Wednesday, November 17, 2010

[Kolom] Di Puncak Itu, Tardji!

UNTUKNYA, pada tahun 1976, sahabatnya Abdul Hadi W.M. menulis sebuah sajak empat bait, masing-masing bait berisi tiga baris. Saya kutipkan  dua bait terakhirnya:  Kita adalah jantung, sungai yang dibentuk tebing curam, Kita tahu laut tak lebih dalam. Kita tahu. Tapi datang. Di ombak kita mendebur tak bosan membongkar karang.

 Di sajak itu ada  pernyataan akan kesadaran diri yang tinggi. Ada isyarat bahwa mereka telah berbuat, beranjak dari suatu tempat dan mencapai sesuatu. Ada pemberitahuan bahwa mereka dengan sadar menempuh jalan yang tak sedap untuk mencapai hakikat.

Begitulah. Mereka: jantung sungai yang lebih dalam dari laut karena mereka dibentuk oleh tebing curam! Bayangkan itu! Tapi, mereka pergi juga, mengarungi laut itu, menempuh risiko bahaya dan ancaman. Menyatu dengan deburnya, menjadi ombak, untuk membongkar karang. Tanpa rasa bosan!    

Kelak Abdul Hadi WM yang sudah melengkapi perjalanan hidupnya dengan gelar Prof dan DR di depan namanya, menyimpulkan dengan bahasa lain, apa yang dulu ia sajakkan. Tidak ada penyair Indonesia lain, kata Abdul Hadi, seperti Sutardji yang begitu total melakukan perlawanan metafisik terhadap kondisi kemanusiaan bentukan peradaban materialistik dan positivistik.
Lewat sajak yang dipersembahkan padanya, juga lewat tafsir atas sajak dan kepenyairannya, kita bisa memahami dia: Sutardji Calzoum Bachri.

Beberapa waktu lalu saya bertemu lagi dengannya. Saya dan sahabat saya Hendri Anak Rahman, menjemput Bang Tardji di Bandara Hang Nadim. Sosok lelaki kelahiran Rengat, 24 Juni 1941 itu tak berubah. Hanya usia yang membungkukkan tubuhnya yang tak terlalu besar itu.

Ia selalu tampak amat nyaman dengan jaket kain, kaos berkerah, celana kargo, sepatu sandal, kaos kaki dan topi yang tersampir sekenanya di kepalanya, tak terlalu berniat menutupi rambutnya yang masih ia biarkan panjang dan karena itu ia harus ia rapikan dengan menguncirnya!

“Ini anak saya, Mila,” katanya, memperkenalkan gadis yang datang bersamanya. Mila Seraiwangi, anaknya satu-satunya, anak yang sudah menyelesaikan kuliah di jurusan akuntansi.  “Dia tak berminat pada sastra,” kata Bang Tardji penuh permakluman seorang ayah, sama sekali tak ada kesan ia menyayangkan pilihan anaknya itu.

Sastra Indonesia, dan bahkan bangsa Indonesia sesungguhnya sangat beruntung memiliki seorang Sutardji Calzoum Bachri.  Dan saya, merasa sangat terberkati karena beberapa kali bisa bertemu langsung dengannya, melihat dia tampil di panggung resitasi puisi, dan kelak kami bergantian tampil di panggung yang sama.

Jika ada yang merisaukan bahwa puisi Indonesia tidak pernah membina pondasinya dengan kuat, maka saya selalu bilang: bacalah buku “Isyarat”, kumpulan esai Sutardji Calzoum Bachri.  Buku ini  --  ah, maafkan saya yang pasti terdengar berlebihan – bolehlah dianggap sebagai “kitab suci” bagi puisi Indonesia.  Di buku terbitan IndoensiaTera ini, Sutardji mengumpulkan semua tulisan nonpuisinya, dimulai dengan  kredonya yang masih saja memancarkan sinar terang-benderang itu.

Sutardji tak pernah jauh dari dunia tulis-menulis. Ia pernah menjadi redaktur di sejumlah surat kabar dan majalah.  Ia mengasuh rubrik puisi, dan di sana ia menulis banyak sekali hal-ihwal kepenyairan dan perpuisian. Bagi saya, buku setebal 506 halaman ini telah menjawab sebagian besar pertanyaan besar, pertanyaan dasar, dan pertanyaan nakal saya tentang puisi.

Saya berdoa agar Bang Tardji terus diberi usia panjang dan stamina kuat untuk membaca sajak di panggung. Jika kelak ia menyusul sang mata kanan (Chairil Anwar – ingat pernyataan terkenal Dami N Toda tentang analogi mata kiri dan mata kanan), maka apa yang diwariskan oleh Sutardji di buku berhias foto saat ia mendedahkan dada di depan podium, dan di atas podium itu ada gelas dan sebotol bir - adalah emas 24 karat.

