Wednesday, December 29, 2010

Gurindam Pertanyaan, Sekian Belas (4)

/4/

HIDUP kita yang perjalanan, kaki kita yang
mengulur jalan, ingatkah kita pada Sepatu?  

Sepatu yang dipakaikan, ketika dilahirkan,
terasakah, kita seringkali melepaskannya?

Sepasang sepatu, yang tak kiri tak kanan,
kenapa kita kerap ragukan kesepasangannya?

Sepasang sepatu, yang tidak bernomor, tidak
berukuran, kenapa kita ragu pada kaki kita?

Kaki yang lelah, jeda dari singgah ke singgah,
kenapa kita tergoda menukar Sepatu ke sepatu?

Kalau kaki kita menjaga dan dijaga Sepatu,
kenapa kira harus merisaukan alamat Rumah?

Bersama Sepatu, pergi adalah pulang, singgah
adalah rumah, adakah dalih kaki untuk resah?

[ kolom ] Sakitkanlah Kami, Sembuhkanlah Kami

MENTOR jurnalistik saya Andreas Harsono beberapa hari ini sedang bersiar-siar di Malaysia. Dari negeri ke negeri di negara itu, ia punya satu kesimpulan: sepakbola tak terlalu menjadi perhatian rakyat di sana. Ia baca-baca koran lokal. Kesimpulannya: berita bola tak dapat tempat di halaman utama. Orang-orang di sana bicara tentang Liga Inggris. Koran-koran setempat pilih isu macam-macam, tulis Andreas di akun twitternya.

Saya setuju. Berada di Malaysia, sebelum dan sesudah final Piala AFF, kaki pertama di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, akhir pekan lalu, saya juga merasakan hal yang sama.




DI Megamall, Kuala Lumpur, beberapa jam sebelum pertandingan, Ikra anak saya dilirik-lirik pengunjung. Ikra pakai baju merah dan memakai atribut pendukung timnas: ikat kepala bertulisan Indonesia merah yang kami dapatkan gratis dari Kedubes Indonesia, dan bernyanyi-nyanyi, "Garuda di dadaku..." Saya membebatkan atribut itu di pergelangan lengan kiri.

Kami tak melihat ada warga KL di mal besar itu memakai atribut dukungan untuk timnas Malaysia.
Anak muda Melayu penjaga konter kue bolu di mal itu bertanya apakah kami dari Indonesia. Dia lalu menyebut nama Bambang Pamungkas dan Eili Aiboy sambil mengacungkan jempol. Saya kira kedua pemain kita yang lama bermain di sana cukup populer juga.

Dari KL ke Stadion Bukit Jalil kami naik taksi. Sopirnya seorang lelaki melayu yang baru menikah. Kuku-kuku kedua tangannya berinai. "Ada apa di Bukit Jalil?" Dia, tidak tahu ada pertandingan penting di sana. Ketika saya sebutkan kami akan menonton bola, si pengantin baru lekas-lekas menukas, "O, ada perlawanan ya?" Begitu saja.

Kami meninggalkan stadion sebelum pertandingan usai. 3-0 skor untuk Malaysia tak berubah. Di Hotel istri saya mencari siaran televisi, tak ada satupun stasiun televisi lokal mengulangi siaran kemenangan Malaysia.
Sopir taksi (kali ini dari etnis Cina) yang mengantar kami dari Bukit Jalil ke Bukit Bintang tak tahu juga bahwa kami baru saja menjadi saksi kekalahan timnas Indonesia atas Malaysia. Dia pikir ada konser musik. Memang ada panggung besar di depan stadion yang saat itu di situ sedang digelar pertunjukan musik.

Ketika tahu bahwa ada pertandingan sepakbola, si sopir lekas mengabarkan lewat radio ke operator taksi, mengabarkan di Bukit Jalil akan banyak penumpang. Ya, 80 ribu penonton yang memenuhi stadion itu memang banyak. Ah, dasar sopir!

*
Senin pagi, saya membeli tiga koran lokal. The Star - koran berbahasa Inggris - memajang foto Safee Sali merayakan gol. Tapi, berita utama adalah larangan pemakaian lambang 1 Malaysia di Selangor. Berita politik.
New Straits Times - juga koran berbahasa Inggris - sama saja. Memajang foto Safee Sali tapi berita utama adalah berita kecelakaan kapal yang menewakan dua turis Singapura.

Hanya Harian Metro - yang ini berbahasa Melayu - membagi halaman utamanya dalam dua berita. Satu berita (memakan 2/3 halaman) berita utama dengan judul: Garuda Dibaham 3-0, didampingi foto Safee Sali yang sama dengan foto News Straits Time. Kedua koran ini memang satu grup, dan sepertinya hanya mengirim satu fotografer ke Bukit Jalil. Di sepertinya bagian halaman satu berita kecelakaan mobil menabrak pohon yang menewaskan empat nyawa!

Saya tak membeli Utusan -koran lain yang juga berbahasa Melayu -  tapi, di terminal bis Bukit Jalil saya lirik berita utamanya adalah kemenangan Malaysia. Saya pasang kuping, adakah pembicaraan tentang sepakbola jadi buah bibir? Nyaris tak ada. Petugas karcis di bis yang kami tumpangi dari KL ke Johor Baru bahkan tak tahu berapa skor kemenangan Malaysia. "Entahlah, dua kosong agaknya," katanya, sama sekali tak peduli, ia kehilangan satu tiket yang ternyata terlapis di empat tiket kami anak-beranak!

*

Kenapa prestasi  timnas Indonesia sangat menarik perhatian kita, menyita emosi kita, dan memanen dukungan begitu besarnya dari kita? Kenapa hal yang sama tak terjadi di Malaysia? Saya bukan ahli psikologi massa, saya bukan penganalisa gejala sosial. Saya - istri dan anak-anak saya -  adalah bagian dari massa di negeri ini yang tiba-tiba menemukan sesuatu dalam sepakbola. Apakah sesuatu itu?

Kita adalah bangsa yang sedang sakit. Sepakbola ternyata bisa menghilangkan rasa sakit itu, sementara. Ya, cuma sekadar menghilangkan, tapi tidak menyembuhkan. Sakit kita adalah sakit struktural.  Sudah lama kita tak bisa berbangga, kita tidak banyak punya hal yang sebenarnya bisa dibanggakan tapi segalanya tersia-siakan.

Pemerintah lamban menangani hal-hal krusial. Bencana alam datang silih berganti. Proses-proses politik bertele-tele dan menjemukan. Kasus-kasus besar tak jelas penyelesaiannya. Pengusaha menjadi politisi. Kepentingan-kepentingan politik bisa dibeli oleh politisi-pengusaha yang menggerakkan lembaga politik seperti menjalankan bisnis.

Penyelenggaraan kompetisi sepakbola kita juga tidak menarik, sebenarnya. Semrawut. Jadwal molor. Kerusuhan. Jumlah klub peserta kompetisi yang banyak membuat pemain lelah. Menyatukan klub galatama dan perserikatan sudah sejak lama dikritik. Ditambah lagi pengurus PSSI yang diketuai oleh orang yang pernah dua kali menjadi terpidana korupsi -  oke baiklah, saya mau bilang dengan tegas: dia koruptor! - dan dia adalah kader setia sebuah partai, dan dengan demikian enteng sekali dia membawa kepentingan politik ke dalam sepakbola. Ini saya kira yang membuat poster Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar bisa berkibar norak di tribun penonton Stadiun Bukit Jalil!

*

Dalam situasi itu, tiba-tiba timnas Indonesia menyeruak dengan prestasi. Semua lawan dikalahkan sampai ke final piala AFF. Bagaimana kegembiraan dan harapan itu tidak meninggi di hati kita? Kita tentu berharap Indonesia - yang sudah pernah tiga kali masuk final piala AFF - kali ini menang.  Tapi, saya kira, kegagalan lagi kali ini, adalah sakit yang semoga menyembuhkan. Kita tidak perlu terlalu banyak penghilang rasa sakit, karena dengan demikian kita lupa untuk menyembuhkan sakit kita. Kita perlu rasa sakit, sesakit-sakitnya, agar kita sadar bahwa kita sedang sakit. Dan kita harus sembuh.

Kalau mau memetik hikmah, setidaknya lewat sepakbola, penguasa di negeri ini mestinya  tahu, bahwa mereka seharusnya berprestasi dan mendorong siapa saja di negeri ini berprestasi, karena itulah yang bisa menyembuhkan sakit kita, bukan sekadar menghilangkan rasa sakit.  Lewat sepakbola, kita sadar ternyata hati kita mudah tergerak untuk mengenakan baju yang sama, menyetarakan diri, menyatukan dukungan!

Lewat sepakbola, kali ini mata kita terbuka lagi dari buta, dan melihat ternyata banyak sekali potensi negeri kita yang kita sia-siakan!  Lewat sepakbola, kita sadar bahwa kita kuat, dan ternyata kita yang sering dikecewakan, tak pernah berhenti menanam harapan.

Lewat sepakbola, kita bisa katakana kepada para cukong politik,bahwa ternyata  uang tak bisa membeli segalanya!  Lewat sepakbola, kita tahu bahwa kita rindu pada hal-hal yang membuat kita bersama bangga! Lewat sepakbola. ***

Tuesday, December 28, 2010

Gurindam Pertanyaan, Sekian Belas (3)

/3/
MENGERTIKAH kita, kesabaran adalah bertahan
tetap dalam pertanyaan, seraya yakin akan Jawaban?


Sadarkah kita, kemarahan adalah menghentikan
pertanyaan, dan memutuskan sembarang jawaban?


Tahukah kita, keteguhan adalah kita tak berhenti
pada jawaban, sampai benar bertemu Jawaban?

Melihatkah kita, banyak kita yang tak bertanya,
dan kita tak pernah tahu siapa kita sesungguhnya?

Mendengarkankah kita, tanya dari dalam diri kita,
atau kita bungkam  itu karena merisaukan kita?

Menyimakkah kita, Jawab datang dari banyak
mata-arah, Jawab yang menuju pada tanya kita?

Siapkah kita menerima, siagakah kita menyambut,
kuatkah kita menyatukan tanya dan datang Jawab?

Gurindam Pertanyaan, Sekian Belas (2)

/2/

TAHU kita, kita sesungguhnya hanyalah tanya?
Tahukah kita, jawab itu Dia yang Mahajawab? 

Kenapa kita harus lurus berjalan di jalan-Nya?
Bukankah tanya memang harus bertemu Jawab?

Tanya yang tak bertemu Jawab, bukankah itu
adalah tanya yang selamanya hanya akan sia-sia?

Tanya yang tak sampai pada Jawab, bukankah itu
adalah tanya hampa, tanya yang tak jadi tanya?

Jika kau bertanya, kenapa aku bertanya, aku akan
bertanya: aku pun boleh rindu pada Jawab, bukan?

Kau lihatkah, sajakku adalah sajak yang bertanya,
tanya yang menolak jawab, yang mengharap Jawab?

Gurindam Pertanyaan, Sekian Belas (1)

/1/

KENAPA gurindamku harus kujejali nasihat?
Kenapa juga harus kubebani dengan amanat?

Bolehkah kutulis pertanyaan-pertanyaan saja?
Kau, aku, tak harus upayakan perjawabannya?


Bukankah tanya, tak lebih buruk dari jawab?
Bukanlah tanya, membuka palang pemikiran?


Kita memang harus banyak bertanya, bukan?
Bukankah berpikir selalu dimulai dengan tanya?


Siapa berkata, kita jadi bodoh karena tanya?
Siapa tak percaya: tanya membuka minda kita?


Sajak yang baik, bukankah ia sajak yang tanya?
Sajak yang baik, tak memaksa jawab sendiri?

Saturday, December 18, 2010

Menyelami Kolam Sajak Sapardi

Maka yang terpapar dalam buku DukaMu Abadi, menurut Hasan, adalah upaya melihat ke dalam diri. Buku ini bisa dilihat sebagai titik kelahiran kembali puisi lirik Indonesia. Puisinya mengandung lirisisme dan memiliki kelebihan bukan karena kerumitan makna atau keunikan bentuknya, namun karena menggunakan bahasa yang jernih dan sederhana. 

:: Selengkapnya baca di sini! 

Monday, December 13, 2010

Saturday, December 11, 2010

Tamasya Puisi

1. Menulis puisi, bagi saya, kadang kuanggap sebagai tamasya bahasa. Tamasya yang sempurna adalah aku pergi ke tempat yang belum kukunjungi.

2. Atau bisa juga ke tempat lama, yang aduh kenapa ya aku tak pernah bosan ke sana? Tamasya bahasaku itu membuat bahasaku segar.

3. Kadang  tamasya itu tak sampai ke tempat yang dituju. Tapi, hm, untungnya perjalanannya saja kadang sudah amat menyenangkan.

