-gunung

Sampai salmon menyanyi di jalanan



Akan selalu ada cintaku, hingga samudera

digulung dan digantung hingga kering

dan tujuh bintang mengoak bersuara

bak angsa menentang angkasa.



'Tahun pun berlari seperti kelinci,

Selama ada di rengkuh lenganku

Bunga Zaman, bunga Abad-abad,

dan cinta pertama di dunia.



Tapi seluruh jam di semesta kota

mulai berdering dan berdentang

O, jangan biarkan Waktu menipumu

Engkau tak bisa menaklukkannya.



Di lorong-lorong mimpi terburuk

Di mana Keadilan bertelanjang

Waktu menjaga dari bayang-bayang

dan terbatuk sebelum kau mengecup



Pada cemas dan nyeri di kepala

Hidup menerobos mengalir samar

dan Waktu akan menemu khayalnya

esok-lusa atau hari-ini.



Kepada lembah-lembah menghijau

Menetes butir salju mencekam

Waktu memecah rangkaian dansa

mengacau lengkung busur bercahaya



O pada air, benamkan tanganmu

Benamkan dalam hingga pergelangan

Buka , buka mata pada lembah sungai

Apa yang hilang, tebak-tebaklah



Sang glasier mengetuk lemari,

Gurun menggela napas di ranjang,

Dan pecah petir di gelas teh, membuka

lorong menyimpang ke tanah kematian.



Di sana pengemis mengundi uang kertas

dan sang Raksasa menyihir bendera kapal

dan bocah seputih Lily menjadi penyeru,

dan si Jill menyusur turun di punggungnya.



'O lihatlah, lihat pada cermin,

O lihat pada bahaya deritamu

Hidup masih jadi anugerah

meski engkau tak mampu memberkah



O berdirilah, berdiri pada jendela

Air mata mendidih dan memulai mula;

Engkau akan mengasih tentang jahatmu

dengan hatimu yang ditipunya.



Telah larut, malam yang lanjut,

Kekasih, mereka telah menjauh;

Jam-jam telah mengakhiri dering,

Dan sungai dalam berlari laju.



Sunday, June 22, 2003

Yang Tercecer Pada Suatu

Pagi, di Halaman Rumah




1.



tiga ekor nila

di bawah ambang padma

mawar merah di tepi kolam

tak mencemburuinya.



2.



putik jeruk putih

mekar melati putih

"seandainya..." mawar merah

berbisik teramat lirih.



3.



jika kau tak memetikku, saudara

aku pasti kelak layu, kata mawar merah

tapi tak gugur sia-sia tanpa makna

karena kutabur wangi di atas kubur sendiri.



Jun 2003

Thursday, June 19, 2003

Hanya Pertanyaan (versi revisi)



bertanya mawar kepada intan:

engkau abadi, maka bolehkah

kutitip wangiku, kelak

ketika layu menjemputku?



bertanya intan kepada jari:

bolehkah sejenak saja, aku kau

campakkan ke kotor lumpur

kembali hanya jadi sebuah batu?



bertanya jari kepada mawar:

sebelum serak kelopak gugur

maukah engkau menyimpan

setusuk durimu di mata lukaku?



Jun 2003

Sunday, June 15, 2003

Pada Taman Kasih



(diterjemahkan dari

The Garden of Love,

sajak William Blake)




Membaring tubuh di tebing sungai,

Di sana Kasih pun terbaring lunglai;

Di antara gemuruh deru basah arus

Kudengar tangis, tangis yang terus.



Lalu aku pun beralih ke semak yang sesak,

Pada duri dan onak terbuang tercampak;

Yang berkisah tentang sakit tersingkir,

Demi yang disucikan, didesak-diusir.



Pun beranjak aku ke Taman Kasih,

Kulihat apa yang tak pernah kujumpa;

Sebuah Kuil dibangun tepat di tengah,

Pernah aku bermain, pada warna hijaunya.



Pintu Kuil ini rapat terkunci

"Kau Terlarang!" terbaca pada gerbang;

Maka, ke Taman Kasih, aku kembali

Bunga-bunga manis menggali lubang.



Dan kulihat di sana kini merebak makam

Dan nisan merebut tempat bunga mekar;

Dan pembaca talkin melintas berjubah hitam

Mengisap girang takdir, berpipa mawar liar.

