Wednesday, September 26, 2007

TUK Kenal, Maka TUK Sayang (2)


     
ADAPUN jurnal kebudayaan Kalam, ia telah terbit sebelum Komunitas Utan Kayu. Kemunculan jurnal ini menggairahkan - sekaligus sempat mencemaskan - sastra Indonesia. Saya ingat, awalnya adalah kemelut pengelolaan majalah Horison. Beberapa edisi majalah sastra itu sempat dikelola oleh tim Goenawan Mohamad. Ketika Horison kembali lagi ke pengelola lama (yang baru), tim Goenawan menerbitkan Kalam.  Edisi pertama tampil dengan  laporan utama soal post-modernisme, isu yang sedang hangat kala itu.

     Kalam versi cetak telah terbit 22 edisi. Formatnya berubah-ubah. Perubahan itu saya kira adalah bagian dari dinamika pemikiran di TUK. Semula ia berbentuk majalah. Lalu menjadi buku. Dan sejak edisi ke-22 itu, Kalam edisi ke-23 kini bertahan dalam bentuk online. Terakhir, dalam format online itu,  jurnal ini mengangkat serangkaian tulisan soal fotografi.

    Konsep keredaksian Kalam unik. Tiap terbit berubah-ubah orangnya. Tergantung kebutuhan laporan apa yang dominan hendak disajikan. Maka di halaman redaksi akan terbaca "redaksi nomor ini" lalu nama-nama yang komposisinya tak selalu sama dari edisi ke edisi.

    Kalam adalah jurnal yang terbuka bagi siapa saja. Kalam, demikian selalu diumumkan di jurnal itu, memuat karya sastra dan karya telaah dari pelbagai disiplin. Kalam sangat menghargai cara pandang baru dan gagasan segar. "Kami tidak membatasi diri dengan pokok dan aliran tertentu; kami terbuka untuk pelbagai eksperimen penciptaan dan pemikiran," demikianlah, "Kalam mengundang Anda menulis."  Jadi, sejak awal, Kalam adalah jurnal yang terbuka, tidak hanya memuat karya anggota komunitas itu.(bersambung)