Monday, October 19, 2009

Gunjing Sastra (4) - Kenapa Malu Membuat Pembaharuan?

Nirwan Dewanto betul. Siapa saja bisa mengalami pengalaman batin yang sama, juga penyair, misalnya ketika mabuk di bawah bulan purnama, terbuai di depan ombak, dan lain-lain. Ini mungkin yang disebut Subagio Sastrowardoyo: keterharuan. Dia betul, pengalaman batin itu belum pasti akan menjadi sebuah puisi, apa yang ia sebut sebagai artefak kata-kata.

Justru di situlah bedanya penyair dan yang bukan penyair.
Si penyair kemudian melanjutkan keterharuan itu, dia menggarap puisi: dia menciptakan artefak kata-kata yang bernama puisi itu. Artinya si penyair "terilhami" (sesuatu yang ditolak oleh Nirwan) oleh pengalaman batin itu. Memangnya apa sih yang membuat penyair itu kemudian terdorong untuk meraih bahasa lalu memakai itu sebagai wadah untuk "membentuk" pengalaman batin tadi atau keterharuan tadi?



Saya sendiri menggarap sebagian puisi dengan bermodal keterharuan kecil-kecilan dari pengalaman biasa saja, yang bisa dialami oleh siapa saja: didera bosan di pesawat, menunggu di ruang keberangkatan, terbaring sendiri di hotel, di dalam taksi ke bandara. Ini sangat tidak istimewa, bukan? Dan memang belum tentu bisa jadi sajak. Pengalaman kecil-kecil itulah yang saya sajakkan.

Saya setuju pada apa yang dia katakan kemudian. "Seandainya seorang penyair melihat darah tumpah di jalanan, maka soalnya apakah ia mampu membuat apa yang dilihatnya menjadi darah kata-kata," katanya.

Nah, itulah soalnya. Bagaimana mengolah darah di jalanan itu menjadi darah kata-kata?

Ini jawaban Nirwan, katanya, untuk membuat darah kata, daging kata, dan tubuh kata, si penyair harus memencilkan diri ke dalam ruang studinya.

"Ia masuk ke dalam lingkungan bahasa, tepatnya lingkungan tulisan, yang memberikan kepadanya bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin," katanya.

Bila penyair mengolah yang mungkin ini, tulis Nirwan, ia bisa pula menemukan yang mustahil — yang membuatnya bergerak lebih cepat ketimbang rekan-rekannya.

Aha! Banyak yang bisa saya setujui sejauh ini. Tapi, kenapa Nirwan melihat posisi penyair begitu lemahnya di depan bahasa? Selain lingkungan bahasa itu memberikan bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin, bukankah penyair juga bisa dan boleh (atau bahkan harus) menciptakan kemungkinan-kemungkinan pengucapan itu? Bukan sekadar menemukan!

Dulu Nirwan pernah menulis bahwa penyair A hanya memperluas sajak-sajak penyair X, dan penyair B mencairkannya, sementara si penyair C mengulang-ulang saja. Saya dulu membaca itu sebagai cambukan darinya agar saya mencari sesuatu yang baru, membuat pembaharuan.

Tapi kenapa dalam tulisan di blog "majalah dinding"-nya itu dia bilang tak percaya pada kata "pembaharuan" dalam sajak?

Dia tulis: ...boleh jadi ia akan malu menyebut dirinya sebagai pembaharu, sebab sejarah-sejarah sastra di dunia ini adalah lautan pembaharuan. "Ia tahu, jargon 'pembaharuan' hanya membatasi geraknya. Sebab ia ingin leluasa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping, ke atas dan ke bawah," katanya.

Kenapa ia bilang "pembaharuan" itu hanya jargon yang menjadi beban? Yang membatasi ruang gerak? Kenapa pembaharuan itu tak membuat ia leluasa bergerak ke mana-mana?

Lalu bagaimana dulu pembaharuan itu dalam sepanjang sejarah sastra itu menjadi "lautan" kini.

Saya percaya, membuat pembaharuan itu sungguh tidak mudah. Pun tak mudah dikenali. Lima tahun setelah kematian Chairil, Asrul Sani menulis bahwa sajak-sajak sahabatnya itu masih berupa hutan luas yang perlu ditebas. Artinya, apa yang sekarang kita kenali sebagai "kebaruan" dalam sajak-sajak Chairil, saat itu pun belum tertandai, bahkan masih ditolak dan dianggap merusak bahasa. Chairil kita tahu, adalah orang yang getol banget pada pembaharuan. Entahlah, kenapa Nirwan tak sebersemangat itu, ya?

Saya percaya, siapa pun yang bergerak di dunia kreatif, khususnya sastra, dan ingin menghasilkan sesuatu yang dicatat dalam sejarah kelak, maka ia harus membuat pembaharuan. Dan itu, percayalah tidak mudah, dan belum tentu berhasil sepanjang sejarah perjalanan kreatif kita. Tanpa semangat menemukan pembaharuan itu, maka dunia sastra kita hanya akan dipenuhi oleh karya-karya yang mengulang-ulang saja, bukan?

:: Gunjing tak gentar, membela yang argumennya paling ngawur! :-) Lanjutkan!