Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Wednesday, September 19, 2007
Penyair dan Sajak yang Cengengesan
Faisal Kamandobat (foto oleh Gendhot Wukir)
Alangkah Tolol Patung Ini (Kumpulan Sajak)
Pengarang : Faisal Kamandobat
Penerbit : Olongia, Yogyakarta, Agustus 2007
Tebal : 134 halaman
Faisal Kamandobat adalah penyair yang suka cengengesan. Suka tertawa untuk hal-hal yang mungkin kurang alasan untuk ditanggapi dengan tertawa. Di panggung, saat baca puisi pun dia cengengesan. Dia tertawa-tawa saat membaca sajaknya. Sepertinya dia merasa ada yang lucu pada sajaknya itu. Saya melihat dia tampil di Pentas 30 Penyair Indonesia di ajang FKY Yogyakarta, dan saya tak menangkap kelucuan sajaknya. Penonton tertawa karena melihat dia tertawa, bukan karena kelucuan sajaknya.
Penyair kelahiran Majenang, Cilacap, 31 Desember 1980 itu cukup rajin dan berhasil mempublikasikan sajaknya. Sajaknya pernah terbit di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, dan sejumlah media cetak lain. Tahun ini, ia menerbitkan buku "Alangkah Tolol Patung Ini", buku yang merangkum 48 sajaknya, dari yang paling tua bertahun 1998 hingga yang terbaru bertahun 2007.
Saya adalah pembaca yang mencari nikmat sajak. Ketika membaca sajak, saya mencari kenikmatan-kenikmatan yang ditawarkan sajak. Kenikmatan itu saya temukan ketika menemukan frasa-frasa baru, padu-padan kata yang tidak saya temukan sebelumnya, pertemuan-pertemuan kata yang menghasilkan sahut-sahutan bunyi, dan pada akhirnya saya orgasme ketika merasa bisa dengan kreatif memaknai sajak yang saya baca itu. Makna yang saya berikan mungkin berbeda dengan makna yang diniatkan oleh si penyair. Saya tidak perlu mencocok-cocokkan pemaknaan saya itu dengan penyairnya, atau dengan pembaca sajak lain.
Faisal di buku ini menulis semacam pengakuan tentang proses kreatifnya. Tulisan di akhir buku sebanyak delapan halaman ini bisa membantu pembaca untuk mengkonfirmasikan hasil bacaan sajaknya.
Mula-mula tentu saya membaca sajak-sajaknya. Saya kira, sajak-sajaknya kering. Kurang merangsang dan tak banyak nikmat yang saya dapat setelah membacanya. Saya curiga jangan-jangan cara saya membaca yang salah. Saya lalu membaca pengakuan kreatif si penyair. Berkali-kali. Ah, ternyata itu pun tidak membantu. Antara sajak dan pengakuannya saya kira banyak yang bertolakan. Tidak saling membantu pembaca seperti saya.
Faisal menulis: dalam pengalaman saya, menulis puisi barangkali lebih sebagai pemberian daripada pilihan. Puisi mengunjungi dunia batin saya jauh di masa kecil, dengan caranya yang halus dan tak terduga menggetarkan alam pikiran saya, dan jejaknya yang gaib pada lapisan mental yang dalam tak terhapus.
Setelah membaca kalimat Faisal itu, saya lantas kembali ke sajak-sajaknya dengan modal pertanyaan, "sajak bagaimana yang dihasilkan oleh seorang yang baginya menulis puisi adalah sebuah pemberian. Bukan pilihan. Sajak bagaimana yang dihasilkan oleh seorang yang sudah dikunjungi oleh puisi sejak masa kecilnya. Sajak bagaimanakah yang dihasilkan oleh seorang penyair yang sudah digetarkan alam pikirnya oleh puisi dengan cara halus. Sajak bagaimanakah yang dihasilkan oleh penyair yang di dalam mentalnya ada lapisan jejak puisi yang tak terhapus?
Saya tak menemukan jawaban untuk pertanyaan saya itu. Sajak-sajak Faisal biasa saja. Atau saya yang terlalu banyak menuntut? Ya. Saya adalah pembaca yang manja dan rakus. Saya ingin mendapatkan nikmat sebanyak-banyaknya.
