Tuesday, November 24, 2009

[Personal Esai] Mamaku, 1

MALAM itu Mama menyibak kelambu. Aku belum tertidur penuh. Mama memandangi aku, anak lelakinya yang baru lulus SMA. Ia menatapku lama sekali. Ia tak mau membangukan aku. Dengan mataku yang pura-pura memejam, aku bisa melihat ia sedih, haru dan bangga. Aku pura-pura tertidur.



Sedih,karena ia harus rela melepas aku pergi kuliah ke Bogor, keesokan harinya. Haru, karena dia sempat tidak setuju aku berangkat kuliah jauh. Sejak mengisi formulir undangan masuk IPB, dia sudah keberatan. "Mudah-mudahan tidak diterima," katanya.

Dia keberatan karena membayangkan biaya kuliah yang kalau diukur dengan penghasilan keluarga kami saat itu pasti tak terjangkau. Abang sulung saya waktu itu sudah kuliah di Politeknik Samarinda. Dua adik saya pun sudah sekolah di SMP dan SD. Sementara itu belum semua pohon kelapa kami berbuah. Padahal, itulah satu-satunya sumber penghasilan kami yang tetap. Sesekali Abah berdagang. Mama juga sudah tidak kuat berjualan kue lagi. Lagipula waktu sudah banyak orang lain yang juga berjualan kue. Mamaku kasihan, dia seperti mengalah, memberi kesempatan pada orang lain.

Ditambah cerita-cerita tentang betapa mahal, berat dan susahnya menempuh pendidikan di Jawa sana. Standar pendidikan antara Jawa dan luar Jawa senjang sekali. "Kalau nanti pulang karena DO, bikin malu saja," kata Mama.

Bangga, pasti karena waktu itu akulah anak kampung kami yang pertama kuliah ke Jawa. Kelak ketika menerima telegram dari saya, kakek saya menangis membacanya. "Ada juga keturunanku yang menginjak tanah Jawa," kata kakek waktu itu.

Dan saya berkeras hati. Tiket pesawat saya dapat dari seseorang yang amat baik hati. Aku punya sedikit uang yang terkumpul dari honor kerjaku di surat kabar di Balikpapan. Sejak kelas satu SMA aku sudah bekerja, jadi reporter dan kartunis lepas.

Aku berangkat kuliah ke Bogor. Soal biaya kuliah aku yakinkan Mama dan Abah bahwa di Bogor nanti tak lebih mahal daripada Samarinda. Dan saya berjanji akan bekerja sambil kuliah. "Di Balikpapan saja ulun kerja. Padahal cuma ada satu koran. Bogor kan dekat dengan Jakarta, banyak koran di sana, pasti banyak kesempatan kerja," kataku.

Kuliah ke Jawa, inilah satu-satunya "perlawanan"-ku kepada Mama. Aku anak yang amat patuh padanya. Hadist yang pertama aku hafal adalah "surga itu di bawah telapak kaki ibu". Aku sangat takut jadi anak yang kualat, dan terhalang masuk surga karena melawan Mama.(bersambung)