: M Aan Mansyur
AKHIRNYA kita bertemu
di kota bernama Jakarta.
Sejak di bandara bernama
Soekarno-Hatta, padamu aku
sudah ingin bertanya:
masihkah Jantungmu itu mau
membunuhmu dengan indah?
Ataukah telah dia lepaskan
badik (yang tak pernah kau
sebut dalam sajak-sajakmu)
yang hendak ia tikamkan
itu, yang sudah sejak lama
ia tajamkan di dalih lidah,
di keras batuasah?
"Oh," katamu, "Badik itu kini
jadi pembatas buku."
Jantungmu itu, kini menjadi
kutubuku.
Ia suka sekali membaca
sajak-sajakmu. Walau harus
menduga-duga banyak hal,
menebak nama-nama yang sering
kau sebut di sana, dan
sesekali tergoda, ingat pada
keinginan lamanya.
*
Di kota bernama Jakarta kau
membeli banyak sekali buku.
Aku kira itu oleh-oleh untuk
Jantungmu.
"Di perpustakaan kami," katamu,
(aku menduga siapa dia yang
jadi kami dengan kau di kata
ganti orang pertama jamak itu)
banyak sekali pembaca seperti
Jantungku itu. Mereka datang
mencari buku yang pas untuk
dicumbui saat hati sepoi sepi,
setelah atau menjelang kekasih
pergi."
Aku bayangkan, akan banyak
sekali badik, yang harus kau
persiapkan untuk menjadi
pembatas buku-buku baru itu.
*
Dan kau bercerita tentang
bukumu sendiri yang tak perlu
badik sebagai pembatasnya,
yang tak pernah bisa selesai
kau tulis dan kau baca.
"Buku itu, seperti badik,
tertancap abadi di Jantungku!"
katamu. Buku itu, bercerita
tentang perempuan yang memeluk
kekasihnya, di sebuah diskusi
buku puisi, di sebuah tempat
bernama Taman Ismail Marzuki.
"Pelukan yang lama tapi tak
cukup lama baginya untuk
memastikan bahwa badik lain yang
bernama Cinta (atau tentah apa)
itu masih tertanam dan tumbuh
subur di dalam tubuhku," katamu.
Akhirnya, aku mendengar cerita
itu langsung darimu, di kota
bernama Jakarta, kota yang kini
menyembunyikan si Pemeluk itu.