HAMID Basyaib dalam pengantar untuk buku "Setelah Revolusi Tak Ada Lagi" ada meringkas sejarah lahirnya Komunitas Utan Kayu, sebuah komunitas yang lekat dengan sosok Goenawan Mohamad.
Semuanya bermula setelah majalah Tempo dibredel (21 Juni 1994). Tepatnya, setelah kemenangan gugatan Goenawan terhadap Deppen di PTUN (3 Mei 1995) dimentahkan oleh Mahkamah Agung.
Sejak, tulis Hamid, itu ia merayap di bawah-tanah, ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (Agustus 1994)... sambil menemani rekan-rekan mudanya mengelola Jurnal Kalam... ia mengembangkan "kompleks" Teater Utan Kayu (TUK), yang menjadi pusat kegiatan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang menerbitkan majalah mediawatch Pantau dan memancarkan Radio FM H68. Di TUK... itulah para aktivis kebudayaan rutin berdiskusi, memutar film-film "non-komersial" Eropa dan Asia, dan menggelar pentas baca puisi, drama atau pergelaran musik "alternatif" dari berbagai negara.
Komunitas Utan Kayu (KUK) sendiri kini mendefinisikan diri sebagai komunitas yang terdiri dari Teater Utan Kayu, Galeri Lontar, dan Jurnal Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian. Bila diperluas lagi, KUK juga meliputi lembaga-lembaga lain – Institut Studi Arus Informasi, Kantor berita Radio 68-H, dan, kemudian, Jaringan Islam Liberal.
Kini, sebagai mana tertulis di situsnya, lembaga-lembaga di lingkungan Komunitas Utan Kayu mengembangkan diri di bidang masing-masing, seraya tetap saling mendukung untuk memelihara semangat dan prinsip kebebasan berpikir dan berekspresi. Pada dasarnya kami percaya bahwa eksperimen dan kepiawaian di pelbagai bidang adalah tanda dari masyarakat yang demokratis, terbuka, dan maju. (bersambung)