Pada bagian lanjut Faisal menulis: salah satu tema akrab sajak-sajak saya adalah ikhtiar tiada henti dalam mencari pola-pola penghayatan antarmanusia, alam benda dan proposisi antarsemua itu. Hei, bukankah itu tema yang banyak digarap oleh hampir semua penyair? Artinya, tema itu tidak khas Faisal. Lagi-lagi, membaca lebih lanjut pengakuan Faisal itu tidak membantu saya mendapatkan nikmat dari sajaknya.
Mari kita ambil contoh satu sajaknya. Sajak berjudul "Sajak" (hal 71). Ini sajak menarik untuk menguji bagaimana penyair menghayati sajak yang ia tulis:
SAJAK//di lubuk setiap sajak / kita saling membenamkan diri / merasakan denyut dan gejala / pada getar setiap kata / yang mengembang jauh / menembus batas-batas dunia //
Si aku dalam sajak ini berbicara kepada orang kedua. Mereka lantas menjadi kita. Kita, kata si aku, saling membenamkan diri di lubuk setiap sajak. Lubuk adalah bagian terdalam dari sebuah sungai atau laut. Lubuk sajak menyarankan saya tentang sesuatu yang dalam dari sebuah sajak. Mungkin tak terlalu jauh kalau saya menganggap itu adalah makna sajak itu. Ke dalam makna itulah si aku dan kau, si mereka itu, saling membenamkan diri. Kata saling mengesankan bahwa si aku membenamkan si engkau, dan sebaliknya. Seperti kata saling pukul. Aku memukul kau, kau memukul aku. Untuk apa? Untuk merasakan denyut dan gekala pada getar setiap kata. Kata yang mengembang jauh, menembus batas-batas dunia. Bait yang kering. Tapi, baiklah masih ada harapan.
di lubuk setiap sajak / tiap rahasia mengungkapkan diri / seperti keriput masa silam
/ pada kelopak bunga saat ini / ketika tak seorang sempat ingat / duka musim-musim yang lewat //
Si aku dan kau di lubuk sajak itu, di dalam makna terdalam sajak itu menemukan semua rahasia mengungkapkan diri. Rahasia yang terungkap tidak lagi menjadi rahasia. Manusia selalu penasaran dengan rahasia. Selalu tergoda untuk mengintip ke dalam rahasia. Betulkah itu yang ditemukan dalam makna sajak? Harusnya ya. Pada sajak yang baik, rahasia-rahasia itulah yang kita temukan jawabannya. Tetapi, ah, penemuan saya itu terganggu oleh baris berikutnya. Kenapa ia mengibaratkan rahasia yang terungkap itu seperti keriput masa silam pada kelopak bunga? Pada tataran denotatif pun bait itu bermasalah. Benarkah keriput masa silam itu, duka musim lewat itu bisa terlihat pada kelopak bunga?
aku tenggelam di satu bait / kurasakan embun jatuh / lewat kalimat yang terkembang / serupa pagi yang bangkit: / dan waktu yang hampir binasa / menemukan matahari kembali //
Kau dan aku yang tadi saling membenamkan diri di lubuk setiap sajak mulai terpisah. Si aku tenggelam di satu bait. Ia merasakan embun jauh lewat kalimat yang terkembang. Kalimat yang ia maksud tentu kalimat sajak. Kalimat yang terkembang? Maksudnya mungkin kalimat yang tidak berhenti sebagai kalimat itu sendiri, ia membesar, ia berkembang, ia menawarkan banyak makna. Serupa pagi yang bangkit, kata si penyair. Pagi yang bangkit? Lagi-lagi ini perumpamaan yang mengganggu. Kurang tepat. Ketika merasakan embun jatuh itu, waktu yang hampir mati, menemukan matahari kembali. Kenapa? Saya agak susah mencari hubungan sebab akibat, yang paling konotatif sekalipun dari bait ini. Bait yang tidak utuh.
kau tenggelam di bait lain / merenungkan makna kematian / lewat jerit ranting yang jatuh / lepas dari batang: / aku pun segera meyelematkanmu / dari sentuhan ajal / yang menyamar menjadi pohon //
Si aku dan kau sudah terpisah, tapi masih dalam di lubuk sajak yang sama. Si aku di bait lain. Si kau tenggelam di bait lain. Merenungkan makna kematian lewat jerit ranting jatuh lepas dari batang. Sebenarnya ini kontras yang berhasil dari bait sebelumnya di mana si aku menemukan harapan seperti waktu yang menemukan matahari. Lantas di aku pun menyelematkan si kau. Menyelematkan dari sentuhan ajal yang menyamar menjadi pohon. Lagi-lagi ini sebuah perumpamaan yang kurang kuat tendangannya. Ajal yang menyamar jadi pohon? Kenapa pohon? Apa hubungannya dengan lubuk sajak di mana mereka berada? Apa salah si kau sehingga hendak disentuh oleh ajal? Apakah karena dia merenungkan kematian lewat ranting jatuh yang lepas dari batang? Susah saya mengutuhkan potongan-potongan gambar itu. Ini ibarat fuzzle yang tidak lengkap.
