Tuesday, November 30, 2010

Kennedy, Havel, dan Hoesnizar

Oleh Hasan Aspahani

DI depan para anggota perkumpulan alumni Harvard, di Cambridge, Massachusetts, 14 Juni 1956, seorang anggota senat Amerika Serikat berusia 39 tahun berkata, "jika lebih banyak politisi yang tahu puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin dunia akan menjadi tempat hidup yang sedikit lebih baik."

Tujuh tahun kemudian orang yang sama, tetapi kala itu telah menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-35 berkata, "ketika kekuasaan membawa manusia mendekati arogansi, puisi mengingatkannya kepada keterbasannya. Ketika kekuasaan mendangkalkan wilayah kepedulian manusia, puisi mengingatkannya betapa kaya keberagaman eksistensi. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan. "


Dia, John F Kennedy, berpidato seperti itu ketika meresmikan Perpustakaan Robert Frost, di Amherst College, 26 Oktober 1963, sembilan bulan setelah kematian sang penyair. Kalimat itu lantas dikutip dalam berita The New York Times sehari kemudian. Penyair itulah yang membaca puisi tepat sehabis pidato pertama Kennedy, setelah sang presiden dilantik.

Saya menemukan lanjutan dari kalimat tadi, kalimat yang sangat sering dikutip ketika orang bicara tentang politik dan puisi: "Adalah nyaris sebuah kebetulan bahwa Robert Frost mengawinkan puisi dan kekuasaan, karena dia melihat puisi sebagai upaya menyelamatkan kekuasaan dari kekuasaan itu sendiri." Tak berselang sebulan setelah pidatonya itu, pada tanggal 22 November 1963, Kennedy ditembak. Dan mati.

*

Dimanakah sastra dan politik, sastrawan dan politisi menyatu? Tidak pada John F Kennedy,karena bagaimanapun Kennedy tetaplah seorang politisi yang mengagumi sastra, puisi dan bersahabat dengan Robert Frost, penyair yang ia kagumi itu.

Sastra dan politik menyatu dalam diri Václav Havel. Tokoh ini lahir 5 Oktober 1936. Pada mulanya dunia mengenal dia sebagai penulis, politikus, dan dramawan Cekoslovakia. Havel adalah seorang dramawan dan ia juga menulis buku-buku puisi dan esai. Sebagai dramawan ia terkenal ketika pada 1963 ia menerbitkan karya Zahradní Slavnost, dan segera disusul dengan Vyrozumění pada 1965, yang merupakan karyanya yang paling terkenal.

Tema utama  karya-karyanya adalah pengasingan sosial. Ia keras mengritik  sistem komunis yang totaliter. Dan itulah pangkal masalahnya. Ia dipaksa untuk bungkam dan tidak lagi berkarya. Itu juga pintu masuknya ke politik.

Tak puas berjuang dengan pena, Havel masuk ke ranah politik. "Visi saja tidak cukup, harus digandengan dengan keberanian mengambil risiko. Menghitung langkah saja tidak cukup, kita harus melangkah menaiki anak-anak tangga," katanya, seakan memberi garis bawah pada langkah politiknya.

Ia lalu mendirikan Charta 77, organisasi anti-komunisme di Cekoslowakia. Setelah Revolusi Beludru, yang menandai jatuhnya komunisme di Cekoslowakia pada 1989, ia menjadi pemimpin partai demokrasi Obcanske Forum.

Pada 1989 ia menjadi Presiden Cekoslowakia yang ke-10, dan berikutnya ketika negara itu berubah, pada 1993 Havel menjadi Presiden Ceko yang pertama – hingga 2003.

*

Hoesnizar Hood, si penulis kumpulan kolom ini, dan ini adalah buku ketiganya, lebih pas disandingkan dengan Havel daripada Kennedy. Dalam diri Bang Nizar, begitu kami mengakrabinya, menyatu dua sosok itu: sastrawan dan politisi. Untungnya adalah pada mulanya dia adalah seorang sastrawan. Mata batinnya sebagai sastrawan jeli melihat kegelisahan masyarakatnya, masyarakat Melayu yang menggelisahkannya. Ini adalah sumber kegelisahan abadinya.

Seperti Havel, kegelisahan itu oleh Bang Nizar dibawa ke mana-mana, muncul di sajak-sajaknya, dia bawa ke Partai Demokrat di mana dia menjadi ketuanya, muncul di kolom "Temberang"-nya yang terbit tiap minggu di Batam Pos, dan saya tahu persis juga muncul dalam rapat-rapat DPRD Tanjungpinang di mana dia sekarang duduk di salah satu kursi wakil ketuanya.

Dan sosok seperti dia langka. Susah sekali menyatukan dua dunia yang galibnya hadir bak air dan minyak itu, bisa ditempakkan dalam satu cawan, tapi tetap saja jelas garis batasnya. Maka, bagi saya, kesastrawanan seorang Hoesnizar memberi nilai lebih pada sosoknya sebagai politikus. Kepolitikannya juga ibarat tumpukan sekam bagi api kegelisahannya sebagai sastrawan. Bang Nizar dengan cermat mengelola dua sisi itu.

"Temberang" sudah terbit dalam dua buku, sebelum buku ini. Buku pertama "Orang Melayu Hanya Pandai Bercerita" terbit dengan kontroversinya sendiri. Ia jadi pembicaraan yang luas dan saya yakin ia telah berhasil menggugah - jika kata mengubah terlalu jadi beban - banyak orang. Mahmud, sosok alterego itu, tiba-tiba jadi sangat akrab dalam alam pikir orang-orang Melayu di "Tanjung Pening", "Kepulauan Risau".

Lalu, buku kedua terbit "Mahmud Jadi Dua". Batam Pos sempat menghentikan kolom "Temberang" karena ingin berlaku adil: Hoesnizar waktu itu jadi politisi dan Batam Pos ingin netral. Setelah "jadi dua" sisi, Mahmud naik pentas lagi. "Mahmud harus jadi sosok yang beda. Dia main golf, naik mobil mewah ke mana-mana," kata saya kepada Bang Nizar, saran untuk menampilkan "keduaan" Mahmud.

Dan inilah buku ketiga "Temberang". Bagaimana saya melihat buku ini? "Bang, ini buku penegasan. Mahmud belum habis, dan tidak akan pernah habis. Mahmud boleh terus risau, tapi dia sudah harus bisa menegaskan sikap!" kata saya.

Maka, dipilihlah judul ini: Biar Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut. Saya menyarankan judul ini, judul yang diambil dari salah satu episode "Temberang". Inilah kalimat yang paling pas menegaskan sikap Mahmud dan sikap penulisnya Hoesnizar Hood.

Sikap itu punya nilai, karena nanti siapapun yang mengucapkannya kalimat itu sah. Ia tidak lagi menjadi milik Hoesnizar, juga tidak lagi menjadi milik masyarakat Melayu. Kalimat itu kelak akan menjadi universal. Itulah kebahagiaan seorang sastrawan. Yaitu ketika nilai-nilai dalam karyanya mencapai universalitas. Saya ikut bahagia karena sesempatnya menjadi bagian dari proses pencapaian itu.

Dan saya kelak akan menjadi lebih bangga dan bahagia jiga kelak melihat sisi lain Mahmud eh Husnizar juga mencapai tahapan lain. Saya ingin melihat jejak langkah Hoesnizar sebagai politisi sampai pada puncaknya, saya melihat sudah ada jalan terang dan lapang ke sana.*** 

* Pengantar untuk buku "Biar Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut"