Wednesday, September 26, 2007

TUK Kenal, Maka TUK Sayang (3)

Sekali lagi, Kalam adalah jurnal yang terbuka dan menantang pembacanya. Pada edisi ke-18, 2001, misalnya, ada sebuah penegasan dalam pengantar redaksinya.
....Berulang kali jurnal ini menyatakan bahwa sebagian besar, kalau perlu seluruh, halamannya siap memuat karya panjang seorang penulis - ..... Bukan main sulitnya mengail tulisan demikian ... Merangsang para penulis esai dan kritik mungkin bisa, yakni dengan jalan memberi tema tertentu yang sejalan dengan minat, disiplin dan pokok umum penelitian mereka, sebagaimana kami lakukand engan sejumlah diskusi di Teater Utan Kayu. Ternyata, itu bukan mustahil sama sekali. Kami bertukar pikiran dengan penulis manapun. Nukila, misalnya, mengirimkan karyanya ke Kalam bagian demi bagian.

Ini adalah pernyataan sikap terbuka dan sekaligus tantangan itu. Saya sangat jarang membeli Kalam. Sebagaimana saya nyaris tidak pernah lagi membeli Horison. Puisi, bagi saya, mungkin juga bagi banyak orang lain, lebih enak diikuti perkembangannya di surat kabar minggu. Di rak buku saya, hanya ada dua buku Kalam - maksud saya Kalam yang sudah terbit dalam format buku.

Dari bacaan saya atas Kalam yang tidak intens itu, saya lihat para penulis yang tampil sangat beragam asal, berbagai umur, tak ada kecenderungan untuk menampilkan kelompok X saja, atau menampilkan estetika tertentu saja. Saya pernah mengirim sejumlah sajak, dan belum pernah dimuat.(bersambung)