Sajak Saut Situmorang
BANTUL MON AMOUR
di antara reruntuhan
tembok tembok rumah, di ujung
malam yang hampir sudah, kita hanyut
dipacu selingkuh kata kata, seperti bulan
yang melayari tepi purnama
di atas kepala. rambut kita
menari sepi di angin perbukitan
yang menyimpan sisa amis darah
dan airmata.
lalu laut menyapa
dengan pasir pantai dan cemburu
matahari pagi. tak ada suara
burung laut, para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu dan garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka.
aku menciummu
karena para dewa tidak
memberimu cinta sementara aku
cuma punya kata kata
yang berusaha melahirkan makna.
Yogkarta 2007
Sajak Saut Situmorang di atas bersama dua sajaknya yang lain (Aku Ingin dan Perempuan Batu Kota Denpasar) dimuat di Republika Minggu, 26 Agustus 2007. Kata 'pura' dan 'dewa' di sajak itu memantik protes. Seorang wartawan dari Bali di sebuah mailing list jurnalistik bertanya, "seandainya kata dewa diganti 'nabi' dan kata 'pura' diganti 'masjid', apakah Republika akan memuat sajak ini?".
Isu yang dibawa oleh si penanya adalah isu kepekaan media, dalam hal ini Republika, sebuah koran yang warna pemberitaannya sangat Islami. Jadi isunya bukan isu sastra. Dan, sejumlah diskusi yang masih bersumber dari sajak itu di beberapa mailing list pun merebak.
Sajak itu juga dibanding-bandingkan dengan sajak "Malaikat" karya Saiful Badar yang dimuat di "Pikiran Rakyat". Ada yang sama dalam dua perkara ini. Keduanya adalah masalah yang timbul atau ditimbul-timbulkan karena persinggungan atau disinggung-singungkan antara "puisi" dan "agama". Yang tidak sama, pada kasus Saiful si penggubah sajak adalah orang dalam. Pada sajak Saut, dia berasal dari luar wilayah keimanan yang bersinggungan dengan sajaknya.
Apapun, Saut Situmorang adalah sosok penting dalam percaturan sastra Indonesia saat ini. Ia saat ini - dengan cara dan jalan yang ia pilih sendiri menghantam dominasi Komunitas Teater Utan Kayu (TUK). Ia mencemaskan dominasi itu. Majalah Playboy ketika mewawancarai Goenawan Mohamad, sang tokoh sentral TUK, perlu menanyakan ihwal "peringatan-peringatan" Saut Situmorang itu.
Banyak pihak tidak suka dan tidak nyaman dengan gaya dan pilihan cara berwacana Saut Situmorang. Dia pasti tidak akan peduli pada ketidaksukaan orang lain. Saya menyukai esei-eseinya yang selalu tajam dan selalu kuat dengan ide. Ia misalnya pernah menulis di Kompas mempertanyakan tujuan dan pencapaian Kongres Cerpen Indonesia. Ia juga yang membela sastra di internet ketika ada hujatan bahwa sastra di internet adalah sampah.
24 Agustus 2007, ada diskusi di Yogyakarta. Pembicaranya Wowok Hesti Prabowo, Gus tf, Aslan Abidin, dan Saut sebagai moderator. Wowok Hesti Prabowo tampil dengan makalah yang menghantam TUK dengan sejumlah kecemasan akibat dominasi TUK. Ia bersama Saut Situmorang menerbitkan "Jurnal Boemipoetra" yang membawa misi mereka. Aslan mempertanyakan peran redaktur sastra di surat kabar minggu. Gus tf memaparkan ihwal tantangan proses kreatif penyair. Gus tf dan Aslan mempertanyakan "cara kasar" yang dipilih oleh Wowok dan Saut untuk "memperingatkan" TUK.
Saut jugalah tokoh yang getol memperingatkan bahwa sastra Indonesia krisis kritikus. Tidak ada kritik sastra yang baik di Indonesia saat ini. Dengan modal pendidikannya, dengan pengalamannya mengajar dan belajar di luar negeri, saya kira sebenarnya Saut bisa menjadi kritikus yang tajam dan berpengaruh besar. Tapi, sejauh ini Saut telah memilih perannya sendiri, dia menjalani pilihan peran itu dengan caranya sendiri yang membuat banyak pihak tidak nyaman.
Kembali ke sajak "Bantul Mon Amour". Sebagai pembaca saya menyukai sajak itu. Saya melihat sosok lembut seorang Saut pada sajak itu. Bantul pada judul dan imaji reruntuhan pada awal sajak, mengingatkan pada gempa yang terjadi di sana. Tapi, bagaimana pun, saya kira, ini bukan sajak terbaik Saut. Saya menemukan sajak-sajak yang asyik di bukunya "Saut Kecil Bicara dengan Tuhan".
Bagaimana dengan kata "dewa" dan "pura" di penggal akhir sajak itu? Saya kira Saut dengan sadar memilih kata itu, dan pilihan katanya tepat. Ironi, kontras, paradoks antara korban gempa dan "pelacur" yang tak berdaya dan masih saja bergelur di kamar, dengan kecemburuan si "aku" karena si "pelacur" berbisik tentang "para dewa" yang telah menggilirnya di "altar pura". Korban bencana saya kira pas sekali nasibnya disejajarkan dengan para pelacur yang tak berdaya. Tak punya pilihan.
Tetapi para dewa - para golongan orang yang punya banyak hal: kuasa, kekayaan dan segalanya - yang menikmati kemalangan korban dan para pelacur itu - toh tidak memberi cinta. Mereka tidak pernah mencintai para korban itu, mereka hanya menikmati sejauh bisa mereka nikmati.
Dan "aku"? Penyair itu? Hanya punya "kata-kata" yang terus-menerus berusaha "melahirkan makna". Lembut. Halus. Menyentuh. Saya kira ini benar-benar sisi lembut seorang penyair Saut.
Sajak yang baik adalah sajak yang berhasil membuat setiap kata yang ada padanya menjadi berada dalam tanda petik, meski tanda petik itu tidak sepetik pun ada tercantumkan.[]