Dan Bang Tardji punya warisan lain yang belum terurus. Ia adalah pembaca puisi paling hebat di negeri ini. Maaf, saya sungguh yakin belum ada penandingnya untuk urusan ini. Pernah suatu hari di pangkal tahun 2000, ada pementasan sajak di Jakarta. Sutardji tampil bersama Rendra dan Taufik Ismail.  Tardji juaranya, tentu saja. Ia memulai tampil dengan atraktif: turun dari atas panggung dengan ayunan tali, menyanyikan blues! Koran sebesar Kompas pun memajang adegan itu di halaman utama!

“Rendra itu kan tak mau kalah. Makanya kalau tampil dengan saya dia selalu cemas. Malam itu dia kalah telak!” kata Sutardji terkekeh-kekeh mengenang pementasan di awal milenium itu.


Itulah warisannya yang harus segera dikumpulkan, yaitu foto-foto dan rekaman saat ia tampil membaca puisi. Ia menyebut ada beberapa nama fotografer senior yang memegang hak cipta atas foto-fotonya. “Di Kompas pasti ada arsipnya,” kata Tardji, “tapi siapa yang mau mengurus itu kalau foto-foto itu mau dibukukan dan diterbitkan?”

Saya punya kerisauan lain. “Abang juga harus menulis buku tentang bagaimana membaca puisi. Saya yakin tak ada orang yang pantas menulis itu kecuali Abanglah…” kata saya. Ia bilang bahwa sedang mulai menuliskan buku yang saya maksud. “Saya kembangkan dari esai yang ada di buku ‘Isyarat’ itu,” katanya. Ia sepertinya mencemaskan sesuatu.

“Di Indonesia ini tak ada yang serius mengurus puisi,” katanya.  Ia lalu bicara dalam tempo cepat, dengan suara khasnya itu:  tentang bagaimana seharusnya puisi diajarkan selekas-lekasnya pada anak-anak; Ia bercerita tentang bagaimana bukan hanya penyair yang harus dilahirkan tapi juga melahirkan para pembaca yang kritis; Ia memaparkan bagaimana seharusnya sastra diajarkan, pentingnya memetakan perjalanan sejarah sastra, pencapaiannya dan tokoh-tokohnya;  Ia mencela perilaku sastrawan yang menempuh jalan tak wajar untuk dapat nama, padahal tak ada cara lain untuk berhasil dalam sastra kecuali mengandalkan karya. Itu mungkin yang dipersembahkan oleh Abdul Hadi WM dalam sajak yang saya kutip di atas: datang ke laut, menyatu dengan ombak, dan tak bosan membongkar karang!


“Saya tak pernah mengemis pengakuan. Jassin kagum pada sajak saya, Goenawan suka sajak-sajak saya, tapi mereka saya olok-olok juga, kalau mereka tak suka pada saya, biar saja, mereka tak bisa tak suka pada karya saya,” kata Tardji tertawa, mengenang kelakuannya yang suka mencemooh. “Ini mungkin tak bagus untuk silaturahmi atau pertemanan, tak baik meniru kelakuan saya yang seperti itu,” katanya, dan ia  tertawa lagi.

“Kau kan mendapat pengakuan sebagai penyair karena sajak-sajak kau,” katanya padaku.

Ia bicara tentang pentingnya lembaga kritik, dan ia meyakinkan bahwa lembaga pemberi legitimasi itu perlu untuk kehidupan sastra yang sehat.

“Banyak yang takut pada kritik. Banyak yang bilang kita tak perlu kritikus. Akibatnya apa? Tanpa lembaga kritikyang berwibawa yang ada hanya chaos, itu yang terjadi sekarang ini,” katanya malam itu.

Di beberapa meja yang dijejer jadi satu baris, kami tinggal berempat. Saya, Sutardji, Hendri dan Pardi.  Pengamen yang tadi menyanyikan beberapa lagu sudah pulang. Samson sudah pulang, suaranya serak, dan benar saja besoknya dia disergap sakit. Lawen dan Teja sudah kembali ke hotel. Malam itu, baru saja kami tampil bergantian membaca sajak di Kenduri Seni Melayu (KSM).

Malam. Batam. Mungkin keduanya teramat berkesan di hati Sutardji. Ia ada menulis sajak tentang kedua hal itu, sebuah sajak panjang.

Di malam pembukaan KSM, Sutardji masih saja tampil memikat. Dengan harp blues  yang mahir ia kuasai, dan tariannya yang tengil di atas panggung, sajak “Tanah Air Mata” tersampaikan dengan amat menarik. Saya teringat sajak lain yang tak ia bacakan: para penyair, jangan biarkan dirimu berlama-lama di lembahlembah. Engkau, Tardji, ada tinggi, jauh di puncak itu![]