Sunday, September 16, 2007



Di FKY 2007 (foto oleh Kinoe)

Tiga komentar untuk sebuah calon buku:
  
   Aneh. Betul-betul aneh. Tidak seperti kumpulan-kumpulan sajak yang pernah saya baca sebelumnya. Dalam kumpulan sajak ini, tak ada satu pun sajak yang tidak saya suka. Seberapa tebal pun halaman kumpulan sajak ini nantinya, ia tak akan membosankan untuk dibaca.
    Anehnya lagi, meskipun banyak 'bercerita' perihal sederhana yang mungkin oleh sebagian besar orang dianggap tak mungkin jadi sajak, semuanya malah menjadi betul-betul sajak yang dituliskan penuh pertimbangan. Kata-kata dipilah dengan cermat. Bunyi-bunyi dipilih dengan jernih. Beberapa di antaranya, menurut saya melebihi sajak--saya tak tahu harus menyebutnya apa.
     Kecurigaan saya bertambah tumbuh, jangan-jangan Hasan Aspahani betul (pernah) tinggal bersama banyak penyair; seperti Neruda, Paz, sampai Sapardi dan Jokpin. Sebab saya berpikir bagaimana mungkin sajak-sajak itu ditulis oleh seorang saja.
     Setiap sajak Hasan tak pernah melepaskan diri dari; hal filosofis yang membuat saya merenung; hal jenaka yang membuat saya tersenyum; hal indah yang membuat saya terkagum-kagum--ditambah pula dengan musik kata-kata yang membuat saya bersenandung dan bergoyang. Semuanya itu membuat saya sungguh-sungguh iri.
     Aneh. Betul-betul aneh! (Aan M Mansyur – penyair, pengelola Kafebaca Biblioholic, tinggal di Makassar)


     Dalam 2-3 tahun terakhir saya membaca puisi (yang di koran-koran minggu terutama), salah seorang yang saya tunggu puisi-puisinya adalah Hasan Aspahani. Inilah yang saya rasakan setiap membaca puisi-puisi Hasan: ada upaya penyegaran, permainan sudut pandang, akrobat bentuk, upaya mencari yang berjalan di rel sekaligus -- kedalaman diksi dan eksperimentasi kemasan.
     Puisi tak melulu menjadi arca yang buram seperti museum berdebu (yang tak lagi diingat orang). Kadang-kadang Hasan menjadikannya seperti cahaya neon yang mengepung kota (dan mengingatkan saya -- entah lewat cara apa -- pada Scarlett Johansson dalam "Lost in Translation"). Di tangan Hasan, puisi tak melulu menjadi kata-kata singkat yang bertenaga (heran juga saya, mengapa para penulis yang jago di bidang ini lebih suka menyebut diri mereka sebagai "copywriter" ketimbang "penyair"), meski kadang-kadang kelihatan diksi pilihan Hasan masih kerap "kelelahan" juga mengandung beban makna. Adakah penyair yang sudah terbebas dari penyakit ini? (Akmal Nasery Basral, wartawan Tempo, pengarang, tinggal di Jakarta)

     Saya suka membaca tulisan-tulisan Hasan Aspahani, baik sajak-sajaknya maupun esai-esainya. Saya kadang iri dengan energi intelektualnya. Karya-karyanya selalu mengingatkan saya bahwa puisi adalah seni kata yang menuntut si penulisnya memeras otak, mengolah dan menyiasati kata dari berbagai sudut dan dimensi, menghidupkan yang lama dengan nafas dan sentuhan baru, mencoba berbagai kemungkinan cara dan gaya pengungkapan.
    Kemampuan berpikir logis dan sistematisnya menjadikan alur puisinya lancar dan padu. Dan ia tetap tidak kehilangan keliaran imajinasi; ia, misalnya, sering mengocok dan mempermainkan logika. Tentu itu saja tidak cukup. Sembari menjelajahi keluasan ruang gerak kata, ia juga berusaha mengasah kepekaannya untuk menggali makna di balik peristiwa, cerita di balik berita. Saya bayangkan Hasan sedang bergumul dengan “kamus”nya sambil dipukau tanya: apa yang membuat puisi bisa lebih menyentuh empati? (Joko Pinurbo, penyair, tinggal di Yogyakarta)