Wednesday, October 13, 2010

[KOLOM] …. And We Live Coffeely Ever After

Kolom Kamisan
Hasan Aspahani

SAYA sekarang nyaris menjadi seorang coff-a-holic. Pecandu kopi. Ini gara-gara Wasis Gunarto, kawan baru yang saya temui di media-sosial twitter. Secara langsung kami belum pernah bertemu. Dia adalah manajer pengelola Kopitiam Oey, restoran di Jakarta mililk tukang icip-icip makanan  paling top se-Indonesia: Pak Bondan “Maknyus” Winarno.



                Kami sungguh dipertemukan oleh twitter. Lewat kicauan masing-masing kami saling mengenal. Kopitiam Oey punya cara memikat pelanggan dengan cara unik. Pengunjung diberi hadiah kartu bertulisan petikan bait puisi.

Saya mengirim buku puisi dengan ikhlas ikut dicantumkan di kartu hadiah tersebut. Sebagai imbalan, saya dikirimi sekantong kopi dan buku wisata kuliner Yogyakarta. Sampul buku itu bisa ditebak: Pak Bondan dengan blankon dan surjan.

                Kopi kiriman Wasis itu sudah mencurigakan sejak berada dalam bungkusan paket Titipan Kilat. Aromanya “menyihir”. Bungkusnya kertas merang, dengan sablonan cap berejaan lama: Koffie Aroma Bandoeng.  Saya tahu ini kedai dan pabrik penggilingan kopi legendaris di Bandung. Sudah ada sejak zaman Belanda. Dan mempertahankan cara pengolahan lama.

                Sihir aroma dan reputasi kopi itu belum cukup menggoda saya untuk mencoba. Kala itu, kopi saya adalah kopi instan bermerek produksi perusahaan multinasional, atau sesekali kopi instan asal Singapura.

 Suatu hari, saya kehabisan kopi instan. Hasrat untuk menikmati kopi pagi itu membimbing saya menyeduh kopi Aroma. Terus terang saja ampas kopi seduhan pertama saya itu mengganggu saat diteguk.  Saya sama sekali tak tahu bagaimana cara membuat seduhan kopi yang baik. Tapi, sihir kafein mulai bekerja di tubuh saya. Sejak itu saya ketagihan.

 Lewat Pak Bondan, dalam satu serial tweet-nya, saya tahu trik rahasia yang sederhana bagaimana cara menyeduh kopi. Begini: seduh dengan air mendidih, bukan air termos (ini sering saya langgar demi alas an praktis), saring ampas (hasil saringan adalah kopi kental dengan buih coklat, persis seperti coffe-latte, atau espresso yang kerap saya coba di kafe), dan tambahkan gula belakangan saja jika memang ingin menambah nikmat dengan rasa manis dan tak takut sama kalorinya. Kopi saja, tanpa gula sama sekali tidak mengandung kalori, jadi tidak akan menggemukkan. Aha, saya merasa jadi seorang barista gadungan, setidaknya untuk diri saya sendiri.

Ini filsafat saya tentang kopi: tak ada minuman yang bisa dinikmati dengan cara kita menikmati kopi, misteri warna hitamnya, buaian aroma seduhannya (ini wajib dihidu sebelum, kopinya diteguk), dan tentu saja momentum saat kopi itu menyentuh ujung-ujung syaraf lidah, bahkan rasa yang tersisa sesuai cairan kopi berlalu dari mulut.  Ah!

***
           Saya membeli toples khusus yang desainnya mengingatkan saya pada toples milik nenek almarhum nenek saya dahulu di kampong. Nenek saya adalah pengolah kopi yang hebat. Dia punya warung kopi kecil. Kopi yang ia sajikan ia olah sendiri. Kakek saya punya kebun kopi. Tak terlalu luas. Perdu kopinya tumbuh di antara pohon kelapa. Boleh dikata, kopi adalah hasil sampingan kebun kelapa kami.

                 Nenek saya memetik sendiri kopi, menumbuk buah mentahnya dalam lesung kayu dengan campuran pasir agar kulitnya lekas terkupas dan menjemurnya. Kadang-kadang, nenek juga membawa kopi yang sudah terkupas terpisah dari bakul kopinya.  “Ini kopi musang,” kata Nenek. Kelak saya tahu itu adalah kopi luwak, kopi yang mahalnya minta ampun.

Keping biji kopi yang sudah kering – diuji dengan mendengarkan gemerincing suaranya saat sejumlah bijinya  diguncang dalam genggaman tangan – lalu disangrai dan terakhir ditumbuk dalam lesung besi hingga jadi bubuk kopi. Saya ingat, dulu suka ikut menumbuk kopi di lesung besi itu, saya suka suaranya, seperti menabuh lonceng bertalu-talu.   Tung, tung, tung, nyaring tapi diredam oleh bubuk kopi. Dari lesung besi itu aroma kopi pun menyeruak!

