Wednesday, November 3, 2010

[Kolom] Aku & Balada Si Roy,Setelah 22 Tahun (1)

Kolom Kamisan
Oleh Hasan Aspahani
Pemimpin Redaksi BatamPos
 

Laki-laki  artinya mempunyai keberanian
Mempunyai martabat. Itu artinya percaya
pada kemanusiaan. Itu artinya mencintai
Tanpa mengizinkan cinta itu menjadi jangkar
Itu artinya berjuang  untuk menang

Alexandros Panagoulis

SI BOY terlalu berjarak dengan kami.  Ia terlalu kaya.  Kemana-mana mengendarai  mobil mewah.  Kami kala itu, bermimpi punya mobil pun tidak berani.   Lagi pula sosok fiktif yang mula-mula muncul dalam kisah serial di radio itu harus kami temui di bioskop.  Tiket bioskop buat kami adalah barang mewah.  Kata yang berhasil dipopulerkan oleh sosok ini adalah: tajir! Apa itu tajir? Kaya, tampan, digilai perempuan, plus - ini yang rada kontradiktif - rajin beribadah. Ingat, gantungan tasbih di kaca depan mobil mewahnya itu!

Kami jauh lebih akrab dengan Lupus, sosok khayalan yang dikarang oleh Hilman Hariwijaya. Lupus pas mewakili kehidupan kami – para pelajar SMA kala itu.  Dia tidak kaya, pergi ke sekolah harus berebut tempat di bis, dia bukan pelajar yang pintar, dia tidak pernah serius berpacaran,  dan dia menjalani hidup dengan ringan, riang, gembira, seakan tidak pernah serius, tapi kreatif. Lupus memperkenalkan dengan satu kata yang susah dilepaskan dari sosoknya : cuek! 

Lupus terbit dalam cerita serial di majalah Hai.  Saya kelas satu SMA saat itu dan sudah bekerja  sebagai kartunis lepas di surat kabar lokal. Honor saya cukup untuk mengongkosi gaya hidup yang menurut saya waktu itu  “paling wah”, yaitu membayar sendiri  ongkos langganan majalah Hai dan sesekali beli majalah Intisari.

Lalu, di Majalah Hai, muncullah sebuah cerita serial baru: Ballada Si Roy.  Kami langsung jatuh cinta sejak bacaan pertama dan mengidolakan tokoh ini.  Pengarangnya Gola Gong. Nama yang  gagah.  Ini jelas nama samaran. Sampai beberapa lama, sosok si pengarang bagi kami masih misterius.  Banyak rumor tentangnya, yang justru membuat si pengarang makin bikin penasaran.



Roy, lelaki kelas 2 SMA itu dideskripsikan begini:….. Dia memang keren. Badannya jangkung atletis. Tampan tapi tidak kolokan. Berbeda dari orang kebanyakan. Senyumnya memang memabukkan, bandel dan khas berandal.  Ya, itulah Roy.  Kalau ingin menyimpulkan dia dalam satu kata, dia itu: bandel!

Serial Ballada Si Roy dimulai dengan seri pertama dengan teknik  berkisah yang sangat efektif.  Ada pengenalan sekilas tentang topografi dan sejarah Kota Banten (yang sekarang jadi Provinsi sendiri). Ada penjelasan alasan kenapa Si Roy dan mamanya pindah ke kota itu. Dan tentu saja pengenalan siapa Si Roy dan kenapa dia tidak betah, dan kelak kerap meninggalkan mamanya sendirian demi memenuhi hasrat avonturirnya, siapa kawan-kawan dan siapa yang kelak jadi musuhnya.  Juga siapa saja cewek-cewek  yang naksir berat padanya dan kemudian telak patah hati dibuatnya!

Begitulah, bertahun-tahun Si Roy menjadi sosok yang hidup dalam mimpi-mimpi kami. Roy yang rajin mengantar hasil jahitan ibunya ke para pelanggan,  yang ke sekolah naik sepeda balap, dan diiringi anjing herder warisan almarhum papanya. Roy  yang hidupnya pedih.  Roy yang disingkirkan keluarga besar ayahnya. Makam ayahnya bahkan dibiarkan tidak bernisan dan ditumbuhi alang-alang.   Dalam sebuah pertemuan keluarga Roy kecil disemprot air ledeng oleh para sepupunya.  Roy  yang anjing herdernya tewas dibenamkan di laut oleh musuh-musuhnya dalam sebuah perkelahian di pantai.  Roy yang ditinggal mati sahabat-sahabatnya.  Tapi, dia adalah Roy kami yang berani.  Roy yang berpetualang – meninggalkan ibunya sendirian, ibu yang merestui petualangan anaknya meski dengan hati pedih terluka  - dari kota ke kota menyandang ransel birunya.

