* Telaah Kepenyairan Acep Zamzam Noor
DIA sudah menulis puisi sejak SMP, tahun 1976. Ketika SMA, tahun 1979, sajaknya dimuat di majalah Puteri Indonesia. Ia masih menulis puisi hingga ini, dan kita bisa membaca sajak-sajaknya di surat kabar. Ia masih berkarya. Ia termasuk penyair penting Indonesia saat ini. Sesungguhnya tidak mengherankan mengapa penyair kelahiran Tasikmalaya, 28 Februari 1960 itu masih tetap menulis puisi. Sebab ia pernah menulis bahwa dia dan puisi cukup mesra, dekat dan sangat bersahabat. Dia pernah bilang, bahwa dia dan puisi seperti sepasang suami-istri. "Kami saling tolong, dalam suka dan duka."
Sesungguhnya, ya, memang tidak mengherankan kenapa dia masih menulis puisi. Dia telah sampai pada kesadaran bahwa puisi tidak hanya minta untuk selalu dituliskan, tetapi juga untuk dilakukan. "Untuk jadi perbuatan sehari-hari," katanya.
Sajak seperti apakah yang dihasilkan oleh penyair yang sudah sampai pada kesadaran seperti itu? Dia sendiri tak begitu peduli. Dia tidak terlalu mempersoalkan apakah dalam kurun waktu kepenyairan dua puluh tahun lebih dia telah mencapai sesuatu dari tinjauan artistik, tema atau apapun.
"Saya juga tidak terlalu peduli apakah dalam kurun dua puluhan tahun kepenyairan, saya ini sudah menyumbangkan sesuatu yang berarti pada kesusasteraan Indonesia atau belu. Semua bukan urusan saya, tetapi persoalan sejarah," katanya dalam pengantar buku "Jalan Menuju Rumahmu.
Kenapa dia menulis puisi? "Sejak awal, saya menulis puisi karena kebutuhan untuk berekspresi, kebutuhan untuk menyatakan diri... Meskipun begitu tanpa terasa puisi telah menjadi jalan hidup saya, telah menjadi napas saya..."
***
Ia telah menyerahkan penilaian kepenyairannya kepada sejarah, kepada perjalanan sajak-sajaknya. Itulah sebabnya mungkin, kenapa pada buku terbarunya "Menjadi Penyair Lagi" dia sengaja menyandingkan sajak-sajak awalnya, dari yang bertahun 1978 hingga sajak terbaru yang bertahun 2006. Sajak-sajak dalam rentang waktu 28 tahun!
Saya masih menyimpan sajak-sajak SMP saya. Tetapi saya tidak pernah membayangkan kelak akan menyandingkan sajak-sajak saya itu dengan sajak saya tahun-tahun ini. Lebih tegas lagi: tidak akan pernah saya lakukan itu! Ada kesenjangan yang jauh sekali. Sapardi Djoko Damono saja ketika saya tanya tentang sajak-sajak masa SMA-nya, dia menjawab, "ah lupakan saja. Tidak penting". Tetapi Acep Zamzam Noor, penyair yang kita bincangkan ini, melakukannya. Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari sikap itu?
Mari kita baca dulu sajak sulungnya dari buku "Menjadi Penyair Lagi"
Prelude
Ini sajak manis untukmu
Semanis sirup
Minumlah barang seteguk
Sajak adalah harapan
Sajak adalah hidupku akan datang
Sajak adalah danau tenang
Tanpa sampan tanpa gelombang
Sajak adalah kenangan
Sajak adalah jejak pengembaraan
Sajak adalah bukit hijau
Dengan sungai berbatu di lerengnya
Ini sajak manis untukmu
Semanis rindu
Teguklah bersama waktu
1978.
Saya kira, Acep muda, Acep yang masih duduk di bangku SMP atau SMA kala menulis sajak ini, sadar atau tidak, telah menulis semacam kredo sajak-sajaknya. Ia memberi judul "Prelude". Judul yang cerdik, tepat dan baik. Sajak ini, memang boleh dianggap sebagai pendahuluan dari semua sajak-sajaknya. Ia memang nyaris selalu menyuguhkan sajak-sajak yang manis. Sajak yang menyajikan apa yang ia sebutkan dalam sajak ini: harapan, masa depan, kesaksian atau keterpukauan pada alam, dan catatan pengembaraan.
