"Anda orang TUK, ya?"
Begitulah, seorang kawan bertanya pada saya. Tentu saja saya bilang, "tidak". Sesungguhnya itu jawaban yang asal-asalan. Karena saya sesungguhnya tidak mengerti apa maksud sebenarnya dari pertanyaan itu.
"Orang TUK?"
Maksudnya, mungkin, 'orang TUK' itu adalah sastrawan yang terdaftar sebagai anggota Komunitas Utan Kayu. Saya tidak tahu, apakah TUK membuka semacam pendaftaran untuk sastrawan, dan mereka yang mendaftar lantas resmi menjadi orang TUK. Atau maksudnya, adalah orang yang seiman dan setuju dengan estetika TUK? Saya tidak tahu persis seperti apakah estetika TUK.
Saya membaca "Saman" dan "Larung" dua novel karya Ayu Utami, dan saya menyukainya - maksud saya menyukai dua novelnya itu, dan menunggu novel "Monolog (Atau Dialog?) Dua Agnes" yang kabarnya tengah ia persiapkan - tanpa peduli apakah dia seorang pendiri TUK atau bukan. Saya mengoleksi buku-buku puisi Goenawan Mohamad, menyukainya, belajar dari jurus-jurus puisinya, lama sebelum dia membangun komunitas TUK. Saya menyukai sajak-sajak Sitok Srengenge dan baru belakangan tahu kalau dia adalah direktur festival sastra dua tahunan yang digelar TUK. Saya membaca kritik-kritik Nirwan Dewanto dan saya kira dia mewakili dirinya sendiri, bukan komunitasnya.
"Orang TUK?"
Bagaimana mungkin. Sampai tahun 2007 ini saya tetap tinggal dan menulis puisi, juga menulis tulisan ini di Batam. Saya tidak berniat pindah. Belum. Apakah TUK buka cabang di daerah-daerah?
Setahu saya, Jawa Pos menjadi donatur TUK. Sepertinya TUK juga dapat bantuan donasi dari lembaga luar negeri. Sama saja dengan majalah Horison yang bertahan berkat bantuan dana dari lembaga luar negeri. Setahu saya, Goenawan Mohamad memang sejak awal ada saham di Jawa Pos. Setahu saya, ketika TUK membuka kompleks teater baru yang bernama Komunitas Salihara, Jawa Pos juga yang menyumbang dananya. Saya sejak SMA - kurangi waktu kuliah - dan kembali lagi pada tahun 1997, menjadi karyawan di beberapa surat kabar milik Jawa Pos Grup. Kalau mau dihubung-hubungkan, ya itulah hubungan saya dengan TUK. Mengada-ada ya? Bikin malu saja....
Puisi saya tak pernah dimuat di Kalam. Tapi, ada dua kali dimuat Koran Tempo yang redakturnya Nirwan Dewanto itu. Sembilan kali di Kompas, ketika redakturnya Hasif Amini yang menggantikan Sutardi Calzoum Bachri, dan kita tahu Hasif adalah orang TUK. Saya tidak pernah tampil di TUK. Saya tak pernah diundang ke festival dua tahunan TUK. Saya pernah tampil di TIM ketika Ketua Komite Sastranya masih dijabat oleh Agus R Sarjono, artinya, sebelum TIM sekarang dituduh "dikuasai" oleh TUK, dan diolok-olok telah menjadi cabang TUK. Saya pernah tampil di Festival Kesenian Yogyakarta, atas undangan divisi sastranya yang diketuai oleh Saut Situmorang, sastrawan yang paling keras mengkritik TUK saat ini. Kami - saya dan Saut - pernah sama-sama mengelola situs Cybersastra. Tentu saja dia saat itu sudah punya nama, sekembalinya dari luar negeri, sementara saya bukan siapa-siapa. Semuanya biasa saja. Semuanya bisa terjadi pada siapa saja. Lantas apakah saya orang TUK? Atau bukan orang TUK? Apa perlunya pertanyaan itu?
Tapi, jangan-jangan pertanyaan itu sekarang diajukan ke siapa saja, maksud saya diajukan kepada para sastrawan Indonesia. Anda orang TUK? Jika itu pertanyaannya apakah ada pilihan lain? Orang TUK atau bukan orang TUK. Siapakah orang TUK? Siapakah orang yang bukan TUK?
Ah, sebenarnya semula saya tidak peduli dengan pertanyaan itu. Tapi, lama-lama kok pertanyaannya jadi merisaukan ya? (bersambung)