Tuesday, September 25, 2007

Makam Tak Perlu Lagi, Makna Tak Harus Lagi

Paus Merah Jambu (Kumpulan Sajak)
Pengarang : Zen Hae
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta, Mei 2007
Tebal : 116 halaman.

"hiduplah yang sekarat, musnahlah keindahan" (bidadari yang tersesat di sebatang sungai, hal. 25)

Dunia Sajak Zen Hae
     Dunia dalam dunia sajak Zen Hae adalah dunia yang tidak nyaman. Dunia yang tidak tenteram. Dunia yang penuh ancaman. Dunia yang dikutuk. Dunia yang diorangi oleh orang-orang yang kehilangan arah. Di dunia itu, 'tak ada bintang di langit'-nya (Sajak 'di halte malam jatuh', hal 1). Di dunia itu cinta menjadi asing, sehingga orang-orangnya 'terbiasa menyimpan cinta' di batu-batu. Tak adakah harapan? Ada, cinta yang disimpan di batu itu, masih diharapkan menjelmakan gadis kecil, tetapi kepada gadis itu pun kelak diberi ciuman, disematkan melati, dan juga belati (!).
     Di dunia semacam itulah aku - sosok yang bisa mewakili bisa pula tidak mewakili sosok penyairnya - hadir. Si aku adalah orang yang sadar telah punya kemampuan untuk berbuat, melakukan sesuatu, mengambil tindakan. Dan karena itu ia ingin pergi, menjauh, ambil jarak dari dunianya semula. Tetapi ia ragu.

"bus yang penuh sesak itu akan berangkat?"

     Si aku membayangkan perjalanan yang tidak nyaman. Tempat yang dituju oleh bis itu, dengan kata lain, bila si aku ambil tindakan, bepergian, maka si aku hanya akan sampai di tempat yang sama tidak nyamannya.

"bis itu akan berhenti di terminal yang tak ada bintang."

     Bis itu berhenti di kota-kota lapar. Di sana, hujan pun jatuh sebagai tombak, yang menghunjami senja, sehingga malam jatuh dengan ubun-ubun terluka.  Mengerikan. Dan meletihkan. Itulah imaji dunia sesak yang disajikan Zen Hae di sajak pertama di bukunya kumpulan puisi pertamanya "Paus Merah Jambu". Inilah buku berisi 44 sajak yang menandai 15 tahun usia menyair seorang Zen Hae. Sajak-sajak di buku itu bertahun 1992 hingga 2006. Karena itu ini buku penting untuk mengukur, menelisik, menimbang, apa yang sudah dan belum ia capai.


Jejak Publikasi yang Hilang
     Dalam pengantar singkatnya di buku ini, Zen Hae menyebut bahwa semua sajak yang ia tampilkan sebelumnya pernah terbit di berbagai media. Ingat, semua sajak di buku ini pernah terbit di koran, majalah sastra, dan jurnal kebudayaan. Ia tidak menyebutkan sajak yang mana terbit di media mana, dan bila mana. Dan memang tidak perlu. Yang menarik adalah akhirnya di buku ini, jejak-jejak penerbitan itu toh tidak penting untuk dilacak. Rasanya, tak ada bedanya kalau sajak A terbit di media X, dan sajak B terbit di jurnal Y. Toh, catatan itu, kalau ada, rasanya tidak juga bisa membaca selera redaktur di koran X adalah begini, dan selera redaktur di koran Y adalah begitu. Sebab dunia, nada, emosi sajak Zen Hae nyaris seragam.
     Lima belas tahun, 44 sajak. Rata-rata hanya tiga sajak per tahun. Dengan angka itu, saya kira Zen Hae memang bukan penyair yang produktif. Kesimpulan ini buru-buru harus disertai pembelaan bahwa produktivitas bukanlah satu-satunya penentu mutu atau pengukur pencapaian seorang penyair. Saya curiga, sebenarnya, Zen Hae ada menulis sajak-sajak lain yang tidak dia siarkan. Saya yakin ada juga sajaknya yang ditolak oleh redaktur. Saya curiga jangan-jangan ia memang hanya ingin membukukan sajak yang 'berhasil' dimuat di media. Jangan-jangan ia memang ketat menyeleksi sajak-sajaknya, dan menganggap sajak yang berhasil adalah sajak yang berhasil tersiar di surat kabar. Karena itu, ia pun puas dengan hanya menampilkan 44 sajak dalam kerja menyair 15 tahun.
    Ikhwal miskin karya ini juga harus lekas disertai dengan permakluman lain, yaitu Zen Hae juga menulis karya sastra dalam bentuk lain, yaitu cerita pendek, dan ia juga sesekali menulis esei sastra.