4. Kadang di lokasi itu pun aku tak tahu apa sebenarnya yang sedang berwajah-wajahan dgn aku. Asing? Tak apa, biar asing asal baru.

5. Aku suka membayangkan daerah-daerah baru kemana aku akan mengajak bahasaku  tamasya. Untuk itu, aku perlu peta.
 
6. Pulang dari  tamasya yg seronok, bahasaku & aku mestinya tersegarkan kembali. Kembali kerja, bahasa melaksanakan tugas kebahasaannya.

7. Tamasya bahasa tdk cuma puisi yg sengaja. Di beberapa tempat tak terduga2 bisa kurasakan atmosfer  tamasya.

8. Kadang berziarah ke kenangan yg mati, kata yg mati, puisi yg mati bisa jadi  tamasya juga, lho. Dari situ bisa ketemu yg terhidupkan.

9. Dalam bahasa rutin, kata-kata kerja, cari nafkah, mengantor, atau beribadah. Bahasa bisa jenuh, itu sebabnya perlu santai

10. Aduh, bahasaku mulai lelah. Serial tweet ini bukan  tamasya. Jadi cukup sekian.
 






Beberapa Judul Buku yang Aku Yakin Engkau Pasti Belum Pernah Membacanya

1. Bagaimana Cara Bulan Membikin Bayangan dari Tubuh Babihutan di Sebuah Hutan yang Merasa Memiliki Seluruh Malam?

2. Apakah Sungai di Hutan Itu Memilih Sendiri dimana Dia Berbelok atau Ia Harus Bertanya pada Babihutan yang Sering Menyeberanginya?
 
3. Berapa Banyak Babihutan di Hutan Itu yang Pernah Sadar bahwa Selalu Ada Bayang-bayang yang Dibikin Bulan dari Tubuhnya?

4. Jika Babihutan Mati, Apakah Bayang-bayangnya Mati atau Tetap Ada dan Sembunyi pada Bayang-bayang Hutan?

5. Apakah Babihutan Pernah Mengira Bulan Itu adalah Babihutan yang Terjebak di Ketinggian Lalu Tertidur dan Tidurnya Menyala?

6. APAKAH Hutan yang padanya tak Ada Babihutan Masih Layak Disebut Hutan? Kenapa tak Ada Babibulan? Babimalam?

7. Bisakah Nanti Kalau Aku Mati dan Dikuburkan di Hutan, Maka dari Kuburku akan Keluar Seekor Babihutan yang Tak Berbayangan?






Beberapa Ujicoba Pengucapan dengan Kata Babihutan

1. MARI menyusu pada babihutan betina. Kita kira ia punya puting tak terhingga. Kita, kekal bayi-bayi, rakus dan manja. 

2. Bayi, bayi! Babi, babi! Kita bayibabi, bayihutan, babihutan! Kita berebut puting susu ibu sendiri: puting susu babi!

3. Kita bawa-bawa hutan, liar dalam kepala. Kita sembunyi di gelap pikiran. Menunggu saat mencuri! Kita malas, kita anak-anak babi . 

4. Oh, babipertiwi! Kusesali kau telah lahirkan kami: anak-anak yang kotor sejak dalam kandungan! Kami tak bisa lari dari hutan! 

Thursday, December 9, 2010

Monolog Senyum yang Sederhana













: Asep Sambodja

KITA dipertemukan oleh sepasang senyum:
senyum di wajahmu dan senyum di mataku.

Mataku mudah tertular senyum, apalagi jika
senyum itu seramah senyum wajahmu, senyum
yang kau kembangkan itu: senyum sore-sore,
sesenyum cahaya Taman Ismail Marzuki 


"Aku sedang berlatih teater," katamu - aku
tak menduga - itu jawabmu atas tanyaku 
"Kenapa engkau tersenyum, Kawan?"




KITA dipertemankan oleh sebait senyum,
senyum yang mengekal di sebuah buku puisi

Engkau penilik yang cermat, aku murid yang
bersemangat, mengumpulkan pekerjaan rumah:
beberapa bait puisi yang kutulis dengan senyum
sepanjang malam itu. 

Tahukah engkau? Aku sempat ingin mencontek 
pada Nanang Suryadi dan T.S. Pinang, teman 
dudukku sebangku di bangku khayal dan panjang ini, 
tapi senyummu dengan lembut menjewer telingaku.


"Jangan berakting di depanku, Hasan, aku ini 
sutradara dan pelatih di teater mahasiswa," katamu.


*


KEMATIAN itu? Ha ha ha, bisa-bisanya dia 
mengira bahwa dia bisa memisah kau dan aku

Sakitmu bukan lakon sederhana. Engkau bilang,
"sebentar lagi aku akan naik ke panggung yang
sebenarnya! Aku sedang berlatih menyembunyikan
pedih di balik senyum yang semanis-manisnya!"

Aku pasti akan datang bersama Medy Loekito, 
Anggoro Saronto, Tulus Wijanarko, Iwang Kurniawan, 
Randu Rini, Saut Situmorang, dan Cecil Mariani,  kami
menonton pentasmu : Monolog Senyum yang Sederhana. 











Wednesday, December 8, 2010

[ sajakanak ] Hai, Tuhan!

Hai, Tuhan, kita main, yuk! Kamu sekarang suka main apa?

Monday, December 6, 2010

Melangkah Aku Seperti Langkah Seorang Lelaki

ENGKAU menggagau tentang serentang pantai - dari
negeri yang pergi pada tahun yang panas - maka
pantailah Tubuhmu: menghampar - harum dan lapar!

Seperti halaman iklan minyak wangi, yang sobek dari
tebal eksemplar, majalah yang sesak gaung gambar!

Yang padamu terkapar, Aku, yang dilepaskan angin,
beliung besar, meliangi langit, lalu mengumpar liar

Aku mulai gerilya ini, menghadapi bayangan sendiri,
Mandi pedas pasirmu, kuarsa yang menggeranyami hati

Petang renta. Matahari melampui: kuning yang lampau
Sebentar lagi pecah dan berpijar, merah darah ular
Aku sudah berulang kali menengok pada angka digital,
Casio - kedap air, 200 meter - jam yang menjangkari

*

KALAU laut berteriak, maka kalimatnya adalah ombak!

Ia tak bawa nama siapa saja, sampai ia sebut teluk
Tempat singgah penyu tempayan, dari jauh perjalanan,
ribuan mil pilgrimaji, ke pasir ia dulu ditetaskan,
yang terkotori, bungkus makanan dan kaleng minuman

Sampah ini, seperti caci-maki yang tak dihendakkan!

*

Apa yang sudah kutemukan? Atau kuresahkan? Aku petani
terancam hama serangga, pasti tak bisa jaga, biji per
biji, galu-galu padi. Musim mengetam sebentar lagi.

Kalau nanti kusaksikan letak paksi ke arah paksina,
aku juga harus pulang ke sana, melipat peta, lalu
melangkah seperti langkah kaki seorang lelaki -
seperti lagu yang aku dengar dari Springteen - dan
menuliskan puisi yang aku takut pada bait-baitnya.




Saturday, December 4, 2010

Duka Dangdut

MEREKA berkumpul di kepalaku, mendangdutkan hari
Mereka bergoyang di kepalaku, mengdangdutkan diri
Mereka berteriak di kepalaku, mendangdutkan marah
Mereka berkelahi di kepalaku, mendangdutkan darah
Mereka berlari di kepalaku, mendangdutkan ketakutan
Mereka melompat di kepalaku, mendangdutkan harapan
Mereka bernyanyi di kepalaku, mendangdutkan hidup
Mereka terkapar di kepalaku, mendangdutkan mimpi
Mereka terbangun di kepalaku, mendangdutkan esok

Mereka mati di kepalaku, mengekalkan duka Dangdut  

Thursday, December 2, 2010

[ sajakanak ] Burung Hantu Tua yang Bijaksana

DI pohon oak, tinggal burung hantu tua bijaksana
Makin banyak ia melihat, makin sedikit ia bicara
Makin sedikit ia bicara, Makin banyak ia menyimak
Kenapa tak bisa seperti burung hantu tua yang bijak?

[ Sajakanak ] Menonton Sulap

oleh Robert Pottle

AKU mau pergi ke pertunjukan sulap
Aku harap pesulap itu punya tipuan-mata
Dengan adikku, kami pergi nonton bersama 
Supaya pesulap bisa menghilangkan dia

Kami Tak Dengar: Ketuk Penjual Pisau

MATAKU pintu ke gua besar, sarang kelelawar liar
Kalau kalian dengar hingar, itu bara yang membakar 
Jantung kami, seperti sesaji, agar malam lekas jadi 

Kami sepasang api, saling memanasi, berulangkali 
Terbakar, terkurung lingkar unggun yang kian besar 
Kami tidak bisa keluar, kami tidak ingin keluar!
 
Dinding kamar adalah asap yang beku mengendap
Mengedap, menolak cahaya dan suara, menyenyap,
Menggelap. Kami tak dengar ketuk: penjual pisau... 

Tuesday, November 30, 2010

Di Tubuhmu Aku Menjadi Seekor Binatang

DI tubuhmu, angin menjadi selembar selendang
menyampir di pinggang, dan kau menutup dada,
melangkah bimbang di titian panjang. Di sana,
di ujung seberang, ada redup cahaya, mungkin
itu sebuah pintu, rumahmu yang menunggumu

Kenapa ada selalu elang? Elang itu menetas
dari telur petir, ia selalu terbang, karena
hatimu tak bercabang, dan kakinya buntung

Laut menahan semua gelombang, kapal layar itu
berlayar tanpa awak, membentangkan duga-dugaan

Awan, kepingan-kepingan parang, saling mengasah,
dan nanti bersama gelap malam menimpasi karang!

Di tubuhmu, aku menjadi seekor binatang, letih,
liar, dan lapar, sembunyi dari para sekelompok
pemburu yang sama saja: letih, liar dan lapar.  


[ Ruang Renung #256] Tulisan yang Menarik

ADA yang bertanya seperti ini: bagaimana cara agar tulisan menjadi menarik? Saya mau jawab begini: kenapa kau tertarik pada sebuah tulisan? Adakah tulisan yang menarik hatimu? Kenapa tulisan itu menarik bagimu? Bisakah kau membuat tulisan seperti itu?


Yang mula-mula tertarik dengan tulisan kita adalah kita sendiri. Kalau kita tidak punya selera, kalau kita sendiri tak tertarik pada tulisan kita, dijamin, tulisan kita tidak akan menarik juga buat orang lain. Tulisan bisa praktis (seperti petunjuk atau tips merawat laptop, atau resep soto banjar), bisa juga menjadi santapan rohani (kisah-kisah inspiratif, atau fiksi yang memuaskan imajinasi saya).

Saya suka pada tulisan yang ketika saya baca, saya tertolong oleh tulisan itu, saya tercerahkan, dan saya diperkaya olehnya.  Buatlah tulisan seperti itu, saya akan menjadi pembaca tulisanmu.



Adegan yang Disukai Seniman Surealisme

/1/
TANGANKU berdarah. Penah aku menyentuhmu
dengan tanganku? Meninggalkan bekas telapak,
darah di situ? Aku regang, kehilangan tubuhmu

/2/
Kamarku berdinding peta. Buta. Kota-kota tumbuh
di situ. Tak ada pintu dan jendela. Tak ada jalan.
Tiap alamat, hanya sesat. Aku tak percaya cahaya.


/3/
Adegan ini, pasti amat disukai para seniman
beraliran surealisme: aku tergantung, dengan
tali terikat pada jantung, bagai meragakan
sendiri, gerak lompat indah paling sempurna!

Tak mati. Nyawaku belum mau lihat aku mati.





 

Kennedy, Havel, dan Hoesnizar

Oleh Hasan Aspahani

DI depan para anggota perkumpulan alumni Harvard, di Cambridge, Massachusetts, 14 Juni 1956, seorang anggota senat Amerika Serikat berusia 39 tahun berkata, "jika lebih banyak politisi yang tahu puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin dunia akan menjadi tempat hidup yang sedikit lebih baik."

Tujuh tahun kemudian orang yang sama, tetapi kala itu telah menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-35 berkata, "ketika kekuasaan membawa manusia mendekati arogansi, puisi mengingatkannya kepada keterbasannya. Ketika kekuasaan mendangkalkan wilayah kepedulian manusia, puisi mengingatkannya betapa kaya keberagaman eksistensi. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan. "


Dia, John F Kennedy, berpidato seperti itu ketika meresmikan Perpustakaan Robert Frost, di Amherst College, 26 Oktober 1963, sembilan bulan setelah kematian sang penyair. Kalimat itu lantas dikutip dalam berita The New York Times sehari kemudian. Penyair itulah yang membaca puisi tepat sehabis pidato pertama Kennedy, setelah sang presiden dilantik.