Friday, June 13, 2003

SIARAN WAKTU



ada televisi di ujung lorong

menyiarkan apa saja yang

segera jadi masa lalu,

sesekali mengingatkan

tentang waktu.



aku mencari adakah

engkau dalam

siaran

itu?



Jun 2003



PERSETUBUHAN PANTAI



TUBUHKU langit jantungku badai

berdetak tak tenteram tak tentu tuju

menebak lekuk teluk telentang biru

kau pantai telanjang terkurung karang.



ADAPUN ombak adalah jari dan lidahku

merebut merenggut dadamu bukit pasir

menyebut menyambut namamu debar desir

hingga laut surut jejakpun redam susut.



Jun 2003
PETANI LADANG MAWAR



tanah hitam di ladang mawar

menyimpan cinta memeluk akar



embun mandi di ladang mawar

memanggil pelangi selingkar



sinar matahari di ladang mawar

mengecup, rindu semalam terbayar



semak gulma di ladang mawar

menanggal sulur duri tak sabar



angin lalu di ladang mawar

memetik wangi menebar kabar



diam batu di ladang mawar

menahan takjub meredam debar



siul serunai di ladang mawar

sepi pun ia, merdu kau dengar



burung hinggap di ladang mawar

mimpi sarang di kelopak mekar



akulah petani ladang mawar

panen puisi di awal fajar



Jun 2003

Thursday, June 12, 2003

anakku bernama IKRA BHAKTIANANDA



Inikah jawabanmu pada semua rinduku?

Keras nyaring seru, kukuh kepal tinjumu

Runtuh luruh seluruh kurung sangsi

Anakku, mari beri kedua tanganmu



Bukan untukku - ini bagi waktu dan duniamu

Hidupmu sudah dimulai sejak sibak itu

Aku dan ibumu: rumah yang tabah menunggu

Kelak sejauh apa, kau kabari jejakmu



Tanah ranah seluas mimpimu

Ingin angan selapang khayalmu

Anakku, teruslah jangan lelah memburu

Nafasmu: hirup mesiu, hembus peluru!



Alir arusmu sederas doaku

Naik dakimu setinggi doaku

Datang sinarmu seterang doaku

Anakku, tangan-Nya menatih jalanmu.



8 Juni 2003

Wednesday, June 11, 2003

Sajak Arloji Mati



"JAM berapa sekarang?" tanya arloji pada sebuah

pergelangan tangan, "sudah seharian aku mati."



MESKI tak mendengar pertanyaan itu, lelaki yang

mengenakan arlogi gelisah, lalu memutar-mutar

knop, menggeser-geser jarum panjang pendek,

sambil menebak mendongak di mana gerangan

matahari. Tapi, di ruang keberangkatan itu tak

ada yang ia cari, kecuali jam dinding besar dan

poster iklan arloji. Lelaki itupun tersenyum. Senyum

yang tidak dimengerti oleh arloji yang sudah

seharian mati di pergelangan tangannya sendiri.



Jun 2003
Sajak Telepon Genggam



(Ringtone seperti suara ombak,

atau suara badai, berdesau,

berkesiur, seperti suara tangis

yang...)



Halo?



(Seperti suara nafas, seperti ada

kata yang ingin dilepaskan, tapi

tertahan oleh bising percakapan.

Seperti ada rahasia yang tak sedap

kalau hinggap juga di kuping orang

yang...)



Halo! Siapa, nih?



(Nomor itu berubah-ubah, 06581 sekian

sekia, sekian. Angka-angka yang seolah

menyusun sebuah kode yang minta

dipecahkan, minta dijumlahkalikan

dan dimaknai minta diartikan, angka

yang...)



Halo! Halo?



(Warna display tiba-tiba berubah.

Warna yang tak pernah ada, yang asing

bagi retina mata. Seolah ingin

menunjukkan si pemanggil memang seorang

yang...)



Halo! Maaf ya, saya sedang ingin

santai. Telepon lain waktu saja...




(Klik! Hubungan diputuskan, seperti

ada sesuatu yang belum tuntas, yang

belum sempat disampaikan. Seperti ada

yang...)



Jun 2003
Sajak Iklan Rumah



AKHIRNYA ia pun mengubah diri jadi mimpi, dan tinggal

dalam sebuah iklan rumah yang nyaman di halaman

depan sebuah koran harian. "Jangan kemana-mana," katanya

menasihati dirinya sendiri, "di luar banyak bencana."