Nada yang Seragam
    Telah disebutkan sebelumnya bahwa emosi, nada, dan (nyaris juga) tema, dalam sajak-sajak Zen Hae nyaris seragam. Saya kira ini bisa dianggap sebagai sebuah keberhasilan atau keteguhan mempertahankan sebuah gaya, atau malah sebaliknya ini adalah kegagalan untuk menciptakan variasi-variasi garapan.
     Dunia sajak Zen Hae adalah dunia yang tidak punya harapan. Coba lihat bagaimana dia menghadirkan 'matahari'. Bila matahari secara generik dalam banyak sajak kerap dipakai sebagai lambang harapan maka ia menghadirkan matahari yang lain: matahari yang didatangi oleh kami untuk 'menyiram kubur mereka dengan api..." (taman kanak-kanak, hal 4), 'seekor matahari yang berkecipak dalam lumpur' (malam perhelatan, hal 17), dan si aku pun hadir dalam sajak lain untuk 'melubangi matahari' (mitologi keluarga kami, hal 18), di sajak lain 'matahari akan lumer seperti minyak kelapa' (syair orang tenggelam, hal 20), lalu 'matahari yang terlempar dari samudera' yang dikejar 'sekelompok anjing' yang 'berlari sepanjang pantai' (segitiga, hal 22), dan 'matahari melesat dari mata anak-anak menyisakan ceceran api di cakrawala' (opera pukul lima sore, hal 28), 'matarahari yang rombeng' dan 'nyaris meleleh saat kugigit telingamu' (jatibaru, hal 30).
     Zen Hae, memang tidak ingin menghibur pembaca. Dia tidak sedang mendedahkan harapan-harapan. Ia memberi peringatan. Ia bersaksi atas dunia yang kacau balau. Jangan-jangan ia tanpa sadar telah dan sedang memberi firasat akan sebuah bencana yang dahsyat yang akan tak putus-putusnya datang. Jangan-jangan, itu pula sebabnya ia tidak menulis (atau tidak menerbitkan) sebutir sajak pun pada tahun 1998. Di buku ini tidak ada sajak yang bertanda tahun ketika sebuah huru-hara besar besar terjadi di negeri ini, terjadi dengan episentrum di Jakarta, kota kelahiran penyair kita ini.
     Zen Hae, sepertinya terus menerus berada dalam marah yang permanen, curiga yang berterusan. Dari sanalah mungkin ia mendapatkan energi kreatif untuk sajak-sajaknya. Agak menarik juga untuk menguji apakah dugaan ini benar. Jangan-jangan ia memang tergerak untuk menulis sajak bila telah menggumpal-gumpal kemarahan di dalam kepalanya, meledak di dadanya. Maka, bagi saya, sajak-sajaknya semua seperti diteriakkan keras-keras di telinga saya.
     Saya memilih "sebujur sajak" untuk dibicarakan secara utuh. Saya kira ini mewakili semua sajak-sajaknya. Sajak ini ditulis di tahun 2006. Rasakan nadanya nanti, nada yang tak jauh beranjak dari sajak yang kita petik sebagian di awal tulisan ini, sajak yang berasal dari periode awal kepenyairannya.
tibalah aku pada sebuah fragmen

     Penyair kita memulai sajak ini dengan bait sebaris itu. Menulis sajak, baginya sepertinya memang sebuah kesadaran tentang ketibaan pada sebuah fragmen. Pada sebuah penggalan babak kehidupan.
matahari pantat dandang
samudera selempengan besi karat
belantara ditinggalkan burung-burung
sebuah dentuman seringan igauan
seekor naga berlari
nun di bawah kakiku
menuju laut, katanya
membujuk maut

     Nah, ini suasana tipikal yang hadir nyaris pada semua sajak Zen Hae. Murung, mengancam. Ada adegan surealis (naga berlari) yang bisa ditemukan pada banyak sajaknya yang lain. Lihat, sajak ini melengkapi lagi perbendaharaan matahari yang 'unik' khas Zen Hae. Kali ini ia hadirkan matahari yang hitam, matahari yang padam (?), seperti pantat dandang. Dan samudera? Samudera adalah lempengan besi berkarat! Tidak ada yang nyaman bukan?
  
maka kuterima pagiku kali ini
requiem yang seriang aubade
shalawat yang sepedih talkin
kuhimpun segala yang tersisa untukmu:
selapis tanah
segulung air
sepukul angin
setombak api
sekarat nyawa

Ketidaknyamanan itu ia perparah lagi dengan suasana pagi yang ia terima begitu saja. Pagi yang tidak segar. Kematian dirayakan dengan riang. Pujian terasa pedih seperti pengantar kematian. Yang tersisa adalah ancaman-ancaman dari mana-mana, ancaman yang membuat nyawa sekarat.
la haula wa la quwwata
mayat dipanggul si orang buta
     Zen Hae mengutip ayat dari kitab. Ia pada sajak-sajaknya memang terlihat tak asing dengan khazanah kisah dari kitab suci. Ayat yang ia kutip pun ia arahkan untuk memperrtegas ketidakberdayaan manusia. Tiada daya. Tiada upaya. Pilihan, sepertinya hanya dua: mati menjadi mayat, atau bertahan hidup tetapi tak mampu melihat apa-apa, tidak bertujuan, alias buta!
siang waras, aduhai, malam gila
anak-anak perlahan sirna
di antara hujan dan anjing hijau
di mana bangkai mereka?
di mana kubur mereka?
di mana tuhan mereka?
     Dalam situasi itu tidak ada yang mampu mempertahankan kewarasan. Siang waras, malam gila. Dan korban terbesar adalah anak-anak. Keceriaan, kepolosan, kejujuran perlahan sirna. Di mana bangkai mereka? Lihat yang tersisa dari anak-anak dan sifat anak-anak itu hanyalah bangkai. Atau adakah kubur untuk diziarahi? Kubur tempat kenangan ketika si terkubur itu masih hidup bisa membangkitkan kenangan dan ingatan? Akhirnya keraguan pada tuhan pun terbit. Di mana tuhan? Kok dia tidak berbuat apa-apa untuk melindungi anak-anak itu?
maka kuterima pagiku kali ini
sebuah momen paling laknat untuk sajak
penaku meneteskan kata-kata duka
lembar-lembar kertas melinting
menjelma bunga-bunga kering
berziarah bersama angin
ke semesta makam