Saya menemukan lanjutan dari kalimat tadi, kalimat yang sangat sering dikutip ketika orang bicara tentang politik dan puisi: "Adalah nyaris sebuah kebetulan bahwa Robert Frost mengawinkan puisi dan kekuasaan, karena dia melihat puisi sebagai upaya menyelamatkan kekuasaan dari kekuasaan itu sendiri." Tak berselang sebulan setelah pidatonya itu, pada tanggal 22 November 1963, Kennedy ditembak. Dan mati.

*

Dimanakah sastra dan politik, sastrawan dan politisi menyatu? Tidak pada John F Kennedy,karena bagaimanapun Kennedy tetaplah seorang politisi yang mengagumi sastra, puisi dan bersahabat dengan Robert Frost, penyair yang ia kagumi itu.

Sastra dan politik menyatu dalam diri Václav Havel. Tokoh ini lahir 5 Oktober 1936. Pada mulanya dunia mengenal dia sebagai penulis, politikus, dan dramawan Cekoslovakia. Havel adalah seorang dramawan dan ia juga menulis buku-buku puisi dan esai. Sebagai dramawan ia terkenal ketika pada 1963 ia menerbitkan karya Zahradní Slavnost, dan segera disusul dengan Vyrozumění pada 1965, yang merupakan karyanya yang paling terkenal.

Tema utama  karya-karyanya adalah pengasingan sosial. Ia keras mengritik  sistem komunis yang totaliter. Dan itulah pangkal masalahnya. Ia dipaksa untuk bungkam dan tidak lagi berkarya. Itu juga pintu masuknya ke politik.

Tak puas berjuang dengan pena, Havel masuk ke ranah politik. "Visi saja tidak cukup, harus digandengan dengan keberanian mengambil risiko. Menghitung langkah saja tidak cukup, kita harus melangkah menaiki anak-anak tangga," katanya, seakan memberi garis bawah pada langkah politiknya.

Ia lalu mendirikan Charta 77, organisasi anti-komunisme di Cekoslowakia. Setelah Revolusi Beludru, yang menandai jatuhnya komunisme di Cekoslowakia pada 1989, ia menjadi pemimpin partai demokrasi Obcanske Forum.

Pada 1989 ia menjadi Presiden Cekoslowakia yang ke-10, dan berikutnya ketika negara itu berubah, pada 1993 Havel menjadi Presiden Ceko yang pertama – hingga 2003.

*

Hoesnizar Hood, si penulis kumpulan kolom ini, dan ini adalah buku ketiganya, lebih pas disandingkan dengan Havel daripada Kennedy. Dalam diri Bang Nizar, begitu kami mengakrabinya, menyatu dua sosok itu: sastrawan dan politisi. Untungnya adalah pada mulanya dia adalah seorang sastrawan. Mata batinnya sebagai sastrawan jeli melihat kegelisahan masyarakatnya, masyarakat Melayu yang menggelisahkannya. Ini adalah sumber kegelisahan abadinya.

Seperti Havel, kegelisahan itu oleh Bang Nizar dibawa ke mana-mana, muncul di sajak-sajaknya, dia bawa ke Partai Demokrat di mana dia menjadi ketuanya, muncul di kolom "Temberang"-nya yang terbit tiap minggu di Batam Pos, dan saya tahu persis juga muncul dalam rapat-rapat DPRD Tanjungpinang di mana dia sekarang duduk di salah satu kursi wakil ketuanya.

Dan sosok seperti dia langka. Susah sekali menyatukan dua dunia yang galibnya hadir bak air dan minyak itu, bisa ditempakkan dalam satu cawan, tapi tetap saja jelas garis batasnya. Maka, bagi saya, kesastrawanan seorang Hoesnizar memberi nilai lebih pada sosoknya sebagai politikus. Kepolitikannya juga ibarat tumpukan sekam bagi api kegelisahannya sebagai sastrawan. Bang Nizar dengan cermat mengelola dua sisi itu.

"Temberang" sudah terbit dalam dua buku, sebelum buku ini. Buku pertama "Orang Melayu Hanya Pandai Bercerita" terbit dengan kontroversinya sendiri. Ia jadi pembicaraan yang luas dan saya yakin ia telah berhasil menggugah - jika kata mengubah terlalu jadi beban - banyak orang. Mahmud, sosok alterego itu, tiba-tiba jadi sangat akrab dalam alam pikir orang-orang Melayu di "Tanjung Pening", "Kepulauan Risau".

Lalu, buku kedua terbit "Mahmud Jadi Dua". Batam Pos sempat menghentikan kolom "Temberang" karena ingin berlaku adil: Hoesnizar waktu itu jadi politisi dan Batam Pos ingin netral. Setelah "jadi dua" sisi, Mahmud naik pentas lagi. "Mahmud harus jadi sosok yang beda. Dia main golf, naik mobil mewah ke mana-mana," kata saya kepada Bang Nizar, saran untuk menampilkan "keduaan" Mahmud.

Dan inilah buku ketiga "Temberang". Bagaimana saya melihat buku ini? "Bang, ini buku penegasan. Mahmud belum habis, dan tidak akan pernah habis. Mahmud boleh terus risau, tapi dia sudah harus bisa menegaskan sikap!" kata saya.

Maka, dipilihlah judul ini: Biar Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut. Saya menyarankan judul ini, judul yang diambil dari salah satu episode "Temberang". Inilah kalimat yang paling pas menegaskan sikap Mahmud dan sikap penulisnya Hoesnizar Hood.

Sikap itu punya nilai, karena nanti siapapun yang mengucapkannya kalimat itu sah. Ia tidak lagi menjadi milik Hoesnizar, juga tidak lagi menjadi milik masyarakat Melayu. Kalimat itu kelak akan menjadi universal. Itulah kebahagiaan seorang sastrawan. Yaitu ketika nilai-nilai dalam karyanya mencapai universalitas. Saya ikut bahagia karena sesempatnya menjadi bagian dari proses pencapaian itu.

Dan saya kelak akan menjadi lebih bangga dan bahagia jiga kelak melihat sisi lain Mahmud eh Husnizar juga mencapai tahapan lain. Saya ingin melihat jejak langkah Hoesnizar sebagai politisi sampai pada puncaknya, saya melihat sudah ada jalan terang dan lapang ke sana.*** 

* Pengantar untuk buku "Biar Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut"

Berbahagialah, Paman Fauntleroy!

Oleh Hasan Aspahani

SIAPAKAH Paman paling terkenal di dunia? Dia adalah Donald Fauntleroy! Kenal? Baiklah, nama bekennya Donal Duck alias Donal Bebek! 

Ia punya tiga keponakan kembar identik yaitu Huebert, Deuteronomy dan Louis. Nama yang rumit? Baiklah, panggilan untuk tiga keponakan itu adalah Huey, Dewey, dan Louie. Masih susah? Baiklah, di komik kita panggilannya lebih sederhana Kwak, Kwik dan Kwek. Donal punya tiga keponakan lagi sebenarnya, para sepupu si tiga kembar identik ini yaitu: April, May dan June!



Tiga keponakan yang nakalnya minta ampun, plus paman yang gampang marah, ini adalah kombinasi ajaib untuk sebuah kartun. Itu yang turut membantu Donal menjadi bintang di antara para tokoh kartun. Kemasyhuranya hanya kalah satu peringkat dari rekan satu studionya Miki Tikus.

Tiga keponakan bengal itu muncul pertama kali bersama Donal hanya untuk sementara. Bocah-bocah itu dititipkan satu hari saja sementara si ayah dirawat di rumah sakit akibat luka bakar kena ledakan mercon. Mercon itu diletakkan di kursi dan diledakkan oleh anak-anaknya sendiri. Donal tak bisa menolak - ini mungkin semacam kutukan jadi paman.

Donal juga seorang keponakan. Ia punya dua paman Ludwig von Drake dan Scrooge McDuck. Ia sering  kali dimanfaatkan oleh pamannya si kaya yang pelit: Scrooge McDuck alias Paman Gober itu. Donal tak bisa menolak - ini mungkin semacam kutukan jadi keponakan - meskipun setiap kali menerima pekerjaan dari si paman ia menggerutu dan tahu bakal dapat upah yang tak setimpal dan hanya menambah kekayaan si paman.

Hubungan paman-keponakan atau keponakan-paman, memang menarik diutak-atik. Saya tak bisa bayangkan kalau Disney menjadikan Kwak, Kwik, Kwek sebagai anak-anak kandung Donal. Mungkin akan lahir anak-anak pembaca Disney yang amat kurangajar pada orang tua dan tak lagi peduli atau takut jadi kualat. Sampai kapanpun, semodern apa pun tata kehidupan, hubungan ayah-anak tetaplah sakral dan bukan hal untuk dimain-mainkan meskipun hanya dalam dunia kartun dan animasi. Hubungan paman-keponakan lebih cair, lebih longgar, dan lebih aman untuk dijadikan lelucon.


*

SAYA sekarang punya lima keponakan, dan saya ingin menjadi paman hebat yang dibanggakan oleh para keponakan saya itu. Pada dasarnya saya menyukai anak-anak. Saya ingin menyayangi keponakan saya seperti anak saya sendiri. Tapi, bagaimanapun mereka bukan anak saya. Dan itulah enaknya jadi paman, bisa ikut merasa punya anak, tanpa terlalu cemas dengan masa depan dan masa kininya, karena sudah ada orangtuanya yang memikirkan itu, bukan?

Abang saya punya satu anak yang dengan sangat bangga dan akan terus saya kenang bahwa sayalah yang memberi nama keponakan saya itu. Adik saya punya satu anak, baru saja lahir, dan saya belum sempat menjenguknya: kecuali lewat foto yang dipajang oleh ibunya di jejaring sosial.

Saya berpeluang dapat keponakan lagi dari dari adik perempuan bungsu kami yang belum menikah. Adik istri saya punya tiga anak. Tiga keponakan ini akrab sekali dengan anak-anak saya. Hubungan persepupuan mendekatkan mereka: sosok kakek dan nenek - mereka memanggil "Atok" dan "nenek" - dengan sangat efektif menyatukan mereka!

Saya juga keponakan yang bahagia, karena punya banyak sekali paman yang menyayangi kami. Bapak saya anak nomor empat, darinya saya punya enam paman dan seorang bibi. Berkunjung ke rumah paman, bertemu dengan para sepupu adalah saat-saat yang menyenangkan saya: ada semacam rasa aman karena sadar bahwa ada pertalian darah yang mengikat kami.

Dari ibu saya hanya punya satu paman kandung. Paman saya ini meninggal akhir pekan lalu. Ia meninggalkan bibi yang amat sabar dan empat anak, para sepupu yang sedikit saya sesali - karena jarak usia, waktu dan tempat -  tak terlalu akrab dengan mereka.

Paman saya menikah tiga kali. Dari dua istri pertamanya dia tidak punya anak. Perceraiannya dengan istri keduanya sempat menjadi semacam prahara keluarga: rumit, ribut dan bertele-tele. Saya terlalu kecil saat itu untuk mengerti urusan orang dewasa semacam itu. Satu hal yang saya bisa mengerti cuma satu: Paman ingin punya anak. Untuk itu, syarat perceraian yang diajukan istri keduanya ia terima saja, ia harus berhenti dari pekerjaan yang nyaman di perusahaan minyak besar tempat ia bekerja. Kabarnya pekerjaan itu diperoleh berkat bantuan si istri keduanya.

Paman dan bibi - yang ia ceraikan itu - sangat menyayangi kami, para keponakannya. Tiap hari lebaran kami diberi baju baru dan uang jajan yang lumayan banyak. Ini luar biasa membahagiakan dan bikin iri anak-anak kampung lain. Kami sering diajak jalan-jalan naik Vespa, dan sesekali nonton bioskop. Ini pengalaman tak terlupakan. Tapi, itulah, bagi paman kami tetaplah keponakan dan bukan anak kandung.

Dengan perempuan ketiga yang ia peristri paman harus mulai dari nol lagi. Bibi berjualan kue, dan sayalah yang membantunya mengantarkan ke warung-warung tanpa upah, kecuali sepotong dua potong kue untuk sarapan. Ibuku harus mengalah. Tadinya ibuku juga bikin kue - saya juga yang mengantarnya ke warung - dan demi paman ia berhenti sementara. 

Paman lalu ikut membuka kampung baru. Ia bertanam kelapa dan gagal. Tapi kemudian lahan kebunnya ternyata bagus sekali diusahakan menjadi tambak ikan bandeng dan udang. Saya sempat sekali ikut memanen tambaknya. Dengan tambak itu, ia tak cemas lagi dengan masa depan anak-anaknya, dan paman punya anak banyak seakan hendak membalas dendam karena lama tak punya keturunan. 

