Bagaimanakah sajak yang baik? Bagaimanakah proses menulis sajak? Kalau pertanyaan itu dihadapkan pada Acep Zamzam Noor, maka jawabannya adalah sajak yang baik itu yang ketika dibaca membuat bulu kuduk meremang. Menulis sajak itu seperti mengasah batu akik.
Jawaban beliau itu pasti tidak akan pernah ditemukan dalam buku teori sastra. Acep memang menjawab dengan cara yang khas penyair, dan khas dirinya sendiri. Bulu kuduk yang meremang bukan semata-mata respon fisiologis tubuh terhadap rangsang dari luar, tetapi lebih kepada reaksi psikologis terhadap sesuatu yang menyentuh jiwa. Sajak yang baik, dengan alur logika ini adalah sajak yang menggerakkan hati.
Lantas bagaimana dengan batu akik? Proses membuat batu akik dimulai dari memilih batu, memotongnya untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan, menggosokkannya pada batu asah untuk menghaluskan permukaannya, lalu diampelas agar lebih halus, dan terakhir dikilatkan dengan daun pisang kering, agar berkilat. Ada proses memilih, dan ketekunan menggosok. Ada kejelian mengamati setiap titik permukaan. Dan akhirnya ada kegembiraan dan kepuasan ketika melihat warna, bentuk, pola-pola yang tampak di dalam batu. Semua proses itu dilakukan dengan kegembiraan, kecintaan, meski terus-menerus berada di bawah ancaman kesia-siaan juga.
Nah, bagaimana cara kita mengartikan sajak yang baik, dan bagaimana cara kita melihat proses menulis sajak-sajak kita?