Dan kita, para pembaca ini, tidak dipaksa untuk meminum sajak-sajaknya sebanyak-banyaknya. Dia bukan Rendra yang dengan sajak-sajaknya hendak menggedor kesadaran. Dia bukan Sutardji yang hendak merombak tatanan-tatanan bahasa dan dengan sadar menciptakan puncak-puncaku pencapaian, lalu menantang orang atau penyair lain untuk melampaui puncak-puncak itu. Acep hanya menyarankan kita untuk minum barang seteguk saja. Dan sajak ini bisa juga kita baca sebagai semacam janji. Bahwa ia akan terus menerus menulis sajak.
Sejak awal, dengan kredo itu, Acep tampaknya memang tidak berniat menyiapkan sejumlah eksperimen berbahasa dalam puisi-puisinya. Menulis puisi, seperti yang ia sebutkan, benar-benar ia maknai sebagai pemenuhan atas kebutuhannya berekspresi, kebutuhan untuk menyatakan diri.
Maka, dengan sikap seperti itu, kita tidak heran bila menemui sajak-sajaknya seakan-akan tak hendak berubah gaya ucapnya. Bagi kebanyakan pembaca, ini mungkin akan mudah membosankan. Ia hanya menjaga agar bahasa sajaknya tidak bermasalah (bahasa yang bersih, katanya). Ia menyadari hanya ada perubahan "selera" dalam soal tema maupun cara pengungkapannya. "Meskipun tidak terlalu banyak," katanya. Artinya, kita tidak ia janjikan kejutan-kejutan dalam sajak-sajaknya.
Acep, saya kira, sejak sajak awalnya itu, memang tidak hendak mencari-cari gaya ucap. Dengan demikian, justru ia menemukan gaya ucapnya sendiri. Acep tidak menetapkan taraf tertentu yang harus dicapai sajak-sajaknya. Dengan begitu, justru ia sedikit demi sedikit meninggikan taraf sajaknya.
***
Ia telah menyerahkan penilaian pada sejarah, dengan kata lain, pada perjalanan waktu. Hingga ia beranak empat kini, saya kira ada bagian dari sejarah, dan waktu yang sudah ia lampaui. Saya tidak menyebut, ia kalahkan, tetapi, sejarah kepenyairan telah ia miliki, telah menjadi bagian dari perjalanannya menyair.
Sajak-sajak Acep adalah ekpresi Acep. Sajak-sajak Acep adalah pernyataan keberadaan diri Acep. Dan karena ia akrab dengan alam pedesaan, akrab dengan alam yang yang masih murni, maka ia memanfaatkan kedekatan itu sebagai bahan ekspresinya. Sajak-sajak Acep adalah perasaan, komentar batin, atau catatan atas kesaksian, keterlibatan, kerinduan, kegusaran, kekaguman dia sebagai aku penyair atas alam, peristiwa alam, dan manusia-manusia yang ia temui.
Maka nyaris di semua sajaknya, kita akan menemui seorang "aku". Ya, seorang aku yang sedang berada di hampar alam itu, seorang aku yang sedang merindukan alam atau seseorang itu, seorang aku yang bertemu dengan alam atau seseorang itu di sana. Juga seorang aku yang sedang bicara dengan engkau. Atau seorang aku yang sedang bicara tentang kita.
Dalam buku "Jalan Menuju Rumahmu", saya hanya menemukan tujuh sajak yang hadir kuat sebagai deskripsi, bukan narasi dengan kehadiran subyek "aku" di sana. Yaitu sajak "Pangalengan", "Angin dan Batu", "Tak Terbendung", "Para Kekasih" , "Menanti Kelahiran", "Cemara Laut", dan "Toraja". Buku yang memuat 100 puisi pilihan dia sendiri itu penting untuk melihat kecenderungan persajakan Acep. Buku yang terbit tahun 2004 itu berisi sajak-sajak yang ia pilih dengan pertimbangan, salah satunya adalah, dia menyukai sajak itu. Artinya sajak yang tidak dia sukai dia singkirkan.
Statistika ini mungkin tidak penting. Tetapi cukup untuk membuktikan bahwa Acep memang penyair yang selalu tergerak untuk terlibat, ikut, hadir, berada di dalam itu. Dia tidak tahan diam saja menjadi penyaksi di luar peristiwa alam yang ia temui. Tetapi, harus diingat, bahwa keterlibatannya pada alam itu adalah sebuah keterlibatan yang tidak merusak. Ia berada di sana, tanpa merusak keselarasan. Ia seperti secara naluriah dan alamiah tergerak begitu saja untuk menjadi bagian dari alam atau peristiwa alam itu.
