PADA sepasang kaki yang telah sejauh lelah melangkah, apa kenangan yang kau bisa ingatkan padaku? Kota-kota yang kita tamui, kita rumahi, lalu kita tinggalkan?
Mungkin kota kecil itu. Bandara kecil hanya disinggahi sekali sehari, toko sepatu, kedai buku, gerai kaset, dan pasar ikan yang bila sore hari di sana kita belanja, membeli beberapa peristiwa remeh, yang tak akan repot kita mengemasnya. "Waktu adalah ruang yang akan kian sempit dan panjang," kataku, mengatasi ketakmampuanku sendiri, menata risau hati. Dan kita sibuk menghapal refrain lagu itu, lagu tentang sesayup saujana.
Atau komplek perumahan yang tak dilalui pipa air? Dan kita amat rajin menampung hujan di mata, menyimpannya tabah dan lama sebagai tangis bersama, tangis rahasia.
Atau laut itu. Laut yang tahu apa yang tak kita katakan padanya: kamu (katanya, menunjuk padaku) dan kamu (kemudian ia tatap kamu), maukah kuberitahu sesuatu yang lebih tangis, yang lebih rahasia? Laut itu lalu bersenandung senada, semurung mendung, tapi kita seperti diingatkan pada sebuah merdu lagu, lirik sendu, dengan sejumlah kata yang kukira itu adalah perahu, kayuh, atau sauh. Ya, semacam itu.
Dan kita ingat - sekelebat - pada refrain lagu itu, lagu tentang ragu dan gugup dekap kita: tentang sesayup saujana.