Sebelum Paman meninggal, bibi menelepon saya, mengabarkan dia sudah lama sakit, minta maaf kalau ada salah, dan itu seperti menjawab firasat, kelopak atas mata kiri saya beberapa hari terus bergetar.

Petang itu, kata Bibi, Paman minta dimandikan, dibersihkan kupingnya, disisiri rambutnya lalu tidur tenang sekali. Dalam tidur itulah Paman mengehambuskan nafas terakhir. Saya kira dia bahagia karena dia meninggal di rumah salah seorang anaknya: anak ketiganya, anak perempuan yang sudah pula memberi paman seorang cucu.

*

Saya mengenang Paman saya almarhum dengan sedikit sifat-sifat mirip Donal. Mereka berdua sama-sama tempramental. Suka meledak-ledak. Ini kenangan buruk: saya tak bisa lupa, saat Paman bertengkar hebat dengan bibi isti keduanya, di saat-saat mereka ingin bercerai. Waktu itu, saya tak bisa mengerti apa-apa.

Paman memang suka bicara dengan nada tinggi, meskipun sebenarnya dia tak sedang marah. Ia suka tertawa terbahak-bahak, ah, ini juga betapa miripnya dengan Donal, bukan?
 Donal yang tempramental itu sesungguhnya adalah orang yang bahagia. Ia tak terlalu peduli pada kerumitan hidup dan tak punya masalah apapun dengan siapapun di dunia. Ia selalu muncul dengan senyum lebar, sampai ada masalah menimpa dan merusak hari-harinya. Donal tahu tempramen yang buruk itu tak baik. Dalam beberapa cerita, Donal pernah berusaha mengendalikan emosi, dia berhasil, tapi tersebab satu dan banyak hal emosinya kembali tak terkendali. Bagaimana pun Donal tak pernah menyakiti orang lain, dan dia gampang minta maaf.

Saya tak tahu apakah ayah Donal, Quackmore Duck dan ibunya Hortense McDuck pernah meminta Donal untuk lekas menikah, dan memberinya cucu. Sampai hari ini, sejak kemunculannya pertama kali, secara resmi 9 Juni 1934, Donal belum menikah. Tapi, bagaimanapun, saya kira Paman Fauntleroy kita ini adalah bebek yang berbagahagia. Paling tidak, dia sudah menghibur dan membahagiakan kita.[]

Monday, November 29, 2010

Malam Malaria

BAPAKKU, aku harus pergi, dengan darah di tanganku,
dan coreng di wajahmu. Maaf, karena marah, kubantai
anak lembu yang memakan dan merusak tanaman labumu

Parang pertama yang kau berikan padaku, penebas gulma
di kebun kita itu, kutinggalkan di kepala lembu itu,
aku tak bisa dusta, Bapak, akulah pembunuh hewan itu

Udara buruk sekali, peluh di dahi bulan, malam kena demam,
dan aku harus pergi, Pak. Tak pernah ada saat yang tepat, kan? 

 Aku lelaki sudah bermimpi lelaki, dan mulai bisa berdosa.

Di kota, yang selalu kau dongengkan di tidur masa
kanakku, mungkin masih ada rombongan sandiwara itu,
berputar dalam lingkaran kian lebar, makin ke tepi

Aku mungkin bisa bermain sebagai Skaramus atau Zorro
karena di balik topeng itu aku bisa kenal siapa aku

Aku pernah cerita tentang guru Kesenian memuja bakatku,
waktu kau tanda tangani rapotku, Bapak, "Kau bisa jadi
pelakon yang hebat, Nak!" Aku dapat nilai sembilan,
untuk pelajaran itu, setelah memainkan monolog yang
kutulis sendiri naskahnya. Kau ingat 'kan, Bapak?

Monolog tentang hantu yang menakut-nakuti anak-anak
kampung, sembunyi di banir atau di rongga pohon kayu!

*

Bapakku, aku sudah pandai membaca dan tahu mengangka,
tak lagi kurang menghitung buah semangka, di kebunmu,

Aku akan menulis surat, Bapak. Mungkin tentang tepuk
tangan, terang lampu, dan dialog yang harus kuhapalkan,
di panggung pura-pura ini. Ah, tak usah kau balas, Pak.
Surat-suratku itu, kelak kau simpan saja, bersama akta
kelahiranku, bersama raporku, foto-foto bayiku, atau
kau bakar saja semua, jika kau anggap telah sia-sia
kau membuahi ibu, dan sia-sia ibu melahirkan aku

*

Mungkin akan miskin dan sendiri, tapi aku merdeka, Pak.

Mungkin nanti aku akan bisa jadi sutradara, menulis
lakon, dan berlakon di panggung besarku sendiri, Pak.

Mungkin kau akan melihat fotoku di balik topeng, di
halaman 1 suratkabar disertai tulisan penuh pujian, Pak.

Mungkin aku bisa punya rombongan sandiwaraku sendiri.

Mungkin aku bisa punya teater mewahku sendiri, dengan
jadwal padat pementasan sepanjang tahun, Pak. Datanglah,
sebagai penonton yang bertepuk tangan paling lama, duduk
di kursi paling hadapan, dan ajaklah ibu bersamamu, Pak.

Atau aku akan jadi hantu, menakut-nakuti sendiri hidupku.

*

Aku harus pergi, Bapakku. Kalau adik-adik bertanya,
katakan aku pasti pulang dengan seratus lembu. Aku
akan ganti anak lembu tetangga kita yang kubunuh itu.

Dan untuk kita, Bapakku, untukmu, ibu dan adik-adikku,
ada lembu-lembu bersayap, dan kita terbang bersama,
tamasya, ke pantai berhutan pinus itu, ke museum
dongengan, ke bukit di mana cengkeh berbunga lebat,
ke Jeddah, ke Madinah, ke Makkatul Mukarramah.  

Ya, aku harus pergi, Pak, Bukan karena takut itu, tapi
hanya dengan jalan ini aku bisa membunuh kepengecutanku.

Sunday, November 21, 2010

Jangan Menangis, katamu, Karena Itu Aku Menangis!

KITA seperti sepasang anggota terakhir
kelompok musik rock yang sebenarnya sudah bubar lama.

Sia-sia bertahan, lagi mendengarkan,
lagu-lagu kita, yang kini terasa sangat menyakitkan

Seperti membuat luka baru di kelopak bunga luka lama
yang belum layu!

Lihat, segar sekali darah dan merah itu:
          darah dan merah khianat,
                   darah dan merah dusta,
                             darah dan merah dosa!

Kita mungkin harus sempurnakan kebersamaan ini dengan
saling melukai dan mati, mengenang keinginan lucu itu:

Berpose di sampul majalah Rolling Stone?
           Album kita ditandai lima bintang 5 di rubrik Review?
                   Dan kita saling berdusta di halaman Interview?

Mereka lari dan mencuri lagu-lagu kita ribuan kali!
Kita terpenjara dan tak lagi bisa gubah nada-nada baru

Sepi menguasai, tata suara mati: mempertegas garis sunyi.

Kita menjadi sepasang penyair malang, menjadi penakut,
simpan ribuan bait banci di laci, benci gagal sembunyi!



Thursday, November 18, 2010

Pamplet II

Tulis dengan ringkas, maka mereka akan membacanya; tulis dengan jelas mereka akan menghargainya; gambarkan dengan baik maka mereka akan mengingatnya; tapi di atas semua itu tulis dengan AKURAT maka mereka akan terbimbing oleh cahayanya.


Joseph Pulitzer (1847-1911)
Perintis Hadiah Jurnalistik Pulitzer  


 

Pamplet I


...

hukum adil atas rakyat
tanda raja beroleh inayat

kasihkan orang yang berilmu
tanda rahmat atas dirimu

hormat akan orang yang pandai
tanda mengenal kasa dan cindai

...
 
Raja Ali Haji
Gurindam Duabelas
Fasal 12

[oase] Waktu yang Leluasa

KAYA itu punya uang yang banyak. Sejahtera itu artinya punya waktu yang amat leluasa. Punya waktu leluasa, itu artinya kita punya kesempatan untuk menikmati uang kita, bukan? Sesedikit atau sebanyak apapun uang kita itu.

Maka, seperti bait sajak Tagore, biarkan hidupmu menari kecil di tepi Waktu, seperti embun di ujung daun!

Menarilah, merayakan dan mensyukuri hidup! Dengan begitu walaupun kau tak bisa menguasai waktu itu, paling tidak kau menikmatinya. Seperti embun yang pasti akan jatuh, atau menguap: pergi dari ujung daun itu.[]

 

Wednesday, November 17, 2010

Di Panggung Kenduri Seni Melayu




[Kolom] Di Puncak Itu, Tardji!

UNTUKNYA, pada tahun 1976, sahabatnya Abdul Hadi W.M. menulis sebuah sajak empat bait, masing-masing bait berisi tiga baris. Saya kutipkan  dua bait terakhirnya:  Kita adalah jantung, sungai yang dibentuk tebing curam, Kita tahu laut tak lebih dalam. Kita tahu. Tapi datang. Di ombak kita mendebur tak bosan membongkar karang.

 Di sajak itu ada  pernyataan akan kesadaran diri yang tinggi. Ada isyarat bahwa mereka telah berbuat, beranjak dari suatu tempat dan mencapai sesuatu. Ada pemberitahuan bahwa mereka dengan sadar menempuh jalan yang tak sedap untuk mencapai hakikat.

Begitulah. Mereka: jantung sungai yang lebih dalam dari laut karena mereka dibentuk oleh tebing curam! Bayangkan itu! Tapi, mereka pergi juga, mengarungi laut itu, menempuh risiko bahaya dan ancaman. Menyatu dengan deburnya, menjadi ombak, untuk membongkar karang. Tanpa rasa bosan!    

Kelak Abdul Hadi WM yang sudah melengkapi perjalanan hidupnya dengan gelar Prof dan DR di depan namanya, menyimpulkan dengan bahasa lain, apa yang dulu ia sajakkan. Tidak ada penyair Indonesia lain, kata Abdul Hadi, seperti Sutardji yang begitu total melakukan perlawanan metafisik terhadap kondisi kemanusiaan bentukan peradaban materialistik dan positivistik.
Lewat sajak yang dipersembahkan padanya, juga lewat tafsir atas sajak dan kepenyairannya, kita bisa memahami dia: Sutardji Calzoum Bachri.

Beberapa waktu lalu saya bertemu lagi dengannya. Saya dan sahabat saya Hendri Anak Rahman, menjemput Bang Tardji di Bandara Hang Nadim. Sosok lelaki kelahiran Rengat, 24 Juni 1941 itu tak berubah. Hanya usia yang membungkukkan tubuhnya yang tak terlalu besar itu.

Ia selalu tampak amat nyaman dengan jaket kain, kaos berkerah, celana kargo, sepatu sandal, kaos kaki dan topi yang tersampir sekenanya di kepalanya, tak terlalu berniat menutupi rambutnya yang masih ia biarkan panjang dan karena itu ia harus ia rapikan dengan menguncirnya!

“Ini anak saya, Mila,” katanya, memperkenalkan gadis yang datang bersamanya. Mila Seraiwangi, anaknya satu-satunya, anak yang sudah menyelesaikan kuliah di jurusan akuntansi.  “Dia tak berminat pada sastra,” kata Bang Tardji penuh permakluman seorang ayah, sama sekali tak ada kesan ia menyayangkan pilihan anaknya itu.

Sastra Indonesia, dan bahkan bangsa Indonesia sesungguhnya sangat beruntung memiliki seorang Sutardji Calzoum Bachri.  Dan saya, merasa sangat terberkati karena beberapa kali bisa bertemu langsung dengannya, melihat dia tampil di panggung resitasi puisi, dan kelak kami bergantian tampil di panggung yang sama.

Jika ada yang merisaukan bahwa puisi Indonesia tidak pernah membina pondasinya dengan kuat, maka saya selalu bilang: bacalah buku “Isyarat”, kumpulan esai Sutardji Calzoum Bachri.  Buku ini  --  ah, maafkan saya yang pasti terdengar berlebihan – bolehlah dianggap sebagai “kitab suci” bagi puisi Indonesia.  Di buku terbitan IndoensiaTera ini, Sutardji mengumpulkan semua tulisan nonpuisinya, dimulai dengan  kredonya yang masih saja memancarkan sinar terang-benderang itu.

Sutardji tak pernah jauh dari dunia tulis-menulis. Ia pernah menjadi redaktur di sejumlah surat kabar dan majalah.  Ia mengasuh rubrik puisi, dan di sana ia menulis banyak sekali hal-ihwal kepenyairan dan perpuisian. Bagi saya, buku setebal 506 halaman ini telah menjawab sebagian besar pertanyaan besar, pertanyaan dasar, dan pertanyaan nakal saya tentang puisi.

