Tuesday, November 18, 2003

[Ruang Renung # 34] Kejahatan dan Percobaan Puisi

PUISI dan penyair memang luar biasa. Aneh, dan menggilakan. Ada wujud kepercayaan diri yang mudah sekali dikesan jika seorang penyair telah bicara soal puisi. Puisi adalah segalanya. Puisi adalah apa saja. Tapi puisi juga bukan apa-apa.



Coba kita simak apa kata Joseph Brodsky. Puisi, katanya, bukan seni. Bukan cabang dari kesenian. Puisi adalah sesuatu yang melebihi seni. "Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan berbahasa. Maka puisi adalah puncak dari berbahasa itu. Puisi bukan saja sebuah tujuan genetik manusia tapi juga antropologis," katanya. Maka, lanjutnya, siapapun yang menganggap puisi sebagai sebuah hiburan, sebagai sebuah bacaan, berarti dia telah melakukan kejahatan antropologis.



Pembelaan yang dahsyat dan berapi-api. Ini keyakinankah? Atau sebuah keraguan yang bersungguh? Mungkin keduanya. Karena penyair selalu terombang ambing oleh bimbang. Chairil Anwar bahkan pernah menganggap sajak-sajaknya sebagai bukan sajak. "Yang kunamakan sajak-sajak! --- itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa 'tingkat percobaan' musti dilalui dulu. Baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya."



Dengan kebingungan yang sama Marianne Moore malah menyimpulkan tak ada alasan untuk menyebut karya-karyanya sebagai puisi, kecuali jika kemudian tak ada lagi ketegori yang cocok untuk mengelompokkan karyanya itu. Wah!



Maka, yakinlah tentang keunggulan puisi. Bahwa kita tidak sia-sia bergelut menyenda puisi. Tetapi, kemudian kita juga boleh ragukan mutu puisi-puisi yang kita hasilkan. Antara keduanya, akan berlahiran puisi-puisi yang kelak akan menunjukkan keunggulannya sendiri. Ketika kita sudah "mati" dan ketika kita kelak mati.[ha]