Di tahun 1989, sebelas tahun setelah "Prelude", yang tadi saya anggap sebagai kredo Acep, ia menulis sajak lagi yang boleh dianggap juga sebagai revisi atas kredonya yang pertama. Ah, bukan revisi sebenarnya, ini lebih tepat disebut sebagai penguatan atau pencanggihan. Mari kita simak:
Bumi Penyair
Untuk kita bumi dihamparkan
Pohon-pohon terpancang menahan atap langit
Langit penyair yang biru
Sungai-sungai bermuara pada kita, pada kesabaran
Tak ada kemarau bagi perasaan yang tulus
Matahari hanya menghangatkan kemesraan pagi
Kemesraan kita mencumbu bumi
Bumi penyair yang lapang
Sawah-sawah seperti menyajikan puisi
Padi-padi digayuti lagu
Untuk kita keluasan dibentangkan
Sebagai rumah dan sekaligus tanah air
Kita menabur benih dan menyiram kata-kata
Kebun-kebun menghijaukan hati dan niat baik
Hujan dicurahkan dari langit
Rumput-rumput tumbuh di atas ranjang
Menghamparkan kasur empuk dan selimut tebal
Kasur persetubuhan kita dengan alam semesta
Birahi diperas menjadi ungkapan yang indah
Anak-anak lahir menjelma puisi
1989
Inilah sajak yang ditulis oleh seorang penyair berusia 29. Tidak ada perbedaan tema yang hakiki dari "Prelude", yang ditulis oleh penyair yang sama di usia 18 tahun. Emosi sajak itu tetap saja mengalir halus, tidak meledak-ledak. Tidak ada percobaan tipografi untuk mencapai keunikan. Tidak ada peranjakan diksi. Yang berubah adalah tampak kedewasaan pengucapan di sana, seraya tetap mempertahankan keremajaan. Dengan kata lain, Acep remaja adalah Acep yang tampak sudah lebih dewasa daripada remaja seusia dia, dan Acep dewasa adalah Acep yang tetap mempertahankan keriangan jiwa remajanya.
Acep kita, adalah penyair yang sadar, bahwa posisi penyair bukanlah sebuah posisi yang gagah. Mungkin posisi itu penting, tapi dia tampaknya tidak ingin kehilangan kegembiraannya ketika menyajak karena posisinya atau karena ia menyandang sebutan sebagai penyair. Sekali lagi, menulis sajak, baginya adalah ekpresi diri, dan orang lain, para pembaca tidak ia paksa untuk setuju pada sajak-sajaknya. Ia hanya menawarkan untuk mencicipi, karena ia yakin yang ia suguhkan adalah manis sirup, manis hidup. Ia bukan penyair yang menyuguhkan bir dalam sajaknya agar orang-orang kecanduan dan mabuk sajak. Ia juga tidak hendak menyuguhkan jamu yang kemudian ditawarkan ke orang-orang sebagai penyembuh berbagai penyakit manusia, sebagai petunjuk menuju jalan keluar sejumlah permasalah kehidupan.
Ia sadar bahwa "...demikianlah puisi lahir. Ketika orang-orang tidak percaya pada ucapan penyair". (sajak Menanti Kelahiran) Walaupun demikian, saya kemudian melihat ada perkembangan lain yang menyimpang agak, dari kecenderungan yang saya temukan di atas. Ia bisa marah. Ia gelisah, apabila posisi penyair yang sudah menjadi sejarah dan bagian hidupnya itu terancam.
Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalkan peperangan yang tak henti-hentinya
Pembajakan pesawat, banjir atau gempa bumi
Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya
O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi.
(Menjadi Penyair Lagi, 1996).
Tapi kemarahan dalam sajak itu juga sebuah kemarahan khusus. Kemarahan yang lebih mirip kecemasan itu sendiri. Ia hanya diselipkan saja di antara keasyikannya menikmati kenangan dan rindu pada seseorang. Seseorang yang membuatnya merasa bisa menjadi penyair lagi.
Acep adalah penyair yang bersebati dengan bumi. Dan bumi penyair Acep bukan bumi yang dirusak oleh manusia dan bencana. Buminya adalah bumi yang damai, yang membentangkan kasur persetubuhan dengan alam semesta. Pada bumi yang demikian itu ia bisa "memeras" birahi (ada kesan jerih payah pada pilihan kata "peras" itu. Ia tidak memilih kata "menikmati" atau "memuaskan" atau "mengumbar"), menjadi ungkapan yang indah, dan itulah anak-anak puisi yang lahir dari percintaannya dengan bumi penyair itu. []
Catatan: Telaah ini hanya berdasarkan dua buku Acep yang saya punya, yaitu "Jalan Menuju Rumahmu" (Grasindo, Jakarta, 2004) dan "Menjadi Penyair Lagi" (Pustaka Azan, Bandung, 2007).
Baca Juga: Wawancara Acep Zamzam Noor di situs Islam Liberal.