Wednesday, September 19, 2007

Bantal Ombak dan Bunga Matahari


                                                                     
                                                                                 : D Zawawi Imron


"Aku sekarang melukis," katamu. Ada bercak renjis cat minyak
di kaus kusammu. "Aku suka melukis bantal ombak," katamu.

"Adakah harum garam, dan lebat buah siwalan di kanvasmu?"
aku bertanya, lalu kuhirup kepul kopi, pada cangkir penuh ini.
Kau melirik kapal tak bisa berangkat, di Kedaulatan Rakyat.
 
"Kau tak melukis bunga matahari?" aku pun bertanya lagi.

"Aku pernah bercakap-cakap dengan bunga matahari,"  katamu.
"Dia bilang, dia tidak wangi, hanya pelukis gila yang mengagumiku
di kanvas-kanvasnya, sebelum ia pun memotong kuping sendiri."

Ya, ya. Aku ingat. Kau pernah berangkat. Ke Belanda. Pulangnya
bawa dam, dan renjis salju di tubuh yang sama,  gigil yang lama.