Friday, December 11, 2009

Obituari Galuh

PULANG sekolah, kemarin, Ikra masih sempat memandikannya. Ikra membersihkan matanya dengan korek kuping. Menganduki basah bulunya. Ikra juga menyuapinya telur dadar. Tapi Si Galuh tidak juga mau makan.

Galuh adalah nama terakhir yang dipilih Ikra untuk kucing yang dipeliharanya. Sebelumnya dia menamai Alex. Setelah tahu bahwa kucingnya adalah betina dia mengganti namanya menjadi Alexi, dengan panggilan tetap saja Alex.

Di FB, kawan SMA saya mengusulkan nama Galuh. Ini nama panggilan orang Banjar kepada anak perempuan. Ikra membaca usulan itu waktu dia main Farmville dan nyasar ke FB saya. "Mama, nama kucing Ikra ganti aja. Sekarang namanya Galah!"

"Galah?"

"Iya, ini, Abang baca di fa-ce-bo-ok (beginilah Ikra melafalkan FB) Abah."

"Bukan Galah. Galuh..."

"Iya, Galuh..." kata Ikra, nyengir, menampakkan dua gigi serinya yang sudah tumbuh setengah. Besar sekali.

Anak kucing itu tiba-tiba saja muncul di teras depan kami suatu pagi. Pasti semalam, ada yang membuangnya begitu saja. Ikra yang siap-siap berangkat sekolah meminta kepada Mamanya agar anak kucing itu jangan diusir. Dia ingin merawatnya.

Sejak hari itu, Ikra disibukkan dengan Si Galuh. Ikra sayang sekali sama kucingnya. Sehabis belajar, Si Galuh diajaknya bermain, dipangku, diajari berjalan dengan dua kaki, diberi minum susu, disuapi. Suatu malam Si Galuh tidur sekamar dengan kami. Paginya, entah di mana dia buang kotoran, sepanjang hari hanya bau tak sedapnya yang menyemerbak.

Siang sebelum mati kemarin, Si Galuh keluar darah dari duburnya. Sejak ditemukan di teras, anak kucing berbulu belang dengan dominasi hitam itu sudah tampak sakit. Sore harinya, Ikra membawanya jalan-jalan naik sepeda. Pulang main Ikra menangis sambil menggendong Galuh yang tak bernafas lagi.

***

"Ikra nangis. Galuh mati," kata istri saya lewat telepon. Sepulang dari kantor, di rumah Ikra masih menangis. Mayat si Galuh diletakkan di kotak mie instan (Ikra mencari sendiri kotak itu di Pasar), beralas kain. Ikra langsung memeluk saya, tanpa berkata apa-apa. Dia terus menangis.

"Nanti kita kuburkan dia, ya. Dia pasti masuk surga. Nanti di sana dia menunggu dan mendoakan Ikra supaya masuk surga juga. Soalnya Ikra kan baik sama dia," kata saya. Dalam gendongan saya, Ikra mengangguk.

Sehabis salat magrib, aku dan Ikra menggali lubang di halaman. Ikra membawa mayat Galuh dengan tangan telanjang, memasukkannya ke lubang. Aku menimbunnya.

Di tempat tidur Ikra menggambar kucing dan seorang anak laki-laki. "Ini si galuh sama Abang," katanya. Aku dan istriku berpandangan. Kami terharu. Sekecil itu, anak kami Ikra, sudah tahu apa artinya mencintai dan apa rasanya kehilangan apa yang dicintai.***