Saya berdoa agar Bang Tardji terus diberi usia panjang dan stamina kuat untuk membaca sajak di panggung. Jika kelak ia menyusul sang mata kanan (Chairil Anwar – ingat pernyataan terkenal Dami N Toda tentang analogi mata kiri dan mata kanan), maka apa yang diwariskan oleh Sutardji di buku berhias foto saat ia mendedahkan dada di depan podium, dan di atas podium itu ada gelas dan sebotol bir - adalah emas 24 karat.

Dan Bang Tardji punya warisan lain yang belum terurus. Ia adalah pembaca puisi paling hebat di negeri ini. Maaf, saya sungguh yakin belum ada penandingnya untuk urusan ini. Pernah suatu hari di pangkal tahun 2000, ada pementasan sajak di Jakarta. Sutardji tampil bersama Rendra dan Taufik Ismail.  Tardji juaranya, tentu saja. Ia memulai tampil dengan atraktif: turun dari atas panggung dengan ayunan tali, menyanyikan blues! Koran sebesar Kompas pun memajang adegan itu di halaman utama!

“Rendra itu kan tak mau kalah. Makanya kalau tampil dengan saya dia selalu cemas. Malam itu dia kalah telak!” kata Sutardji terkekeh-kekeh mengenang pementasan di awal milenium itu.


Itulah warisannya yang harus segera dikumpulkan, yaitu foto-foto dan rekaman saat ia tampil membaca puisi. Ia menyebut ada beberapa nama fotografer senior yang memegang hak cipta atas foto-fotonya. “Di Kompas pasti ada arsipnya,” kata Tardji, “tapi siapa yang mau mengurus itu kalau foto-foto itu mau dibukukan dan diterbitkan?”

Saya punya kerisauan lain. “Abang juga harus menulis buku tentang bagaimana membaca puisi. Saya yakin tak ada orang yang pantas menulis itu kecuali Abanglah…” kata saya. Ia bilang bahwa sedang mulai menuliskan buku yang saya maksud. “Saya kembangkan dari esai yang ada di buku ‘Isyarat’ itu,” katanya. Ia sepertinya mencemaskan sesuatu.

“Di Indonesia ini tak ada yang serius mengurus puisi,” katanya.  Ia lalu bicara dalam tempo cepat, dengan suara khasnya itu:  tentang bagaimana seharusnya puisi diajarkan selekas-lekasnya pada anak-anak; Ia bercerita tentang bagaimana bukan hanya penyair yang harus dilahirkan tapi juga melahirkan para pembaca yang kritis; Ia memaparkan bagaimana seharusnya sastra diajarkan, pentingnya memetakan perjalanan sejarah sastra, pencapaiannya dan tokoh-tokohnya;  Ia mencela perilaku sastrawan yang menempuh jalan tak wajar untuk dapat nama, padahal tak ada cara lain untuk berhasil dalam sastra kecuali mengandalkan karya. Itu mungkin yang dipersembahkan oleh Abdul Hadi WM dalam sajak yang saya kutip di atas: datang ke laut, menyatu dengan ombak, dan tak bosan membongkar karang!


“Saya tak pernah mengemis pengakuan. Jassin kagum pada sajak saya, Goenawan suka sajak-sajak saya, tapi mereka saya olok-olok juga, kalau mereka tak suka pada saya, biar saja, mereka tak bisa tak suka pada karya saya,” kata Tardji tertawa, mengenang kelakuannya yang suka mencemooh. “Ini mungkin tak bagus untuk silaturahmi atau pertemanan, tak baik meniru kelakuan saya yang seperti itu,” katanya, dan ia  tertawa lagi.

“Kau kan mendapat pengakuan sebagai penyair karena sajak-sajak kau,” katanya padaku.

Ia bicara tentang pentingnya lembaga kritik, dan ia meyakinkan bahwa lembaga pemberi legitimasi itu perlu untuk kehidupan sastra yang sehat.

“Banyak yang takut pada kritik. Banyak yang bilang kita tak perlu kritikus. Akibatnya apa? Tanpa lembaga kritikyang berwibawa yang ada hanya chaos, itu yang terjadi sekarang ini,” katanya malam itu.

Di beberapa meja yang dijejer jadi satu baris, kami tinggal berempat. Saya, Sutardji, Hendri dan Pardi.  Pengamen yang tadi menyanyikan beberapa lagu sudah pulang. Samson sudah pulang, suaranya serak, dan benar saja besoknya dia disergap sakit. Lawen dan Teja sudah kembali ke hotel. Malam itu, baru saja kami tampil bergantian membaca sajak di Kenduri Seni Melayu (KSM).

Malam. Batam. Mungkin keduanya teramat berkesan di hati Sutardji. Ia ada menulis sajak tentang kedua hal itu, sebuah sajak panjang.

Di malam pembukaan KSM, Sutardji masih saja tampil memikat. Dengan harp blues  yang mahir ia kuasai, dan tariannya yang tengil di atas panggung, sajak “Tanah Air Mata” tersampaikan dengan amat menarik. Saya teringat sajak lain yang tak ia bacakan: para penyair, jangan biarkan dirimu berlama-lama di lembahlembah. Engkau, Tardji, ada tinggi, jauh di puncak itu![]  

Sunday, November 14, 2010

Manusia Pasien

KAMI manusia pasien. Mengapar di ruang perawatan, kelas sangat miskin.

Mulut hanya masin, karena kami mengunyah garam pasir, agar darah tetap
berdesir mengalir, berhulu muara jantung, menghilir ke syaraf yang ujung.

Jantung kami, sudah berkali-kali tiba-tiba berhenti, terhimpit marah sendiri,
kami mendadak mati, dan dipaksa hidup lagi: tetap ada di rumahsakit ini.

*

Kalian suka mengirim datang ke sini, wanita bermahkota di luar kepala,
dadanya membawa pisau-pisau, nanti pisau itu menikami tubuh kami,
menugalkan luka-lubang-tanam tempat tumbuh subur marah yang lain.

*

Tubuhku cincangan timun, dirajang marah kami sendiri, direndam dalam
cairan cuka, air mahamasam: air dari luka-luka di tubuh kami itu sendiri.

Kami tidak sakit. Kami disakitkan. Kalian suka melihat kami menderita?

Kantata Kota

KAMI tak lagi memesan kopi, bukan karena kantata Bach

Kota tak bisa diminta sunyi karena jiwa terus mengoceh,
seperti sendiri stadion kosong, dengan sunging vuvuzela

Hidup menyaru opera komedi, dan seperti itulah sudah
Kami sama bertanya, "Kenapa harus rumuskan segalanya?"

*

Di meja itu - dengan bayang reklame lama Marylin Monroe,
mengiklankan talkum gatal kulit -  kau sodorkan perangkat
berlayar sentuhan - "Bacalah! Bacalah atas nama temanmu!"

Aku seperti membaca kisahku: rakyat yang gagal jadi rakyat

Sambil mencoba menyesuaikan lagi: lidah dan goreng ubi -
aku membayangkan: seorang mirip engkau, berlakon di situ

Thursday, November 11, 2010

Hanya Ada di Indonesia

SEBUAH bank swasta bangkrut lalu ditalangi negara,
membanjirlah uang itu entah kemana berhentinya

Dan kami tak tahu kemana lagi mencari uang kami

*

Sebuah kepulauan yang dikurung kepung gelombang
berkali-kali digoyang gempa dan dilindas tsunami,

Dan kami tak mau kalah, pasrah pada bencana ini...

*

Sebuah gunung yang mengandung api di namanya
meletuskan tenaga 600 bom atom di Hiroshima

Dan kami tak pernah menyerah pada apa-apa...

Sebuah gunung yang menampung lava di perutnya
tak berhenti muntah api lebih 120 jam lamanya,

Dan kami tak akan berhenti mempertahankan diri...

Sebuah gunung yang dijaga lelaki tua, lelaki
yang ditunjuk atas titah seorang sultan, dan
dia mati dalam asap panas gunung yang ia jaga

Dan padanya kami belajar ikhlas pada tugas...

*

Sebuah penjara, yang petugasnya miskin dan murah
dibeli, agar meloloskan perampok pajak negara

Dan kami tak tahu harus marah kepada siapa...

Sebuah penjara, yang pintunya sengaja tak dikunci
melenggang maling uang negeri nonton tenis di Bali

Dan kami tak tahu harus percaya kepada siapa...

*

Seorang presiden tamu negara, ia yang dulu pernah
sebentar saja bersekolah di sini, mengenang enaknya
bakso dan sate, emping dan nasi goreng, tapi dia
justru lebih membanggakan kami dibanding presiden yang
kami pilih sendiri, yang sibuk dengan diri sendiri

Dan kami tak tahu harus malu kepada siapa...
 

[ Ruang Renung #255 ] Tak Apa, Ragukanlah!

CHAIRIL meragukan sajak-sajaknya. Ia pernah sampaikan keraguan itu pada sahabatnya Jassin. Ia kirim kartu pos dan sejumlah sajak yang dia bilang perlu melewati beberapa tahap percobaan lagi untuk bisa disebut sajak.

Goenawan Mohamad  juga pernah mengirim surat kepada Jassin dan mengeluhkan hal yang sama: meragukan sajak-sajak mereka sendiri. 

"Saya bisa mengerti mengapa Saudara tidak puas lagi dengan sajak-sajak dan esei-esei Saudara, yang bagi Saudara sendiri secara subyektif tidak menyenangkan lagi," kata Jassin, dalam surat balasannya untuk Goenawan. 


Dan saya kira Jassin tidak menghibur ketika dia bilang bahwa sajak-sajak dan esei-esei Goenawan bagi orang lain masih tetap ada artinya dan untuk itulah orang berterima kasih. "Itu hanya satu tanda bahwa Saudara amat cepat bertumbuh dan maju dalam pandangan dan pemikiran!" kata Jassin.[]





Tuesday, November 9, 2010

[Ruang Renung #254] Belum Memenuhi Syarat

Begini H.B. Jassin menulis dalam surat pengantar pengembalian sajak seorang penyair yang ia tolak untuk dimuat di majalah Sastra: ....belum ada yang memenuhi syarat.

Lalu dia uraikan: Kekurangan yang paling besar ialah penggunaan kiasan-kiasan yang tidak jalan, hingga sukar menangkap pikiran dan gambaran yang terkandung di dalamnya. 

Padahal, kata Jassin, maksud penyair menggunakan kiasan ialah supaya gambaran lebih hidup dan isi yang mau diungkapkan cepat bisa tertangkap. Tanpa memperhatikan ini dan tanpa pengertian ini, sajak Saudara akan senantiasa gagal.


Bukan hanya si penyair yang tertolak karyanya itu yang bisa ambil pelajaran dari surat penolakan itu. Kita pun sekarang bisa belajar dari situ. Kalau kita mau. []

[Ruang Renung #253] Huh, Tak Ada Ide

Tahun 1950, Rivai Apin menulis sajak yang padanya ada frasa "di pinggir senja", "di ujung senja". Frasa itu saya kira masih mudah ditemukan di sajak-sajak para penulis sekarang, 60a tahun kemudian. 


Terhadap sajak Rivai Apin, Jassin menulis: Sajak-sajak Saudara ini dalam bentuk dan isi tidak memberikan sesuatu yang baru dan menarik, dan lebih berat lagi: tidak ada ide! 


Hayo, kamu? Masih mau menulis seperti itu? Masih mau menerima tamparan keras seorang Jassin? Huuh, saya tak mau!

[Ruang Renung #252] Jelek, Kata Jassin

HERMAN Pratikto memaksa H.B. Jassin untuk membaca cerita pendeknya. Jassin menurut. Lalu Jassin kirim surat: Mengenai cerita pendek Saudara, "Rosita", yang saya paksa baca sampai habis atas permintaan Saudara, saya cuma punya satu perkataan: jelek.

Jadi, Saudara, memang ada karya yang buruk dan baik. Yang cemerlang dan yang bantut.  Jassin sebagai redaktur, juga sebagai kritikus, melakukan penilaian itu dan menjatuhkan vonis itu -  kalau kritik itu mau dianggap sebagai vonis.

"Itu yang tak ada sekarang dalam sastra kita. Kita tak punya otoritas kritik yang memberi legitimasi. Legitimasi itu perlu. Kalau tak ada ya yang terjadi chaos, yang ada hanya anarkis," kata Sutardji Calzoum Bachri.[]

 

[ Dongeng Kopi #005 ] Cinta yang Sempurna

KEKASIH yang sempurna? Atau Cinta yang tak bercela? Yang pertama terdengar mustahil kita temukan. Yang kedua kita yang mengupayakannya agar tercipta seperti itu di hati kita. Ah, "Kita banyak menyia-nyiakan waktu mencari kekasih yang sempurna, ketimbang menumbuhkan Cinta yang sempurna!" kata Tom Robbins. Pasti itu tertulis di salah satu novel atau buku esainya.
  