kita bertemu di bait yang sama / dan tak ada yang lebih menakutkan / selain cinta yang besar: / ia tumbuh dalam sajak / yang memenuhi seluruh ruang / hingga tak ada yang dapat dilihat / kecuali lewat matanya
Si aku, tampaknya berhasil menyelamatkan si kau. Mereka lantas bertemu dalam bait yang sama. Tapi kenapa takut dengan cinta yang besar? Apa salahnya kalau cinta itu tumbuh dalam sajak? Dan memenuhi seluruh ruang sajak? Cinta itu membutakan? Sehingga dia yang tumbuh dan memenuhi seluruh ruang membuat kau dan aku tak bisa melihat apa-apa kecuali lewat mata si cinta itu? Kenapa takut dengan hal itu? Saya tidak juga bisa mendapatkan nikmat sajak.
ada baiknya sejenak kita keluar / dari bait yang mengepung ini / merasakan kehampaan /
di luar kata yang menyesak dunia: / di sana segalanya masih begitu murni / kita pun bisa menjadi penyair / di alam yang baru ini //
Lantas, si aku mengajak kau keluar dari kepungan bait. Kenapa bait itu mengepung? Karena cinta yang besar tumbuh di dalam sajak? Lantas kemana hendak keluar? Ke luar kata yang menyesak dunia. Merasakan kehampaan, kata si aku. Di sana, kata si aku, di luar kata yang sesak itu, di ruang yang kehampaan bisa dirasakan itu, segalanya begitu murni. Lantas di sanalah mereka bisa menjadi penyair. Penyair mungkin memaksudkannya sebagai ironi dan paradoks: justru di luar sajak tempat mereka membenamkan diri, justru di luar bait yang mengepung karena ada cinta yang besar yang mengembang di dalamnya, mereka bisa menjadi penyair.
Tapi, saya tidak menemukan keindahan ironi, permainan ambuguitas, dan keaasyikan paradoks di bait ini. Semua kacau. Bait akhir yang mestinya membayar semua utang di bait-bait sebelumnya itu tidak menawarkan kejutan. Saya kecewa. Ini adalah sajak tentang sajak. Kenapa di luar sajak, di luar bait, di luar kata-kata sajak si penyair baru bisa menjadi penyair? Bukankah justru sebaliknya? Kenapa si penyair baru bisa menjadi penyair di alam baru yang hampa dari kata-kata? Apa maksudnya hampa dari kata-kata sajak itu?
Mengulas sebuah sajak dari sebuah buku, mungkin tidak cukup untuk mengukur kepenyairan seorang penyair. Tapi, ah, saya juga tidak menemukan satu sajak pun di buku ini yang bisa saya ulas untuk menunjukkan bahwa Faisal Kamandobat, si penyair itu, sudah mencapai taraf pencapaian tertentu. Juga pada sajak "Alangkah Tolol Patung Ini", sajak yang oleh editor dianggap paling menarik - atau paling disukai oleh penyairnya - sehingga dijadikan judul buku.
Dia telah menulis sajak. Ia telah mengumpulkan sajak-sajaknya dalam sebuah buku. Jika tidak semuanya, tentu ia telah memilih sajak-sajaknya itu. Ini adalah sajak pilihan.
Saya kira, Faisal harus bekeja keras lagi agar sajaknya tidak mengesankan saya sebagai sajak-sajak cengengesan saja. Cengengesan artinya tertawa-tawa dengan kadar berlebih untuk sesuatu yang tidak pas untuk ditertawakan. Sajak yang cengengesan adalah sajak yang diaku-aku sebagai sajak, padahal belum pas untuk disebut sebagai sebuah sajak yang baik. Tapi, ini pembacaan amat subyektif dari seorang pembaca yang manja dan rakus akan nikmat sajak. Pasti ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk mencapai hal lain dari sajak-sajak Faisal. Ada yang mau mencoba? []