Utan Kayu International Literary Biennale Festival. Itulah sebutan lengkap festival tersebut. Sesuai dengan namanya, ini adalah hajatan dua tahunan. Pertama kali digelar tahun 2001. Sejumlah penulis dan penyair dari Indonesia dan sembilan dari luar negeri tampil di Jakarta dan Yogyakarta. TUK kala itu bekerja sama dengan Winternachten Oversee, Belanda. Karya dari penulis asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, demikian juga sebaliknya. Saat sajak dibaca sajak ditampilkan melalui layar proyektor. Satu buku kumpulan karya yang dibacakan selama festival dibagikan kepada tiap hadirin. Buku itu berisi sajak dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Dua tahun berikutnya, TUK mengadakan acara serupa dengan partisipasi dari Winternachten dan Vienna Poetry School, Austria. Festival yang ketiga ini berlangsung di tiga yaitu kota, Denpasar, Solo, dan Jakarta.
Inilah festival yang mulai mendapat hujatan. Sebab ketika tampil di Solo, tak ada satupun penyair Solo ikut menjadi peserta. Festival kali ini menampilkan sebagian dari karya terbaik dari Indonesia, seperti Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya juga para sastrawa muda yang menurut pengamatan tim kurasi TUK menonjol. Peserta dari luar Indonesia datang dari Afrika Selatan, Belanda, Suriname, Kepulauan Antilles, Jerman, Austria, dan Malaysia.
Tahun 2005, Utan Kayu Literary Bienal digelar di Bandung. Tahun ini, 2007, Magelang dan Jakarta jadi kota pilihan penyelenggaraan festival tersebut. 26 penulis dari luar negeri dan 26 penulis dari dalam hadir.
Apakah Winternachten Oversee itu? Ini adalah lembaga kesenian yang didirikan oleh sejumlah seniman dan aktivis seni di Belanda. Setiap tahunnya menggelar acara Festival de Winternachten di Den Haag Belanda, dan di negara lainnya, yang erat dengan sejarah Belanda, khususnya negara yang pernah dijajah Belanda. Kerja sama inilah yang mungkin menjadi dasar tuduhan bahwa TUK membawa ideologi imperialis! (bersambung)
Baca:
Laporan Tempo tentang Utan Kayu Litterary Bienal Festival 2007.