Yang pertama? Kita mencarinya. Kita berharap itu datang pada kita. Kita menduga itu ada pada orang lain, di luar diri kita. Kita mungkin akan kecewa. Yang kedua? Kita yang mengaturnya dalam diri kita. Kita yang memilih tempat tumbuhnya, kita yang menyiang gulmanya, kita yang mengatur serindang apa tumbuhnya, kita yang mengizinkan separah apa durinya melukai kita.


Sepedih itukah? Ah, tidak juga. Aku dan kopiku, kami adalah sepasang kekasih yang sempurna dan kami punya Cinta yang juga sempurna. Kami tak saling melukai, kami tak saling mencemburui! Ah....

Sunday, November 7, 2010

[ Dongeng Kopi #004 ] Hati, Otak, Cinta, dan Kopi

PENULIS (ia menulis puisi dan juga prosa) Pierre-Jules Renard alias Jules Renard (1864-1910) - punya perumpamaan yang unik untuk Cinta.

“Cinta," katanya dalam satu kalimatnya yang termasyhur, "seperti jam pasir. Ketika hati semakin penuh terisi, otak pun semakin kosong!"

Hati dan otak, seperti dua sisi tabung yang dihubungkan oleh celah kecil. Pasir yang menakar waktu itu, seperti Cinta, tak akan mengisi penuh sekaligus kedua sisi tabung itu. Begitukah, Tuan Renard?

Saya bayangkan kalimat itu tercetus saat ia mulai rajin ikut menghabiskan waktu di kafe-kafe di Paris dan di situ sejumlah penulis membicarakan perihal sastra, dan mereka menulis untuk surat kabar Parisian. Tentu saja saat itu mereka sambil menghirup kopi!

Kopiku, hmm, maksud saya cintaku pada kopiku, tidak seperti itu rasanya. Semakin hatiku terisi oleh Cinta padanya, rasanya semakin aku menemukan alasan rasional di otakku untuk Cintaku pada kopiku itu. Maaf, Tuan Renard. Rumusanmu tentang Cinta itu, mungkin berlaku untuk Cinta kepada hal lain saja, ya. []

 

[ Dongeng Kopi # 003 ] Cinta Datang Bila Kau Singkirkan Penghalangnya

TUGAS kita, kata Jalaluddin Rumi - bukanlah mencari-cari Cinta, tapi mencari dan menemukan seluruh penghalang yang kita bangun di dalam diri yang menghalangi-halangi datangnya Cinta itu. Lalu, tentu saja, kita rubuhkan ia.

Rumi, penyair Persia itu, ia bahkan telah meruntuhkan batas antara kepada cinta makhluk dan khalik. Ia bahkan telah menyatukan antara Cinta yang banal dan sakral. Haruskah Cinta itu berarti saling memiliki? Bukankah Tuhan, akan terus memiliki kita dengan atau tanpa kita mencintai-Nya?

Ah, Rumi! Dia juga yang pernah berkata bahwa Cinta tak tertulis di kertas, karena tulisan di kertas bisa dihapus.Cinta juga tak terukir di batu, karena batu bisa hancur. Cinta terpahat di hati dan di sana ia kekal selamanya.

O, kopi ini, pagi ini, aku merasakannya tidak lagi dengan lidahku saja. Aku menikmatinya dengan hatiku! Kau mau?

Saturday, November 6, 2010

Melankoli Merapi

SEBERAPAKAH kosong hati yang lama tak dihuni itu?

Tadi seperti ada seseorang yang sembunyi - dan
bertanya begitu - di kepalaku, dan aku tak tahu

Mungkin aku harus jadi pengungsi, meninggalkan
sebelas ekor ternak sapi, lalu nanti kalau aku
kembali, mereka pasti telah mati, berkubur abu

*

Seberapakah dingin sebelas derajat celcius itu?

Tadi itu, pagiku yang bertanya, dan aku tak tahu

Mungkin aku harus pergi jauh, singgah ke bandara
Di negeri di belahan bumi Selatan atau Utara

Lagi pula, aku sedang cemas pada awan panas
Enam ratus derajat yang muntah dari mulut kawah
Di gunung yang pada namanya ada kata api
Di tubuhnya ada kubah magma: mendidih-menyala!


*

Seberapakah setia seseorang pada tugas mencinta?

Aku sendiri yang bertanya pada diri sendiri, dan
aku seperti ketemu jawaban pada sebuah lagu Padi,
Pada denting gitar Piyu dan suara nyanyi Fadli

Aku mengulang-ulang mendengar lagu itu sebelas kali

Seperti tembang pengantar mati, sujud terakhir Lelaki
Penjaga Gunung, yang berkeras-hati tak mau mengungsi.

Wednesday, November 3, 2010

[Kolom] Aku & Balada Si Roy,Setelah 22 Tahun (1)

Kolom Kamisan
Oleh Hasan Aspahani
Pemimpin Redaksi BatamPos
 

Laki-laki  artinya mempunyai keberanian
Mempunyai martabat. Itu artinya percaya
pada kemanusiaan. Itu artinya mencintai
Tanpa mengizinkan cinta itu menjadi jangkar
Itu artinya berjuang  untuk menang

Alexandros Panagoulis

SI BOY terlalu berjarak dengan kami.  Ia terlalu kaya.  Kemana-mana mengendarai  mobil mewah.  Kami kala itu, bermimpi punya mobil pun tidak berani.   Lagi pula sosok fiktif yang mula-mula muncul dalam kisah serial di radio itu harus kami temui di bioskop.  Tiket bioskop buat kami adalah barang mewah.  Kata yang berhasil dipopulerkan oleh sosok ini adalah: tajir! Apa itu tajir? Kaya, tampan, digilai perempuan, plus - ini yang rada kontradiktif - rajin beribadah. Ingat, gantungan tasbih di kaca depan mobil mewahnya itu!

Kami jauh lebih akrab dengan Lupus, sosok khayalan yang dikarang oleh Hilman Hariwijaya. Lupus pas mewakili kehidupan kami – para pelajar SMA kala itu.  Dia tidak kaya, pergi ke sekolah harus berebut tempat di bis, dia bukan pelajar yang pintar, dia tidak pernah serius berpacaran,  dan dia menjalani hidup dengan ringan, riang, gembira, seakan tidak pernah serius, tapi kreatif. Lupus memperkenalkan dengan satu kata yang susah dilepaskan dari sosoknya : cuek! 

Lupus terbit dalam cerita serial di majalah Hai.  Saya kelas satu SMA saat itu dan sudah bekerja  sebagai kartunis lepas di surat kabar lokal. Honor saya cukup untuk mengongkosi gaya hidup yang menurut saya waktu itu  “paling wah”, yaitu membayar sendiri  ongkos langganan majalah Hai dan sesekali beli majalah Intisari.

Lalu, di Majalah Hai, muncullah sebuah cerita serial baru: Ballada Si Roy.  Kami langsung jatuh cinta sejak bacaan pertama dan mengidolakan tokoh ini.  Pengarangnya Gola Gong. Nama yang  gagah.  Ini jelas nama samaran. Sampai beberapa lama, sosok si pengarang bagi kami masih misterius.  Banyak rumor tentangnya, yang justru membuat si pengarang makin bikin penasaran.



Roy, lelaki kelas 2 SMA itu dideskripsikan begini:….. Dia memang keren. Badannya jangkung atletis. Tampan tapi tidak kolokan. Berbeda dari orang kebanyakan. Senyumnya memang memabukkan, bandel dan khas berandal.  Ya, itulah Roy.  Kalau ingin menyimpulkan dia dalam satu kata, dia itu: bandel!

Serial Ballada Si Roy dimulai dengan seri pertama dengan teknik  berkisah yang sangat efektif.  Ada pengenalan sekilas tentang topografi dan sejarah Kota Banten (yang sekarang jadi Provinsi sendiri). Ada penjelasan alasan kenapa Si Roy dan mamanya pindah ke kota itu. Dan tentu saja pengenalan siapa Si Roy dan kenapa dia tidak betah, dan kelak kerap meninggalkan mamanya sendirian demi memenuhi hasrat avonturirnya, siapa kawan-kawan dan siapa yang kelak jadi musuhnya.  Juga siapa saja cewek-cewek  yang naksir berat padanya dan kemudian telak patah hati dibuatnya!

Begitulah, bertahun-tahun Si Roy menjadi sosok yang hidup dalam mimpi-mimpi kami. Roy yang rajin mengantar hasil jahitan ibunya ke para pelanggan,  yang ke sekolah naik sepeda balap, dan diiringi anjing herder warisan almarhum papanya. Roy  yang hidupnya pedih.  Roy yang disingkirkan keluarga besar ayahnya. Makam ayahnya bahkan dibiarkan tidak bernisan dan ditumbuhi alang-alang.   Dalam sebuah pertemuan keluarga Roy kecil disemprot air ledeng oleh para sepupunya.  Roy  yang anjing herdernya tewas dibenamkan di laut oleh musuh-musuhnya dalam sebuah perkelahian di pantai.  Roy yang ditinggal mati sahabat-sahabatnya.  Tapi, dia adalah Roy kami yang berani.  Roy yang berpetualang – meninggalkan ibunya sendirian, ibu yang merestui petualangan anaknya meski dengan hati pedih terluka  - dari kota ke kota menyandang ransel birunya.

Ketika meninggalkan kota tempat SMA saya,  ke kota kuliah saya,  duduk di kursi penumpang Fokker -  pesawat berbaling-baling milik maskapai Bouraq kala itu -  saya membayangkan kisah-kisah petualangan Si Roy dan saya terberanikan karenanya.  Saya mengingat-ingat bait sajak Alexandros Panagoulis  - sajak itu saya kutip di awal kolom ini - yang ditampilkan di kisah pertama Ballada Si Roy: “Joe”.   Ya, Gola Gong selalu memulai kisah serialnya dengan kutipan sajak. 

***

 Kamis, 28 Oktober 2010 lalu, saya bertemu Gola Gong,  si pengarang Si Roy.  Sosoknya tentu tak misterius lagi. Roy sudah tidak ditulis lagi setelah buku ke-10, Epilog.  Saya sudah tahu nama aslinya adalah Herry  Hendrayana Harris.  Saya sudah tahu dia meninggalkan pekerjaan bergengsi di sebuah stasiun televisi, dan memilih menetap di kampung kelahirannya, mengelola komunitas yang menggalakkan kreativitas menulis dan memabaca bagi siapa saja, terutama anak-anak orang yang tidak mampu menempuh pendidikan formal. 


 Petang itu, saya duduk semeja-seperkopian bersama Joko “Jokpin” Pinurbo, Afrizal Malna dan AS “Sulak” Laksana.  Kami bicara soal puisi, tentu saja.  Soal kenapa sejak tahun 1996, sejak Wislawa Szimborska, tak pernah lagi penyair menjadi pemenang Nobel Sastra .  Dia tiba-tiba mendekati kami. Saya tak langsung melihatnya, karena kursi saya membelakangi pintu masuk restoran Hotel Pelangi tempat kami menginap.  Saya hanya menebak-nebak dengan takut.  Ini  pasti mimpi petang hari. Saya tak tahu ada atau tidak nama Gola Gong di daftar  peserta Temu Sastra Indonesia (TSI) ke-3 Tanjungpinang. 

“Eh, Gola Gong!” Saya tak tahu itu tadi yang menyapa Sulak atau Jokpin. Saya lekas menoleh.  Gola Gong malah menyapa saya.  “Hasan Aspahani ya?”  Saya berdiri menyalaminya, tak bisa mengatakan apa-apa.   “Akhirnya ketemu juga. Saya mau ketemu kamu,” katanya.  Nada bicaranya rendah, tegas dan santun.

Wajahnya letih.  Ia memang baru saja menempuh perjalanan panjang dari Jambi dan akan banyak lagi kota yang akan ia kunjungi. Ia punya pekerjaan besar mengerakkan kebiasaan membaca di tanah air. Ia perlu menemui komunitas-komunitas penggerak literasi  yang seide-sepergerakan dengan program itu.  Dari Jambi ia ke Batam dan ke Tanjungpinang. Perjalanan yang justru menyehatkan tulang-tulangnya. Ia sempat terancam lumpuh karena  pengapuran tulang. 


