Friday, September 21, 2007

Dalam Dekapan Takdir Sunyi



Wayan Sunarta, di FKY 23-24 Agustus 2007 (foto oleh Kinoe)
Impian Usai (Kumpulan Sajak)

Pengarang : Wayan Sunarta
Penerbit : Kubu Sastra, Denpasar, Agustus 2007
Tebal : 131 halaman

INILAH buku penting seorang penyair dari Bali bernama Wayan Sunarta. Buku ini berisi 99 sajak dari rentang kepenyairannya selama lima belas tahun. Wayan membagi lima belas tahun itu dalam tiga penggal. Penggal pertama dari tahun 1992-1996. Penggal kedua 1997-2001. Dan penggal terakhir 2002-2006. Adakah yang berubah dalam periode lima tahunan itu? Ataukah ini sekedar pembagian untuk kemudahan saja? Mari kita telusuri.

Saya sepenuhnya setuju pada kata sagangan Joko Pinurbo di sampul belakang buku ini. Katanya, sajak-sajak Wayan mengajak kita mabuk sepi agar bisa sampai ke bening yang dalam itu. Ia bilang juga, memasuki sajak Wayan adalah menghirup hawa bening yang meruap dari hamparan kata-kata yang tampak tenang di luar tapi penuh gejolak di dalam.

Ini bukan setuju yang asal setuju. Mari kita hitung berapa kata "sunyi" dan variannya dalam sajak-sajak di buku ini. Sebelumnya sepakati saja bahwa yang saya sebut varian dari sepi itu adalah "sayup-sayup", "sepi", "hening", "lirih", "tanpa suara", "kebisuan", "keheningan", dan "bisu".

Kata-kata "sunyi" dan kawan-kawannya itu muncul 42 kali dalam 99 sajak. Ini kemunculan yang sangat sering. Hampir satu dari dua sajak dalam buku ini mengandung kata itu. Jadi memasuki dunia sajak Wayan di buku ini adalah petualangan yang disambut dengan bisikan lirih, "Selamat memasuki dunia sunyi."

Saya mencemaskan, bahwa kehadiran sunyi itu jika tidak didukung oleh penggarapan yang kuat, akan sangat membosankan. Untung saja, kecenderungan jumlah kehadiran sunyi itu dalam tiga penggal waktu lima tahunan semakin berkurang. Pertama ada 17 kali dalam 32 sajak, lalu 15 kali dalam 37 sajak, dan terakhir semakin berkurang karena hanya 10 kali dalam 30 sajak.

Masalahnya adalah apakah sepinya Wayan telah ia suling sehingga hadir menjadi sepi yang tidak membuat pembaca jenuh? Ataukah ia sekadar mengikuti saja sepi yang ia rasakan apa adanya? Apakah ia mengendalikan atau ia dikendalikkan sepi? Sebaiknya kita rasakan saja apa yang berdetak dalam sajaknya untuk meraba-raba jawaban pertanyaan-pertanyaan tadi. Saya pilih tiga sajak dari masing-masing tiga periode lima tahunan tadi.

Sajak pertama:
Takdir Sunyi

mesti berapa musim lagi
kujelmakan takdir ini

takdirku senantiasa bernama adam
yang kesepian sejauh perih waktu
burung-burung tersesat
bermusim-musim dalam alir nadiku

pada bening keningmu aku bercermin
meneliti guratan masa silam
yang ranggas bersama buah-buahan kutukan
o, begitu buruk rupaku?
angin liar menampar kesangsian
aku makin asing dari wajahku

mesti berapa musim lagi
kejelmakan takdir ini

ular-ular bersarang dalam nafsuku
mengerami telur-telur hawa
dan dosa semakin hangat
dalam dekapan takdir sunyi ini

1994

Inilah saya kira dasar dari keterpesonaan Wayan pada sepi itu. Ia memahami bahwa takdirnya sebagai manusia yang kebetulan berjenis kelamin lelaki adalah takdir seorang Adam. Adam kesepian di dunia. Bertahun-tahun terpisah dari Hawa, dan ini adalah bagian dari hukuman itu. Ia tahu, ia akan mewariskan hukuman ini pada anak-anaknya. Karena sepi itu, ia seperti burung-burung yang bermigrasi mengikuti perubahan musim pun dan tersesat, bermusim-musim.

Dan orang yang kesepian itu tak mengenal lagi wajahnya, sebab ditampar oleh kesangsian angin liar. Orang yang bertakdir sepi itu terbantu oleh seorang berkening bening sehingga ia bisa bercermin di situ. Hubungan antara lelaki dan wanita - Adam dan Hawa - adalah motif yang hampir selalu hadir menggerakkan seluruh sajak-sajak Wayan.

Sepi itu, entah berapa musim lagi akan ada, si aku tidak tahu. Ia hanya mengulangi tanya, berapa musim lagi. Dan sajak ini ditutup dengan bait yang sangat baik. Si aku menikmati sepi itu, sebab sepi yang ia terima sebagai takdir itu, membuat ular-ular bersarang dalam nafsunya, mengerami telur-telur hawa, meski ia tahu dalam dekapan takdir sunyi itu ada dosa yang semakin hangat. Adam memang dibuang ke surga karena dosa.

