DIA bilang dirinya seorang sekuler yang parah. Kami bertemu di sebuah kafe yang borjuis di kota besar itu. Kota kampung halamannya dan tanah kelaharinnya yang hanya bisa dia nikmati saat hari raya. "Saya orang yang tidak pernah mudik," katanya, pada suatu pertemuan kami, "Mau mudik kemana? Kampung saya di sini..."
Di kota itu, dia membagi dua jenis tempat nongkrong: satu borjuis, satu lagi proletar. Baginya keduanya adalah pilihan yang sama asyiknya. Angkringan di tepi jalan yang memindahkan kultur tradisional kota-kota di Pulau Jawa, atau kafe dengan konsep adopsi luar negeri baginya sama saja.
"Bukan tempatnya yang menentukan apakah nongkrong jadi asyik atau tidak, tapi siapa teman ngobrolnya," katanya, dan saya suka kalimat itu. Bikin saya sedikit besar kepala. Nyaris setiap singgah ke kota itu saya selalu menyempatkan diri bertemu dia.
Mengobrol dengannya kadang seperti kuliah atau kursus filsafat singkat. Kadang seperti menggoyang bangunan dasar pemikiran mapan yang kaku dan melihat kemungkinan menyegarkannya dengan sesuatu yang lebih kreatif. Kadang seperti tertular pemikiran-pemikiran subversif, mempertanyakan banyak hal yang selama ini seakan-akan nyaman diterima sebagai kebenaran.
"Kamu percaya Teori Darwin?" katanya malam itu, beberapa waktu lalu. "Saya percaya, karena itu saya tidak percaya visualisasi kiamat dalam film 2012 itu." Ia tak menunggu jawaban saya.
"Menurut saya kiamat itu sudah mulai dari sekarang prosesnya," kata dia. Lalu dia bicara soal memanasnya suhu di bumi, akibat emisi karbon yang tak terkendali, bolongnya lapisan ozon, mencairnya es di kutub bumi, naiknya permukaan laut, berkurangnya daratan, dan kelak manusia terus saja saling bunuh memperebutkan sumber daya alam yang makin langka.
"Itu sudah terjadi di depan mata kita sekarang. Kita ini sudah saling bunuh pelan-pelan," kata dia.
Kita ini, katanya, cuma bicara saja soal Hak Azasi Manusia, kesetaraan, keadilan, tapi pada dasarnya kita cuma mengamankan kepentingan kita masing-masing. "Amerika yang katanya paling jago demokrasi, paling peduli pada Hak Azasi Manusia, nyatanya dengan penduduk yang hanya lima persen dari populasi dunia, mereka menghabiskan dan menguasai 23 persen sumber energi di dunia. Adilkah itu?" katanya.
Saya menyimak saja. Mencoba menghubung-hubungkan arah pembicaraannya dengan Teori Darwin. Dia seperti tahu apa yang saya pikirkan.
"Kamu jangan menghubungkan apa yang saya jelaskan ini dengan Teori Darwin bahwa manusia berasal dari kera. Buat saya bukan itu yang esensial. Yang penting adalah teori evolusinya itu, bahwa yang bisa bertahan adalah makhluk yang paling bisa menyesuaikan dengan perubahan kondisi bumi. Teori survival of the fittest!"
Lagipula, katanya, Darwin setahu saya tidak bilang manusia itu adalah keturunan kera, cuma seketurunan dengan satu makhluk di masa lalu yang kemudian berevolusi sehingga menghasilkan berbagai primata, termasuk kera dan manusia.
"Saya kira tak ada yang salah dengan teori itu. Buat saya itu sama sekali tak bertentangan dengan keyakinan saya. Ah, tapi kamu kan tahu saya ini memang sekuler. Keyakinan agama saya itu urusan saya dengan Tuhan saya, tidak pernah saya campurkan dengan bagaimana saya memikirkan dunia tempat saya hidup ini. Tuhan juga bilang begitu kan? Pikirkanlah duniamu, jangan pikirkan zatku. Kalau tidak salah, ada kan ayat yang bunyinya begitu?" katanya.
Kawan saya ini membayangkan kelak yang bertahan di bumi adalah manusia yang sudah berubah, menyesuaikan diri dengan keadaan bumi yang juga sudah sangat berubah. Evolusi itu, katanya, tidak berhenti.
Kita sekarang ini sedang meneruskan evolusi. Manusia punya kemampuan adaptasi yang luar biasa. Lagi pula bumi ini toh berubah pelan-pelan. Perubahan yang seiring: manusia dan bumi.
"Mungkinkah ada peristiwa luar biasa yang membuat manusia punah seperti dinosaurus?" tanya saya.
"Saya yakin kalaupun peristiwa itu terjadi, akan ada sisa manusia yang hidup, sebab populasi manusia sekarang jauh lebih banyak daripada dinosaurus yang waktu itu sedikit sekali. Secara anatomi, dengan badan limapuluh kali gajah dan otak hanya sebesar kotak korek api, dinosaurus memang bukan makhluk yang hendak dipertahankan oleh alam. Dinosaurus tidak adaptif. Manusia tidak. Manusia malah mengubah alam agar beradaptasi dengan kebutuhan manusia," katanya.
"Ini pada awalnya adalah anugerah. Tapi, kelak ketika perubahan alam yang dibuat oleh manusia itu semakin jauh mengganggu keseimbangan itulah saatnya alam berbalik menolak keinginan manusia," katanya.
Malam itu, kota itu sedikit sejuk. Hujan beberapa kali terjadi sepanjang siang hingga sore. Basahnya masih tersisa di udarakota. Pelayan kafe minta izin untuk mematikan lampu. Kami sejak awal memilih duduk di teras agar bisa meneruskan perbincangan sampai kapan saja kami mau. Kami memang terus mengobrol tentang banyak hal. Kami membayangkan bagaimana bentuk kehidupan manusia dan bagaimana kondisi bumi nanti.***