Gola Gong yang saya temui adalah sosok yang sungguh sederhana.  Baju dan jinsnya saya kira bukan bahan termahal  yang bisa ia dapatkan. Ia tampak tak terbebani  popularitas dan nama besarnya sebagai pengarang serial cerita yang punya ratusan ribu pemuja – termasuk saya.  Rambutnya yang ikal itu kurasa tak banyak berubah sejak ia membuka diri,  setelah lama menyembunyikan identitas: ia gondrong, dan sebagian rambutnya menutup wajah. 

Kami tak sempat bicara panjang saat itu. Dia mengenalkan Toto St Radik, nama sahabatnya yang sajaknya  kerap  dikutip di serial Si Roy.  Gola Gong dan Toto petang itu ingin menelusuri Tanjungpinang. “Nanti malam kita ngobrol!” katanya, berlalu. Aha! Setelah 22 tahun…..[bersambung]

Sunday, October 31, 2010

[ Dongeng Kopi #002 ] Lagu yang Hanya Kau yang Mendengar

DIA, Roy Croft namanya, adalah penyair misterius. Mungkin dia tidak pernah ada. Orang menebak-nebak saja bahwa ia pernah hidup antara 1905-1980. Bait-bait sajaknya selalu - ya, hampir selalu hadir - dalam khotbah pemberkatan pernikahan.

Kalau kau mendengar pendeta berkata: "Aku mencintaimu bukan karena siapa engkau, tapi karena siapa aku ketika aku bersama engkau!" - itu adalah petikan sajak Roy Croft.

Juga kalau kau mendengar kalimat: Kau tidak mencintai seseorang karena wajahnya, atau karena pakaiannya, atau karena mobil mewahnya, tapi karena dia menyanyikan lagu yang hanya kau yang bisa mendengarkannya."

Hmm, aku sedang mendengarkan lagu dari segelas kopi. Ah, ya, aku juga sedang bernyanyi, mengikuti lagu itu! Kau dengarkah? []

Saturday, October 30, 2010

[ Dongeng Kopi # 001] Bodoh Bersama Cinta

SAYA kira, penyair Prancis yang lahir pada 1871, itu benar-benar benar, Kawan. Cinta itu, kata Paul Valery, adalah semacam kesepakatan untuk menjadi bodoh bersama-sama. Bodoh? Mungkin yang ia maksud adalah menyingkirkan dulu logika. 

Bukankah memang itu yang terjadi ketika kita jatuh cinta? Bukankah ketika kita jatuh cinta, kita kerap jadi orang yang berakal pendek? Bukankah banyak tokoh -  kita bisa membacanya dalam berbagai kisah - terberanikan oleh tenaga cintanya? 

Saya mau buat kesimpulan sendiri, dan kau boleh tidak setuju, Kawan. Begini: Ketika kau jatuh cinta, kau mencintai seseorang, dan kau masih bisa memberdayakan logika akalmu, maka kukira kau belum benar-benar mencintai dia. Aku akan meragukan cintamu itu, Kawan. Ha ha ha. Ayo, tambah kopimu![]

Tuesday, October 26, 2010

Aku Belum Tua

: untuk H.M Sani


JIKA nanti 70 tahun umurku, aku belum tua.

Itu artinya ada dua orang lelaki di dalam
tubuhku, yang masing-masing 35 tahun usianya.

Ya, aku belum tua. Rasanya baru saja, melihat
anak muda tamat SMP, tak bisa sekolah ke SMA,
lalu jadi pemanjat dan pemikul buah pinang.
Rasanya baru saja, nasib baik menjemput dan
tangan yang baik mengulurkan bantuan. Rasanya,
ya, baru saja. Aku merasa, aku belum lagi tua.

Ya, aku belum tua, aku mau menghaturkan bakti
pada guru-guru yang besar jasanya, yang mengajari
kaki-kaki ini berjalan dan berlari, mengajari
hati teguh dan kukuh menuju ke jalan terang ini,
ke bentang waktu kini, yang mengajari tangan
melipat amplop dinas dari kertas bekas di kantor
kecamatan! Ya, aku merasa, aku belum lagi tua.

*

Jika nanti 80 tahun umurku, aku belum tua.

Itu artinya ada empat orang lelaki di dalam
tubuhku, yang masing-masing 20 tahun usianya.

Itu sebabnya, aku merasa, aku belum akan tua.

Empat orang lelaki muda, yang sudah ribuan kali
berenang menyeberangi sungai, menaklukkan teluk,
memanjat ratusan batang pinang, dan berlayar tanpa
tiket di kapal yang membawa ke kampus di seberang,
kucing-kucingan dengan petugas kelasi, seperti
hidup yang harus disiasati, tahu mana buritan
dan haluan, dan aku sudah tahu jawaban cerdik
atas setiap pertanyaan yang diajukan, "Kau mau
kemana? Kau akan sekuat dan sejauh apa berjalan?"

Dan aku melihat sabut kulit kelapa, hanyut dan
sampai juga akhirnya. Ini bukan kepasrahan, ini
adalah keselarasan, memahami arus sungai dan gerak
gelombang! Ah, akulah itu, empat orang muda, dengan
gairah nyala, dan aku merasa belum akan tua.

*

Jika nanti 90 tahun umurku, aku belum tua.

Itu artinya, ada sembilan anak usia 10 tahun,
di halaman sekolah kehidupan, riang bermain,
sepanjang hari, memutar gasing di bumi, dan
mengulur layang-layang ke langit yang tinggi. 

Monday, October 18, 2010

Di Dalam Tidur, di Dalam Angan

BANYAK sudah, alamat singgah, pada hidup dan waktuku. Aku menulis beribu baris, lirik yang cuma sajak buruk

Aku memura-murakan hidup di panggung murah, ribuan mata menangis atau tertawa. Tapi, kita sendiri kini, kubaca sepi, sajak untukmu ini


Aku kira yang kau bayangkan tentang aku adalah apa yang kuharap begitu, Sayang, tapi terlampau buruk sudah aku memperengkaukan engkau

Dan lihat, bisakah kau lihat? Tak ada yang kuinginkan ada seperti aku ingin engkau ada. Kekasih, lihat bait sajakku, bacalah aku

Lihatlah, kita kini sendiri, dengan diri sendiri, aku membaca sajak yang dulu pernah kutuliskan untuk engkau

Yang kutulis untukmu adalah rahasia kebenaran yang kau ajarkan padaku, kau yang datang telanjang, dan aku sembunyi di balik remang bayang

Cintaku, dan aku, ada di mana ruang dan waktu tak ada. Engkau cintaku, cinta yang mengadakan hidupku, cinta yang mengadakan aku

Kita pernah bersama, kita pernah ada, dan kelak kita akan memisahkan engkau dan aku, tapi, cinta itu, Sayang, akan senantiasa ada dalam bait sajakku

Tak Ada yang Tahu

TAK ada yang tahu, seperti aku kau
rendam dalam diam kopi, sepadam
mata malam, tak mengampas dinding
gelas, Tak ada. Tak ada yang tahu.

Tak ada, rahasia yang membayang, badai
di rusuh sendiri, di layar lingerie, aku
dalang mabuk, kau? Wayang yang memainkan
aku! Aku lupa pada cerita. Aku nakhoda,
tak berdiri pada kemudi, memaki sendiri

Tak ada yang tahu, akan termuat kita dalam
duka: maut yang melaut, atau terbit pada tanya
hidup yang melangit? Tak ada yang tahu

Wednesday, October 13, 2010

[KOLOM] …. And We Live Coffeely Ever After

Kolom Kamisan
Hasan Aspahani

SAYA sekarang nyaris menjadi seorang coff-a-holic. Pecandu kopi. Ini gara-gara Wasis Gunarto, kawan baru yang saya temui di media-sosial twitter. Secara langsung kami belum pernah bertemu. Dia adalah manajer pengelola Kopitiam Oey, restoran di Jakarta mililk tukang icip-icip makanan  paling top se-Indonesia: Pak Bondan “Maknyus” Winarno.



                Kami sungguh dipertemukan oleh twitter. Lewat kicauan masing-masing kami saling mengenal. Kopitiam Oey punya cara memikat pelanggan dengan cara unik. Pengunjung diberi hadiah kartu bertulisan petikan bait puisi.

Saya mengirim buku puisi dengan ikhlas ikut dicantumkan di kartu hadiah tersebut. Sebagai imbalan, saya dikirimi sekantong kopi dan buku wisata kuliner Yogyakarta. Sampul buku itu bisa ditebak: Pak Bondan dengan blankon dan surjan.

                Kopi kiriman Wasis itu sudah mencurigakan sejak berada dalam bungkusan paket Titipan Kilat. Aromanya “menyihir”. Bungkusnya kertas merang, dengan sablonan cap berejaan lama: Koffie Aroma Bandoeng.  Saya tahu ini kedai dan pabrik penggilingan kopi legendaris di Bandung. Sudah ada sejak zaman Belanda. Dan mempertahankan cara pengolahan lama.

                Sihir aroma dan reputasi kopi itu belum cukup menggoda saya untuk mencoba. Kala itu, kopi saya adalah kopi instan bermerek produksi perusahaan multinasional, atau sesekali kopi instan asal Singapura.

 Suatu hari, saya kehabisan kopi instan. Hasrat untuk menikmati kopi pagi itu membimbing saya menyeduh kopi Aroma. Terus terang saja ampas kopi seduhan pertama saya itu mengganggu saat diteguk.  Saya sama sekali tak tahu bagaimana cara membuat seduhan kopi yang baik. Tapi, sihir kafein mulai bekerja di tubuh saya. Sejak itu saya ketagihan.

 Lewat Pak Bondan, dalam satu serial tweet-nya, saya tahu trik rahasia yang sederhana bagaimana cara menyeduh kopi. Begini: seduh dengan air mendidih, bukan air termos (ini sering saya langgar demi alas an praktis), saring ampas (hasil saringan adalah kopi kental dengan buih coklat, persis seperti coffe-latte, atau espresso yang kerap saya coba di kafe), dan tambahkan gula belakangan saja jika memang ingin menambah nikmat dengan rasa manis dan tak takut sama kalorinya. Kopi saja, tanpa gula sama sekali tidak mengandung kalori, jadi tidak akan menggemukkan. Aha, saya merasa jadi seorang barista gadungan, setidaknya untuk diri saya sendiri.

Ini filsafat saya tentang kopi: tak ada minuman yang bisa dinikmati dengan cara kita menikmati kopi, misteri warna hitamnya, buaian aroma seduhannya (ini wajib dihidu sebelum, kopinya diteguk), dan tentu saja momentum saat kopi itu menyentuh ujung-ujung syaraf lidah, bahkan rasa yang tersisa sesuai cairan kopi berlalu dari mulut.  Ah!

***
           Saya membeli toples khusus yang desainnya mengingatkan saya pada toples milik nenek almarhum nenek saya dahulu di kampong. Nenek saya adalah pengolah kopi yang hebat. Dia punya warung kopi kecil. Kopi yang ia sajikan ia olah sendiri. Kakek saya punya kebun kopi. Tak terlalu luas. Perdu kopinya tumbuh di antara pohon kelapa. Boleh dikata, kopi adalah hasil sampingan kebun kelapa kami.

                 Nenek saya memetik sendiri kopi, menumbuk buah mentahnya dalam lesung kayu dengan campuran pasir agar kulitnya lekas terkupas dan menjemurnya. Kadang-kadang, nenek juga membawa kopi yang sudah terkupas terpisah dari bakul kopinya.  “Ini kopi musang,” kata Nenek. Kelak saya tahu itu adalah kopi luwak, kopi yang mahalnya minta ampun.

Keping biji kopi yang sudah kering – diuji dengan mendengarkan gemerincing suaranya saat sejumlah bijinya  diguncang dalam genggaman tangan – lalu disangrai dan terakhir ditumbuk dalam lesung besi hingga jadi bubuk kopi. Saya ingat, dulu suka ikut menumbuk kopi di lesung besi itu, saya suka suaranya, seperti menabuh lonceng bertalu-talu.   Tung, tung, tung, nyaring tapi diredam oleh bubuk kopi. Dari lesung besi itu aroma kopi pun menyeruak!

 Kakek saya, Bapak saya, paman-paman saya adalah para peminum kopi. Saya masih ingat gerakan mulut Bapak saya sesudah meneguk kopi, berputar beberapa kali dengan gigi rapat dan bagian dalam bibir menekan ke permukaan gigi. Itulah cara praktis membersihkan larutan kopi di permukaan gigi.  Ketika masih kanak-kanak, kala itu, saya tak tahu apa nikmatnya kopi. Bagi kami, tentu saja sari tebu yang kami gigit langsung dari batangnya jauh lebih nikmat!

 ***

Ya, saya sekarang nyaris menjadi seorang coff-a-holic. Penikmat kopi, tapi saya belum lagi menjadi penongkrong kedai kopi.  Dan saya ingin berterima kasih kepada gembala dan kambing. Konon, khasiat kopi dikenali manusia dulu di sebuah petang, di Afrika.