     Ya, semakin yakin saja saya. Zen Hae memang penyaksi segala kemuramah dunia. Pagi yang datang padanya, awal hari, yang mestinya adalah saat untuk bersiap menghadapi hari sehari, menghadapi hidup, justru ia terima sebagai momen paling laknat untuk sajak. Penanya meneteskan kata-kata duka. Kertas, tempat sajak itu ia tuliskan, melinting, menjelma bunga kering, lantas bunga kering itu terhembus angin, berhamburan, terbang, berziarah atau tertabur ke dunia yang mati yang tak berharapan lagi itu, dunia telah menjadi semesta makam! Ah, seram!

tibalah aku pada sebuah fragmen
sebujur sajak di depan segerombol mayat
kata-kata beku-dingin, arwah-arwah menggoda
serupa perawan di bawah bulan merah muda
makam tak perlu lagi, makna tak harus lagi
maka kugeletakkan sebujur sajak
di antara auman seekor naga
mayat-mayat merawikannya:

la haula wala quwwata
sajak di samping si anjing gila


     Zen Hae dengan baik merumuskan sajak-sajaknya lewat sajak ini. Kata-kata sajaknya adalah kata yang dingin-beku. Sajaknya adakah kesaksian atas dunia yang kacau, ibarat segerombol mayat, dan arwah-arwah dari mayat itu risau, tak tenang. Arwah-arwah itu menggoda. Di dunia seperti itu, apa gunanya makam? Toh telah ia sebutkan bahwa dunia adalah semesta makam? Segalanya telah mati, berulang kali. Maka, si penyair menggeletakkan saja sajak yang terbujur itu di antara auman naga, saya kira ini metafora sebuah ancaman tadi. Sajak telah mati. Ia pernah hidup. Tapi riwayat hidupnya pun terbaca atau dibacakan oleh mayat-mayat pula, oleh kematian pula.

Pelancongan yang Dibenci
     Akhirnya, saya bayangkan, Zen Hae eh si aku dalam sajak-sajaknya, memang tidak pergi ke mana-mana. Ia bertahan saja di tempatnya dan ia bisa hidup dengan terus memberi kesaksian pada kekacuan tadi. Ia benci bepergian. Ia benci pelancongan. Apa yang bisa dinikmati dari kerja melancong ke dunia yang kacau balau itu? Ketika tamasya dan ziarah tak ada bedanya lagi? /Atas nama promosi wisata, tuan-puan, sebentar lagi / tangan-tangan sebening gerimis / akan mengepang pelangi / jadi jembatan warna-warni, // ohoi, melepas lelah di gerumbul awan / kencing di gurun bulan / siapa bisa tahan? //
     Sikap anti-pencongan ini bisa kita baca dan temukan di beberapa sajaknya yang lain. Dengan pilihan tidak bepergian kemana-mana toh akhirnya si aku masih juga sadar bahwa dia hanya "...pelancong dungu / menanti para pemandu". Demikianlah. Zen Hae memang tidak ingin memaparkan keindahan, dia tidak ingin menghibur kita, dia ingin berteriak dan memberi peringatan. Tiap harapan yang muncul, segera akan dimentahkan.

"beri kami mimpi indah, nyai, beri kami sorga!"

tak mungkin, akang, teu meunang
tak ada impian setelah kutuk tuhan
(bidadari yang tersesat di sebatang sungai, hal, 25)
     Pasti ada sisi-sisi yang luput dari pembacaan saya atas sajak-sajak Zen Hae ini. Tapi itulah beberapa yang tertangkap oleh saya. Sapardi Djoko Damono bilang, tiap tafsir akan memperkaya sajak yang ditafsirkannya. Semoga bacaan saya bisa dianggap sebagai sebuah upaya menafsir dan semoga tafsir saya bisa memperkaya sajak-sajak pada buku "Paus Merah Jambu" ini, bukan membuatnya menjadi semakin miskin makna. Walaupun penyairnya sendiri telah mengambil sikap: menggeletakkan sajak di depan mayat-mayat. Walaupun bangkai sajak itu baginya tidak perlu dimakamkan (tak perlu diberi harga?), dan tak harus dimaknai apa-apa lagi. Ah, seram! []