DIAPUN tertidur lelap dan lama sekali, dan tak sempat

bertemu dengan berita kebakaran, kebanjiran, dan

penggusuran tak jauh dari iklan rumah yang kabarnya

dibangun di lahan gusuran bekas taman pemakaman.



Jun 2003
Sajak Pasta Gigi



ADA buih yang menggumpal pada sederet gigi

ada sikat yang menggogok-gosokkan bulunya

lalu bersorak gembira: Lihat! Aku sudah

bisa memecahkan teka-tekimu, Pasta gigi!



DARI sebuah televisi, tak jauh dari kamar mandi

terdengar jinggel iklan: pernahkah Anda rasakan

sakit gigi seperti ini? Sikat gigi yang sibuk

tak sempat menyimak dan menebak teka-teki itu lagi.



Jun 2003

Monday, June 2, 2003

PELAJARAN TAMBAHAN



API datang ke ruang kelas itu

sebagai guru, memberi pelajaran

tentang marah, tentang pasrah

tentang dendam dan tentang geram.

Tanpa buku catatan, semua tersalin

lengkap dalam lembar-lembar ingatan.

Semua di luar kurikulum resmi negara.



API datang ke ruang kelas itu

sebagai buku, mengobarkan huruf-

huruf panas yang tak sempat dieja.

Ada bendera dan poster lambang negara,

yang sama tak berdaya, terbakar

bersama lembar-lembar ujian akhir

yang tak sempat terselenggara.



API datang ke ruang kelas itu,

sebagai pembawa kabar tentang

sejarah yang minta ditulis dan

dibaca. Peluru dan darah sama

hangatnya. Keduanya bisa dicarikan

alasan untuk selalu dipertemukan.

Semua di luar kurikulum resmi negara.



Jun 2003
PENYAIR KEHILANGAN KATA



ADA penyair yang kehilangan sekata Kata

ia tidak mencari tapi rindunya jangan tanya

jangan ditanya dia, "jangan tanya," katanya.



SELURUH kamus jauh, jauhnya kini dijauhinya,

"aku nanti kecewa, sebab tak ada dia disana,"

katanya. Dia, adalah kata yang meninggalkannya.



DI ujung pena di titik sentuhnya kertas nota

dijajar dieja huruf ditulis dibaca kata apa saja

jangan harap ada Kata itu sembunyi di antaranya.



KETIKA penyair itu dibunuh sunyi pada akhirnya,

tak ada huruf dan kata yang rindu kehilangan dia,

kecuali Kata yang hilang itu, tertulis di nisannya.



Mei 2003
DIJUAL Sebuah Kamera Bekas



DIJUAL sebuah kamera bekas. Pemiliknya seorang

wartawan yang baru saja meliput perang. Kondisi

kamera masih mulus. Pelepas rananya tidak ngadat.

Lensanya masih bening. Semi otomatis. Kecuali ada

sedikit goresan terbentur di sudut kiri bawah.

"Ini bekas jatuh waktu ada kejar-kejaran tentara

dan pemberontak," kata si wartawan.



KAMERA ini sudah menghasilkan ribuan lembar foto:

pengungsi di tanah sendiri, prajurit yang dilepas

peluk tangis istri anaknya, upacara penghormatan

jenazah ala militer, pendaratan pesawat pengebom,

sekolah yang terbakar, kampung yang kosong

ditinggalkan penduduk, pemakaman korban sipil,

penguasa militer mengeluarkan maklumat, anak-anak

yang kehilangan bapak, pemberontak menyerahkan diri,

pendaratan kendaraan tempur, bendera, penerjunan

pasukan, senjata sitaan, dan foto lainnya yang

semuanya layak terbit di halaman pertama sebagai

foto utama.



ANDA berminat? Hubungi saja wartawannya si pemilik

kamera ini. "Aku tidak akan pernah memotret lagi,

aku tidak perlu kamera lagi" kata si wartawan.

Oh, ya ada bekas darah di lensa kamera. Itulah

yang tersisa, yang tak sempat lagi diseka, yang

terpercik saat kamera ini memotret seseorang yang

tumbang lalu terkapar lalu mati lalu diseret

lalu diumumkan: seorang pemberontak telah berhasil

dirubuhkan....



Jun 2002