Kambing-kambing yang digembalakan oleh seorang anak gembala tampak amat riang, bergairah, dan tidak tampak lelah. Rupanya mereka baru saja menyantap biji-biji kopi yang terbakar. Si gembala pun mencoba mengunyah biji itu dan merasakan efek yang sama: tersegarkan.  Kelak kita tahu biji kopi yang terbakar itu mengandung kafein,  kombinasi 800 jenis bahan kimia yang punya efek bikin mata tahan melek, pikiran tidak capek, dan badan tersegarkan.

 ***
  Kopi, kedai kopi, politik dan sastra sebenarnya adalah kombinasi yang berbahaya.  Raja Inggris pernah melarang kedai kopi di seluruh negeri itu, karena dianggap di kedai kopilah berkumpul para pembangkang, dan di kedai kopilah pembangkangan terhadap raja direncanakan. Tentu saja itu kini bisa kita lihat sebagai sebuah pamer kekuasaan yang jenaka dan ketakutan yang tak punya alasan.

Di Lisbon, Portugal ada sebuah kedai kopi, A Brasileira, namanya yang memajang patung perunggu penyair Fernando Pessoa.  Kedai kopi ini dibuka pertama kali oleh Adriano Telles, 19 November 1905, menjual kopi asli asal Brazil. Kedai ini juga menjual kopi bijian. Setiap beli sekilo dapat gratis segelas kopi. Inilah juga kedai kopi pertama yang menjual bica, sejenis espresso, kopi kental disajikan dalam gelas kecil.

Di kedai kopi yang sudah berdiri sejak 1905 itulah  si penyair terbesar Portugal itu kerap cari ilham, dan membual tentu saja. Mungkin karena pengaruh kopilah, Pessoa bisa dikenal dengan sebagai penyair dengan empat nama yang berbeda yang sama terkenalnya. Ah, dasar kopi!

Di Kairo Mesir, ada Restoran Khan Khalili. Kelak restoran ini lebih terkenal dengan nama Naguib Mahfouz Café. Mahfouz adalah sastrawan besar Mesir, peraih hadiah Nobel Sastra tahun 1988 yang semasa hidupnya setiap hari makan dan minum – apalagi kalau bukan – kopi di kafe itu. Konon, meja dan kursi yang kerap diduduki Mahfouz masih dipertahankan ada di tempatnya semula.

 Perlu juga dipikirkan suatu tempat di Tanjungpinang, entah di kedai kopi mana, ada patung (atau minimal fotolah) Sutardji Calzoum Bachri , Rida K Liamsi (saya pernah menyampaikan ide ini pada beliau saat makan di akau Potong Lembu),  Ibrahim Sattah, Machzumi Dawood, dan nama-nama lain. Tentu kedai yang dipilih adalah kedai di mana mereka kerap nongkrong.

 ***

Beberapa waktu lalu, saya pernah punya rencana belajar menjadi barista. Rencana itu gagal, karena Pak Mardawa, teman dari PLN Batam itu pindah tugas ke PLN pusat. Rencana itu memang rencana beliau. Saya tertarik ikut.

“Belajarnya di Singapura,” kata Pak Mardawa. Dia sudah mengatur jadwal agar bisa belajar hanya pada akhir pekan saja. Sekolah barista itu ia temukan lewat internet.

 Saya bertemu Pak Mardawa beberapa waktu lalu dalam resepsi ulang tahun  PT PLN Batam. Kami sempat cerita tentang kopi lagi, tapi saya lupa bilang bahwa lewat belahar secara otodidak, saya sudah merasa menjadi barista amatir.  Saya berimajinasi – ini mungkin efek kopi juga – punya sebuah kafe, di mana di situ puisi dibacakan tiap hari, dan sastra diperbincangkan sambil menikmati segelas kopi racikan saya sendiri, si barista amatiran ini.

 Apa nama kafenya? Saya punya beberapa alternatif.  Tapi, rasanya yang paling pas adalah Coffe Tale. Ini nama kafenya. Tagline-nya: …. and we live coffeely ever after! Nah, sekarang adakah yang mau kasih saya modal? ***

Saturday, October 9, 2010

Keraguan

Sajak Rupert Brooke

KETIKA tertidur ia, jiwanya, aku tahu,
Pergi mengelanai luas udara
Sayap-sayap, yang tak pernah menerbangkanku,
meninggalkan ia rebah, diam dan tenang,
menunggu, kosong, berbaring menyamping,
Seperti gaun tersampir di bangku...
Aku tahu ini, dan belum juga aku tahu
Keraguan yang tak akan tertolak itu

Selama jiwanya ada di entah di mana,
Apa yang membentangkan murka di wajahnya?
Tak ada apa-apa, yang menimbang berjaga
di balik rentangan tirai matanya,
Apakah itu dia, gerhana diri sendiri,
Bayangan, ringan dan tak terhentikan,
Di sekira sudut bibirnya,
Senyum yang sejatikah itu dia?

Dan ketika jiwa tak ada di sana,
Kenapa wangi ada pada rambutnya?

Cinta

Sajak Rupert Brooke

CINTA itu koyak pada tembok, gerbang tumbang,
yang datang bertandang tak akan pernah lagi ia pergi;
Cinta mengikhlaskan gua perlindungan ke Takdirnya.
Tiba sudah segan, dia yang mencinta yang tak tercintai.
Lalu, dua mulut yang sama hausnya, saling menemukan,
sakit terlupa, terbungkamlah tangis hati yang rapuh,
di surga -- seperti itu saja, tapi terbawa jua
nestapa mimpi sendiri pada rengkuh lengan, dan berbaringan
sendiri di malam kesunyian, dengan sebayangan hantu.
Ada yang membagi malam. Tapi mereka tahu cinta mendingin,
Jadi palsu dan jemu, apa yang dulu semanis-dusta.
Tak ada lagi pukau di tangan dan bidang bahu,
Hanya gelap, kian gelap, mati dari kecup ke kecup.
Semua ini adalah cinta; dan semua adalah cinta kecuali ini.


Rupert Brooke

Friday, October 8, 2010

 Mario Vargas Llosa

The Nobel Prize in Literature 2010 was awarded to Mario Vargas Llosa "for his cartography of structures of power and his trenchant images of the individual's resistance, revolt, and defeat".

Wednesday, October 6, 2010

Amor Amatoria

BULAN matang, bulan datang, aku memetik Engkau, dengan tangan
gamang dan setimbang bimbang. Malam matang, malam datang

Bulan lapar, bulan liar. Engkau mengelelawarkan aku, mengeluarkan
aku dari buta gua batu, memburu Engkau. Malam lapar, malam liar

Bulan tajam, bulan dalam. Aku nelayan penyelam, lama mengasah
sula, pada Engkau kupejamkan mata-luka. Malam tajam, malam dalam

Tuesday, October 5, 2010

Sekenang Panjang Jalanan

WAKTU itu gula-gula getah, lelah kukunyah, lengket di langit-langit. Aku lupa, semanis apa dulu ia, saat ke lidahku kau mengecupkannya

WAKTU itu lebah madu, mengira mataku bunga, ia hisap airmata di situ. Airmata itu? Masihkah ia manis dan kau menyimpannya di tangismu?

WAKTU itu selusin pensil kelir. Kau memberiku sebuku buku gambar. Kau minta aku menggambar pelangi, panjang, hingga halaman akhir

WAKTU itu sekantong kata yang labil, kita seperti sedang main skrabel. Berbincang dengan kalimat acak, ingin yang tak terlacak

Aku Tahu pada Siapa Ini Kutanya

KAUKAH itu, perempuan daun pisang? 
Yang tertebas dari pelepah lepas, yang hijaunya 
sendiri, seperti dicarik dari larik pelangi?

Kaukah itu, perempuan kerang? Kerang yang 
mengatup diam cangkang, yang menutup bisu bayang 
bimbang? Aku lelaki penyelusur hangat lumpur

Kaukah itu, perempuan kuntum rosela? Seperti
senyuman yang padam, selingkar kurva, bibir 
yang tak sampai-hati, menyebut lunglai hati

Pencuri Harta Karun

KAU cahaya, mengabur, terkubur tahun-tahun

Aku pencuri harta karun, menggali di tubuhmu,
mencari dari timbun-unggun, waktu yang rabun.  

Kau cahaya, menyimpang dari lengkung kuwung

Aku bergayut pada langitku, langit yang rapuh,
Di horison itu nanti kita saling menautkan ujung



Friday, October 1, 2010

Penyair, Buah Apel, dan Dokter yang Cantik

: M Aan Mansyur

PADA suatu pagi, dia menjelma jadi burung kecil
Lalu ia terbang dan hinggap di dahan pohon apel

Di situ dia berkicau: tentang cinta yang kacau,

Dia tahu Si Dokter Cantik itu menyimak lagunya, risau,
dari tingkap kamar, hati yang baru saja menguak mata

Ada sebuah apel jatuh, berbekas pagutan kelelawar!

Kelelawar itu terkapar, kematian menjadi sangkar
Seringai taringnya berkata: aku mati tak sia-sia!

*

PADA lain pagi, dia menjelma jadi burung biru,
Dan terbang lalu hinggap ragu di jendela itu...

"Aku mau jadi pasienmu. Beri aku nasihat medis,
untuk derita-hati dan kelainan-jantungku," kata
si burung biru, Si Dokter Cantik tak mendengar

Ia terkurung hingar, pengering rambut menari, di
rambutnya basah, mimpi lebat hujan malam tadi...

Ada lagi buah apel jatuh, menimpa kodok hijau!
Keduanya: apel dan kodok itu, membusuk bersama

*

PADA suatu waktu, ia tak peduli apakah itu pagi
Ia menjadi burung kecil, dengan ekstemporanea,
140 lambang bunyi, menyambung galau jadi medley,
lalu hinggap dari ranting ke ranting pohon apel

Ia mendengar Si Dokter Cantik itu beriang beria

Menyanyikan: biar cinta, biar cinta... Dia lupa,
itu lagu Kahitna atau lirik Katon Bagaskara?

Ketika itu tak ada buah apel yang jatuh lagi...

Wednesday, September 29, 2010

Berhempas Angin Malam

SEPERTI apakah marah itu? Ia kalajengking bersayap, terbang dan hinggap di dadaku! Perkuburan namamu. Tak ada sarang laba-laba di rongga itu!

Ini persabungan kita: kau unggas ganas dierami hempasan angin malam, dan aku ular liar menetas dari panas telur magma! Darah yang tak mau beku di lubang luka!

Seperti sepasang paruh enggang, aku enggan menajamkan buta mata pedang! Paruh yang jingga, tak kuharap darah kita mengganti warnanya. 

Tuesday, September 28, 2010

Menyelidik Diksi

1. Diksi itu pilihan kata, kata Gorys Keraf. Bagi saya: memilih kata! Saat menulis puisi - proses mendiksi atau memilih kata, adalah tahap yang penting.

2. Bagaimana kita bisa memilih kalau kita tak punya pilihan? Jadi, tak ada cara lain, kalau ingin diksi kita maksimal: kuasai banyak kata!
 
3. Bagaimana caranya? Banyaklah ketemu kata, di buku, di lidah orang, di surat kabar, di kamus, di kemasan kue, di mana saja!
4. Saya tak tahu, apakah cara-cara itu mudah atau susah bagi upaya kita menguasai jurus diksi! Dan, diksi bukan cuma memilih kata.

5. Coba rasakan: tampar, tinju, tempeleng, jotos, gampar, hantam, tumbuk, pukul. Apa yg sama dan apa nuansa makna dari kata itu?

6. Ketika mau mengucap sesuatu kita pilih kata yang mana yang pas! Itulah diksi! Mencari cara, kata, ungkapan yang paling pas dengan gagasan kita.    

7. Diksi juga berarti kemampuan membedakan nuansa makna dari kata-kata. Tujuannya? Supaya bisa memakai kata itu dengan piawai!

8. Diksi, sekali lagi, hanya mungkin kalau kita menguasai kata: kosa kata! Kalau kata kita terbatas, diksi pun tak leluasa.

9. Diksi juga diperlukan atau dipakai saat menyusun teks pidato, menulis esai, karya ilmiah, naskah iklan, jadi tidak hanya dalam puisi.   

10. Kamus itu dokumen, bahwa pernah ada, sedang ada, ada tapi tak lagi dipakai, sejumlah kata. Kamus bisa jadi rujukan.
  '
11. Ketika merujuk ke kamus untuk mencari, atau melacak kata, kita boleh taat, patuh, atau membangkang padanya.

12. Itulah bedanya diksi dalam teks puisi dan dalam naskah lain. Dalam puisi diksi menggila, nakal, sok jinak padahal binal!