 Kakek saya, Bapak saya, paman-paman saya adalah para peminum kopi. Saya masih ingat gerakan mulut Bapak saya sesudah meneguk kopi, berputar beberapa kali dengan gigi rapat dan bagian dalam bibir menekan ke permukaan gigi. Itulah cara praktis membersihkan larutan kopi di permukaan gigi.  Ketika masih kanak-kanak, kala itu, saya tak tahu apa nikmatnya kopi. Bagi kami, tentu saja sari tebu yang kami gigit langsung dari batangnya jauh lebih nikmat!

 ***

Ya, saya sekarang nyaris menjadi seorang coff-a-holic. Penikmat kopi, tapi saya belum lagi menjadi penongkrong kedai kopi.  Dan saya ingin berterima kasih kepada gembala dan kambing. Konon, khasiat kopi dikenali manusia dulu di sebuah petang, di Afrika.

Kambing-kambing yang digembalakan oleh seorang anak gembala tampak amat riang, bergairah, dan tidak tampak lelah. Rupanya mereka baru saja menyantap biji-biji kopi yang terbakar. Si gembala pun mencoba mengunyah biji itu dan merasakan efek yang sama: tersegarkan.  Kelak kita tahu biji kopi yang terbakar itu mengandung kafein,  kombinasi 800 jenis bahan kimia yang punya efek bikin mata tahan melek, pikiran tidak capek, dan badan tersegarkan.

 ***
  Kopi, kedai kopi, politik dan sastra sebenarnya adalah kombinasi yang berbahaya.  Raja Inggris pernah melarang kedai kopi di seluruh negeri itu, karena dianggap di kedai kopilah berkumpul para pembangkang, dan di kedai kopilah pembangkangan terhadap raja direncanakan. Tentu saja itu kini bisa kita lihat sebagai sebuah pamer kekuasaan yang jenaka dan ketakutan yang tak punya alasan.

Di Lisbon, Portugal ada sebuah kedai kopi, A Brasileira, namanya yang memajang patung perunggu penyair Fernando Pessoa.  Kedai kopi ini dibuka pertama kali oleh Adriano Telles, 19 November 1905, menjual kopi asli asal Brazil. Kedai ini juga menjual kopi bijian. Setiap beli sekilo dapat gratis segelas kopi. Inilah juga kedai kopi pertama yang menjual bica, sejenis espresso, kopi kental disajikan dalam gelas kecil.

Di kedai kopi yang sudah berdiri sejak 1905 itulah  si penyair terbesar Portugal itu kerap cari ilham, dan membual tentu saja. Mungkin karena pengaruh kopilah, Pessoa bisa dikenal dengan sebagai penyair dengan empat nama yang berbeda yang sama terkenalnya. Ah, dasar kopi!

Di Kairo Mesir, ada Restoran Khan Khalili. Kelak restoran ini lebih terkenal dengan nama Naguib Mahfouz Café. Mahfouz adalah sastrawan besar Mesir, peraih hadiah Nobel Sastra tahun 1988 yang semasa hidupnya setiap hari makan dan minum – apalagi kalau bukan – kopi di kafe itu. Konon, meja dan kursi yang kerap diduduki Mahfouz masih dipertahankan ada di tempatnya semula.

 Perlu juga dipikirkan suatu tempat di Tanjungpinang, entah di kedai kopi mana, ada patung (atau minimal fotolah) Sutardji Calzoum Bachri , Rida K Liamsi (saya pernah menyampaikan ide ini pada beliau saat makan di akau Potong Lembu),  Ibrahim Sattah, Machzumi Dawood, dan nama-nama lain. Tentu kedai yang dipilih adalah kedai di mana mereka kerap nongkrong.

 ***

Beberapa waktu lalu, saya pernah punya rencana belajar menjadi barista. Rencana itu gagal, karena Pak Mardawa, teman dari PLN Batam itu pindah tugas ke PLN pusat. Rencana itu memang rencana beliau. Saya tertarik ikut.

“Belajarnya di Singapura,” kata Pak Mardawa. Dia sudah mengatur jadwal agar bisa belajar hanya pada akhir pekan saja. Sekolah barista itu ia temukan lewat internet.

 Saya bertemu Pak Mardawa beberapa waktu lalu dalam resepsi ulang tahun  PT PLN Batam. Kami sempat cerita tentang kopi lagi, tapi saya lupa bilang bahwa lewat belahar secara otodidak, saya sudah merasa menjadi barista amatir.  Saya berimajinasi – ini mungkin efek kopi juga – punya sebuah kafe, di mana di situ puisi dibacakan tiap hari, dan sastra diperbincangkan sambil menikmati segelas kopi racikan saya sendiri, si barista amatiran ini.

 Apa nama kafenya? Saya punya beberapa alternatif.  Tapi, rasanya yang paling pas adalah Coffe Tale. Ini nama kafenya. Tagline-nya: …. and we live coffeely ever after! Nah, sekarang adakah yang mau kasih saya modal? ***