Ketika meninggalkan kota tempat SMA saya,  ke kota kuliah saya,  duduk di kursi penumpang Fokker -  pesawat berbaling-baling milik maskapai Bouraq kala itu -  saya membayangkan kisah-kisah petualangan Si Roy dan saya terberanikan karenanya.  Saya mengingat-ingat bait sajak Alexandros Panagoulis  - sajak itu saya kutip di awal kolom ini - yang ditampilkan di kisah pertama Ballada Si Roy: “Joe”.   Ya, Gola Gong selalu memulai kisah serialnya dengan kutipan sajak. 

***

 Kamis, 28 Oktober 2010 lalu, saya bertemu Gola Gong,  si pengarang Si Roy.  Sosoknya tentu tak misterius lagi. Roy sudah tidak ditulis lagi setelah buku ke-10, Epilog.  Saya sudah tahu nama aslinya adalah Herry  Hendrayana Harris.  Saya sudah tahu dia meninggalkan pekerjaan bergengsi di sebuah stasiun televisi, dan memilih menetap di kampung kelahirannya, mengelola komunitas yang menggalakkan kreativitas menulis dan memabaca bagi siapa saja, terutama anak-anak orang yang tidak mampu menempuh pendidikan formal. 


 Petang itu, saya duduk semeja-seperkopian bersama Joko “Jokpin” Pinurbo, Afrizal Malna dan AS “Sulak” Laksana.  Kami bicara soal puisi, tentu saja.  Soal kenapa sejak tahun 1996, sejak Wislawa Szimborska, tak pernah lagi penyair menjadi pemenang Nobel Sastra .  Dia tiba-tiba mendekati kami. Saya tak langsung melihatnya, karena kursi saya membelakangi pintu masuk restoran Hotel Pelangi tempat kami menginap.  Saya hanya menebak-nebak dengan takut.  Ini  pasti mimpi petang hari. Saya tak tahu ada atau tidak nama Gola Gong di daftar  peserta Temu Sastra Indonesia (TSI) ke-3 Tanjungpinang. 

“Eh, Gola Gong!” Saya tak tahu itu tadi yang menyapa Sulak atau Jokpin. Saya lekas menoleh.  Gola Gong malah menyapa saya.  “Hasan Aspahani ya?”  Saya berdiri menyalaminya, tak bisa mengatakan apa-apa.   “Akhirnya ketemu juga. Saya mau ketemu kamu,” katanya.  Nada bicaranya rendah, tegas dan santun.

Wajahnya letih.  Ia memang baru saja menempuh perjalanan panjang dari Jambi dan akan banyak lagi kota yang akan ia kunjungi. Ia punya pekerjaan besar mengerakkan kebiasaan membaca di tanah air. Ia perlu menemui komunitas-komunitas penggerak literasi  yang seide-sepergerakan dengan program itu.  Dari Jambi ia ke Batam dan ke Tanjungpinang. Perjalanan yang justru menyehatkan tulang-tulangnya. Ia sempat terancam lumpuh karena  pengapuran tulang. 


Gola Gong yang saya temui adalah sosok yang sungguh sederhana.  Baju dan jinsnya saya kira bukan bahan termahal  yang bisa ia dapatkan. Ia tampak tak terbebani  popularitas dan nama besarnya sebagai pengarang serial cerita yang punya ratusan ribu pemuja – termasuk saya.  Rambutnya yang ikal itu kurasa tak banyak berubah sejak ia membuka diri,  setelah lama menyembunyikan identitas: ia gondrong, dan sebagian rambutnya menutup wajah. 

Kami tak sempat bicara panjang saat itu. Dia mengenalkan Toto St Radik, nama sahabatnya yang sajaknya  kerap  dikutip di serial Si Roy.  Gola Gong dan Toto petang itu ingin menelusuri Tanjungpinang. “Nanti malam kita ngobrol!” katanya, berlalu. Aha! Setelah 22 tahun…..[bersambung]