: Shania Saphana
SHANIA, tahukah kau sejarah nama-nama kita? Kau percayakah?
       Ketika kupanggil engkau, aku seakan sedang berdoa?
Ayahku penyair, ibuku perempuan cantik penyulam yang mahir.
       Ayahku mengharap bayi semanis puisi, ketika benihnya tumbuh
       di rahim si penyulam. Ia persiapkan nama: anagram
       dari sebuah yang silam, sebuah yang rahasia.
Ternyata, yang lahir adalah aku, bayi lelaki yang menangis
       seperti melaung syair: Gitanjali, senandung puji.
Ayahku teringat Tagore. Lalu ia beri aku nama depan: Kavi.
Ah, dasar penyair, kemudian ia gabungkan dua kata, abstrak
       dan nyata, mata dan sukma. Maka, namaku Kavi Matasukma.
Dan, Shania, anagram rahasia yang ia persiapkan diberikan
       pada sahabatnya. Sebab, ibuku tak pernah melihat aku,
       karena luka rahimnya, mengeringkan darah di tubuhnya,
       lantas merenggut nyawanya. Satu-satunya nyawa.
Sejak itu, ayahku tak pernah lagi menulis puisi. Aku diasuh oleh
seorang lelaki yang amat pendiam. Pada nasib ia dendam.
Sampai aku membawamu bertemu dengannya. Sebuah pertemuan
       yang mendedahkan sejarah nama-nama. Namamu, namaku, Shania.
***
SURGA, adakah bahasa di sana? Mungkin memang tak ada
Hanya isyarat, tak ada batas antara surat & sirat,
       hati bukan tempat persembunyian segala gerak niat
Adam dan Hawa, siapa yang memberi nama? Siapa yang ingin
       saling memanggil? Dari siapa nama itu berbeda?
Nama, mungkin Tuhan pun sedang menyimpan rahasianya di sana
Ia sebut lelaki itu Adam, dan perempuan itu Hawa, dua benih kata
Agar dari keduanya lahir sebuah bahasa.
SURGA, kenapa iblis lebih fasih mengajarkan bahasanya?
Adam yang pendiam, terbujuk jua oleh kata-kata baru Hawa
Punya bahasa, ternyata menghadirkan banyak kemungkinan bahaya
Hari itu senja, Adam baru tahu nama buah itu dari Hawanya.
Adam mendengar kata manis dan gurih dari Hawanya
Nama kamu berdua abadi di surga ini, bila kamu mencicipnya
Adam dan Hawa tergoda, di dunia mereka lupa semua kata.
Shania Saphana!
Sebuah akrostik yang mempesona. Lagi bermakna.
Aha. Ayahku menjadi penyair lagi rupanya. Seperti penyair
dari Tasikmalaya. Bukan karena bisik iblis,
tentunya. Tapi karena bertemu denganmu, Shania.
"Bagaimana kamu menemukannya, Kavi Matasukma?" Ayahku
       bertanya, seperti melihat pertemuan ajaib. Aku
       mengerti, ketika itu dia berhadapan seorang gadis cantik
       seperti diramalkan oleh nama yang dulu diciptakannya.
Begitulah, aku tidak meminta, kenapa ia tidak susun saja
       huruf-huruf namaku menjadi aksara awal bait-bait sajaknya.
Karena aku telah puisi sejak semula. Aha!
***
SHANIA, tahulah kau sejarah nama-nama kita. Kau percayakah?
       Ketika kupanggil engkau, aku seakan sedang menyusun
       jawaban untuk sejuta tanya, dari sebuah Rahasia.
Kau bertanya, "karena sejarah itukah, kau menjadi penyair?"
       dan kau tertawa.
Tidak, Shania. Aku menjadi penyair karena ibuku penyulam mahir.
       Dengan benang sehelai, ia pindahkan yang khayal ke
       yang wujud dalam selembar cindai.
Aku kira ibuku tidak pernah benar-benar meninggalkan dunia.
       Ia moksa, lalu bereinkarnasi jadi aku. Atau semungkinnya aku
       mewarisi semua khayalnya. Sedang aku kini punya kata-kata.
       Adakah alasan untuk menyia-nyiakan kau yang terus-menerus
       menggoda untuk aku sajakkan, Shania?
Lagi pula, Shania, aku tidak pernah ingin jadi apa-apa. Kecuali
       satu imajinasi, ketika aku pertama bertemu engkau. Aku ingin
       jadi pemarip, pegawai istana yang bekerja lepas senja
       menyanyikan cerita agar lekas terlelap puteri raja.
       Sebab kukira, kau adalah puteri dari entah istana mana,
       yang menyamar jadi siswi SMA, tanpa pengawal bersenjata.
"Ah, kau telah dikutuk Poerwadarminta. Berapa halaman sudah kau
       hafal di luar kepala?" katamu, "Saya kira nanti di kala
       tua, kacamatamu setebal Kamus Umum Bahasa Indonesia."