Ini sebuah sajak yang utuh, jalinan imajinya padu, dan sunyi yang hadir di sana adalah sunyi tidak biasa. Sebuah sunyi yang kuat. Sebuah sunyi hakiki yang hadir dari kecermatan mendalami hidup dan hakikat hidup itu sendiri. Wayan berhasil menerjemahkan sepi yang ia rasakan menjadi sepi yang menjadi milik semua manusia. Ia berhasil mengatasi diri sendiri, sebagaimana amanat Subagio Sastrowardoyo tentang sajak yang bermakna, kemudian menautkan diri dengan kehidupan yang lebih luas.

Sajak kedua:
Potret Diri

lebih sepi kau kini
sehelai puisi tak selesai
puntung rokok dan kerak kopi
makin kusam dalam gelas malam
waktu seperti risau
menunggu di ujung gang itu

seperti apa paras bulan
saat langit muram
puisi tak selesai
hidup merambat lambat
racun tembakau dan mariyuana
telah sampai pada pusaran nadi

lalu kau temukan diri
dengan sepotong pena rombeng
dan seberkas mimpi usang

1999

Lima tahun kemudian, Wayan menghadirkan sepi yang lain. Ia merasakan sepi yang lebih. Sepi yang justru membuat sehelai puisi tak selesai. Sepi yang mulai menjadi masalah, sehingga waktu terasa merisaukan dan ia perlu hal lain untuk mengatasinya: rokok dan kopi.

Sepi dalam periode lima tahun kedua ini akhirnya hanya mengantarkan aku pada kesadaran, pada penemuan diri sendiri dengan sepotong pena rombeng dan seberkas mimpi usang. Ada apa? Kenapa keberhasilan mengatasi perhatian pada diri sendiri dalam periode lima tahun pertama justru tak berhasil diulang kali ini? Kenapa Wayan justru masuk semakin dalam dalam ke dirinya sendiri?

Saya kira kualitas sepi dan kualitas sajaknya, jika dianggap cukup diwakili dengan satu sajak ini, pada periode lima tahun kedua ini, semakin merosot. Sayang...

Dan inilah pilihan sajak yang ketiga, sajak yang sekaligus menjadi judul buku ini:
Impian Usai

impian usai di akhir
napak tilas yang bergegas
gagu meraba getir takdir
galau membaca jejak aksara di tapak tangan
ingatkah kau pada pasir yang mampir dan.
terlunta di bening gelas anggurku?

perempuan tuntas membekas pada jiwa
usia dan tahun tiba sebelum senja
tinggal kenangan, selalu kenangan
rekah dan sumringah bagai geliat pandan
ingin membawa kita meretas
abadi dalam pasang surut musim

mimpi terpanjangku adalah kebeningan
angan yang menyesatkan pengembara pada
rahasia cuaca dan getar cahaya
guratkan lagi aksara penghabisan
agar sempurna kepedihan demi kepedihan

2006

Jika di sajak yang mewakili masa lima tahun kedua, si penyair merasa bertemu sajak yang tak bisa ia selesaikan, maka di sajak ini ia justru menemukan lagi hakikat sepi itu. Hidup tetap saja tak pasti. Takdir yang getir hanya bisa dengan gagu diraba, tak pernah terpegang. Tapi impian telah usai. Sebuah napak tilas telah tuntas. Tapi bukan berarti impian yang usai itu membawa ketenangan. Aksara di tapak tangan tetap saja dibaca dengan galau. Hidup tetap saja tak mudah. Ibarat pasir yang ada di bening gelas.

Motif hubungan lelaki dan perempuan menguat lagi di sajak ini. Adam itu, lelaki itu, penyair itu, si aku itu, menyadari bahwa perempuan tetap membekas pada jiwa. Usia tak bisa ditolak. Banyak keinginan. Selalu ada keinginan. Seperti abadi. Keinginan-keinginan itulah, rencana-rencana itulah yang membawa manusia meretas dalam pasang surut musim. Sebuah pencapaian kesadaran yang menggugah.

Hidup adalah kesiapan menerima luka, merasakan kepedihan. Si aku menyadari, atau memberi tahu dirinya sendiri bahwa mimpi terpanjang adalah kebeningan angan. Mimpi dan angan. Keduanya bukankah hanya akan menyesatkan kita pada rahasia cuaca dan getar cahaya? Si aku sadar, bahwa ia harus menulis sajak, harus meninggalkan jejak, harus melakukan sesuatu. Walaupun sesuatu yang dilakukan itu, jejak yang ditinggalkan itu, sajak yang dituliskan itu hanya menyempurnakan kepedihan demi kepedihan.

Tanpa kehadiran kata sunyi, pilihan sajak yang terakhir ini justru menghadirkan sunyi yang lebih padat, lebih kental, lebih menumbuk ulu hati. Saya amat menikmatinya, saya ikut merasakan sepi itu.

Jika penerbitan buku ini adalah tonggak kepenyairan Wayan Sunarta, penyair kelahiran Denpasar 22 Juni 1975 ini, maka saya kira tantangan berikutnya bagi dia adalah bagaimana kemudian dia mulai menapak lagi, agar tidak berputar-putar saja pada tonggak ini. Jika buku ini berhasil memperdengarkan erangan-erangan dan geliat Wayan Sunarta dalam dekapan takdir sunyi, maka saya kira langkah kepenyairan Wayan berikutnya harus lepas dari dekapan itu. Wayan tentu lebih tahu, apa yang tengah mendekap dia saat ini, atau apa yang sedang dan ingin ia dekap saat ini. []